~*~
Suara klakson mobil membuat Sam mengalihkan perhatian dari piring-piring yang baru saja dikeringkannya. Dilemparkannya pandang ke luar jendela dan dia menemukan lampu Chevelle Bobby menyorot ke arah beranda. Sam mengelap tangannya dan beranjak ke ruang depan. Di perjalanan didapatinya Dean tergeletak di atas sofa ruang tengah, ketiduran sewaktu menyaksikan acara siaran ulang pertandingan baseball. Dengan hati-hati Sam menarik afgan yang tersampir di sandaran sofa dan menyelimutkannya pada Dean. Dipandangnya Dean sebentar, kalau dia bangun Sam akan berpamitan. Namun, Dean begitu pulas dan Sam tidak ingin mengganggu kenikmatan tidur kakaknya yang jarang itu. Dia meraih jaket dan tasnya lalu keluar lewat pintu depan.
"Bagaimana Dean?" kalimat itu yang pertama terucap dari mulut Bobby begitu Sam menghempaskan bokong di kursi penumpang.
"Padam seperti lilin ditiup," sahut Sam.
"Pukul sekian ini sudah tidur?" Bobby memutar mobilnya ke arah jalan besar.
"Yeah. Tadi tidak tidur siang lantaran kelewat asyik mengutak-atik senapan Remington antik dengan barel ganda yang temanmu minta betulkan itu, jadi inilah kompensasinya," terang Sam.
"Kamu sendiri bagaimana?"
Bobby tak mengatakan sesuatu jika dia tidak memaksudkannya dan karena itulah pertanyaan yang dilontarkan dengan nada yang sebenarnya kasual itu membuat dada Sam sejenak sesak oleh haru. Ada orang yang menanyakan kabarnya dan cukup tulus untuk menunggu jawaban darinya. Ada orang yang bertanya tentang dia setelah beberapa lama yang jadi objek perhatian hanya Dean dan bayinya. Ada orang yang peduli.
Sam mengakui dengan enggan, dia memang egois. Dia biasa memandang seolah dunia mengorbit padanya, atau paling tidak keluarga Winchester yang begitu. Besar sebagai si bungsu, yang termuda dalam keluarga, membuat dia cenderung terfokus pada dirinya sendiri, mimpi dan hidupnya sendiri. Tambahan lagi, Dean secara tak langsung menyuburkan perspektif itu dengan mencurahkan segalanya bagi Sam. Dean biasanya mundur ke garis belakang, dia seperti pekerja di balik panggung sementara yang dilimpahi cahaya lampu terang adalah Sam. Begitulah dinamika persaudaraannya dengan Dean dan Sam sudah terbiasa dengan kondisi demikian. Kehamilan Dean kemudian membalikkan posisi mereka.
Hampir setengah tahun terakhir ini Dean menjadi pusat segalanya. Pikiran dan tindakan Sam seluruhnya digerakkan oleh kondisi kakaknya. Sam tidak mempermasalahkan itu. Dia menjalaninya dengan ikhlas, demi rasa sayang pada saudaranya semata wayang. Namun, sesekali tetap juga terlintas di benaknya, mengapa situasinya menjadi berbalik di antara Dean dan dirinya, juga terbersit keinginan untuk menjadi yang diperhatikan seperti biasanya. Keinginan yang jika muncul ditekannya karena ada bagian otaknya yang mengatakan itu tak patut, tetapi gemanya tetap menghantui kisi-kisi hatinya.
Lama juga Sam tercenung tanpa menyahut sampai Bobby menowel lengan pemuda itu.
"Hei, Sam. Kamu masih di situ?" gugahnya.
Sam tergeragap. "Uh, ya, aku... aku baik-baik saja." Sejurus kemudian ditambahkannya, "Terima kasih sudah menanyakan." Kalimat klise, tapi maknanya terasa dalam bagi Sam.
Bobby menggumam, matanya sekilas menangkap ekspresi merenung Sam dan bertanya-tanya apa yang dipikirkan anak itu.
Sam bertanya untuk mengatasi kecanggungan. "Hei, menurutmu apa yang akan kita lakukan nanti di tempat Dr. Zhang? Dia tidak mau bilang soal detilnya padaku."
Pembicaraan di zona aman, tapi Bobby mengikuti. "Kalau mengenal A Long," Bobby menyebut panggilan akrab Dr. Zhang, "dia bakal mulai dengan sesuatu yang paling dasar dan sederhana. Aku bertaruh sekerat bir bahwa dia cuma mau memperkenalkan alat-alat operasi dan cara mensterilkannya malam ini," duga Bobby. "Jantungku sampai berdebar-debar karenanya," tambahnya sarkastis.
Sam tersenyum. "Kukira kita akan langsung berhadapan dengan... entah makhluk malang apa yang harus kita potong-potong."
"Tidak. Paling malam ini baru sesi pemanasan. Aku tidak akan heran kalau nanti A Long memberi kita tes, menguji sejauh mana kita belajar anatomi. Rada pedantik, dia itu," hampir Bobby keceplosan menambah "seperti kau".
"Hm, aku dulu sempat heran bagaimana dia bisa tahu banyak soal kehamilan. Namun, aku lantas menerka bahwa dia suka belajar, bahkan lebih dari yang diperlukannya untuk bekerja," timpal Sam.
"Kalau pengetahuannya tentang kehamilan itu karena ada beberapa pemburu perempuan yang pernah jadi pasiennya. Yah, kamu tahu sendiri, kebanyakan pemburu itu bisa makan hari ini saja sudah bagus. Jadi tidak ada yang namanya anggaran cek kandungan rutin ke dokter. A Long adalah yang paling dekat dengan paramedis yang bisa mereka bayar," Bobby menjelaskan.
Sam menyandarkan kepala ke sisi pintu. "Mestinya kamu katakan itu pada Dean dari awal. Susah juga membuat dia percaya pada Dr. Zhang."
Bobby terkekeh. "Anak itu harus belajar percaya pada orang lain dengan caranya sendiri."
"Terima kasih atas kebijaksanaanmu," sindir Sam yang memancing dengusan Bobby. Sam kemudian bertanya, "Eh, omong-omong, kamu tahu di mana aku bisa membeli perlengkapan bayi yang murah?"
Bobby memandang Sam agak lama sampai Sam melirik-lirik jalanan dengan cemas. "Nak, aku tahu referensi dan pergaulanku luas, tapi yang satu itu di luar kemampuanku," akhirnya Bobby menjawab.
"Siapa tahu ada teman dari temannya temanmu atau apalah..." Sam membiarkan kalimatnya menggantung.
"Sayang sekali," Bobby menggeleng. "Situs panduan belanja lokal akan lebih berguna dariku dalam hal ini. Lagipula, kapan, sih HPL-nya?"
Sam mau tak mau nyengir. Rupanya yang membaca buku tentang kehamilan tidak hanya dia.
"Konsepsinya saja tak jelas," ada nada geli di suara Sam. "Dr. Zhang hanya dapat memberi perkiraan amat kasar. Sekarang sudah jalan tujuh bulan, ya tinggal sekitar dua bulanan lagi, begitu."
"Kamu ingin ini segera berakhir, eh Sam?"
Percayakan pada Bobby untuk menangkap nuansa sehalus itu.
"Aku tidak..." Sam tiba-tiba merasa konyol. "Entahlah. Kadang aku masih berharap satu hari aku terbangun dan mendapati semua ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang. Namun, ada bagian diriku yang rasanya bisa menjalani hidup seperti ini. Dean dan aku dan keluarga kecil kami. Ini pilihanku dan aku mesti bisa membuatnya tertanggungkan, bukan?"
Bobby menatap Sam sekilas, menemukan kombinasi kerapuhan seorang remaja dengan tanggung jawab pria dewasa, terlalu dewasa untuk usianya yang baru genap dua puluh tahun itu. Namun, Sam sejak dulu memang begitu.
"Apa menyadari bahwa ini adalah pilihan lantas membuat semua jadi lebih sulit? Maksudku, bila ini takdir, kamu tidak bisa berbuat apa-apa mengenainya, kan?" selidik Bobby hati-hati.
"Segalanya adalah tentang pilihan, Bobby," tandas Sam. "Dan aku sudah menentukan. Aku tidak menyesal karenanya."
"Hm, aku baru ingat, apa ini ada kaitannya dengan surat dari Stanford yang kaurahasiakan dari kakakmu itu?" tanya Bobby.
Sam menghela nafas. "Yeah. Aku perpanjang cuti kuliahku." Dia meringis, "Dean akan mendonder aku habis-habisan kalau dia tahu, tapi itu masalah nanti. Kita pikirkan jika sudah waktunya. Aku lakukan itu karena aku ingin mendampingi Dean sampai anaknya lahir dan sesudahnya. Aku ingin hadir untuknya, menjadi pilar untuknya bersandar karena aku tahu dia tidak bisa menjalani ini sendirian. Aku berhak untuk itu."
"Jangan jadi pilar," sanggah Bobby. Menilik tatapan heran Sam padanya, dia meneruskan, "Jadilah seorang saudara saja."
Sorot mata Sam melembut mendengarnya.
"Ah, kalian para Winchester, selalu terlibat dalam masalah pelik," ucap Bobby menggelengkan kepala, "tapi kalian seperti kucing, senantiasa mendarat pada keempat kaki." Aku yakin kalian berdua dapat melaluinya.
Sam tersenyum sekilas. "Dan jangan lupakan sembilan nyawa." Terima kasih, Bobby.
~*~
Latihan operasi pertama ternyata berlangsung tepat seperti yang diperkirakan Bobby, minus kuis tertulis dari Dr. Zhang. Sam mengira latihan kali kedua akan mirip dengan itu, tetapi dia keliru berat. Dr. Zhang yang terkesan dengan pengetahuan kedua calon asisten ilegalnya itu memutuskan untuk langsung saja beranjak ke sesi yang berdarah-darah, secara harfiah. Walhasil, Sam terpaksa meminjam kaus pada Bobby untuk pulang lantaran bajunya sendiri sudah masuk kategori tak layak buat dicuci lagi (lebih pas langsung dibakar) dan dia pakai acara menumpang mandi di tempat Dr. Zhang. Latihan kedua itu sungguh menguras tenaga dan kapasitas mental, karenanya setiba di rumah Sam langsung pulas begitu ambruk ke kasur.
Entah disebabkan oleh apa, dia membuka mata dengan bingung, mendapati dirinya tertelungkup di ranjang dalam kamar tidur yang temaram hanya diterangi cahaya bulan separuh. Agak disorientasi awalnya, tapi setelah ingatannya menjelas, Sam melirik jam beker di meja samping tempat tidur. Angka digital itu menunjukkan pukul dua tiga puluh dua dini hari. Memutar kepala, Sam menyipitkan mata untuk menilik ranjang sebelah. Perlu beberapa jenak baginya untuk memisahkan antara gundukan selimut dan bantal dalam gelap sebelum menyadari bahwa di sana tidak ada tubuh kakaknya.
Sam membalikkan badan, berpikir paling-paling Dean ke kamar mandi, mengosongkan kandung kemihnya untuk yang kesekian kalinya malam itu. Namun, tiada suara dari dalam kamar mandi dan tidak munculnya Dean dari sana mematahkan dugaan Sam. Kantuknya mendadak hilang, Sam beranjak bangkit dan melangkah keluar kamar.
Dia berjalan sampai ke dapur dan hidungnya menghidu aroma manis susu coklat yang mengambang di udara, serta dilihatnya panci kecil yang masih bertengger di atas kompor, asap mengepul halus di atasnya, tetapi tak ada Dean. Sam menengok ke ruang depan dan ruang duduk, sama nihilnya. Pintu depan dan belakang masih terkunci, dia memastikan itu sebelum berputar menuju ke kamar tidur tak terpakai yang terletak agak di belakang rumah. Kamar bayi, begitu Sam menjulukinya dalam hati.
Sam tiba di depan pintu kamar bayi yang setengah terbuka, hampir yakin akan menemukan kakaknya di sana. Dia melongokkan kepala di celah pintu dan apa yang didengarnya membuatnya mengurungkan panggilan nama Dean yang sudah di ujung lidahnya.
"Jadi kamu tidak suka musik rock lagi, huh? Jangan bilang kamu ketularan selera payah paman Sam-mu," ujar Dean.
Sam mengerutkan kening bingung. Dikiranya Dean menelepon seseorang atau punya kebiasaan baru mengeksternalkan dialog internalnya, sampai kemudian dia mafhum bahwa Dean tengah berbicara pada makhluk tak terlihat: bayinya.
"Ayolah, lagu itu, kan favoritku. Er, favoritku bersama 'Ramble On' sebenarnya, aku tidak bisa memutuskan mana yang lebih kusukai, tapi itu, sih soal teknisnya saja. Coba dengarkan dulu. Aku, kan harus mengajarimu soal musik yang bagus sebelum kamu keluar dan dikontaminasi pamanmu yang suka musik emo."
Selama lima menit berikutnya Sam disuguhi adegan yang membuatnya tercengang dan tidak ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Duduk di kursi goyang (benda yang menuai protes Dean sewaktu Sam membawanya pulang), menghadapi jendela terbuka, Dean berayun santai dengan jemari terjalin di sebuah mug yang isinya disesap sesekali. Dari mulut Dean mengalun bait-bait dari "Travelling Riverside Blues", lagu yang sudah tak terhitung lagi Sam mendengar dinyanyikan kakaknya, tetapi kali ini ada yang berbeda dari cara Dean membawakannya. "Lembut" adalah kata pertama yang melintas di benak Sam meski dia tahu kata itu biasanya tidak lazim diasosiasikan dengan kakaknya dan lagu Led Zeppelin itu.
Kelar satu lagu, Dean berkata, "Dengar sendiri, kan? Itu lagu yang... Ow!" Dean mengusap perutnya, "Sialan. Aku tahu kamu suka, tapi antusiasmemu itu menyakitkan bagiku. Kenapa kamu tidak dengarkan lalu diam seperti dulu, eh?"
Sam mendengarkan dengan amat tertarik campur terhibur kini. Dia beringsut maju perlahan, bersyukur akan kaki telanjangnya yang tak berbunyi di atas lantai kayu, merapat ke ambang pintu.
Dean memandang ke luar jendela dan mengusap keringat di dahinya. "Huh... panasnya seperti di dalam oven kremasi," gumamnya.
Panas? Sam justru merasakan sejuk udara merambati tubuhnya yang cuma berbalut selapis pakaian. Barangkali orang hamil punya termometer internal dengan skala yang berbeda. Lalu, kalau dia kepanasan, kenapa Dean malah membuat susu hangat?
Pertanyaan itu tak terjawab sebab ocehan Dean kini berganti topik.
"Dari situ mungkin kamu tak bisa melihatnya, tapi di luar sana, pamanmu dengan ceroboh memarkir kekasihku begitu saja. Oke, aku tahu dia lelah dan buka-tutup pintu lumbung, sungguh tidak pantas disebut garasi bangunan itu, rada susah. Tapi setidaknya dia bisa memasang selubung mobil, kan?" omel Dean. "Kalau saja kamu lebih enteng dibawa-bawa, sudah kupasang sendiri."
Sam diam-diam merasa agak kurang enak hati karenanya.
"Impala itu layak diperlakukan seperti ratu, kau tahu? Dia cantik sekali, nanti kaulihat sendiri kalau sudah keluar dari perutku. Dia mobil paling keren sedunia, jangan biarkan orang lain mengatakan sebaliknya. Bodinya tak cuma sedap di mata, tapi dia juga amat kuat. Jangan dibandingkan dengan mobil bikinan sekarang yang... huh, disenggol sedikit juga sudah meleot." Dean menghirup susu coklatnya lalu melanjutkan, "Aku pernah menabrak rusa, dulu waktu umurku baru lima belas. Bempernya hanya gores sedikit, tidak ada penyok sama sekali." Dia berdecak. "Itu baru besi."
Sam terbengong, memutar memorinya ke belakang. Rasa-rasanya insiden itu belum pernah sampai ke telinganya. John sama cerewetnya soal Impala dengan Dean. Jika dia tahu soal itu, Dean pasti didamprat dan dihukum. Karena Sam tidak merasa ingat John memarahi Dean karena itu, berarti kejadian itu juga tak diketahui ayahnya.
Beberapa kalimat yang dikatakan Dean terlewat oleh Sam. Yang berikutnya terdengar adalah, "Aku janji akan ajari kamu menyetir begitu kamu cukup tinggi. Kalau melihat gen Winchester, sih paling sebelum tamat SMP kamu sudah bisa. Bobby punya banyak mobil bobrok yang bisa dipakai latihan, sebelum kamu boleh pegang Impala." Dean mengusap perutnya dan tertawa pelan. "Ya, ya. Aku tahu. Kamu anakku dan semua itu, tapi maaf, tidak ada kata negosiasi kalau sudah menyangkut Impala."
Sam mencatat dalam hati untuk mencegah Dean mengajari anaknya mengemudi sebelum cukup umur. Dia punya sangkaan bahwa pada kesempatan lain yang mirip dengan ini, Dean menjanjikan akan melatih anaknya menembak atau main poker atau minum bir, atau... kemungkinannya banyak sekali, yang jelas sebelum si anak mencapai usia cukup dewasa untuk semua itu. Sam geleng kepala, memahat janji untuk menghalangi hal itu terjadi.
Dari Impala, Dean berbincang tentang senjata yang sedang ditanganinya. "Senapan sawed off Winchester, seperti yang dipakai Steve McQueen dalam 'Wanted Dead or Alive'. Karena larasnya dipotong, akurasinya berkurang. Aku tidak akan pakai itu untuk jarak jauh, tapi keren juga membayangkan senapan itu tergantung di sabuk pistol yang pas di paha. Tahu tidak, aku merasa seperti koboi waktu memegang senapan itu," ujar Dean antusias.
Sam tersenyum diam-diam, ingat tampang serius kakaknya setiap kali berhadapan dengan senjata dan ekspresinya yang mirip bocah cilik di toko permen saban menemukan senjata antik.
"Bukan koboi yang menggembala sapi, tentu saja," lanjut Dean, "melainkan koboi daerah Barat Liar yang berpetualang dan memburu penjahat. Dulu aku pernah berpikir bahwa aku, Sam, ayah... atau lebih tepat kusebut kakekmu, kami bertiga seperti koboi modern. Berkelana di seluruh penjuru Amerika, mengejar makhluk jahat. Kalau koboi zaman dulu menunggang kuda, kami naik Impala. Tapi lebih asyik jadi koboi zaman dulu, setelah kupikir-pikir. Zaman dulu kepolisian belum kenal komputer dan kamera pengawas. Belum ada kartu kredit yang bisa ditipu, sih, tapi jual keahlian lebih gampang."
Bayangan Dean memakai kemeja kotak-kotak, topi lebar, scarf di leher dan pistol di pinggang, menunggang kuda membuat Sam geli.
Lima belas menit berikutnya membuat Sam lebih banyak tahu tentang kakaknya dibanding setahun berkendara bersama. Dean terus berceloteh, apa saja yang terlintas di benaknya langsung diucapkan tanpa sensor. Percakapan itu hanya berlangsung satu arah di mata Sam, tapi Dean menganggap setiap tendangan atau gerak mengguling si bayi di perutnya adalah respons balasan dan dia senang karenanya.
Sam jadi tahu bahwa Dean main T-ball sampai usianya empat tahun dan itulah yang mengawali kegemarannya pada baseball. Seandainya hidup Dean adalah film, dia ingin menjadikannya seperti film "Porky's II", film yang Sam tidak mengerti di mana letak bagusnya. Kuping Sam sampai jadi sama merah dan panas dengan wajahnya sewaktu Dean mengisahkan akhir pekannya di loteng seorang instruktur yoga bernama Lisa Braeden. Andai dia tidak berniat menguping, pastilah Sam sudah protes atau menghindar dari cerita mesum yang detilnya mengalahkan fiksi stensilan itu. Sam cuma berharap semoga si bayi tidak trauma gara-gara itu.
Ada perasaan asing yang menyusup di dada Sam seiring larutnya dia dalam potongan-potongan hidup Dean. Perasaan yang pada suatu masa pernah juga menyelimutinya sewaktu dia melihat sorot mata ayahnya yang seolah berkata, "Kenapa kamu tidak bisa menurut seperti kakakmu?"
Itu namanya cemburu, sisi pemikir Sam mendefinisikan. Cemburu karena Dean bisa lebih terbuka, bicara bebas dengan bayi di perutnya yang belum pernah dilihatnya, ketimbang dengan Sam, adiknya yang sudah bersamanya sejak lama. Sam tahu mestinya dia merasa senang karena kakaknya mau berbagi dengan orang lain ketimbang menyimpan semua masalahnya sendiri, tetapi tetap saja ada rasa tidak rela yang tak nyaman dalam dirinya. Kenapa bayi itu dan bukan aku?
Sam lantas jadi merasa konyol. Cemburu pada bayi belum lahir, keponakannya sendiri pula, itu benar-benar payah. Dari sana pikirannya melompat pada hal lain, pemikiran yang barangkali prematur (tidak ada niatan memainkan kata), tapi di kemudian hari akan jadi aktual.
Kelahiran bayi itu akan mengubah banyak, batin Sam, dan yang baru disadarinya sekarang adalah apa implikasinya buat hubungannya dengan Dean. Sam selama ini terbiasa menjadi satu-satunya tumpuan kasih sayang Dean. Sam tahu Dean akan melakukan apa saja untuknya dan begitu juga sebaliknya. Dengan adanya orang ketiga dalam kehidupan mereka nanti, itu takkan sama seperti sebelumnya.
Pertanyaan yang membikin Sam agak gentar memikirkannya adalah siapa yang akan lebih dipilih oleh Dean, adiknya ataukah anaknya? Sam terkenang dulu ketika dia dengan manja mengajukan pertanyaan hipotetik pada ayahnya. Andai ayah harus memilih selamatkan dia atau Dean, siapa yang bakal ayah pilih? Tentu saja ada lapisan lebih dalam dari pertanyaan itu: siapa yang lebih ayah cintai? Ekspresi wajah John saat itu masih terekam di memori Sam, betapa muka ayahnya berkerut perih seperti habis ditendang kuda di perutnya. John tidak pernah memberi jawaban, hanya memeluk Sam erat, pelukan yang bagi Sam kecil adalah jawabannya. Sam paham kini bahwa memang tidak akan pernah ada jawaban untuk itu sebab mencoba memberi jawaban apapun hasilnya akan sama-sama menyakitkan bagi semuanya.
Tangan Sam naik menutup wajahnya dan hembusan nafas lembut meluncur dari mulutnya. Jangan berpikir yang tidak-tidak, bodoh, cetusnya dalam hati. Kalaupun Dean nanti harus memilih, Sam akan memastikan kakaknya memilih anaknya atau dia berusaha supaya Dean tak harus berada dalam situasi simalakama macam itu. Bertekad demikian, Sam kembali mengalihkan pendengaran pada omongan Dean.
"Lekaslah keluar, ya," Sam dapat mendengar seringai di suara kakaknya, "karena aku sudah bosan membawamu ke mana-mana." Reaksi si bayi membuat Dean mengerang pelan. "Ouw, jangan tendang di situ. Organ dalam yang itu masih mau aku pakai." Dia meneruskan, "Lagipula, aku yakin kamu juga jenuh di dalam situ, kan? Tidak ada pemandangan menarik di situ. Cuma gelap, bukan? Jadi, cepatlah lahir," Dean lalu meralat, "tapi jangan terlalu cepat. Yang mau mengoperasi masih latihan, soalnya. Aku tak mau dijadikan kelinci percobaan."
Ingatan akan latihan operasi yang baru dijalani menjadikan bulu kuduk Sam meremang. Ya, jangan sampai si bayi lahir prematur.
Dean meletakkan telapak tangan di perutnya, mencoba menjalin kontak, layaknya anak kecil menempelkan tangan di kaca akuarium dan berharap dapat menyentuh ikan di dalamnya.
"Segeralah lahir, aku penasaran ingin melihat seperti apa rupamu. Kamu tahu, aku tidak tahan dengan periode menunggu. Lebih baik yang akan terjadi, terjadilah. Seperti ketenangan sebelum pecah perang, itu menyebalkan." Jeda untuk menguap dan Dean berkata lagi, "Makin cepat kamu lahir, Sam bisa selekasnya kembali ke Stanford."
Di balik dinding, Sam menelan ludah. Tiba-tiba merasa bersalah.
"Kamu dan aku, kita akan jadi ayah dan anak. Uh, secara teknis aku sebetulnya tidak yakin apa statusku ibu atau ayahmu, tapi nanti sebut aku 'ayah' saja. Sampai saat ini aku kadang masih heran, tahu, kok bisa-bisanya aku punya anak dengan cara aneh macam begini. Tapi... yang ini jangan sampai didengar orang lain," Dean melirihkan suaranya sampai Sam mesti menajamkan pendengaran, "aku senang kamu ada. Dari semua yang pernah kulakukan, aku rasa aku pasti telah berbuat sesuatu dengan benar karena, yah... aku diberi kamu."
Lalu keheningan hinggap, hanya ditingkahi suara Dean menghirup sisa minuman yang kini sudah dingin.
Sampai di sini, Sam perlahan-lahan mengundurkan diri. Dia tidak perlu mendengar lebih banyak lagi, yang ditangkapnya sudah cukup, lebih dari cukup. Telah banyak rahasia Dean yang kini tak menjadi rahasia lagi. Telah tersibak kepingan-kepingan yang membuat Sam mereka ulang sebagian gambaran tentang sosok kakaknya. Sam pun merasa dia sudah terlalu jauh menerobos masuk ke relung pribadi Dean, sesuatu yang mungkin disesalinya kelak, tapi mungkin juga tidak. Yang jelas, malam itu Sam kembali ke tempat tidur dengan berbagai pikiran hilir mudik di otaknya.
~*~
"Anda mau tahu jenis kelamin bayinya?"
Sesuai dengan petunjuk Dr. Zhang dan buku yang dibaca Sam, semakin mendekati kelahiran bayinya Dean mesti lebih sering menjalani pemeriksaan rutin. Yang rutin bukan hanya jadwal periksanya yang jadi dua minggu sekali maupun prosedur pemeriksaan, melainkan juga hasil pemeriksaan. Dr. Zhang boleh saja mengutak-atik redaksional rumusan hasilnya, tapi ujung-ujungnya setiap kali Dean periksa, hasil yang disampaikan adalah dia dan si bayi dalam keadaan sehat, perkembangan bayi dan kandungannya normal, semua berjalan baik tak kurang suatu apa. Lama-lama Dean berpikir, apa gunanya ke dokter jika saban kali periksa hasilnya, toh sama saja. Sam yang bersikeras bahwa justru pemeriksaan itu tujuannya memastikan bahwa Dean dan si bayi baik-baik saja.
Setelah beberapa kali periksa rutin tanpa ada insiden apapun, sekali ini tawaran Dr. Zhang di atas seperti oase di tengah gurun kemonotonan.
"Ya."
"Tidak."
Sam dan Dean bertukar pandang di bawah tatapan terhibur Dr. Zhang.
"Dean," Sam mulai dengan mimik tulus yang disetel demi kebaikan kakaknya, "akan lebih baik kalau kita bisa tahu bayinya laki-laki atau perempuan, kan? Persiapan kita lebih terarah jadinya."
Dean berujar, "Persiapan kamu, maksudnya. Selama ini, kan kamu yang heboh mengenai hal itu."
Sam menyahuti, "Tidak ada salahnya mempersiapkan segala sesuatunya, bukan?"
"Seperti pramuka saja kamu. Dan tidak, aku tak ingin tahu jenis kelaminnya sekarang. Aku suka kejutan, tahu. Biarkan saja itu jadi kejutan yang mengasyikkan," tukas Dean.
Aku, sih tidak, batin Sam. Dia mencoba berargumen, "Tapi, Dean..."
"Yang hamil, kan aku. Jadi aku punya hak veto dalam hal ini dan aku tak mau tahu soal itu. Titik," potong Dean lugas.
Sam melempar tatapan gondok pada kakaknya. Inilah sepenggal contoh saat-saat di mana Dean menegaskan kepemilikannya atas bayi di perutnya.
"Ya," Dr. Zhang menengahi, "sepanjang pengetahuan saya, jenis kelamin bayi yang terlihat di USG juga tidak seratus persen tepat. Kadang dokter mengatakan bayinya perempuan, tetapi sewaktu lahir laki-laki. Ada beberapa faktor yang berpengaruh. Kalau Anda tidak ingin tahu, Tuan Winchester, saya tak akan memberi tahu hasilnya," Dr. Zhang mengulum senyum seolah dia menyimpan rahasia yang membuat Sam ingin mengguncangkannya keluar. "Omong-omong, Anda ingin punya bayi perempuan atau laki-laki?"
"Laki-laki."
"Perempuan."
Terjadi adu pandang Sam dan Dean jilid dua.
"Lebih susah merawat anak laki-laki, tahu," lontar Sam pada kakaknya. Apalagi kalau anaknya dapat lungsuran sifat-sifatmu.
"Oh, tidak. Repot mengurus anak perempuan dan aku tak punya pengalaman soal itu, kecuali jika dulu mengasuhmu bisa masuk hitungan," balas Dean yang membuat Sam memutar bola mata.
Selama beberapa menit berikutnya Dr. Zhang menjadi penonton debat yang konyol antara Sam dan Dean soal pro-kontra mengasuh anak perempuan dan anak laki-laki. Sam secara umum memegang pendapat bahwa anak laki-laki itu sukar diatur dan mengakui figur otoritas, doyan eksplorasi hal-hal yang berpotensi bahaya dan pastinya lebih menguras energi untuk mengawasi. Dean sendiri kukuh pada pendiriannya bahwa anak perempuan itu terlalu banyak pernik dan perabotannya, berpikir dengan logika yang berbeda dan yah... ada urusan "wanita" yang dia tak nyaman bila mesti mengajarkannya.
Pertikaian mulut itu berakhir dengan, "Oke, apapun jenis kelaminnya, dia seorang Winchester dan itu sudah garansi membesarkannya akan repot," dari Dean. Jarang dia mengalah dalam adu mulut, tetapi nafasnya sudah mengancam akan jadi megap-megap kalau dia nekat melanjutkan.
Sam mengangguk, menerima gencatan senjata yang ditawarkan kakaknya. Lagipula dia setuju betul soal itu. Dirinya dan Dean adalah contoh bagus. Kini dia mulai merasa kasihan pada ayah mereka.
Dr. Zhang berdehem, "Hm, kalau kalian sudah selesai meributkan jenis kelamin si bayi, sekarang boleh saya bertanya?"
Agak tertegur, dua bersaudara itu mengembalikan perhatian mereka pada si dokter.
"Silakan."
"Selain kram, kelelahan, sering buang air kecil dan perubahan keseimbangan yang telah Anda katakan tadi, adakah keluhan yang lain? Atau sesuatu yang terasa janggal?" Dr. Zhang bertanya sambil merapikan kembali peralatan USG yang baru usai dipakainya.
Pasiennya pelan-pelan duduk di tepi meja operasi, mengacuhkan tangan Sam yang terulur hendak membantu. "Uh, kalau sakit punggung itu bisa dibilang normal?" tanyanya.
"Sayang sekali, ya," jawab si dokter. "Di mana bagian yang sakit?"
Dean setengah menyeringai. "Semuanya," dia berkata.
"Itu disebabkan oleh perubahan titik pusat gravitasi tubuh atau adanya perubahan lengkung tulang belakang seiring pertumbuhan bayi. Biasanya sakit di punggung akan mereda jika Anda berbaring atau memberi sesuatu yang hangat di punggung, kompres atau obat gosok." Dr. Zhang menatap pasiennya dengan kalkulatif, "Jika sakitnya terus memburuk, saya sarankan, tidak, saya akan mewajibkan Anda untuk istirahat di tempat tidur."
"Istirahat di tempat tidur?" ulang Dean, memikirkan kemungkinan itu saja sudah bikin dia dongkol. "Rantai saja aku sekalian."
"Dean!" desis Sam memperingatkan.
Dr. Zhang sudah bersiap menghadapi percekcokan babak ketiga antara Dean dan Sam, tetapi reaksi yang ditampilkan Dean jauh dari mengundang ribut.
"Aku bosan, Sam," ucap Dean lirih dengan nada letih. "Aku sa... sabar dalam menghadapi si bayi dan semua masalah ini."
Sam berani bersumpah bahwa kata yang nyaris dicetuskan Dean dan diralat pada saat-saat terakhir adalah "sayang", bukannya "sabar".
"Tapi aku merasa makin kehilangan kendali atas tubuhku sendiri dan itu menyebalkan, tahu," sambung Dean. "Untuk kali pertama aku bisa berempati pada orang yang kerasukan setan."
"Siapa sekarang yang maniak kontrol?" balas Sam, mencoba meringankan suasana.
"Kalau itu, sih tetap kamu juaranya," balas Dean. "Soalnya..."
Kalimat Dean tidak terteruskan lantaran pada saat itulah si bayi menginterupsi. Sam mendapat pemandangan yang lumayan langka sekaligus menakjubkan. Bagaimana di perut kakaknya terlihat ada tonjolan-tonjolan yang hilang timbul di sana-sini, beriak-riak bagaikan gelombang berdirinya penonton di stadion sepak bola. Sam terus memancangkan matanya dengan tertarik, tapi perhatiannya itu membuat Dean mengerutkan kening.
"Jangan lihat-lihat terus, nanti dia gede rasa dan tidak mau berhenti bergulat di dalam sini," sergah Dean sambil mengelus perutnya dengan gerakan melingkar yang teruji keampuhannya dalam menenangkan si bayi.
"Gerakan yang aktif, kan bagus. Itu menandakan bayi Anda sehat," timpal Dr. Zhang.
Dean mencibir. "Saya ingin tahu apa Anda tetap akan berpendapat begitu kalau kita bisa bertukar tubuh sehari saja." Termasuk kamu juga, Sam, batinnya sambil melirik adiknya.
Yang dilirik pura-pura tidak tahu, malah di benaknya timbul pemikiran bahwa sudah lama Dean tidak lagi memaki tiap kali si bayi bergerak. Itu karena kakaknya kehabisan stok makian, lama kelamaan jadi terbiasa atau telah tumbuh afeksinya pada si bayi?
"Masih untung kamu tidak hamil anak kembar," celetuk Sam.
Dean mendelik. "Jangan bilang begitu," dia bergidik, "nanti yang mengutukku jadi punya ide untuk melipatgandakan bayi di dalam sini."
"Tinggal satu bulan lagi lebih sedikit," Dr. Zhang mencoba membangkitkan optimisme, "dan kemudian semua ini akan usai."
Hamilnya memang berakhir, batin Dean, tapi itu menghantarkan pada permulaan sebuah era. Awal proses panjang dan rumit membesarkan dan mengasuh anaknya. Awal dia menjadi seorang ayah. Sesuatu yang akan terus berlanjut sampai dia berada enam kaki di bawah tanah, atau anaknya yang begitu, tergantung mana yang lebih dulu. Prospek yang dapat menggentarkan lelaki manapun.
"Saya menghitung harinya, dok," sahut Dean. Seperti narapidana menghitung hari pembebasan untuk mendapati bahwa dunia luar ternyata lebih bikin jeri.
"Oh ya, saya jadi ingat sesuatu," Dr. Zhang berbalik dan melangkah ke luar kamar periksa. "Tunggu sebentar."
Dean menatap adiknya dengan sorot bertanya dan Sam menyahuti dengan angkat bahu.
Tak berapa lama Dr. Zhang kembali dengan kantung kertas di tangannya yang disodorkannya pada Sam. Sam membuka lipatannya dan menarik keluar sebuah buntalan kain yang diikat benang.
Sam mengerutkan kening. "Kantung guna-guna?"
"Dengan resiko terdengar tidak orisinil, dokter, saya katakan lagi, Anda ini dokter atau dukun?" komentar Dean.
Dr. Zhang tenang saja menghadapi reaksi dua bersaudara itu. Paparnya, "Di banyak kebudayaan, kehamilan dan kelahiran anak adalah sesuatu yang amat sakral, sekaligus mengandung bahaya. Banyak legenda, mitos tentang setan dan makhluk-makhluk jahat yang suka mengganggu sampai mencelakakan ibu, eh orang yang melahirkan dan bayinya. Jadi saya rasa tidak ada salahnya Anda meletakkan jimat ini di rumah, sebagai tambahan proteksi yang saya yakin sudah Anda lakukan."
Kembali Dean berpandangan dengan Sam. Sorot mata Dean mengisyaratkan bahwa ini adalah ide konyol, sementara tatapan Sam mengkomunikasikan tidak ada ruginya mencoba. Sam yang menang.
"Terima kasih, dokter," ucap Sam, menyimpan kembali kantung guna-guna itu.
"Asal tagihannya tidak bertambah dengan signifikan saja... ouw!" Dean mengerang akibat disikut Sam. "Kejam kamu, menyakiti orang yang sedang hamil," protesnya.
Sam memutar bola mata. "Tolong ya. Yang kena, kan lenganmu, bukan perutmu."
Dean menirukan ucapan Sam dengan gaya mengejek yang didramatisir. Sam geleng kepala. Yang begini ini mau jadi seorang ayah? Tidak keliru dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama kakaknya.
Dr. Zhang saat itu memutuskan bahwa mereka berdua adalah pasien paling menghibur yang pernah ditanganinya.
"Baiklah. Sekarang, bagaimana kalau kita rembukan untuk tentukan jadwal operasinya?"
~*~
"Kenapa, sih tadi kamu tidak mau diberi tahu jenis kelamin bayimu?"
Pertanyaan Sam itu terucap malam hari setelah mereka pulang dari tempat praktek Dr. Zhang. Seperti malam-malam pada trimester ketiga lainnya, Sam tengah menjalankan tugas mulianya: jadi tukang pijat. Dean duduk di depan adiknya, memberi ruang pada Sam untuk mengembarakan jemarinya yang kuat di punggung kakaknya yang pegal linu.
"Nah, kenapa kamu ngotot betul ingin tahu jenis kelamin bayinya?" balas Dean.
"Ya..." Sam mengalihkan pijatannya ke pundak kakaknya yang kaku. "Ada banyak alasan untuk itu. Salah satunya, kita bisa mencari nama yang tepat kalau tahu bayinya bakal laki-laki atau perempuan."
"Kukira kamu akan jawab itu buat menentukan cat kamar bayi warna biru atau merah jambu," ujar Dean, mengerang keenakan sewaktu Sam menangani titik yang perlu dilemaskan.
"Lebih kepada beli Barbie atau GI Joe," Sam berkata. "Serius, nih. Kamu sudah pikirkan nama untuk anakmu?"
Dean memutar kepalanya ke belakang, tampangnya jelas menunjukkan bahwa dia tercengang mendengar kata-kata Sam.
"Serius juga, aku belum pernah memikirkan itu," ucapnya.
"Sebulan lagi dia lahir dan kamu belum berpikir tentang nama? Kamu mau panggil dia apa nanti?"
Dean mengedikkan bahu.
Sam mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuknya. "Aku pernah lihat buku nama-nama bayi di..."
"Uh-huh. Jangan berani mengusulkan itu. Aku tidak mau anakku diberi nama sok gaya seperti Percival atau Eudora," potong Dean. "Bisa jadi bahan ejekan kalau dia masuk sekolah nanti."
"Hei, Percival itu nama yang bagus. Artinya..."
"Jangan," Dean mengibaskan tangan. "Aku tahu aku payah dalam soal beginian, tapi aku ingin menamai anakku dengan nama khas Amerika yang sederhana. Soal mana nama yang kupilih, nanti saja kita putuskan."
Sam mengangkat alis. "Yah, sejelek-jeleknya, atau kalau kamu kehabisan inspirasi, kita selalu dapat menamakannya Dean Junior," Sam menyeringai, "atau Deanna, kalau perempuan."
"Atau Samantha," timpal Dean. "Coret nama Dean Junior. Kalau ada Dean Junior berarti aku Dean Senior dan itu jadi membuatku merasa diriku sudah sangat tua."
"Nama itu, kan doa, Dean. Berarti kamu tidak ingin anakmu jadi seperti kamu. Itu bagus, bukan?" Sam berolok-olok.
Di luar terkaan, Dean menanggapi dengan lirih, "Ya. Dia harus jadi orang yang lebih baik."
Sam hampir menimpali dengan "kamu sendiri sudah bisa disebut orang baik", tapi dia merasa itu takkan masuk ke telinga kakaknya, orang dengan harga diri paling rendah yang Sam kenal.
Kedua bersaudara itu terdiam. Kesunyian itu bertahan sampai Dean ganti posisi, dia mundur agar Sam dapat memijat kakinya.
"Uh... Sam," ucap Dean tiba-tiba.
"Ya?" Sam mengangkat betis kakaknya, menaik-turunkan telapak kaki untuk meregangkan otot. Lagaknya sudah bak pemijat profesional.
Dean dalam sekejap berubah pikiran. "Tidak jadi."
Sam menghentikan pijatannya. "Aku jadi penasaran, nih. Katakan, atau aku tidak mau lanjutkan memijatmu," ancamnya.
"Tarifmu lebih mahal daripada mesin Jemari Ajaib," gerundel Dean, tetapi Sam menangkap nada mengalah di sana.
"Tentu saja. Kamu tadi mau bilang apa?"
Dean mengerang pelan dari dalam tenggorokan, menikmati sensasi ketegangan otot yang luruh di bawah denyut dinamis tangan adiknya.
"Dean." Ayo katakan apa yang ada di benakmu.
Dean terpekur sejenak lalu berujar, "Aku menyusahkanmu ya?"
Jika menurut Dean dampak positif kehamilan adalah seks yang lebih asyik, bagi Sam sisi baik kehamilan kakaknya adalah Dean mulai mau terbuka dengan perasaannya. Masih canggung, memang, tetapi dia sudah berani untuk jadi rapuh di hadapan Sam. Tinggal Sam yang rada bingung menghadapi Dean ketika saat-saat seperti itu muncul.
Sam jadinya menanggapi dengan santai. "Kamu memang selalu menyusahkan," celetuknya, nada ringannya melunakkan isi kalimatnya.
Ekspresi agak murung Dean memicu Sam buru-buru meneruskan, "Tidak apa-apa. Kamu juga akan melakukan hal yang sama kalau yang kena masalah seperti ini adalah aku, benar? Walau... kalau dipikir lagi, rasanya aku tak akan keliru mengira sekumpulan orang aneh pemuja dewi kuno sebagai sekte penyihir berbahaya," candanya.
"Aku masih akan mendengar itu diungkit-ungkit untuk waktu yang lama, bukan?" Dean merengut. Sekali melakukan kebodohan, tercoreng sudah reputasi mengkilapnya sebagai pemburu andal.
"Oh yeah." Senyum Sam berganti mimik serius. "Aku saudaramu, Dean. Orang bilang, apa gunanya keluarga kalau bukan untuk direpotkan?"
"Benar sekali," seringai Dean.
"Lagipula," lanjut Sam, "ini masih belum apa-apa. Aku bisa membayangkan sejuta kemungkinan lain yang lebih kacau dan menyusahkan dari ini. Percayalah, ini belum hal terburuk yang dapat terjadi dalam hidup kita."
"Hm," Dean mengiyakan, "kamu ada benarnya. Sekarang singkirkan tanganmu dari kakiku."
"Apa?"
"Aku mau menunaikan panggilan alam soalnya. Mau membantu?"
Sam menolong dengan menjadikan dirinya tempat berpegang tatkala Dean bangkit dari tempat tidur. Berniat mengolok-olok kakaknya, Sam merangkul bahu Dean sepanjang perjalanan singkat ke kamar mandi. Dengan gaya pelayan zaman baheula, Sam membukakan pintu buat kakaknya.
Di ambang pintu kamar mandi, Sam melepaskan kakaknya yang disambut Dean dengan, "Lho, sudah selesai membantunya? Tidak sekalian bukakan celanaku? Katanya keluarga itu wajib direpotkan."
Sam tanpa ragu memonyongkan bibir.
~*~
BERSAMBUNG
Chapter 8
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar