~*~
Sam dengan lega memandangi hasil karyanya yang baru saja rampung digarap. Sebuah boks bayi model bongkar-pasang, dibelinya dari toko barang bekas dengan harga lumayan miring pakai uang komisi penjualan buku yang diterimanya kemarin. Sam tadi meminjam truk kecil butut milik Bobby untuk mengangkutnya ke rumah sebab Dean tak memperbolehkan Impala dipakai buat membawa perabotan. Tidak keliru juga sebenarnya, Sam jadi bisa sekaligus memanfaatkan ruang lapang bak truk itu untuk diisi dengan seabrek belanjaan.
Sementara dari tempatnya duduk di sudut kamar bayi, Dean mengamati boks yang dirakit adiknya itu dengan kritis. Matanya yang lihai segera menangkap sesuatu yang rada kurang beres.
"Sam, sepertinya kamu terbalik pasang engselnya, deh," kata Dean. "Nanti sisi boks itu jadi membuka ke dalam, alih-alih ke luar," jelasnya.
Gelembung kegembiraan Sam gembos karenanya. "Ah, yang benar?"
"Coba saja kamu buka."
Sam melepaskan gerendel boks dan membuka sisi boks yang dimaksud. Benar saja, benda itu mengayun ke arah dalam, sangat berpotensi meniban bayi di dalam boks, kalau ada.
Sam menggaruk belakang leher yang tidak gatal. "Rasanya aku sudah memasangnya sesuai dengan petunjuk," gumamnya bingung. Dia berjongkok, merabai engsel yang jadi biang masalah dan menggerak-gerakkannya.
Dean beranjak menghampirinya, meraih gambar petunjuk pemasangan boks yang diletakkan Sam di atas bufet. Entah bagaimana, kertas itu lolos dari genggamannya dan meluncur ke lantai. Sam sudah bersiap mengambilkannya untuk Dean ketika dilihatnya Dean menurunkan tubuh, menekuk lutut terlebih dahulu dan meraih kertas itu. Ya, itu satu lagi efek samping kehamilannya, Dean tak dapat lagi membungkuk kalau mesti mengambil sesuatu yang terjatuh.
Berdiri dengan satu tangan menopang pinggang, Dean mencermati lembar bergambar di tangannya. Sebentar saja dia sudah menemukan letak kesalahan adiknya.
"Kalau kamu pasang engsel di sisi yang ini," Dean menunjuk daerah tepi boks yang dimaksud, "itu baru benar. Tapi kamu malah pasang di sebelah dalamnya. Pantaslah."
Sam manggut-manggut mendengarnya. Masuk akal, pikirnya. Dicopotinya engsel yang terpasang salah alamat itu dan disekrupnya di tempat yang semestinya. Sisi boks itu akhirnya dapat membuka ke arah luar.
Sementara Sam berkutat dengan palu dan obeng, Dean iseng memeriksa laci bufet yang baru beberapa jam yang lalu dipenuhi Sam dengan aneka perlengkapan bayi hasil menjelajah beberapa toko dan pasar loak di kota. Setumpuk benda dari kain menarik perhatiannya.
"Sam," tegur Dean, "apa ini?"
Sam yang sedang merapikan peralatan bertukangnya menoleh dan menjawab sambil lalu, "Itu, kan popok."
Dean memutar bola mata. "Nenek-nenek salto juga tahu ini popok," dumalnya. "Maksudku, kenapa kamu beli popok kain, bukannya popok sekali pakai?"
"Lebih murah, kan," sahut Sam enteng, hafal adat kakaknya yang di trimester ketiga ini kembali gampang uring-uringan. "Dan ramah lingkungan," tambahnya.
"Ramah lingkungan, bokongku," omel kakaknya. "Pikirmu," Dean melambaikan sehelai popok, "siapa yang mau mencuci semua ini? Kamu tahu berapa kali bayi ganti popok dalam sehari? Belum lagi pakaian atau seprai atau selimut yang pasti nimbrung basah juga. Mana mesin cuci di rumah ini sudah sering unjuk rasa minta pensiun!"
Aku yang mencuci nanti kalau perlu, batin Sam. Tentunya bila dia selamat dari omelan Dean setelah kakaknya itu tahu Sam tak jadi kembali kuliah semester depan.
Dia menanggapi kalem, "Tidak usah membesar-besarkan. Kalau aku dapat komisi lagi, bulan depan kita bisa mencicil mesin cuci yang baru, yang pengeringnya masih oke."
Dean menatapnya skeptis.
"Demi alasan kemanusiaan juga," tambah Sam. "Bayi menangis kalau popoknya basah, kan? Nah, dengan popok sekali pakai dia tidak merasa basah padahal popok itu mestinya diganti. Bayangkan saja jika dirimu harus membawa kotoran selama berjam-jam sebelum akhirnya ada yang memutuskan untuk membersihkan dirimu," dia berargumen.
"Pengalaman pribadi ya," balas Dean melunak, ingat bahwa Sam memang waktu bayi dipakaikan popok sekali pakai karena hidup mereka yang berpindah-pindah. Jangankan cuci popok, sikat gigi saja kadang dilakukan di taman umum atau di toilet pom bensin.
"Terserah, deh apa katamu."
Urusan popok pun untuk sementara selesai sampai di situ. Dean mengembalikan tumpukan popok ke laci dan menjelajahi laci-laci lainnya. Dia menemukan pakaian bayi yang dibeli Sam lusinan di toko grosir, mengomentari bahwa dengan demikian bayinya akan terlihat seperti tidak pernah ganti pakaian soalnya bajunya sama semua. Dean juga menyeletuk bahwa dia tidak bercita-cita membesarkan seorang petinju waktu mendapati beberapa sarung tangan bayi. Sam menjelaskan sarung tangan itu sebagai antisipasi siapa tahu si bayi nanti suka menggaruki tubuhnya padahal mereka belum berani memotong kukunya. Barang berikutnya yang diamati Dean adalah botol susu bayi, cengiran sugestif di wajahnya ketika memencet bagian dotnya mengundang reaksi memutar bola mata dari Sam.
Satu lagi laci yang diinspeksi oleh Dean dan dia tertegun kala melihat satu benda yang ada di dalamnya. Diangkatnya benda itu, masih terbungkus rapi lengkap dengan label harganya.
"Apa ini?" tanya Dean, mengacungkan benda itu.
"Itu monitor bayi. Ada sepasang, seperti radio komunikasi. Jadi kamu letakkan satu di dekat boks dan yang satu kamu bawa sehingga kalau bayimu menangis..."
Dean memotong, "Aku tahu ini monitor bayi. Maksudku, kenapa kamu pakai beli ini segala?"
Sam memasang tampang heran. Maksudnya?
Dean meletakkan monitor bayi itu di laci, berjalan menuju lemari kecil di dekat bufet yang dijadikan tempat penyimpanan segala macam. Dia membuka pintu lemari, mengaduk-aduk isinya sebentar dan mengeluarkan dua buah barang yang di mata Sam terlihat seperti perekam suara kecil yang sudah rusak.
"Kita sudah punya satu. Ini," tunjuk Dean.
"Kamu bikin sendiri?" Percayakan pada Dean untuk soal mesin dan elektronik, pikir Sam. Pertukangan juga. Kakaknya itu benar-benar memiliki kecerdasan mekanis.
Dean terlihat agak merona wajahnya sewaktu menyahut segan, "Ya... begitulah. Pemutar kaset kita sudah tak bisa diselamatkan, tapi kulihat ada komponen yang bisa dipakai. Aku punya terlalu banyak waktu luang, jadi..."
Sam mengambil benda yang disebut Dean monitor bayi itu dari tangan kakaknya, dipandanginya barang itu dengan alis terangkat. Bentuknya memang tidak meyakinkan. Monitor bayi itu mestinya sepasang, tapi rupa benda itu satu sama lain tak seragam. Mirip saja tidak. Yang satu rangkanya diambil dari radio mini, satunya lagi dikanibal dari perekam kaset. Kendati demikian, Sam yakin bahwa benda itu pasti dapat berfungsi dengan baik. Ya, seperti pembuatnya: dari luar berandalan tetapi sejatinya pemburu berdedikasi tinggi.
Sepotong pemikiran lain menapak di benak Sam. Dean merakit monitor bayi itu bukan sekedar iseng, melainkan itu menunjukkan level afeksinya pada bayi yang dikandungnya. Belum lahir saja Dean sudah memikirkan perlindungan untuknya. Sam tiba pada kesimpulan bahwa sesungguhnya dengan sedikit dorongan ke arah yang benar, Dean bisa jadi ayah yang baik.
Sorot mata lembut sarat makna Sam yang terarah padanya secara otomatis membuahkan perasaan tak nyaman dan Dean menyergah, "Jangan memandangku seperti itu."
Sam cuma tersenyum lebar. Kamu mencintainya, akui saja.
Dean menghela nafas. "Bagus. Bayiku akan tumbuh dengan sentuhan wanita dalam hidupnya selama ada kamu."
Sam terselamatkan dari kewajiban bereaksi ketika tiba-tiba Dean menekap bagian bawah perutnya dan mendesah pelan. Warna lenyap dari wajahnya.
"Dean! Ada apa?"
Dalam beberapa detik Sam sudah berada di samping kakaknya, lengannya melingkari bahu Dean dan membantunya duduk di kursi terdekat. Sam memandangi kakaknya dengan panik campur takut. Yang menggema di pikirannya adalah permohonan: Tuhan, jangan sampai dia melahirkan sekarang. Aku belum siap!
Dean mengatur nafas dengan mata terpejam, perhatiannya terpusat pada sekitar abdomennya. Dia mencoba mendeteksi sensasi apa yang barusan terjadi di sana.
"Tenanglah, Sammy," ucapnya sejurus kemudian, tampak memahami apa yang dialaminya tadi. "Itu hanya kontraksi Braxton-Hicks," jelas Dean. "Tidak menyakitkan, aku cuma kaget."
"Ah," Sam mengangguk lega mendengar istilah yang dia ketahui maknanya itu. "Hanya kontraksi Braxton-Hicks..." Tunggu, dari mana Dean tahu... "Dean, kamu baca bukuku ya?" tuduh Sam, matanya menyipit.
Sinar mata Dean saat itu betul-betul persis bocah lima tahun yang kepergok ibunya mengambil permen lebih dari yang dijatah atau melarikan diri dari kewajiban tidur siang.
"Uh... itu..." Momen yang jarang: Dean kehabisan kata-kata.
"Pantas sudah beberapa hari ini kucari-cari buku itu tidak ada," ujar Sam, antara geli dan mangkel. "Kamu taruh di mana bukunya?"
"Di bawah bantalku," gumam Dean, rona kesumba semburat di pipinya.
Sam mendengus. Kalau mau baca, kenapa tidak bilang-bilang, sih? Kan mereka dapat membahas isi buku itu bersama-sama. Sam bahkan akan memperlihatkan jurnalnya jika perlu.
"Sudah selesai bacanya?" tanya Sam.
Dean mengangguk.
Sam beranjak menuju kamar tidur mereka, mau mengambil kembali bukunya. Dia baru sampai di dekat pintu ketika didengarnya Dean berujar, "Sekalian, deh ambilkan pistol yang di balik bantalku juga. Sudah perlu dibersihkan."
"Ya, Yang Mulia."
~*~
Kata-kata Dr. Zhang di kemudian hari terbukti kebenarannya. Yang pertama adalah soal istirahat di tempat tidur. Memasuki masa akhir trimester ketiga, Dean dengan amat sangat berat hati mesti mengakui bahwa kali ini tubuhnya sudah sukar diajak kerja sama. Kepenatan dapat menghampirinya kapan saja, tanpa tanda-tanda peringatan sebelumnya, bahkan tidak didahului oleh aktivitas yang menguras tenaga. Daripada ambruk di tempat ketika kelelahan melanda, ego pria Dean mengalah dan dia mengikuti saran Dr. Zhang untuk istirahat total di tempat tidur. Itu sudah mengurangi satu beban pikiran Sam.
Keharusan menjalani istirahat di tempat tidur menimbulkan konsekuensi kamar tidur mereka menjadi pusat segalanya dan makin penuh oleh barang-barang yang diperlukan Dean guna melewatkan waktu jika dia tengah terjaga. Sam merelakan pesawat teve bermigrasi ke kamar tidur. Dia sendiri yang menggotong benda itu plus mengutak-atik kabel dan arah antenanya. Satu rak dorong penuh panganan, kotak peralatan milik Dean, seabrek majalah dewasa, otomotif dan senjata, dan macam-macam lagi ikut memeriahkan suasana ruangan yang sudah cukup sumpek itu. Satu bulan terakhir ini insiden Sam tersandung atau menginjak sesuatu yang menyakitkan kakinya telah menjadi hal yang lumrah.
Bila Dean menjadikan kamar tidur sebagai kapal pecah, eh kerajaannya, wilayah kekuasaan Sam adalah ruang duduk dan dapur. Sesekali Sam bahkan mengungsi tidur di sofa kalau Dean sedang kumat insomnianya dan bertekad kalau dia tidak bisa tidur maka Sam juga harus ikut melek semalaman.
Kata-kata Dr. Zhang yang juga tepat adalah bahwa di tiga bulan terakhir kehamilan waktu terasa meluncur dengan cepat. Itu berlaku untuk Sam, paling tidak. Rutinitasnya tak banyak berubah, hari-harinya padat dengan macam-macam kegiatan mempersiapkan kelahiran bayi kakaknya dan pekerjaan yang kian giat dijalani sehingga waktu terasa mengalir seperti jeram yang deras. Mungkin kata-kata orang tua-tua ada benarnya bahwa seorang bayi akan membawa rezeki buat kedua orang tuanya, yah dalam kasus ini, keluarganya. Sam dengan heran mendapati penghasilan yang dibawanya pulang berlipat-lipat dan itu memicu semangatnya untuk bekerja lebih keras dan sebagai hasilnya pendapatanjuga bertambah dan seterusnya. Dia bahkan sudah berpikir untuk membuka rekening dana kuliah untuk si bayi, meneladani apa yang dilakukan ayahnya dulu. Tentu kali ini akan dipastikannya uang itu dimanfaatkan dengan benar.
Dean sendiri merasa waktu berjalan dengan aneh dan dia makin tak nyaman pada bulan-bulan terakhir kehamilannya. Dia kian gampang tersulut emosinya gara-gara sesuatu yang sepele. Perangainya hampir sama bipolarnya seperti waktu dia hamil muda. Sekali waktu puasa bicara, di lain kesempatan jadi cerewet seperti nenek-nenek.
Satu hal yang membuat Sam iba adalah bila malam tiba dan Dean tak kunjung bisa tidur karena sekujur tubuhnya terasa tidak enak. Nyeri di sini, ngilu di sana, perjalanan pergi-pulang ke kamar mandi, posisi bayi turun menekan panggul, kepanasan, tak bisa menemukan posisi yang tepat (keluh Dean, "Aku seperti paus terdampar.") dan macam-macam lagi berkontribusi pada insomnia yang dideritanya. Sungguh menyebalkan, sudah penat tapi mata tidak mau terpejam karena seluruh tubuh seakan kompak berunjuk rasa. Jika Dean sedang rada baik suasana hatinya, Sam biasanya mencoba meringankan penderitaan kakaknya. Memijat, mengompres, mengipasi, membikinkan susu campur madu, menyiapkan air mandi hangat, sampai menyalakan lilin aromaterapi dilakoni. Namun, kalau Dean kebetulan sedang kelewatan rewelnya, Sam memilih menyingkir. Pertimbangannya sederhana: kehadirannya di situ tak menolong, daripada dia sendiri yang naik darah mending hengkang saja. Itupun dia masih suka mengecek keadaan kakaknya sekali-sekali.
Kondisi macam itulah yang membuat Dean menghargai setiap kali ketidaknyamanannya mereda menjadi agak tertahankan dan dia memanfaatkan kesempatan itu untuk istirahat. Pola tidur dia akhirnya jadi rada ganjil, tapi itu lumayan daripada tidak bisa tidur sama sekali atau tidur yang tak menyegarkan.
Pada bulan terakhir kehamilannya, muncul keluhan baru dari Dean menambah daftar panjang yang sudah lebih dulu eksis. Kalau dulu dia mengaku merasa dirinya membengkak pada Dr. Zhang, kali ini terjadi pembengkakan betulan pada kaki dan tangannya. Dean hanya bisa menggerutu ketika Dr. Zhang lagi-lagi mengatakan itu normal. Menggerutunya di belakang si dokter, sebab isi gerutuannya tak layak dipaparkan pada publik.
Hal lain yang mengganggu Dean adalah kontraksi Braxton-Hicks yang menderanya. Tidak sakit, memang dan dia paham bahwa itu semacam pemanasan sebelum kontraksi yang sebenarnya, tetapi itu sering muncul dan mengagetkannya. Itulah salah satu alasan kenapa Dean akhirnya dapat dibujuk untuk istirahat total di tempat tidur, soalnya kontraksi itu kerap muncul di kala dia aktif bergerak.
Tanggal operasi yang telah ditetapkan menjadi semacam pedang bermata dua buat Dean. Di satu sisi itu berarti segala kekacauan fisik ini akan segera berakhir, ada titik terang di ujung terowongan meski kelihatannya seperti lampu kereta api. Di lain pihak, makin dekat dengan hari-H operasi kecemasannya tumbuh dan Sam mengamati kakaknya jadi sering mengasah senjata kendati semua pisau milik Dean sudah tajam berkilat, rambut akan terbelah jika nekat jatuh di bilahnya. Sam mafhum, kegiatan itu menjadi semacam sarana relaksasi buat Dean. Ada sesuatu yang menenangkan dari ritme menggosokkan batu asah ke bilah logam pisau. Itu seperti laku Zen ala Dean.
Sam sendiri berlawanan dengan kakaknya, menghadapi hari-hari menjelang operasi dengan ketenangan yang anggun. Enam kali latihan operasi telah dilalui dan dia cukup yakin bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana. Sering Sam melatih mentalnya, membayangkan setiap skenario yang dapat terjadi dan penanganannya, siaga penuh menghadapi semua kemungkinan. Pendek kata, dia menutup jalur untuk hal tak terduga. Kejutan dadakan dilarang mendekat, apalagi masuk.
Begitulah, tak terasa bulan terakhir trimester ketiga pun berlalu dan jurnal yang ditulis Sam sudah hampir penuh kini.
~*~
Sam melangkah ringan dari area parkir menuju sebuah gedung sekolah. Hari itu dia tidak perlu berkeliling mencari pembeli karena perusahaan tempatnya bekerja membuka stan di bazar sebuah sekolah menengah dan Sam ada dalam daftar pegawai yang bertugas jaga. Pagi yang cerah, udara berbau bersih, matahari menghangatkan punggung Sam dan segelas latte di tangannya, tampaknya prospek hari ini akan indah.
Sampai ponselnya mengumandangkan dering monofonik yang memecah ketenangan pagi.
Tanpa melihat nama pemanggil di layar telepon, Sam sudah tahu siapa yang menghubunginya. Agak malas dia mengangkat telepon, soalnya tadi dia dan Dean tidak berpisah secara baik-baik. Kakaknya itu masih meneriakkan omelan waktu Sam menutup (hm, kalau mau jujur, membanting lebih tepat) pintu depan. Sam sempat bimbang. Kalau dijawab dan ternyata Dean cuma mau menyambung acara marah-marahnya, kan jadi merusak suasana saja. Akan tetapi, jika tidak diangkat dan Dean benar-benar butuh bantuan atau sesuatu terjadi padanya di rumah, Sam akan merasa sangat berdosa.
Akhirnya dengan hati-hati Sam menekan tombol terima panggilan dan berkata pelan, "Apa lagi, Dean?"
Sahutan dari seberang membuat Sam terpaksa menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.
"SAMMY! KAMU DI MANA, SIH?"
Sam menaikkan volume suaranya, telepon tetap pada jarak aman dari daun telinganya. "Dean, ada apa?"
Jawaban yang didapatnya adalah serenteng sumpah serapah yang akan membuat setan sendiri jengah, disusul dengan nafas tersengal dan erangan tertahan.
Sam mulai resah. Jangan-jangan...
"Aku mengalami kontraksi, goblok! Kontraksi yang sebenarnya!" teriak Dean, suaranya terdengar aneh.
Kadang mulut bekerja lebih cepat daripada otak dan itulah yang menyebabkan Sam menjawab dengan, "Tapi jadwal operasi, kan masih dua minggu lagi."
Dean mengawali kalimatnya dengan mendesis, baru kemudian seruan, "Mana ada bayi lahir sesuai jadwal? Kalau dia putuskan mau lahir, ya lahir saja. Oh, brengsek!" Terasa ketajaman di nada suaranya yang membuat adiknya hampir dapat merasakan perih.
Sam rupanya masih menjalankan mode otomatis karena yang berikutnya dikatakan adalah, "Tenangkan dirimu, Dean. Segalanya akan baik-baik saja."
Yeah, yang benar saja, suara sarkastis di benak Sam mencemooh.
"Tenang katamu? Ada bayi mau keluar di sini dan aku tidak bisa mengeluarkannya dan kamu suruh aku tenang?" Histeris barangkali satu-satunya kata yang tepat untuk melukiskan jawaban Dean.
Kalut kini, Sam menggelengkan kepala, mengusir kabut kebingungan yang mengitari akal sehatnya. Dia berujar, "Kamu tetap di sana, aku akan segera pulang."
"Memangnya aku bisa pergi ke mana, bodoh?" lontar Dean kesal.
"Ya... pokoknya tunggu aku dan Bobby dan Dr. Zhang," Sam berkata sambil putar balik menuju Impala.
"Cepat!" sergah Dean. "Jangan sampai aku membelah perutku sendiri!" ancamnya. Bukan pepesan kosong karena Sam tahu Dean dapat saja melakukan itu kalau sudah tak tahan lagi.
"Baiklah. Oke."
Sam mengakhiri pembicaraan dengan kakaknya. Dihubunginya Bobby dan cuma dengan satu kalimat dia mengirim pria itu ke rumah mereka. Berikutnya Sam lari bertemperasan kembali ke tempat dia memarkir Impala, membuka pintu dan menghempaskan diri di kursi pengemudi. Dihidupkannya mesin mobil itu dengan kasar, sempat memohon maaf pada Impala karena perlakuannya itu (bah, ketularan Dean dia agaknya) kemudian dia memasukkan gigi dan menginjak pedal gas Impala dalam-dalam.
~*~
Mata Sam yang tajam hafal di mana letak kamera pengawas lalu lintas ditempatkan di sepanjang jalan menuju rumahnya. Oleh karena itu dia dapat menghindari acara ditilang polisi walau sejak keluar dari parkiran dia menyetir dengan ganas, mesin Impala meraung lantaran dipacu dengan kecepatan jauh di atas ambang batas yang legal. Selama perjalanan yang terasa amat panjang itu berbagai pemikiran hilir mudik di kepala Sam, menimbulkan emosi yang campur baur di dadanya. Namun, begitu dia menginjak rem dan Impala berhenti dengan bunyi berdecit di muka rumah, Sam sempatkan menghitung sampai tiga puluh, menata perasaan dan memusatkan diri. Tidak bagus kalau dirinya ikut panik sekarang. Yang dibutuhkan Dean adalah seseorang yang dapat dijadikan tumpuan.
Dengan otak sedikit lebih jernih kendati jantung tetap berdebum, Sam masuk ke dalam rumah, matanya menyisir setiap ruangan yang dilewati. Tiba di kamar tidur, Sam terbengong lantaran dia tidak melihat kakaknya di situ. Hampir dia putar badan ketika sekelebat gerakan dari balik ranjang menarik perhatiannya. Hanya butuh lima langkah panjang menyeberangi ruangan dan Sam menemukan Dean terduduk di lantai, punggungnya bersandarkan tempat tidur, kakinya terbuka dan wajahnya berkerut kesakitan.
Sam serta merta berlutut di samping kakaknya, menepuk lengan Dean dan berkata, "Dean, ini aku."
Mata hazel-hijau itu terbuka, menyiratkan penderitaan yang amat sangat, juga kelegaan melihat sosok Sam di ruang pandangnya. Kelegaan yang Sam merasa tidak pantas dia timbulkan, mengingat apa yang akan segera dilakukannya pada tubuh Dean.
"Sammy," bisik Dean lemah, lengannya menekap perutnya yang buncit.
"Ya. Ayo kita pindahkan dirimu dari lantai," ujar Sam yang mendapat anggukan samar dari Dean.
Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ternyata. Sam harus memikul seluruh bobot kakaknya, yang tidak bisa dibilang enteng sekarang, karena Dean sudah tak sanggup berdiri. Perlu dua kali percobaan mengangkat tubuh Dean karena kali pertama Sam mencoba, kontraksi datang menerjang dan reaksi Dean hampir membuat mereka berdua terjerembab ke lantai.
Akhirnya Sam berhasil juga membaringkan kakaknya di tempat tidur dan dia meraba perut Dean dengan sebelah tangan sementara dia mengamati arloji yang melingkari pergelangan tangan satunya. Sam merasakan betapa daging yang berada di bawah telapak tangannya mengeras dan mengendur, seperti memiliki nyawa sendiri. Ralat, memang ada nyawa di baliknya.
"Jarak antar kontraksi semakin dekat dan setiap kontraksi kian panjang," gumam Sam.
"Katakan yang aku tidak tahu," desis Dean di antara tarikan-tarikan nafas tajamnya.
"Sudah sejak kapan kamu merasakan kontraksi?" tanya Sam, terkejut kala Dean, tampaknya secara tak sadar, mencari dan menggenggam tangannya.
Wajah Dean sudah merah padam karena kesakitan, tetapi pipinya menjadi makin merona karena malu.
"Uh... sejak dini hari tadi," akunya enggan.
Sam memutar bola mata. Pantas pagi ini kakaknya berubah menjadi orang paling mengesalkan sedunia. Kontraksi akan membuat semua orang jadi begitu.
"Dan kamu berencana untuk memberi tahu aku kapan? Tepat sebelum kamu ambruk di lantai?" Tahu begini Sam tidak berangkat kerja tadi.
Dean mengernyit. "Cuma kamu, Dik, yang bisa menendang orang yang sudah jatuh."
Sam mengerutkan bibir dan masalah itu selesai sampai di situ. Sekonyong-konyong Sam teringat sesuatu dan dia berkata, "Dean, kamu..."
"Tidak akan menyukai ini tapi aku harus mengatakannya. Ya, aku sudah tahu. Apa?" potong Dean.
Muka Sam jadi memerah ketika dia menyahut ragu, "Uh... aku perlu mengecek... kau tahulah, di bawah sana." Sam buru-buru meneruskan, "Siapa tahu ada jalan lahir yang terbentuk secara gaib, hal-hal semacam itu."
Dean mengerutkan wajah, antara menahan sakit dan menganggap ide adiknya itu mengerikan. "Dan ketika aku berpikir ini tidak bisa jadi lebih buruk lagi..." ucapnya sebal. "Ya, kalau memang harus, lakukan. Tapi cepat!" putusnya.
Sam mulanya memakai satu tangan saja buat menurunkan celana kakaknya, tetapi dia mengalami kesulitan dan kemudian menarik tangan sebelahnya dari genggaman Dean.
"Angkat sedikit bokongmu," perintahnya.
Dean manut, dengan komentar, "Sepertinya kamu menikmati ini."
Jauh, pikir Sam, jauh dari itu. Dengan mental disetel sebagai ilmuwan dia menilik selangkangan kakaknya, tidak menemukan apapun selain onderdil yang memang sudah kodratnya ada di sana. Satu hal lagi yang tak ingin diketahuinya tentang Dean.
"Sudah kelar inspeksinya?" celetuk Dean.
Sam mengembalikan celana kakaknya ke posisi semula. "Tetap pada rencana semula. Operasi," ucapnya.
Gelombang kontraksi selanjutnya menerpa dan Dean tak dapat berbuat lain kecuali berpegang pada tangan Sam yang memang menyediakan diri, sesekali lenguh kesakitan lolos dari mulutnya.
"Atur nafasmu," saran Sam, pernah didengarnya kalimat itu diucapkan di film-film.
Di sela rasa mulas, Dean menyahut, "Rasanya sudah terlambat untuk daftar di kelas Lamaze ya."
Mau tak mau Sam menyeringai. Pada saat seperti ini kakaknya masih saja bisa berseloroh. "Aku tidak yakin mereka menerima murid pria," demikian tanggapan Sam.
Satu siklus kontraksi lagi dan Dean terengah-engah berkata, "Aku tidak tahu bagaimana cewek bisa menghadapi ini semua."
"Entahlah. Tapi perempuan memiliki ambang batas rasa sakit yang berbeda, begitu yang kutahu. Mereka dirancang untuk bertahan terhadap sakit bulanan dan saat melahirkan," terang Sam.
"Aku salut pada mereka," ujar Dean pendek.
"Yeah." Sebagai pria yang juga mampu menanggung ini semua, aku pun salut padamu, pikir Sam.
Kali berikutnya kontraksi dahsyat datang, yang berteriak kesakitan bukan hanya Dean, melainkan juga Sam yang mendapati cengkeraman Dean nyaris meremukkan tangannya.
Menit-menit berjalan seolah tidak ada akhirnya buat Dean. Kontraksi demi kontraksi merobek tubuhnya, susul menyusul seakan tak berhenti sampai dia hancur menjadi kepingan. Dia hanya dapat berbaring pasrah, tubuhnya menggeliat liar dirajam rasa sakit yang berpusat di abdomennya. Dean sampai membatin, apakah neraka itu menyiksa seperti ini. Dia yang tadinya berupaya agar tak bikin ribut, kini mengabaikan segala tuntutan jender dan tanpa ragu berteriak bila sakitnya terasa tak tertahankan.
Sam sendiri hampir sama tersiksanya. Dia hanya dapat menyaksikan kakaknya tergolek tak berdaya, benar-benar berharap andai rasa sakit itu bisa dibagi, dia bersedia mengalaminya. Namun, untuk saat ini dia tidak bisa melakukan banyak hal, masih menunggu kedatangan Dr. Zhang dan Bobby. Sam lalu berusaha berbuat semampunya untuk membantu kakaknya. Disekanya keringat yang membanjiri pelipis Dean, diusapnya tangan Dean yang menggenggam tangannya, dilantunkannya sederet kata-kata penenang yang tanpa makna berarti, tapi bisa mengalihkan perhatian Dean untuk sementara.
Suara mesin truk di luar sana hampir terlewatkan oleh Sam, tapi langkah-langkah kaki bergegas yang mendekat membuatnya berpaling ke pintu kamar. Di sana ditemukannya Bobby yang berhasil masuk ke rumah entah karena Sam tadi lupa mengunci pintu atau Bobby sendiri yang mengakali kunci pintu mereka, Sam tak peduli. Separuh bebannya terangkat begitu dia melihat pria itu. Namun, matanya masih mencari satu sosok lagi di belakang Bobby dan sinar kecewa muncul kala orang itu tidak juga tampak.
Bobby yang mengikuti arah pandangan Sam berkata, "Yah, tentang itu, sepertinya aku membawa berita buruk."
"Jangan katakan..." Cemas mengaliri hati Sam.
"Yeah. Dr. Zhang tidak bisa datang untuk mengoperasi kakakmu. Dia di Utah sekarang, menghadiri pemakaman familinya. Aku tadi ke tempatnya dan dia tak ada, hanya menitip pesan padaku untuk mengambil peralatan operasi," papar Bobby.
"Bagus," dumal Dean, "aku akan dibedah oleh dua amatiran."
"Kamilah satu-satunya pilihanmu, jadi terima sajalah," tanggap Bobby. Dilihatnya ekspresi tegang dan pucat wajah Sam dan dia berkata, "Tenang, Sam. Kita sudah pernah melatih ini, kan? Jalankan sesuai rencana, oke?"
Sam mengangguk kaku.
"Sekarang, aku perlu kamu untuk mengangkut sisa peralatan operasi yang masih di mobilku, sebagian sudah kutaruh di ruang depan, ke kamar bayi. Setelah itu tolong kamu siapkan kamar itu untuk operasi sementara aku di sini memeriksa kakakmu dan mengganti pakaiannya dengan gaun operasi," perintah Bobby.
Sam melepaskan tangannya dari Dean, merasakan darah kembali mengalir ke organ yang kebas itu. Dia lekas berlari ke mobil Bobby, menurunkan tas dan kotak-kotak di bak truk lalu membawa semuanya ke kamar bayi. Sam kemudian mulai menyulap kamar bayi menjadi kamar operasi darurat sesuai dengan yang direncanakan bila tempat Dr. Zhang tidak memungkinkan. Dia memasang dan menyalakan lampu ultraviolet, menyemprotkan desinfektan, memasang seprai baru di tempat tidur, menaruh tiang infus dan tabung oksigen di sampingnya. Peralatan operasi yang sudah disterilkan dijajarkannya satu per satu dalam keadaan masih terbungkus rapat di sebuah baki yang diletakkannya dalam jangkauan tangan. Dia lalu berlari ke dapur untuk merebus air.
Dalam perjalanan kembali ke kamar operasi didengarnya seruan Bobby, "Jangan lupa persediaan darah di dalam kabin!"
Sam tidak tahu dan tidak ingin tahu bagaimana Dr. Zhang dapat memperoleh stok darah, tetapi dia bersyukur karena dokter itu melakukannya. Kantung darah dalam kotak pendingin di kabin truk dibawanya pula ke kamar operasi. Yang dikerjakan selanjutnya adalah berganti pakaian dengan baju operasi.
Sam juga tak menyadari tujuan sesungguhnya Bobby menyuruh-nyuruh dirinya. Pria itu tadi melihat ekspresi Sam waktu dia pertama masuk ke kamar tidur dan dalam sekejap dia tahu bahwa Sam sudah berada pada titik hampir panik. Beberapa lama lagi ditinggal bersama Dean dan dia akan kehilangan ketenangannya. Bobby tidak membutuhkan asisten yang emosional, karena itulah dia memberi Sam pekerjaan, suatu hal untuk dia berfokus, kesempatan mendinginkan kepala sebelum kembali terjun ke medan perang. Sam terlalu terlibat dan dia perlu berjarak agar dapat menjalankan tugas yang dituntut darinya.
Tujuan Bobby tercapai karena Sam yang kembali ke kamar tidur terlihat lebih siap.
Kembalinya Sam itu bersamaan dengan rintihan minta ampun yang terlontar dari mulut Dean dan bahwa dia kapok, tidak mau punya anak lagi. Bila situasinya tak segenting ini, Sam pasti sudah tergelak.
Bobby mencopot stetoskop yang menggantung di telinganya dan berkata, "Aku akan cuci tangan dan kenakan pakaian operasi. Kamu bisa membawa kakakmu ke kamar operasi sendirian atau perlu bantuanku?"
"Pergilah. Biar kubawa dia," tandas Sam.
"Hei, jangan bicarakan aku seolah aku tidak di ruangan ini," protes Dean lemah.
"Baik. Aku langsung ke kamar operasi," ucap Bobby sebelum melangkah keluar.
"Siap, Dean?" Sam menghampiri ranjang kakaknya.
Dean tersengal. "Tunggu sebentar," pintanya.
Sebentar itu berarti enam puluh detik untuk satu kontraksi hebat diiringi teriak kesakitan plus litani cacian yang meluncur dari mulut Dean. Sam menggelengkan kepala. Kakaknya benar-benar cerkas merangkai kata-kata makian yang inventif dan orisinil.
"Ya, sekarang," kata Dean kemudian saat jeda antar kontraksi.
Sam mengambil ancang-ancang, merasa seperti atlet yang bersiap melakukan angkat beban di sebuah kejuaraan. Diselipkannya lengan di bawah lutut dan pangkal lengan Dean, dihelanya tubuh kakaknya ke atas dengan sekali angkat, punggungnya tegak, tapi lututnya bekerja keras seperti katrol. Dean secara otomatis melingkarkan lengan di leher adiknya, berpegang erat dan membiarkan dirinya digendong seperti cewek di film-film. Sementara Sam dapat merasakan hembusan nafas panas Dean yang memburu di sisi lehernya dan dia bersicepat melangkah ke kamar operasi, tempat pertunjukan besar akan dimulai.
Setiba di kamar operasi, dengan hati-hati Dean dibaringkan di atas tempat tidur yang sudah disiapkan. Bobby bertugas menancapkan jarum infus ke pembuluh darah di punggung tangan kiri Dean, Sam yang menggantung kantung infus di tiangnya. Tusukan jarum di tangan itu tidak mendapat respons dari Dean, barangkali nyerinya tak sebanding dengan rasa sakit di perutnya.
Kelar memasang infus, Bobby berujar, "Kateter."
"Apa? Kalian tidak bilang apa-apa soal kateter sebelumnya!" Dean sempat-sempatnya memprotes.
"Kamu mengalami kontraksi hebat dan mengomel soal kateter?" kata Bobby.
Sam yang sudah menyiapkan selang kateter berkomentar, "Di buku, kan dijelaskan tentang itu."
"Aku pasti melewatkannya," balas Dean.
Adiknya mengirimkan tatapan minta maaf sekilas, menyibak gaun operasi yang dikenakan Dean dan memasang kateter pada organ yang menjadi tujuannya. Sekali ini ada reaksi dari Dean yang berupa gerundel tak jelas yang Sam tidak mau susah payah menangkap maknanya.
"Siapkan anestesi, Sam," kata Bobby pendek, dia menghadapi serangkaian instrumen logam yang telah dijajarkan Sam, memeriksa kesterilannya.
Sam meraih ke dalam salah satu tas yang dibawa Bobby, tak lama satu ampul obat dan jarum suntik baru tergenggam di tangannya.
"Bagus," gumam Dean mendengar kata "anestesi". "Injeksi aku segera," katanya, "bius total juga tidak apa-apa."
"Tidak," sahut Sam. "Tidak bius total. Tingkat komplikasinya lebih tinggi. Kami ingin kamu tetap sadar sepanjang operasi. Ini hanya akan mematirasakan daerah perut ke bawah."
"Terserah. Pokoknya apa saja untuk menghentikan ini." Dean meremas seprai di sekitar tangannya, sebentar saja kain itu sudah kuyup oleh peluh.
Sam mengenakan sarung tangan, memindah isi ampul obat ke tabung suntikan dan berkata, "Bobby, tolong miringkan dia."
Pria yang lebih tua itu memposisikan diri di samping Dean, tangannya memutar tubuh Dean ke arahnya sehingga punggung Dean terekspos. Sam maju dengan jarum suntik di tangan, ditatapnya daerah tulang belakang kakaknya dengan kalkulatif, mengenyahkan pikiran bahwa dia akan menginjeksi kakaknya dengan obat bius. Berulang kali dipaksakannya diri untuk merapal: ini hanya seperti latihan menyuntik, lakukan saja.
Sam menentukan mana lokasi yang harus dituju si jarum, mengolesi daerah tersebut dengan alkohol dan dengan mengucap doa singkat menghunjamkan jarum suntik ke punggung kakaknya, mengirimkan pereda rasa sakit yang dibutuhkan Dean.
Efeknya tampak beberapa menit kemudian. Kerut-kerut di wajah Dean memudar, digantikan mimik yang lebih lega. Dia juga berhenti menggeliat, berbaringnya tenang kini, pertanda rasa sakit yang menderanya perlahan melenyap dari jangkauan perasanya. Kali ini untuk jangka waktu yang lebih lama, lebih permanen ketimbang sekadar jeda antar kontraksi.
"Puji Tuhan," bisik Dean berterima kasih.
Sam dan Bobby tersenyum. Satu tahap telah dilalui dan mereka siap melangkah ke yang selanjutnya. Mata keduanya bertemu dan masing-masing menemukan kecemasan di mata yang lain, tetapi tekad dan keyakinan yang terpancar lebih kuat. Mereka harus melakukan ini, tidak hanya demi Dean, melainkan juga untuk bayi yang ada dalam kandungannya. Mereka adalah harapan terakhir.
Bobby mengangguk dan Sam membalasnya. Ada komunikasi tanpa kata yang mengalir di antara mereka. Perasaan senasib, kewajiban yang mempersatukan mereka dengan cara yang berbeda ketimbang sebelumnya.
Seperti ada dirigennya, Sam dan Bobby bergerak sinergis mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Sam akan bertindak sebagai asisten dan penata anestesi sedangkan Bobby-lah yang berperan jadi dokter di sini.
Gaun operasi yang dikenakan Dean diangkat sampai ke batas dada, kain steril dibentangkan di atasnya dengan lubang yang tepat berada di perut Dean. Baik Sam maupun Bobby mengenakan masker dan penutup kepala. Sam kemudian memulaskan larutan antiseptik di bagian yang bakal dibedah oleh Bobby.
"Kamu pilih potongan yang seperti apa, Dean?" tanya Bobby mencoba meringankan suasana.
"Entahlah. Pilihannya apa?"
"Potongan bikini yang mendatar, atau potongan yang vertikal," Bobby mengajukan alternatif.
Dean menyeringai. "Yang bikini." Dia mengangkat alis, "Mestinya kalian putar musik, suasananya muram sekali di sini. Tampang kalian berdua apalagi."
Bobby menyahuti, "Oke. Saranmu kami tampung untuk operasi berikutnya." Dia lalu berpaling ke meja tempat baki berisi alat operasi berada, membuka bungkus salah satu dari instrumen itu.
Dean mengawasi tindak-tanduk Bobby dan dia tahu sebentar lagi pembedahan akan berlangsung. Dengan tangannya yang bebas, Dean mencekal pergelangan tangan Sam yang tengah membetulkan aliran infus.
"Sam," ucap Dean penuh tekanan, "aku percaya padamu." Dia menatap adiknya serius. "Aku dan bayiku percaya kalian berdua. Aku ingin kalian ingat ini. Jika nanti terjadi sesuatu denganku dan kalian harus memilih antara dia atau aku, tolong," sorot mata memohon Dean membuat lutut Sam lemas, alarm peringatan berdentang di otaknya, "jangan pikir panjang dan selamatkanlah dia."
Sam menyela, "Tapi Dean..."
"Selamatkan dia," ulang Dean, meremas tangan adiknya kuat-kuat seolah ingin meninggalkan jejak di sana. "Berjanjilah padaku."
Menghadapi permintaan terakhir seperti ini, bagaimana Sam bisa berbuat selain mengangguk? Dia mengiyakan walau dalam hati dia menjerit bahwa ini tak adil.
"Bobby?" Dean minta kepastian dari yang seorang lagi.
Pria itu terlihat lebih tua ketika dia menyatakan janjinya.
Dean terlihat lega karenanya. Dengan senyum sekilas di bibirnya, dia melanjutkan, "Tapi jika kalian sudah memilih menyelamatkan bayiku, pastikan bahwa dia hidup. Jangan sampai dia menyusulku atau akan kuhantui kalian berdua," ancamnya setengah bercanda.
Hantui saja kami, batin Sam, jika itu berarti aku dapat bertemu denganmu lagi setelah kematianmu.
Air mata tanpa dapat dicegah membayang di pelupuk mata Sam. Terasa seperti ada parang es yang menujam dadanya ketika dia tersadar akan kefanaan Dean. Ada kemungkinan kakaknya tidak dapat selamat dari ini dan memikirkan hal itu membuat kepedihan mengaliri setiap jengkal tubuh Sam. Kesedihan yang datang berbarengan dengan pikiran bagaimana dia akan menjalani hidup tanpa kakaknya.
Tidak. Dia tidak mau mengucapkan kata perpisahan sekarang. Tidak di sini dan tidak dengan cara seperti ini. Dia akan memastikan itu.
"Aku akan mulai membedah, Sam," ucapan Bobby menyentakkan Sam kembali ke situasi yang dihadapi.
Sam mengangguk kaku, matanya terpancang pada skalpel di tangan Bobby. Ada sesuatu yang hipnotik dari pisau bedah itu. Logamnya berkilau menangkap dan memantulkan cahaya. Kilatan sekilas yang muncul sewaktu Bobby mengamati pisau itu sejenak sebelum mengarahkan sisi tajamnya ke kulit Dean yang terbuka.
Itulah hal terakhir yang dilihat Sam sebelum dunianya menjadi gelap.
~*~
BERSAMBUNG
Chapter 9
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar