Minggu, 13 Desember 2009

Fic: Fertile (Chapter 6/10)

~*~

Sam dengan heran menyadari bahwa mereka berdua, dirinya sendiri paling tidak, menjadi begitu mudahnya terlarut dalam rutinitas. Itu konsep yang sama sekali anyar bagi Sam dan Dean, yang menghabiskan masa kanak-kanaknya di seluruh penjuru negara bagian Amerika, tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari beberapa bulan saja. Hal yang rutin bagi keluarga Winchester justru adalah ketidakrutinan itu sendiri. Kamar motel yang berbeda, kota demi kota yang baru, orang-orang asing yang dijumpai silih berganti dan tentu saja makhluk supranatural dari beragam jenis. Itu semua memperkaya pengalaman mereka, memperluasnya, tetapi tidak mengakar dan Sam kini berpikir bahwa jika dia harus memilih satu tempat di mana dia ingin menghabiskan sisa hidupnya, rumah yang sekarang bukanlah opsi yang buruk.

Beginilah rutinitas keseharian dua bersaudara itu berjalan. Aktivitas mereka diawali dari setiap pagi Sam menemani kakaknya berolah raga. Biasanya jalan-jalan setengah santai di sekitar rumah, menghirup udara yang masih segar sepenuh paru-paru, lalu dilanjutkan dengan gerak badan ringan, tergantung Dean sedang ingin apa hari itu. Berikutnya sarapan dan Sam mesti berangkat kerja, keliling dengan sistematis ke perumahan demi perumahan menjajakan buku dan ensiklopedia, sedangkan Dean di rumah menekuni senjata-senjata lawas yang diserahkan padanya untuk diperbaiki, atau mengerjakan pekerjaan rumah sebisanya. Sam biasa pulang tengah hari dan menyiapkan makan siang, Dean ikut nimbrung di dapur sesekali. Sore hari kegiatannya lebih variatif, entah itu Sam berbelanja, ada Bobby datang, atau kadang Sam mengajak Dean berkendara (sepanjang Dean tidak perlu turun dari mobil semuanya aman terkendali). Sering juga mereka berdua di rumah, ada-ada saja yang dikerjakan sekadar cari kesibukan. Kemudian malam hari tiba. Sam biasanya belajar atau menulis. Berikutnya makan malam dan tidur dan semua terulang seperti itu keesokan harinya, dengan sedikit variasi dan bumbu di sana-sini.

Anehnya, Sam malah menyambut datangnya hari baru dengan hati ringan walaupun apa yang mereka lakukan dari hari ke hari boleh dibilang itu-itu saja. Mungkin ada kenyamanan dari rutinitas, mengetahui garis besar apa yang akan diperbuat hari ini, atau rasa aman dari kekonstanan setelah bertahun-tahun hidup penuh dengan kejutan dan ketegangan seperti naik rollercoaster. Dia menyangka Dean akan lebih resisten dari dia mengingat kakaknya itu biasa hidup dinamis, tetapi meski dengan bercanda Dean pernah bilang dirinya serasa tahanan rumah, dia tak mengeluh. Belum.

Salah satu hal baru yang dipelajari Sam dan Dean dari hidup menetap adalah model permasalahan yang berbeda dari masa mereka hidup nomaden. Jika dulu banyak problem tinggal jadi pemandangan saja di kaca tengah mobil, kini dua bersaudara itu mesti belajar memperbaikinya karena mereka mesti hidup dengan masalah itu.

Semua itu terlintas di pikiran Sam ketika dia sedang bertengger di pucuk tangga, sedang di tengah acara membenahi langit-langit yang bocor. Dari bawah, Dean aslinya bertugas menyodorkan paku dan peralatan lain yang diperlukan sambil transfer pengetahuan. Namun, saat ini Sam bisa rehat sejenak menanti Dean rampung memilah-milah paku.

"Kenapa kamu campur kedua jenis paku ini, hah?" Dean menengadah, jengkel bertanya pada adiknya.

Sam angkat bahu. Entahlah.

"Dan kenapa juga kamu beli dua jenis dari pertama padahal aku jelas-jelas bilang beli paku kayu?" omel Dean.

"Kalau kamu capek memilah-milah, ya sudah, tidak usah saja. Toh, tak ada bedanya, kan?" sahut Sam dari atas tangga.

Dean memutar bola mata dengan lagak orang yang sudah jenuh menjelaskan. "Kamu pikir kenapa mereka diberi nama yang berbeda kalau begitu? Paku kayu dan paku beton itu lain peruntukannya. Kamu mau memaku papan langit-langit dengan paku beton, itu sama saja dengan membunuh kecoak pakai linggis!" cetus Dean.

Ganti Sam yang pasang muka bosan. Hampir dia keceplosan menantang kenapa tidak Dean saja sekalian ke atas sini dan menyelesaikan segalanya, waktu dia ingat tak mungkin menyuruh kakaknya yang sedang hamil enam bulan lebih untuk naik-naik ke puncak tangga tinggi-tinggi sekali. Bukannya Dean tidak mengusulkan itu. Oh, tidak. Kakaknya tadi sempat berniat menangani sendiri langit-langit itu dengan alasan kemampuan bertukangnya lebih meyakinkan dari Sam. Itu fakta dan Sam mengakuinya. Namun, dia menyanggah dengan argumen tentang kondisi Dean dan bahwa Sam juga dapat bertukang, meski tidak secekatan Dean. Beri saja instruksi dan segalanya akan beres. Yeah, benar.

"Nih," Dean mengulurkan palu dan sebatang paku kepada Sam, dua kelompok paku terpisah di dekatnya.

Sam menerima dan menancapkan paku itu ke papan, tangan yang satu berayun hendak memalu ketika Dean berseru di bawahnya, "Jangan terlalu dalam ditancapkan! Sisakan separuh untuk dibengkokkan buat menahan papannya!"

"Ya, Dean. Kamu sudah omong begitu lima puluh kali," gerundel Sam. Transfer pengetahuan apanya? Ini, sih lebih mirip perpeloncoan dengan senior sok galak.

"Bitch."

"Jerk."

~*~

Keluarga Winchester memang bukan keluarga ideal seperti The Bradys, tapi rasa-rasanya semenjak kehamilan Dean, mereka menuju ke arah sana, demikian yang terlintas di benak Sam ketika dia mengistirahatkan mata dari buku teks kedokteran yang terpentang di pangkuannya. Sesuai anjuran dokter mata manapun, Sam mengubah titik perhatiannya menjauh dan terpandang olehnya Dean yang sedang duduk menghadapi meja makan, mata terpancang pada buku di depannya, jari siap memencet tombol kalkulator, ujung pensil di bibirnya. Dean saat itu tengah mengerjakan catatan sederhana aliran dana yang mereka miliki, kalau tidak mau disebut pembukuan.

Di kehidupan lain, barangkali Dean dapat menjadi akuntan, pikir Sam. Kakaknya itu piawai dalam mengelola keuangan, keahlian yang terpaksa dikuasainya sejak John menganggap Dean sudah cukup besar dan meninggalkan kedua putranya dengan uang seadanya yang harus cukup sampai dia kembali. Sam ingat betul, mereka tidak pernah sampai kelaparan walaupun John kadang kepulangannya meleset dari jadwal. Melesetnya selalu mundur, tidak pernah maju. Itu membuktikan kemahiran kakaknya menyiasati situasi finansial.

Dean memelototi deretan angka di buku catatannya seraya dengan sebelah tangan menjumlahkannya pakai kalkulator. Setelah memperoleh hasil, angka itu ditulisnya dengan pensil, dicocokkan dengan angka di kolom sebelahnya. Kening Dean berkerut mendapati ada selisih antara kedua angka itu. Pensil jadi sasaran kebingungannya, dikunyah-kunyah sambil berpikir. Tidak lama buatnya untuk menyadari sebab selisih itu.

"Hei, Sam. Tolong ambilkan uang di sepatu bot coklatku, dong!" pinta Dean.

Sam menandai halaman yang terakhir dibacanya dan pergi ke rak sepatu. Matanya menyusuri beberapa pasang sepatu milik Dean, sepatu bertali yang diliburkan sementara mengingat dengan perut buncit lebih gampang bagi Dean memakai sepatu pantofel. Dia memutuskan itu dengan pasrah setelah Sam menolak bolak-balik disuruh mengikatkan tali sepatunya.

Sepatu bot milik Dean yang ada di situ semua berwarna coklat. Satu warna asli, satunya lagi sebetulnya berkelir hitam, tapi tertutup debu dan lumpur yang melekat. Sam memeriksa sepatu yang asli berwarna coklat, meraba bagian dalam tumitnya, siapa tahu Dean membikin ruang rahasia di sana. Itu satu lagi kebiasaan aneh Dean yang susah dipahami oleh Sam: menyimpan uang di sepatu. Jemari Sam menemukan bagian yang tidak rata dan ditariknya alas sepatu, menyingkap rongga di dalam sol yang dipenuhi lembar-lembar ratusan dolar. Diambilnya uang itu dan diserahkannya pada Dean, yang menghitungnya dan membikin penjumlahan ulang dengan kalkulator.

"Yeah," Dean menyeringai, "akhirnya pas. Aku lupa menambahkan uang yang kudapat dari reparasi pistol temannya Bobby."

Sam duduk di samping kakaknya, matanya menelusuri deretan angka di kolom-kolom yang tertulis di buku catatan.

"Hm," dia menggumam, "dengan ini berarti simpanan kita sudah mencapai lebih dari separuh jumlah yang diperlukan untuk biaya operasi."

Dean mengangguk. "Dan belanja keperluan bayi dan lain-lain sampai aku bisa kerja lagi. Tapi aku tidak sepaham denganmu, kenapa anggaran susu kamu ajukan sebesar ini, huh?"

Sam mengibaskan tangan. "Percayalah padaku, aku sudah survei harga susu formula ke toko. Sebeginilah yang kita butuhkan. Kecuali..."

"Apa?"

"Kamu tiba-tiba bisa menyusui. Nah, kalau itu terjadi maka kita surplus dana," ucap Sam setengah berolok-olok.

Reaksi Dean seperti yang diterka Sam. Dia mendelik pada Sam, seakan tak percaya adiknya bisa mengatakan hal yang menurutnya konyol itu.

"Rasanya aku dikutuk untuk hamil saja, deh. Tidak sepaket dengan melahirkan dan menyusui sekalian," balasnya.

"Kita, kan belum tahu pasti soal itu," Sam menggoda kakaknya.

Dean bergidik. "Sialan, sekarang di kepalaku timbul bayangan aneh-aneh karena idemu itu."

"Disusui ataupun diberi susu formula, aku memprediksi bayimu bakal menuruni nafsu makanmu yang gila-gilaan. Jadi, manapun yang akan terjadi, mesti dipersiapkan stoknya," senyum Sam.

Ekspresi ngeri Dean mendengar itu begitu komikal sampai Sam tergelak.

"Bisa kita berhenti bicarakan ini?"

"Baiklah."

Keheningan melingkupi ruangan itu untuk beberapa lama. Kedua manusia yang berada di sana sibuk dengan pikiran masing-masing. Dean mengembalikan perhatiannya pada buku catatannya sementara Sam membiarkan berbagai pemikiran acak berlalu lalang di benaknya. Satu hal yang biasanya jika terpikir segera disingkirkan ke garis belakang saat itu muncul di otak Sam, tidak mau hengkang meski Sam mencoba memikirkan hal lain. Akhirnya Sam memutuskan untuk bicara dengan Dean mengenainya. Toh, sudah terlalu lama hal itu ditundanya.

"Dean."

Yang dipanggil menoleh ke arahnya. Sam mengamati mimik muka kakaknya, mengukur suasana hati Dean dan mengambil kesimpulan sekarang adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan soal itu.

"Setelah ini bagaimana?" lontar Sam.

"Setelah ini aku mau minum coklat panas dengan marshmallow. Kalau kamu mau, bikin sendiri," jawab Dean sambil lalu.

Sam meringis gemas. "Bukan itu maksudku. Kita, kan sudah mempersiapkan segala macam menjelang kelahiran bayimu," dia berhenti sesaat, "tapi bagaimana dengan rencana kita setelah bayimu lahir?"

"Haruskah kita bicarakan itu sekarang?"

"Lantas maumu kapan kita bicarakan? Mau membahas ini di tengah operasi, dengan kamu dibius sehingga akan menyetujui apapun yang kukatakan?" balas Sam sarkastis.

Desahan enggan Dean dimaknai Sam sebagai kapitulasi. Dean mau bicara dengannya soal ini, walau tidak sepenuh hati.

"Jadi, apa yang kaurencanakan?" pancing Sam.

Dean tidak serta merta menjawab. Dia mengerikiti ujung pensil, yang membuat Sam ingin merampas pensil itu darinya, tercenung sebentar kemudian berujar, "Aku bukannya tidak pernah memikirkan itu, tahu. Ini keputusan yang sangat sulit bagiku, tapi aku tidak mau bayi ini dibesarkan seperti kita. Hidup di jalanan, memburu monster, berteman dengan bahaya dan bermain dengan maut. Ini bukan kehidupan yang kuinginkan buatmu dan anakku."

"Kamu..." Sam menebak khawatir, "akan menyerahkan dia untuk diasuh orang lain?"

Sorot mata sedih campur determinasi Dean mengiringi jawabannya, "Tidak, Sammy. Tidak. Makanya sudah kukatakan ini sulit bagiku. Aku seorang pemburu, tapi aku tak ingin anakku hidup seperti pemburu. Jadi," Dean menghela nafas berat, "aku yang mengalah. Aku akan berhenti berburu, meski itu berat untukku. Aku akan mencoba hidup normal, seberapapun aku membenci itu. Aku akan berusaha memberi dia rumah yang baik." Rumah yang tidak pernah kumiliki sejak usiaku empat tahun.

Sam mengejapkan mata setengah terpana. Dean Winchester berhenti berburu? Itu sesuatu yang dikiranya muskil sebelumnya. "Kamu berhenti berburu... untuk selamanya?"

"Setidaknya sampai anakku bisa memahami dan memilih apa ingin mengikuti bisnis keluarga atau tidak."

Sam tahu apa yang tak diucapkan Dean: jangan seperti aku, yang terlibat menjadi pemburu tanpa punya pilihan lain.

"Kamu yakin, Dean?"

"Aku inginkan yang terbaik baginya. Kalaupun ini yang terbaik di antara yang terburuk, sudah cukup bagiku," sahut Dean.

"Lalu," Sam mendebat untuk meyakinkan, bukan membuat ragu, "bagaimana dengan bahaya yang ada di luar sana? Monster akan terus berkeliaran dan membuat kekacauan, baik kita ada di sana untuk hentikan mereka maupun tidak. Bagaimana kamu akan melindungi anakmu dari itu semua? Bagaimana jika monster itu datang pada kita?"

"Tentu saja aku tidak akan sekonyong-konyong jadi orang awam, Sammy. Yah, kalau memang terpaksa dan ada yang memerlukan bantuan, bagaimana bisa aku tidak menolong? Soal proteksi, aku akan mendidiknya perlahan-lahan, seperti ayah dulu. Menggarisi pintu dan jendela dengan garam, pasang jimat pelindung, ajari dia bela diri, keterampilan yang diperlukan untuk melawan. Namun, aku tidak merancang dia untuk berburu, kalau kamu paham maksudku," papar Dean.

Terdengar sudah dipikirkan masak-masak. Sam tidak menyangka bahwa kakaknya ternyata telah membuat rencana seperti itu. Kakaknya yang biasa hidup dengan kredo seperti orang arung jeram: loncat ke perahu dan mulailah mendayung supaya arus tidak melemparmu keluar.

"Keseimbangan yang rentan, antara dunia kita dengan kehidupan normal. Kamu ingin menapakkan kaki di atas keduanya," Sam menyimpulkan.

"Semacam itulah," akur Dean.

Ayah mereka dahulu mencoba untuk melakukan itu, tetapi tarikan dunia supranatural yang menjanjikan pembalasan dendam terlalu mumpuni. Lama-lama dunia normal kian kabur bagi John dan dia menjadi komandan, alih-alih seorang ayah. Sam membatin, tapi Dean, kan bukan ayah. Berbeda jauh dari ayah.

"Kamu bisa melanjutkan kuliahmu, jadi pengacara seperti yang kamu cita-citakan. Aku di sini kerja dan membesarkan anakku. Ada Bobby yang bisa membantuku. Itu rencana yang bagus, kan?" lanjut Dean.

"Yeah," gumam Sam, tenggorokannya tiba-tiba tercekat dan dia sekonyong-konyong ingat sesuatu. "Eh, kamu tahu tidak kalau ayah punya tabungan dana kuliah untuk kita berdua?"

"Baru dengar kali ini. Tahu dari mana kamu?" tanya Dean.

Sam menyeringai. "Ada, deh. Yang jelas, ayah masukkan seratus dollar setiap bulan sejak kita berdua lahir ke dua rekening. Satu untukmu dan satu untukku," jelasnya.

"Di mana uangnya sekarang?" Dean penasaran.

Sam tersenyum seperti pelawak menghantarkan kalimat pamungkas sebuah lelucon. "Habis buat dipakai beli senjata dan amunisi!"

Keduanya tertawa pelan. Benar-benar terdengar seperti ayah mereka.

Dean menerawang, dengan senyum pedih tapi penuh harap dia berucap, "Barangkali jika nanti anakku sudah agak besar, kita bisa pergi mencari ayah. Kabarkan padanya sudah ada generasi Winchester berikutnya."

Sam tidak tega menyanggah.

"Aku dapat ambil cuti satu semester lagi, Dean. Aku bisa membantumu setelah bayinya lahir atau... kenapa kamu tidak ikut saja ke California bersamaku?" tawar Sam.

"Di sana bukan tempatku," jawab Dean pendek tanpa penjelasan apapun. Matanya berkilat badung ketika berkata lagi, "Hei, dan aku tak sebegitu putus asanya sampai merekrutmu sebagai pengasuh bayi. Aku lebih berpengalaman, tahu. Ingat siapa yang mengganti popokmu dulu?"

Sam mengerang. Itulah salah satu hal yang tidak bisa dibantah Sam dan Dean yang mengetahui itu, biasa menggunakannya untuk mengganggu adiknya.

"Bobby, kan tinggal dekat sini. Kalau ada apa-apa masih bisa minta tolong dia," tambah Dean.

Sam menatap lurus kakaknya. "Yeah. Aku yakin kamu akan bisa mengurusnya dengan baik seperti kamu dulu mengasuhku," ucapnya dengan pujian tulus yang jarang.

"Aku tidak yakin apakah itu pujian. Kamu gedenya jadi orang aneh macam begini," kelakar Dean, tapi matanya jelas mengucapkan terima kasih atas pengakuan itu.

Sam memutar bola mata dan dia tahu percakapan itu berakhir ketika Dean hendak bangkit dari duduknya. Kakaknya itu baru menumpukan kedua tangan di atas meja sewaktu Sam mencegahnya.

"Mau bikin coklat panas? Biar aku saja," katanya. Kasihan juga melihat Dean mau berdiri saja mesti pakai proses rada lama.

Dean menghenyakkan dirinya kembali ke kursi, agak lega mendengar tawaran itu sebab membawa-bawa tambur di perutnya bukanlah sesuatu yang enteng. Namun, dia tetap memprotes, "Kamu tidak pernah pas kalau bikin coklat panas."

"Apanya yang tidak pas?" Sam mengikuti permainan yang sudah familiar ini.

"Kamu suka tambahkan krimer. Kan sudah kubilang, coklat panas itu ya bubuk coklat plus gula. Titik," sambar Dean.

"Kalau cuma begitu, sih kurang terasa."

"Terasa krimnya? Yang kita mau nikmati, kan coklatnya."

Perdebatan kusir itu terus berlangsung dengan ringan dan penuh canda, sementara perbincangan yang tadi tidak pernah disinggung-singgung lagi.

~*~

"Dean, bangun," Sam mengguncang bahu kakaknya, mulanya pelan saja, makin lama kian kencang.

Yang dibangunkan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan segera buka mata, malah menarik selimut sampai menutupi bahu.

"Dean!" Sam berseru di telinga kakaknya. "Bangun!"

Sampai lima menit kemudian upaya itu belum membuahkan hasil dan Sam alih strategi. Diambilnya handuk tangan di kamar mandi, dibasahi ujungnya dan diteteskannya air ke wajah Dean.

"Brengsek!" Dean gelagapan mendapati titik-titik hujan lokal yang dingin menjatuhi mukanya.

Sam berdiri agak jauh dari jangkauan tangan Dean dan berkata, "Makanya bangun, dong. Matahari sudah tinggi, tuh. Ayo jalan pagi."

Dean mengelap wajahnya seraya menggerutu, "Aku baru bisa tidur pukul tiga dini hari, tahu. Bersimpatilah sedikit."

"Kenapa? Bayinya terus bergerak?"

"Yeah. Pola tidurnya aneh. Kalau siang dia banyak diam, eh... malam-malam baru pecicilan di sini. Kalau sudah besar nanti doyan dugem, barangkali," keluh Dean. "Tambahan pula, aku mesti bolak-balik buang air kecil semalam. Lama-lama aku pasang kateter saja."

Sam tahu betapa tidak sukanya Dean pada kateter setiap dia mesti dirawat di rumah sakit. Bila dia sampai mengusulkan itu, berarti kondisinya sudah mengganggu.

"Jangan kateter, ah. Mending pispot," saran Sam. "Gerakan bayinya tidak menyakitkan, toh? Dulu katamu kalau diperdengarkan musik dia akan tenang."

"Tidak terasa macam ditonjok seperti dulu-dulu, lebih mirip dia gulang-guling di dalam, tapi sama saja mengganggu tidurku. Sekarang musik rock sudah tidak mempan lagi, heran juga aku. Barangkali perlu ganti suasana," terang Dean.

"Oke, aku bersimpati padamu, tapi ayolah bangun. Kita olah raga seperti biasa," ajak Sam.

Dean bangun perlahan-lahan dengan memutar badan ke samping terlebih dahulu, baru menurunkan kaki ke tepi ranjang. Cara bangun seperti itu mulai diterapkan sejak kandungannya mulai besar dan dia kesulitan langsung bangun dari posisi badan telentang.

Sam meninggalkan kamar sebentar untuk memberi kesempatan Dean berganti pakaian. Untuk alasan yang tidak dimengerti Sam, Dean merasa risih kalau Sam melihatnya membuka pakaian, kecuali jika sedang diperiksa dokter. Sembari menunggu Dean berpakaian, Sam ke dapur untuk menyiapkan secangkir susu untuk Dean dan kopi untuknya, minuman yang biasa mereka teguk sebelum mulai olah raga. Tak lama, Dean muncul dengan kaus yang tampak sangat longgar di tubuhnya kecuali bagian perut dan celana olah raga yang dikenakan rendah di pinggul. Dua bersaudara itu menghabiskan minuman masing-masing dan setelahnya keluar dari rumah, berjalan sekehendak kaki melangkah.

Sampai dua minggu yang lalu, mereka masih sering mengobrolkan berbagai soal kala jalan pagi. Namun, belakangan aktivitas itu menurun frekuensinya secara progresif. Sam bukannya tidak memancing Dean bicara, tetapi tarikan nafas Dean menjadi pendek-pendek sehingga jangankan disertai bercakap-cakap, untuk bernafas biasa saja dia sering terengah-engah. Akhirnya acara jalan pagi yang biasanya ramai diselingi celoteh menjadi ajang ilmu kebatinan, saling membatin tanpa kata terucap.

Selain masalah nafas, hal lain yang diperhatikan Sam adalah penurunan level energi Dean. Benar-benar seperti kurva bel: rendah-tinggi-rendah. Keenerjikannya di trimester kedua menghilang seakan ditelan pasir hisap. Dia kini lebih gampang lelah, tapi susahnya Dean jarang mau mengakuinya sehingga Sam yang harus peka membaca bahasa tubuh kakaknya. Pasang radar, begitu istilah Sam. Setiap kali dilihatnya langkah Dean sudah berat, nafasnya memburu dan pakaiannya basah oleh keringat, Sam berisiatif mengakhiri acara jalan-jalan itu. Rute yang mereka tempuh makin pendek saja seiring membesarnya kandungan Dean dan Dean yang dulu kuat berjalan tanpa istirahat kini membutuhkan beberapa kali berhenti sebelum melanjutkan.

Sam belum mencatat hal ini karena dia biasa berjalan berdampingan atau sedikit di depan Dean. Namun, pagi itu sewaktu Sam tertinggal beberapa langkah di belakang Dean setelah sempat berhenti membetulkan tali sepatunya, sesuatu menarik perhatiannya. Ada yang berbeda dari cara Dean berjalan. Dean memang biasanya melangkah dengan kaki melebar karena memiliki tungkai yang agak bengkok membentuk "o", tapi Sam mengamati bahwa kakaknya itu makin merenggangkan kaki sewaktu berjalan. Untuk menyeimbangkan dengan perutnya yang buncit, Dean menarik bahunya ke belakang secara otomatis dan sesekali Sam melihat tangan kakaknya menyokong bagian belakang pinggangnya. Cara jalan yang khas orang hamil dan terlihat kepayahan di mata Sam.

Sam masih mengawasi kakaknya selama beberapa saat sebelum pikirannya kembali ke suatu masalah yang menggelitiknya. Kemarin dia mendapat surat dari kampus yang memberi tahu bahwa dia harus mulai mengurus daftar ulang dan segala tetek-bengeknya jika ingin masuk semester depan. Sam belum membalas surat itu lantaran masih menimbang-nimbang pilihannya, tetapi sekarang dia tahu apa yang akan dituliskan sebagai balasan. Dia akan memperpanjang cuti akademik satu semester lagi. Terserah Dean mau bilang apa, yang jelas Sam takkan membiarkan kakaknya menanggung kesulitan seorang diri. Mengasuh bayi dan bekerja sekaligus tidaklah gampang walau Dean yakin dia dapat melakukannya. Sam telah mematri janji untuk mendampingi kakaknya dan dia akan memenuhi itu.

Keputusan diambil, Sam menyusul kakaknya yang kini berjalan menuju rumah.

~*~

Sam pernah membuat makalah tugas kuliah bertema alasan-alasan mengapa orang menonton televisi. Dia dapat menambahkan satu lagi ke dalam daftar itu: hamil tua dan tidak punya banyak sisa tenaga untuk melakukan aktivitas lainnya sementara mata belum mau diajak tidur. Televisi menjadi sarana hiburan satu-satunya buat Dean di malam hari setelah pemutar kaset tua mereka mogok bekerja dan Dean belum berhasil mereparasinya. Sam sekali waktu menyodorkan buku pada Dean, tapi kakaknya itu menolak bahkan sebelum membaca judulnya. Jaringan internet di daerah mereka kurang stabil dan siaran radio lebih banyak bikin polusi suara. Dean kadang mengajak Sam main kartu, sekadar mengasah keterampilan. Namun, ekspresi Sam yang memantulkan kartu di tangannya membuat Dean kapok main dengan adiknya. Tak ada tantangannya.

Malam itu, seperti malam-malam lainnya, Dean duduk di sofa dengan pengendali saluran di tangan dan mulut mengomentari setiap acara di saluran yang dipindah-pindahnya dengan kecepatan cahaya. Sam di sofa satunya, membaca dan sesekali melirik layar teve kalau ada celetukan pedas kakaknya yang menarik minatnya. Sam suka membatin, tampaknya Dean menonton teve cuma untuk mengkritik alih-alih benar-benar memirsa suatu acara.

Suara yang datang dari televisi dan vokal kakaknya berbaur jadi satu dengungan di telinga Sam, bak latar belakang untuk dia membaca. Sam terbiasa dengan itu sehingga kala ada satu komponen yang menghilang, itu menarik perhatiannya. Apalagi yang hilang itu suara kakaknya.

Sam mengangkat kepala dari bukunya dan menoleh ke arah kakaknya. Dilihatnya Dean menaikkan kaki yang tadinya terjuntai dari sofa naik ke meja kopi di depannya, geraknya pelan dan tersendat. Desis kesakitan lolos dari mulutnya dan wajahnya berkerut merasakan nyeri yang meremas-remas otot kakinya. Khawatir, Sam bergegas menghampiri kakaknya.

"Apa yang sakit?" tanya Sam.

Dean menggertakkan gigi dan jawabannya agak susah ditangkap. "Kaki. Kram."

Sam spontan mengulurkan tangan untuk memeriksa. Dean membiarkannya.

"Sebelah mana?"

"Betis. Dua-duanya." Lebih mudah dimengerti kali ini. "Oh, keparat." Apalagi yang ini.

Sam memindah duduknya dari sofa ke meja kopi agar posisinya lebih enak. Dia mulai memijat betis Dean dengan kedua tangan, mencermati ketegangan otot keras yang terasa di bawah telapak tangannya dan berusaha melunakkannya. Sam tidak terlalu berpengalaman dalam soal pijat-memijat, tapi dia secara instingtif tahu bagaimana harus mengarahkan gerakan jemarinya, seberapa tekanan yang diperlukan. Dalam beberapa menit, serangan kram itu berkurang intensitasnya dan Dean terlihat lebih rileks.

"Trim's," kata Dean. Kalimat berikutnya ditujukan pada diri sendiri, tetapi terdengar oleh Sam. "Biasanya tidak separah ini."

Sam mengangkat alis. "Biasanya?" Sudah berapa bulan kamu mengalami ini dan menyembunyikannya dariku?

Mendeteksi nada berbahaya suara adiknya, Dean menggumam, "Hanya kram, bukan masalah besar."

"Bukan masalah besar?" ulang Sam

"Apa ada burung beo di sini?" sambar Dean. "Aku sebetulnya berniat beri tahu kamu, tapi biasanya kramnya mereda begitu aku mau mengatakannya padamu," dia berkelit.

Yeah, mereda setelah kamu kesakitan berjam-jam dalam diam, pikir Sam.

Yang keluar dari mulutnya adalah, "Apa kita perlu hubungi Dr. Zhang? Jangan bilang tidak dulu, Dean," Sam mengangkat tangan menyetop kalimat yang sudah siap diucapkan kakaknya. "Maksudku, kamu bilang biasanya tidak seperti ini. Pasti ada yang menyebabkan kramnya bertambah parah dan siapa tahu itu ada kaitannya dengan kandunganmu. Seluruh tubuh berhubungan, bukan?"

Dean mengangkat bahu. "Menurutku kamu bereaksi berlebihan, tapi kalau kamu mau telepon dokter, itu terserah kamulah."

Sam mencabut ponsel dari saku dan benar-benar menelepon Dr. Zhang. Dijelaskannya apa yang baru saja terjadi, sekaligus sesekali mewawancarai Dean tentang kram yang sebelumnya dialami. Si dokter, agak mengecewakan Sam, menyatakan dia tidak dapat menunjuk secara pasti apa pencetus kram itu, hanya menyebutkan beberapa kemungkinan. Sam menyimpulkan sendiri bahwa kram yang dialami kakaknya tampaknya disebabkan oleh terlalu lama berada di posisi yang sama atau kurang cairan. Mengatasi yang pertama tidak sulit, banyak minum untuk memperbaiki kondisi kedua yang Dean kurang setuju (dia menggerundel, "Bagus, tambah lagi alasan untuk menginap di toilet."). Dr. Zhang sepakat saja dengan pendapat Sam itu lalu mengingatkan Sam akan latihan operasi pertama mereka dua hari lagi. Sisa pembicaraan berkisar pada topik yang satu itu.

"Sudah kubilang, bukan masalah besar," ucap Dean setelah Sam menutup telepon.

Sam terpaksa mengakui, dirinya terlalu banyak membaca soal komplikasi dan segala kondisi gawat yang dapat terjadi pada orang hamil. Ditambah imajinasi yang kelewat aktif dan tendensi untuk panik kalau sudah menyangkut kakaknya, begitulah hasilnya.

"Yeah. Tapi lain kali kalau kram lagi jangan diam saja," ujarnya.

Dean menyeringai. "Setelah tahu bahwa pijatanmu ternyata ampuh, tentu saja tidak. Aku, kan bukan masokis."

Sam mendengus mendengar itu. Bukan masokis, eh? Belum mengaku, lebih tepat.

"Omong-omong, coba, deh kamu praktekkan bakat terpendammu itu pada cewek-cewek. Dijamin." Dean menjentikkan jarinya.

Sam memutar bola mata, hafal taktik pengalihan percakapan oleh kakaknya.

Tukang pijat dadakan kemudian menjadi satu lagi profesi yang disandang Sam mengingat seiring bertambah besar kandungan Dean, dia makin sering didera kram dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya. Itu membuatnya kian susah tidur dan Sam yang ujung-ujungnya turun tangan secara harfiah, memijat sekujur tubuh kakaknya sampai dia bisa terlelap. Hitung-hitung sebagai balasan atas nina bobo dan cerita sebelum tidur yang Dean bawakan untuknya waktu mereka berdua kecil dulu, begitu pikir Sam.

Karena kemanjuran pijatannya, Dean memberi julukan baru untuk adiknya: Jemari Ajaib.

~*~

BERSAMBUNG

Chapter 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar