~*~
"Sam! Sammy!"
Si empunya nama tersentak kaget dan membuka matanya. Tangannya naik mengusap sisi bibirnya, kebiasaan yang otomatis diperbuatnya setiap kali dia terjaga dari tidur di kursi penumpang depan Impala. Gelagapan Sam menoleh ke samping, kantuk dan alam tidur masih membayang di matanya. Matanya menangkap pemandangan yang sebetulnya biasa, tapi setelah mimpi panjang yang dialaminya hal itu terasa bagai anugerah. Dean, menyetir Impala dengan kecepatan yang mengerikan, mengenakan kemeja dengan kaus oblong sebagai lapisannya, celana jins membalut kakinya, senandung rock lawas Aerosmith dari mulutnya. Dean yang tampak normal, atau normal menurut standar Dean.
Dean dengan perut yang datar seperti papan cucian di balik kausnya.
Merasakan kediaman adiknya, Dean melirik ke kursi penumpang dan berkata, "Hei, arahkan matamu ke atas sedikit." Kemudian separuh menggerutu, "Dasar menyimpang."
Sebetulnya Sam ingin menyentuh perut Dean dengan tangannya sendiri untuk memastikan, tetapi dia yakin Dean takkan begitu saja merelakan dirinya dipegang-pegang tanpa alasan. Sam mencuri pandang sekali lagi ke arah perut kakaknya lalu menangkupkan tangan di wajahnya. Kelegaan tak terkira merembesi perasaannya. Ternyata hanya mimpi, batinnya ketika otaknya telah dapat mencerna apa yang dikiranya dialami dan realitas yang terhampar di hadapannya.
Terima kasih, Tuhan, bisik Sam dalam hati. Banyak-banyak terima kasih. Aku tidak tahu apa maksud dari mimpi itu, tetapi buatku itu jadi model bagaimana hidup dapat saja berjalan lebih ajaib dari sekarang. Kalau Kau ingin aku bersyukur, oke, aku bersyukur sekarang. Jika perlu aku akan sujud mencium tanah.
Sebelah alis Dean naik lantaran menurutnya reaksi Sam pascabangun tidur itu rada aneh. "Ada apa, sih?" tanyanya.
Sam menyahut, "Aku hanya mimpi ganjil."
"Badut atau orang kate?" sambar Dean seperti biasa.
"Kamu hamil," tanggap Sam cepat.
Dean menatap adiknya cukup lama untuk bikin Sam mencemaskan arah jalannya Impala. "Heh... itu sesuatu yang baru," katanya, agak terkesan dengan serangan balik Sam.
"Jadi, untuk apa kamu bangunkan aku sebenarnya?" Alihkan perhatian, Sam.
"Oh ya. Untuk pemberitahuan, beberapa mil ke depan ada kedai. Kita masih sempat mampir makan, kan?"
"Yeah, kukira begitu."
"Bagus," Dean tersenyum, "Aku begitu lapar sampai rasanya bisa makan untuk dua orang."
Mendengar kalimat itu, ada perasaan deja vu menyeramkan yang merayapi Sam. Kuduknya serasa dibalur balok es dan dia diam-diam melirik lagi ke arah perut kakaknya. Untung Dean tidak memergoki.
"Kemudian, hantu lokal Wichita sudah menunggu," lanjut Dean.
Sam menanggapi, "Ya. Situasinya sudah mendesak. Kalau pola yang kita temukan itu benar, korban arwah penasaran di rumah sakit itu akan segera bertambah dalam hitungan hari."
"Kedengarannya seperti acara garami dan bakar yang sederhana, kan."
"Setelah itu beres, baru kita lacak petunjuk keberadaan sarang vampir di Topeka dan kamu bisa penggal mereka sesukamu jika terbukti ada."
"Ah..." desah Dean penuh kesenangan, "Hidup itu indah."
Ya, benar. Hidup ini indah. Hidup tanpa keharusan menjadi adik nan protektif/calon paman/pengasuh/perawat pribadi Dean plus bayinya, atau calon bayinya, lebih tepatnya begitu.
Sam tanpa sengaja memandang ke pangkuannya dan matanya tertumbuk pada koran yang dibacanya tadi sebelum dia pulas. Koran itu terbuka pada artikel yang membahas tentang seorang pria transeksual yang bisa hamil, lengkap dengan potretnya. Di sebelah artikel tersebut, ada satu kolom yang memberitakan pameran peradaban Mesir kuno di sebuah museum, di mana salah satu benda yang dipamerkan adalah patung Dewi Bast yang telah berumur ribuan tahun.
Sam nyengir sendiri. Diselipkannya surat kabar itu ke bawah jok dan dia memandang ke luar jendela. Dean dulu pernah memberi nasehat padanya: kalau dia takut menghadapi seseorang, bayangkan saja orang itu bugil. Nah, Sam kini dapat amunisi tambahan untuk itu. Bayangkan lawanmu bugil... dan hamil.
Senyum miring merekah di bibir Sam.
Oh ya, hidup itu indah, dan juga sinting.
~*~
SELESAI
Author's note: iya, ini ending orisinil yang pertama aku tulis bersamaan dengan awal fic ini. Aku tidak menduga kisahnya jadi berkembang macam novelet begini. Untuk menghindari kejaran para pembaca yang bawa-bawa kapak sambil teriak, "Sudah dibaca capek-capek, kok cuma begini ending-nya?", aku muatkan ending alternatif di chapter selanjutnya.
Chapter 10, Alternative Ending
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar