~*~
Lamat-lamat seiring kembalinya kesadarannya, Sam berpikir bahwa mestinya dia berbaring di atas lantai kayu yang keras, bukannya dialasi permukaan yang empuk dan hangat seperti ini. Kemudian, tadi rasanya dia jatuh menelungkup, dia ingat sensasi jidatnya menghantam lantai, bintang-bintang meledak di pelupuk mata sebelum semuanya jadi hitam. Namun, tanpa membuka mata dia tahu bahwa saat ini tubuhnya dalam posisi menelentang. Apa ada yang memindah dirinya?
Cahaya memasuki penglihatan Sam yang pelan-pelan terbuka, bayangan samar-samar yang dilihatnya berangsur menjadi citra yang jelas. Mata Sam pertama kali memandang langit-langit berwarna krem kusam. Terbetik di benaknya, kenapa bukan papan kayu tanpa cat. Diliriknya kiri-kanan dan dia mendapati perabotan kamar asramanya di Stanford yang seingatnya terakhir kali dilihatnya enam bulan yang lalu. Sam terhenyak dan buru-buru mendudukkan diri, memandang nanar berkeliling.
"Untuk mencegah ini menjadi lebih klise, aku sarankan kamu tak perlu mencubit dirimu buat memastikan bahwa ini nyata. Ya, Sam Winchester, ini nyata," sebuah suara tahu-tahu muncul mengagetkan dari sisi ranjang tempat Sam setengah duduk.
Sam otomatis menoleh dan dilihatnya Dr. Zhang berdiri di sana. Sam mengejapkan mata tercengang. Sedang apa dokter itu di kamar asramanya dan kenapa dia bisa berada di sana padahal hal terakhir yang diingatnya adalah dia jatuh pingsan sewaktu kakaknya dioperasi dan berpikir sampai di sana Sam melonjak.
"Dean!" serunya tertahan.
"Ah, Dean Winchester. Kakakmu itu benar-benar tahu caranya cari musuh. Dia bikin murka dua dewa, yah, satunya setengah dewa, dalam waktu berdekatan. Kalau jadi dia, aku akan ekstra hati-hati," kata Dr. Zhang, kali ini Sam menangkap jelas nada suaranya yang dialun menjengkelkan.
Sam mengawasi sosok Dr. Zhang yang ada di hadapannya, atau lebih tepatnya, sosok makhluk apapun yang mengenakan tubuh Dr. Zhang, soalnya bahasa tubuh dan sikapnya sama sekali berubah total dari apa yang dikenal Sam. Mulut si dokter (makhluk?) sibuk mengulum sesuatu, yang setelah Sam melihat separuh batang coklat di tangannya, dia dapat menebak di mana potongan coklat lainnya. Gerak-gerik si dokter yang lazimnya kebapakan berubah tengil. Mata Dr. Zhang yang biasa bersinar ramah, kali ini berkilat laksana mata kurcaci nakal yang doyan menggoda. Ekspresi si dokter tampak amat puas seperti kucing yang barusan diberi semangkuk krim susu dan kini menggoyang ekor kesenangan.
Kamus makhluk supranatural segera terbuka secara mental di otak Sam. Menilik dari tampang makhluk di depannya, coklat itu dan kalimatnya yang tadi, Sam lekas menarik kesimpulan dengan siapa dia berhadapan. Satu dari segelintir makhluk yang dapat menciptakan realitas dari udara kosong.
"Trickster," desisnya berang.
Makhluk itu menjilat sisa coklat di jarinya dan menyeringai lebar. "Hm, benar apa yang mereka katakan tentang Winchester bersaudara. Satunya otot dan satunya otak."
Itu konfirmasi yang Sam butuhkan. Amarah membakar dirinya, Sam beranjak bangkit dan menggeram, "Kubunuh kau!" Namun, ada kekuatan tak terlihat yang memanteknya tetap di tempat dan Sam menggeliat berusaha melepaskan diri.
"Uh-huh," Trickster menggoyangkan jarinya tepat di depan mata Sam yang bersorot panas. "Tidak perlu main kasar, Sammy. Belum ada yang terluka di sini dan aku tak ingin memulainya."
"Namaku Sam," sembur Sam ketus. "Mana Dean? Apa yang kauperbuat padanya?"
"Oh, kakakmu? Dia sedang berada ratusan mil dari sini, sama-sama dapat kunjungan istimewa dariku, yah, dari duplikat diriku, tepatnya," jawab Trickster.
"Kenapa kaulakukan ini?" tuntut Sam. Minimal dia perlu tahu sebab musabab kenapa makhluk setengah dewa ini memutuskan untuk menjatuhkan muslihat pada mereka berdua.
Trickster duduk di tepi ranjang Sam, sebatang permen loli muncul secara sihir di tangannya. Dijilatinya permen itu dengan lambat, menikmati tatapan murka Sam yang kian gahar seiring berlalunya detik-detik yang terasa panjang.
"Kenapa?" bentak Sam garang.
"Jangan memburu-buru sesuatu yang sempurna," ulur Trickster dan Sam mendidih karenanya.
Wajah Sam kini jadi merah padam, campuran antara naik pitam, malu luar biasa karena kalau dia tak salah tarik kesimpulan maka apa yang dialaminya selama setengah tahun itu hanyalah dunia rekaan si Trickster keparat, plus perasaan bahwa dia benar-benar bodoh yang terngiang di hatinya.
"Nah," permen lolinya habis dan Trickster menatap Sam jenaka, "kamu ingin tahu kenapa. Baiklah. Kamu layak mengetahuinya. Seperti tadi sudah kusebutkan, kakakmu yang bodoh itu bikin kesalahan dengan menyinggung dua dewa sekaligus. Dia mengacaukan ritual pemujaan Dewi Bast dan setelahnya nyaris membunuhku di Milwaukee. Huh, benar-benar sudah dekat. Sampai kini aku masih ingat desing pasak kayu yang diarahkannya ke jantungku."
Trickster memunculkan semangkuk permen, melahap satu dan menawari Sam, "Mau?"
Jika tatapan bisa membunuh, Trickster pasti sudah mati duduk di tempat.
"Sampai di mana aku tadi? Oh, ya. Dewi Mesir itu benar-benar jengkel pada kakakmu, sayang sekali dia begitu penaik darah, padahal dia lumayan cantik dan montok pula, dan kebetulan," Trickster mengedipkan mata, "aku mendengar tentang masalahnya. Sesama dewa harus saling membantu, bukan begitu? Aku punya rencana bagus dan Dewi Bast setuju dengan itu, dia malah menambah detil-detil yang krusial. Selanjutnya kamu sudah tahu sendiri." Mata Trickster menerawang. "Ah... kami sungguh tim yang kompak."
"Tapi Dean tidak bilang apa-apa soal Trickster waktu itu."
Sam merasa lebih goblok satu detik setelah kalimat itu meluncur dari mulutnya. Perasaan itu berlipat lantaran ditambah dengan kekeh mengejek si Trickster.
"Aku dapat ciptakan realitas yang terasa demikian nyata hanya dengan sejentik jari. Modifikasi ingatan cuma segampang kedipkan mata buatku," katanya. Jangan remehkan aku, Nak.
"Tapi kenapa kamu libatkan aku ke dalamnya?" tanya Sam.
"Kenapa tidak menyasar dua burung dengan satu peluru, eh?" cengiran kembali menghiasi wajah Trickster. "Aku membuat realitasnya tanpa skenario, kok. Mengalir saja. Aku ingin tahu apa reaksi Dean begitu tahu dia hamil dan waktu dia menghubungimu, yah, itu kuanggap bonus saja. Bisa mengerjai dua Winchester sekaligus itu mengasyikkan."
"Dan alasanmu terlibat di dalam realitas buatanmu sendiri?" celetuk Sam, enggan mengakui kehebatan penyamaran si Trickster yang betul-betul tak terduga olehnya.
"Sudah kubilang, ini menyenangkan. Kalian manusia suka ekstasi, nah, ini ekstasi buatku," terang Trickster, lagi-lagi melempar sebutir permen ke mulutnya, menikmati setiap kuluman manis.
Sam mengerutkan kening. "Katamu sasaran utama muslihat konyol ini adalah Dean. Kenapa menemuiku sekarang?"
Trickster memamerkan seringai kemenangan yang membikin Sam ingin merenggut mimik itu dari mukanya. "Yah... boleh dibilang ini salah satu kelemahanku. Aku punya kegemaran menjumpai setiap orang yang kukerjai untuk melihat ekspresi mereka waktu sadar mereka menjadi bidak yang kumainkan. Boneka marionette-ku sendiri. Kau tahu, tampang-tampang seperti itu yang membuatku merasa tidak sia-sia merancang muslihat rumit untuk mereka. Andai kamu bisa becermin tadi, Sam Winchester. Raut mukamu sungguh... tak ternilai."
Cemberut di wajah Sam kian dalam karenanya.
Trickster berdecak. "Ck...ck...ck, janganlah merengut begitu. Nanti sampai tua mukamu seperti itu. Kita tidak mau itu terjadi, bukan?"
"Persetan. Sekarang katakan padaku, apa Dean baik-baik saja?" desak Sam.
Trickster menghela nafas, terlihat bosan mendengar itu. "Dean, Dean, Dean. Seperti kaset rusak saja."
"Katakan padaku," gerendeng Sam ketika si Trickster tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab.
"Atau?" Trickster tergelak. "Kamu sebenarnya tidak dalam posisi mengancam, Sammy," si Trickster menikmati tatapan jengkel Sam kala disebut dengan nama itu, "tapi aku sedang berbaik hati jadi kukatakan sajalah."
Sam menatap makhluk menyebalkan di depannya itu dengan menuntut.
"Kakakmu baik-baik saja, rada terguncang barangkali, tapi secara fisik tidak apa-apa. Kamu bisa telepon dia nanti kalau mau, tapi aku tidak yakin apa dia mau membicarakan ini denganmu. Bagaimanapun, tindakan bodohnya, kan yang memulai semua ini," ucap Trickster.
Masa bodoh, Sam merabai saku celananya, tempat biasanya dia menyimpan ponsel. Tekanan yang tadi menahannya tetap diam agak berkurang dan Sam dapat menarik ponselnya, tersentak sewaktu melihat tanggal yang tertera di layar.
"Kamu bahkan tidak kehilangan banyak, bukan? Hanya satu hari dalam hidupmu," senyum Trickster.
Satu hari, pikir Sam. Enam bulan yang panjang itu termampatkan dalam satu hari. Enam bulan yang terasa demikian nyata sampai dia masih dapat menceritakan momen-momen berharganya kalau ditanya. Mana yang bisa disebut realitas? Sam buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Bisa pening nanti dia kalau menekuri hal itu.
"Nah, senang mengobrol denganmu, tapi aku masih ada urusan lain dengan orang yang lain lagi," Trickster berdiri dan mangkuk permennya lenyap seketika.
"Maksudmu, muslihat lain dengan korban yang lain pula," cetus Sam.
Trickster menelengkan kepala. "Ah, otak dan mulut. Kamu juga perlu berhati-hati. Kami, para dewa, bisa jadi sangat sensitif terhadap kata-kata."
Sam memutar bola mata. Ayo, enyahlah cepat.
"Senang bertemu denganmu, Sam Winchester."
"Sayang sekali aku tidak bisa mengatakan hal yang sama padamu," sambar Sam masih rada dongkol.
Trickster tersenyum seolah dia mengetahui sebuah rahasia. "Hm, sampai ketemu lagi, kalau begitu," ujarnya ringan.
Sam membalas, "Semoga saja tidak."
Trickster menjentikkan jarinya.
~*~
SELESAI
Author's note: nah, ini benar-benar selesai. Fic paling panjang yang terselesaikan sepanjang sejarah aku menulis, sejauh ini. Kalau kamu tahan membaca sampai di sini, aku ucapkan selamat dan terima kasih banyak.
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar