Minggu, 13 Desember 2009

Fic: Fertile (Chapter 5/10)

~*~

Emo, istilah itu kerap digunakan Dean untuk menggambarkan adiknya dalam satu kata. Namun, kali ini tampaknya Dean-lah yang lebih memenuhi kriteria untuk disebut demikian. Sam agak terlambat menyadari kemurungan dan sikap menyendiri kakaknya lantaran kegembiraan mendapat pekerjaan masih menguasai perasaannya, ditambah sekian hari adaptasi dengan pekerjaan baru yang memenuhi pikirannya. Dia baru mendeteksi ada yang kurang beres dengan Dean setelah beberapa kali mendapati kakaknya melamun, menatap hampa ke luar jendela atau duduk tercenung di beranda. Percakapan dengan Dean yang biasanya penuh warna menjadi irit kata dan volume suara, itu yang mendentangkan alarm di otak Sam.

Sore itu, Sam menghampiri kakaknya yang tengah bergiat menggosok badan Impala dengan cairan pengilap cat mobil. Dia tadi mengawasi dari jauh dan menemukan roman muka kakaknya teduh penuh kasih, seperti yang biasa diperlihatkan Dean bila sedang merawat Impala kesayangannya. Dendang sepenggal lagu milik Led Zeppelin dari bibir kakaknya kian meyakinkan Sam untuk mendekat.

"Hei, Dean," sapa Sam santai.


"Hm," Dean hanya menggumam, tetap bertekun mengelap bemper belakang Impala sampai perlu berlutut untuk menggapai bagian yang tersembunyi. Nyanyiannya terputus di tengah jalan.

Sam tahu, dia tak perlu menanyakan apa ada masalah yang menganggu kakaknya sebab Dean pasti akan menjawab dengan "aku baik-baik saja, kenapa kamu tidak pergi siapkan makan malam" atau variasinya. Sam sendiri juga sebenarnya tidak tahu harus mulai perbincangan ini dari mana. Ada banyak hal yang ingin dikatakannya pada Dean, tetapi sukar baginya menemukan kata-kata untuk menyampaikan dengan setepat-tepatnya.

Baiklah. Sekarang atau tidak sama sekali, putus Sam.

"Dean, aku... maafkan atas kata-kataku yang kemarin." Itu bukan awal yang direncanakan Sam, tapi dia melanjutkan saja, "Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Kamu kakakku," suara Sam bergetar di sini, "akan selalu begitu. Apa yang terjadi ini tidak akan mengubah itu, tapi kamu harus tahu bahwa kamu tidak selalu mesti menanggung semuanya sendirian. Mungkin apa yang kulakukan untukmu telah membuatmu tersinggung, tetapi aku lakukan itu semua karena aku adikmu."

Dan aku sayang padamu, bodoh!

Gerakan tangan Dean yang memegang lap terhenti dan dia berdiri menghadap ke arah adiknya.

Sam menyambung perkataannya, "Aku akan berada di sampingmu, berbagi bebanmu, membantumu mengarungi masalah ini, langkah demi langkah. Lebih baik kamu mulai membiasakan diri dengan itu."

Dean mengeluh pendek, "Sam, aku memang sedang hamil, tapi aku tetap benci momen film cewek. Jadi berhentilah."

"Oh, tidak. Jangan kamu berpaling dan berkata bahwa kamu tidak apa-apa. Itu sama saja kamu menghina intelegensiaku karena aku melihat dengan jelas kata 'bermasalah' tercap di wajahmu," sambar Sam.

"Kamu tak mengerti, Sam."

Sam menggeram, "Jadi buat aku mengerti." Sejurus kemudian dia menambahkan, "Tolong."

Dean menatap adiknya lama sekali dengan mata memancarkan sorot yang sulit diterjemahkan maknanya. Sinar mata hazel-hijau yang kali ini jujur tanpa ditopengi ketabahan, tapi lantaran terlalu banyak yang berkecamuk di sana malah susah ditangkap secara pasti artinya. Sam cuma mampu menyebutnya sebagai tatapan sendu yang kalkulatif.

Dean yang pertama kali memutus adu pandang dengan meletakkan lapnya di atas tutup bagasi Impala lalu mengambil dua botol minuman dari kotak pendingin. Diangsurkannya sebotol pada Sam sebelum dia menutup kotak dan mendudukinya, memberi isyarat agar Sam duduk di sebuah peti yang ada di seberangnya.

Sam membaca label yang melingkari botol itu. "Limun?"

"Yeah."

Serempak mereka membuka botol dan meneguk isinya, familiar terasa seperti menenggak bir sore hari saja, bertahun-tahun yang lalu.

"Dean."

Si empunya nama mendesah panjang dan berujar, "Aku tidak akan lolos dari pembicaraan ini ya?"

Seringai Sam yang menjawab.

"Baiklah. Kamu jangan gede rasa dulu," kata Dean. "Tidak semua karena kata-katamu waktu itu, sebagian besar tidak. Aku tahu mengapa kamu melakukan apa yang kaulakukan, aku pun dapat memahami mengapa kamu merasa bertanggung jawab untuk menjagaku. Tuhan tahu aku masih menanggung tugas yang sama atasmu. Hanya saja..."

"Pikiran dan perasaan tidak selalu sejalan, bukan?" terka Sam.

"Yahtzee." Dean tersenyum sedih pada adiknya. "Malah, aku yang harusnya minta maaf padamu karena telah mengacaukan studimu," akunya.

Sam terharu mendengarnya. "Tak apa. Tahun depan masih dapat kulanjutkan dan sungguh, aku tidak menyesalinya. Jadi, kamu tak perlu minta maaf. Sudah kukatakan aku akan bersamamu menghadapi ini dan aku serius dengan itu."

Dean melayangkan pandang berterima kasih pada adiknya yang dibalas dengan anggukan mantap.

"Kamu dulu pernah bertanya apakah aku punya impian sendiri, kan?" ucap Dean sekonyong-konyong.

"Ya." Terbayang di benak Sam satu masa saat dia melemparkan pertanyaan itu pada kakaknya, tepat sebelum dia pergi kuliah ke Stanford. Waktu itu terjadi pertengkaran antara dirinya dan Dean. Dean mencoba mencegah Sam meninggalkan keluarga dan dunia berburu, yang dibalas Sam dengan pernyataan bahwa dia memiliki idealisme dan impian sendiri tentang hidupnya, lepas dari yang dikehendaki ayahnya dan Dean, dan apakah Dean tidak pernah mempunyai mimpi semacam itu?

Satu tegukan panjang limun mendahului kata-kata yang terucap lembut dari mulut Dean. "Aku juga punya mimpi, Sammy. Pernah punya."

Sam menunggu kelanjutan kalimat kakaknya dengan sabar.

"Belakangan aku punya waktu untuk banyak berpikir dan itu salah satunya. Aku... pernah mengidamkan sebuah keluarga, keluargaku sendiri. Rumah, pekerjaan tetap, bahkan," Dean mendengus, "istri, jika ada perempuan yang tahan denganku, dan ya, anak." Dean tertawa pendek, "Aku tidak menyangka bahwa salah satu mimpiku tentang kehidupan normal akan terwujud dengan jalan yang jauh dari normal. Tuhan, kalau Dia ada, sungguh memiliki selera humor yang aneh."

Keteduhan di wajah Dean yang biasanya hanya ditujukan pada Impala dan Sam menyeruak tatkala Dean meletakkan telapak tangan di atas perutnya.

"Sampai dia bergerak, aku belum menganggapnya eksis. Sebelumnya aku memikirkannya sebagai suatu penyakit supranatural yang harus kuderita untuk beberapa lama. Aku membencinya, benci diriku sendiri yang telah menyebabkan kekacauan ini. Namun kemudian, aku tak dapat menjelaskan bagaimana, aku..."

"Ya?" pancing Sam.

"Ini anakku di dalam sini, Sam," ucap Dean, takzim nadanya, hampir seperti mengagungkan.

"Dean..."

"Dia hidup di dalam diriku," Dean berkata terkesima seolah itu adalah keajaiban dunia. Dia tak terlalu keliru mengenainya.

Sam tidak bisa tidak memperhatikan betapa kakaknya itu kini merujuk bayinya dengan kata ganti orang ketiga tunggal pria, sesuatu yang anyar dan positif setelah beberapa waktu mendengar Dean menyebut bayinya dengan "makhluk itu" atau "si brengsek ini", itupun disebutnya dengan jengkel dan jarang.

"Akhirnya sadar juga, eh?" Sam menanggapi.

"Mau tidak mau, ya. Dan itu membuatku berpikir tentang hal-hal yang sebelumnya kukira takkan pernah perlu kupikirkan. Peristiwa seperti ini, yah, bikin aku mempertimbangkan banyak hal tentang hidupku."

Sam kembali menanti elaborasi dari apa yang baru saja dikatakan Dean itu, tetapi Dean tampaknya tidak berniat untuk membagi isi hati dan kepalanya lebih banyak lagi. Selama beberapa jenak dua bersaudara itu duduk berhadapan, sekali-kali meneguk limun dalam keheningan yang nyaman, cukup menikmati keberadaan satu sama lain.

Dean mengernyitkan muka dan menggelengkan kepala, diliriknya Sam setengah menuduh, "Kamu pakai guna-guna apa, sih sampai bisa menjebakku mengobrol dari hati ke hati?"

Simpati, jawab Sam dalam hati, dan sepasang telinga yang mendengarkan. Pandang memohon seorang adik juga sangat membantu.

Agak merah muka Dean sewaktu dia menggerutu, "Jangan lakukan ini lagi, aku jadi seperti cewek curhat di pesta menginap saja."

Namun, Sam tidak perlu jadi pembaca pikiran untuk mengetahui bahwa Dean merasa lebih lapang setelahnya.

~*~

Sam tengah mematut dasinya di depan cermin ketika telinganya menangkap berondongan sumpah serapah dari arah kakaknya.

"Ayolah..." gerutu Dean setengah memohon, setengah putus asa.

Sam memperbaiki letak pin yang menjepit dasi, baru menolehkan kepala. Didapatinya pemandangan yang sebenarnya kocak, tetapi menertawakan itu menurut hematnya terasa kurang pada tempatnya. Sam membatin, ternyata buku-buku dan Dr. Zhang tidak main-main waktu menyebutkan bahwa perkembangan bayi akan terjadi cepat pada trimester kedua. Dia sendiri menjadi saksi bagaimana Dean berjibaku mengancingkan celananya, celana yang seminggu lalu masih muat dipakainya, tapi pagi ini rupanya sudah tak kuasa mengakomodasi garis pinggang Dean yang melebar pesat.

"Sudah kamu mundurkan kancingnya?" tanya Sam.

Dean mengangkat kepala, wajahnya merah padam antara ngotot dan jengah. "Dua kali aku utak-atik, malah. Heran, kemarin-kemarin rasanya belum sesesak ini," sahutnya. "Buset, aku benar-benar menggelembung seperti boneka seks baru dipompa!"

Sam mau tak mau meringis geli karena referensi ajaib kakaknya itu. Kasihan, dia menawarkan, "Mau pinjam celanaku?"

Betapa keadaan berbalik. Dahulu Sam-lah yang kebagian memakai pakaian bekas Dean, sampai dia tumbuh melampaui kakaknya.

"Takkan ada gunanya. Ukuran pinggang celana kita, kan hampir sama, cuma beda panjang pipanya." Dean menurunkan celananya. "Kalau Britney Spears, jangan tertawa kamu, bisa pakai jins serendah itu, kenapa aku tidak bisa?"

"Sekalian saja kamu pelorotkan sampai ke dengkul!" seloroh Sam. "Ya beda, dong anatominya. Pinggul cewek, kan lebih lebar. Bokong mereka juga lebih besar, makanya dapat menahan celana serendah itu. Kalau kamu nekat meniru, bisa kena jerat pasal 'pemaparan tak senonoh' nanti." Sam mendadak teringat sesuatu. "Hei, kita punya celana setelan yang kebesaran itu, kan?"

"Benar juga. Di mana benda itu sekarang?"

Sam mengaduk-aduk bagian bawah lemari baju dan tak lama sepotong celana melayang ke arah Dean yang mengenakannya dengan lega, meski tak sepenuhnya rela.

"Sebentar lagi celana itu juga pasti kesempitan," ramal Sam.

"Maksudmu aku perlu beli celana, begitu?"

"Nanti sepulang kerja aku bisa mampir ke toko pakaian," kata Sam.

"Okelah. Terserah kamu," Dean mengedikkan bahu. Itu, kan uangmu.

"Akan kubelikan model celana kargo," Sam melihat tampang kosong kakaknya dan menjelaskan, "itu, celana yang banyak sakunya dan pinggangnya berkaret atau diberi tali kolor. Jadi bisa diatur lebarnya."

Dean duduk di tepi tempat tidur. "Bagaimana bagusnya menurutmu saja. Pilihanku kan cuma itu, atau pakai sarung. Atau kilt." Dia bergidik memikirkan yang terakhir itu.

"Perlu baju yang lebih besar juga? Mumpung aku mau belanja," tanya Sam sambil meraih aktentasnya dan merapikan isinya.

Dean berpikir sejenak baru menyahut, "Tidak perlu. Kemeja dan kaus masih bisa pinjam kamu."

Sam melirik kakaknya. "Kamu yakin? Maksudku, nanti perutmu akan jadi besar sekali dan tidak ada salahnya mempersiapkan dari sekarang."

"Ya sudah, deh. Carikan kaus oblong saja, kan bisa melar, tuh. Yang gambarnya Metallica ya."

Sam nyengir diam-diam sambil mengenakan jas, dalam hati bertekad untuk membelikan kaus warna pastel bergambar karakter Disney.

~*~

Dean memang terpaksa memakai kaus pemberian Sam dengan muka ditekuk dan pelototan sengit setiap kali adiknya itu mengulum senyum demi melihat gambar Mickey Mouse dan kawan-kawan bertengger di perut Dean yang mulai membukit. Namun, Dean sama sekali ogah menuruti saran Sam soal musik macam apa yang baiknya diperdengarkan pada si bayi sejak masih dalam kandungan.

"Aku tidak akan, dan kuulangi, tidak akan memutarkan Mozart buat bayiku. Titik," tegas Dean saat Sam menyodorkan sebuah kaset kompilasi musik klasik padanya di tengah raungan musik rock lawas. AC/DC, dari lengkingan suara vokalisnya.

Untung rumah ini jauh dari mana-mana, pikir Sam. Jika mereka memilih tinggal di motel atau di rumah Bobby, kebisingan dari pemutar kaset itu pasti tidak bisa ditolerir siapapun orang malang yang bernasib jadi tetangga mereka. Sam membatin pula, cuma Dean yang dapat mengatakan "Mozart" dengan nada yang sama seperti menyebut "musik sampah".

"Aku pernah membaca bahwa musik klasik bagus untuk perkembangan kecerdasan bayi," Sam beralasan.

"Klasik? Apanya yang klasik?" Dean menunjuk pemutar kasetnya, "Ini baru klasik." Dia tersenyum yakin. "Dan karena bayi ini memiliki DNA-ku, mestinya dia tidak butuh tambahan untuk meningkatkan kecerdasan."

Sam memutar bola mata. "Oh ya? Barangkali dia tidak butuh dikembangkan lagi kecerdasannya, tapi kamu justru mematikan potensi yang ada dalam dirinya. Musik rock itu, kan stimulasi berlebihan pada sel-sel otak," sanggahnya.

"Itu, kan katamu. Justru musik ini bikin dia tidur. Kalau tidak diputarkan musik, dia suka akrobat semalaman di perutku. Tidak enak, tahu, seperti ditonjok sepanjang malam," bantah Dean.

Sam tidak dapat berkata lain, soalnya sejauh ini Dean memang rada susah terlelap di malam hari jika kaset-kaset rock lamanya tidak dimainkan. Dalam hati Sam berpikir, benar-benar bayi yang ganjil, doyan musik keras sebagai pengantar tidur.

Namun, bukan Sam kalau mengalah semudah itu. "Tapi ingat-ingat, dong. Aku besok pagi mesti bekerja dan aku butuh tidur sekarang. Kenapa tidak kamu pakai headset saja?"

"Sudah kucoba. Efeknya beda. Dia tetap jungkir balik kalau aku dengar musik pakai headset," jelas Dean.

Sam menguap lalu berusul, "Pernah menempelkan headset-nya di perutmu?"

Dean memandang adiknya, jelas terlihat sangsi dengan ide itu. Sam balas mengirimkan tatapan seriusnya, yang pada akhirnya membikin Dean mencolokkan headset pada pemutar kaset dan menempatkan benda itu di perutnya.

Sepuluh menit berlalu sebelum Dean berkata pelan, "Sepertinya berhasil. Dia diam sekarang."

"Bagus," Sam menarik selimutnya dan bergelung mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

"Tapi, Sam, kini akulah yang jadi tidak bisa dengar musiknya," ujar Dean tiba-tiba.

Sam menyumbat telinganya dengan bantal.

~*~

Langkah-langkah panjang Sam membawanya ke kamar tidur siang itu. Cuaca sedang panas-panasnya dan Sam baru saja berkeliling di satu kompleks perumahan, mengetuk pintu demi pintu rumah, menawarkan buku dan ensiklopedia. Hasilnya lumayan, tiga set ensiklopedia berhasil dia jual, tapi gerahnya udara membuat peluhnya bercucuran dan saat ini yang diinginkannya hanya melepas setelan jas yang dikenakan, kemudian berendam air dingin. Menghitung pendapatan hari ini dapat menyusul nanti.

Sesampai di kamar, Sam mendapati pintu kamar mandi tertutup rapat pertanda sedang digunakan. Rada kecewa dia dan diputuskannya untuk ganti pakaian saja dulu, mengeringkan keringat. Sam baru usai memakai kaus oblong sewaktu sebuah erangan dari dalam kamar mandi mampir di telinganya. Punya seratus ribu alasan untuk khawatir, Sam mengetuk pintu kamar mandi.

"Dean! Dean! Kamu baik-baik saja di dalam?" serunya.

Suara erangan mandek, tapi tidak ada jawaban. Sam meningkatkan intensitas ketukannya menjadi gedoran yang mendesak.

"Hei, Dean! Jawab aku atau kudobrak pintunya!"

Semenit berlalu barulah ada sahutan dari dalam. "Yeah, aku baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja, malah," sahut Dean, terdengar seperti kehabisan nafas setelah melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

Pintu menjeblak terbuka dan Dean muncul di ambangnya, titik-titik keringat mengkilap di keningnya, Sam dapat melihat semburat merah di wajahnya.

"Sedang apa kamu..."

Tertangkap oleh mata elang Sam, satu eksemplar majalah Busty Asian Beauties di genggaman kakaknya. Majalah itu tergulung, tetapi Sam tidak akan salah mengenali halaman yang terletak paling luar sejatinya adalah halaman yang paling tengah. Pertanyaannya terjawab sudah. Agak menyesal juga dia kenapa tadi pakai bertanya segala.

Dean mengangkat alisnya, bibirnya membentuk setengah cengiran setengah senyum puas yang hanya dapat dilakukan olehnya. "Kalau ada satu dampak positif dari masalah kehamilan ini, Sammy, inilah dia," Dean mengedipkan mata sugestif, "seks yang hebat."

Sam memutar bola mata. "Meskipun seks solo?" balasnya.

Dean mengedikkan bahu. "Sayang sekali tidak ada cewek dalam radius sepuluh mil yang mau bercinta dengan makhluk ganjil sepertiku, tetapi tak masalah. Eksplorasi diri sendiri juga menyenangkan, kalau kau tahu maksudku," alis Dean berdansa seirama binar nakal di matanya, "aku tahu tubuhku cukup responsif, tapi... wow, aku tidak tahu sebelumnya hanya dengan sentuhan di..."

"Whoa, Bung," Sam menggoyangkan telunjuk di depan muka kakaknya, "terlalu banyak informasi."

Dean makin lebar seringainya. "Terserah. Yang jelas, kalau mau pakai kamar mandi, kembalilah satu jam lagi. Atau dua." Dengan itu dia berbalik masuk dan menutup pintu kamar mandi, menguncinya sekalian sebelum Sam sempat memprotes.

Sam berdiri gemas di depan pintu, tangan berkacak pinggang, geleng kepala mendengar kakaknya menyenandungkan lagu "I'm Too Sexy". Segera saja terdengar kembali suara erangan dari dalam kamar mandi, berbaur dengan desah dan nafas berat Dean. Erangan yang tak salah lagi mengekspresikan kenikmatan dan Sam bersumpah volumenya lebih kencang dibanding sesi yang tadi.

Sam menekan insting untuk menutup lubang telinga kanan-kirinya dengan telunjuk dan bernyanyi la-la-la sekerasnya buat meredam suara yang tidak dikehendakinya itu. Dia pilih bergegas kabur ke dapur.

Melarikan diri dan pura-pura tidak dengar adalah siasat yang kemudian digunakan Sam saban kali dia terjebak dalam situasi serupa, yang sayangnya (atau untungnya, tergantung sudut pandang yang menilai) cukup kerap terjadi sepanjang trimester kedua.

~*~

Daftar panjang tentang seribu satu hal yang mungkin terjadi pada orang hamil yang dibuat Sam beberapa bulan yang lalu kini dua per tiganya penuh dengan coretan, tanda silang dan tanda centang plus catatan-catatan khusus di sekitarnya. Sam masih melanjutkan jurnalnya pula. Dia sudah cocok dengan format penulisan yang sekarang: kombinasi antara catatan harian, rujuk silang dengan daftar dan deskripsi insiden-insiden penting. Tak seperti jurnal ayahnya yang acakadut, Sam mengorganisasi jurnal kehamilan Dean dengan baik. Jika si objek penulisannya sampai tahu, niscaya dia akan berkomentar tentang sindrom obsesif-kompulsif akan kerapian yang diderita Sam.

Ketertataan jurnal itulah yang membuat Sam mudah menemukan satu poin yang tengah dipertimbangkan untuk dicoretnya: fenomena ngidam. Menurut buku yang dia lalap, ngidam umumnya terjadi pada trimester pertama dan Sam belum menjumpai perilaku itu pada kakaknya. Jadi pemilih saat makan dianggap tak masuk hitungan. Itu hanya cara tubuh Dean meminta asupan nutrisi yang memadai. Meski demikian, tetap saja Sam memegang kredo bahwa setiap kehamilan itu unik dan ditambah karakter antik kakaknya, kehamilan ini bisa jadi ajaib kuadrat. Berprinsip demikian, poin itu belum dibuangnya dari daftar.

Entah siapa yang mengatur, pada malam setelah Sam memutuskan itu, Dean menariknya dari alam mimpi dengan permintaan yang tak disangka-sangka.

"Ayo bangun, Sammy!" Dean sepenuh daya menarik selimut adiknya sementara Sam balas mempertahankan properti tidurnya itu.

"Apa-apaan, sih, Dean?" Buset, masih kuat juga tenaga kakaknya, batin Sam, mulai bersungguh-sungguh menarik kini.

"Pokoknya kamu bangun dulu!"

Sisi jahat di benak Sam menggodanya untuk melepaskan selimut itu secara mendadak, biar Dean terjengkang karenanya. Namun, Sam sekali lagi membuktikan bahwa dirinya layak menjadi nomine orang suci pelindung orang hamil. Atau hadiah Nobel untuk bidang kesabaran.

"Iya, iya. Sebentar," Sam mendudukkan diri, matanya memandang sekilas ke langit-langit seperti berdoa singkat. "Ada apa?" Awas kalau tidak penting, batinnya.

Yang keluar dari mulut Dean membuat Sam ternganga.

"Belikan aku pai." Singkat, padat dan jelas. Jelas-jelas bikin keki.

"Apa?"

Dean berkacak pinggang tak sabar. "Belikan aku pai. Pai lemon yang garing," ulangnya.

"Bung, kamu tidak sedang mengigau? Ini kan," Sam melirik jam bekernya, "sudah pukul dua dini hari."
Jamnya orang tidur. Setidaknya orang yang masih waras atau bukan penjaga malam.

"Aku kepingin makan pai. Sekarang." Perengutan Dean sudah mirip kelakuan anak umur lima tahun yang merengek minta es krim, kurang acara menghentak-hentakkan kaki ke lantai saja.

Sam bersandar ke kepala ranjang. "Mau beli pai di mana? Masa ada toko kue yang masih buka pukul sebegini?"

"Terserah mau cari ke mana, yang penting kamu dapatkan painya," Dean melemparkan kunci Impala yang sigap ditangkap Sam. "Segera," tegasnya.

Sam menguap panjang, dalam hati menggerendeng, tetapi diturutinya juga permintaan kakaknya. Dengan Impala sebagai kawan sepenanggungan, disusurinya jalan-jalan kota yang telah sepi, matanya lirak-lirik kanan-kiri bak metronom, mencari toko kue atau apalah yang masih buka. Hampir Sam berpikir untuk mencari pai itu dengan melintasi negara bagian, tatkala di pinggir kota ditemukannya sebuah warung kecil untuk para pelawat yang untungnya menjual pai pesanan Dean. Tanpa ba-bi-bu dibelinya setengah loyang sekaligus.

Segala perjuangan itulah yang menjadikan Sam sama sekali tidak rela ketika Dean cuma mengigit secuil pai dan dengan santai mengatakan Sam boleh menghabiskan sisanya.

"Apa kamu bilang?" teriak Sam tercekat.

"Entahlah," Dean membersihkan remah-remah pai di sudut bibirnya, "aku mencium baunya dan mencicipi saja sudah merasa kenyang."

Sam mengepalkan tangan, menghitung sampai dua puluh, lalu dua puluh lima, barulah dia melampiaskan rasa sebal dengan mengganyang habis pai itu.

Kejadian macam itu bukan hanya terjadi sekali. Sam mencatat masih empat malam lagi dilaluinya dengan mengubek-ubek kota, berburu makanan yang diidamkan oleh Dean. Ada yang dilahap Dean sampai ludes, ada pula yang mengalami nasib serupa dengan pai lemon: jadi objek lapar mata belaka. Untungnya, permintaan Dean tidak terlalu aneh-aneh seperti waktu dia hamil muda dulu, hanya pemilihan waktu memintanya yang bikin mangkel.

Dean selalu mengatakan bahwa itu bukan keinginannya, melainkan bawaan orok di perutnya. Yeah, yang benar saja.

Sam dulu mengambil mata kuliah Psikologi 101 dan kalau mau dia dapat menulis artikel panjang lebar berbau Freudian mengenai dorongan bawah sadar yang dimodifikasi menjadi motivasi perilaku sadar seseorang. Dalam kasus Dean, analisis yang diketengahkannya berkisar pada kebutuhan Dean untuk mengendalikan hidupnya, mengendalikan Sam seperti yang dulu dilakukannya. Dia mengobati egonya yang terluka karena mesti banyak tergantung pada Sam dengan menguji seberapa Sam akan menuruti permintaannya, yang diatasnamakan ngidam. Kompensasi, singkatnya.

Namun, Sam tak hendak melakukannya karena mempelajari Dean adalah tugas seumur hidupnya yang tidak akan selesai ditulis, tidak akan dapat ditulis semua.

~*~

Sam lagi-lagi memperoleh kesempatan untuk menguji hipotesisnya tentang Dean sewaktu tiba saatnya pemeriksaan rutin dengan Dr. Zhang. Berkaca dari pengalaman dan tren yang sudah-sudah, dikiranya Dean akan mengeluarkan berbagai alasan, mengelak baik secara halus maupun terang-terangan supaya dia tidak usah pergi ke dokter. Namun, sekali lagi pula Sam kecele. Meski tidak terlihat antusias, kakaknya itu juga tak menolak ketika Sam mengajaknya ke tempat praktek Dr. Zhang. Entah karena suasana hati Dean sedang enak, dia telah belajar untuk tidak memusuhi satu-satunya orang dengan gelar dokter yang bisa membantunya, atau bagaimana, Sam tidak tahu pasti. Bisa membawa Dean ke dokter tanpa pakai perang saudara sudah disyukurinya. Tak perlulah mengorek-korek apa sebabnya, seberapapun penasarannya Sam.

Seperti biasa, Dr. Zhang menyambut mereka dengan senyum ramah. Dia menanyakan kabar dua bersaudara itu, apa pekerjaan yang kini mereka lakukan untuk menyokong hidup. Barangkali itu terdengar sebagai basa-basi belaka lantaran si dokter dapat saja menelepon Bobby kalau cuma ingin tahu soal itu, tapi Sam merasakan perhatian Dr. Zhang yang tulus pada mereka berdua. Dean pun tampaknya mengerti dan karenanya menjawab dengan santun.

Si dokter mempersilakan Sam dan Dean masuk, dia yang terakhir melangkah ke dalam bangunan karena setelah dua pemuda itu masuk, Dr. Zhang mengawasi sejenak jalan depan tempat prakteknya, siapa tahu ada orang yang melihat kedatangan Winchester bersaudara dan menyadari keanehan kondisi Dean yang sudah jelas terlihat kini. Setelah memastikan situasi aman, Dr. Zhang menuju ke ruang periksa di mana Sam dan Dean menunggunya.

"Acara kali ini kita awali dengan timbang badan ya," Dr. Zhang melambaikan tangan mengisyaratkan agar Dean naik ke timbangan di sudut ruangan.

"Seperti petinju saja," komentar Dean.

"Eit, copot dulu sepatumu," Sam mengingatkan. "Belum cukup tambahan beban di perutmu?"

Dean menyepak sepatunya dan berdiri di atas timbangan yang angkanya diamati Dr. Zhang. Si dokter mencatat bobot Dean saat itu lalu menanyakan berapa berat badan Dean yang biasa.

"Naik beberapa belas pon ya," ucap Dr. Zhang, "tapi masih dalam batas wajar untuk usia kandungan lima bulan lebih. Sebelum saya memeriksa, apa ada keluhan atau hal yang Anda rasa menganggu selama beberapa minggu terakhir ini?"

Dean turun dari timbangan, kembali duduk di samping Sam dan mengejutkan adiknya dengan jawaban, "Yah... sebenarnya ada."

"Terlepas dari kewajiban kontrol rutin ke sini, saya harap," canda Dr. Zhang.

Dean tersenyum sopan. "Anda menyerobot jawaban pertama saya," dia balik berkelakar. Namun, keseriusan menghiasi raut mukanya ketika dia melanjutkan, "Saya tahu ada bayi yang sedang bertumbuh di sini, tapi tetap saja saya merasa diri membengkak."

Dr. Zhang mengangguk mafhum. "Itu karena retensi cairan," jelasnya. "Ada perubahan hormon selama kehamilan yang menyebabkan itu ditambah pertambahan aktual ukuran bagian abdomen Anda. Tidak nyaman, saya duga?"

Dean mengangguk. "Tapi itu normal?"

"Memang seperti itu," jawab Dr. Zhang. "Ada lagi?"

"Er... kadang-kadang saya mengalami konstipasi," Dean memandang lurus si dokter, mengacuhkan dengusan adiknya.

"Ah ya, itu juga lazim dialami orang hamil. Ada proses yang menyebabkan kerja pencernaan melamban, juga karena pengaruh zat besi di suplemen yang saya kira Anda konsumsi. Untuk masalah ini, saran saya Anda perlu memperbanyak makanan berserat dan minum air putih. Sebenarnya olah raga juga membantu, tapi saya yakin Anda sendiri sudah melakukannya, benar?"

Dean mengangguk.

"Dia, sih kelewat bersemangat sampai pernah hampir pingsan sehabis lari sepagian," timpal Sam.

Dr. Zhang tersenyum. "Saya percaya Anda kini sudah belajar dari pengalaman dan berolah raga sesuai kemampuan, bukan begitu? Kehamilan membuat Anda harus beradaptasi kinerja tubuh Anda kembali, Tuan Winchester. Hm, Anda tadi bilang mengalami konstipasi, apa ada gangguan pencernaan juga?"

"Yeah, sesekali saya merasakan seperti terbakar di ulu hati, padahal saya tidak punya riwayat sakit maag," ungkap Dean.

Sam memasang telinga sebab fakta yang satu itu belum pernah dikatakan Dean sebelumnya.

"Pembalikan asam lambung," Dr. Zhang berkata, "masih terkait dengan perlambatan kerja pencernaan, meski ada juga yang mengatakan penyebabnya adalah lambung terdesak oleh kandungan. Cara meredakannya sama dengan orang sakit maag pada umumnya. Makan sedikit tapi sering, hindari makanan berlemak dan pedas..."

"Kunyah biskuit, bisa menetralkan," sela Sam tiba-tiba. Menghadapi pandang bertanya kakaknya dia menjelaskan, "Dulu waktu kuliah aku suka kena maag."

"Kalau orang gila belajar macam kamu, sih aku tidak heran," balas Dean. Kalimat berikutnya terarah pada Dr. Zhang, "Saya beberapa kali minum antasid kalau terpaksa, itu tidak apa-apa, kan?"

"Antasid pada umumnya aman. Nah, ada hal lain lagi yang perlu saya ketahui?"

Dean mengangkat bahu.

"Baiklah. Pemeriksaan rutin seperti biasa. Anda silakan berbaring di meja periksa, detil yang lainnya pasti Anda sudah hafal."

Dr. Zhang berbalik untuk mengambil sesuatu dari lemari sementara Dean melolosi kemeja dan kausnya di bawah sorot mata penuh ingin tahu dari Sam yang jarang dapat melihat kandungan kakaknya secara langsung tanpa terbalut pakaian.

"Suka dengan yang kaulihat?" desis Dean.

Sam menjulingkan mata.

Dr. Zhang kembali ke sisi meja periksa dengan segulung pita pengukur di tangannya. Dia merentangkan pita ukuran itu membujur di atas perut Dean yang sudah menelentang di meja periksa dan mencatat hasilnya.

Dean tidak bisa tidak menyeletuk, "Anda mau alih profesi jadi penjahit, dokter?"

"Satu-satunya hal yang akan saya jahitkan untuk Anda adalah luka operasi, Tuan Winchester," sahut Dr. Zhang. "Omong-omong soal operasi," si dokter menoleh pada Sam, "saya punya beberapa artikel yang dapat Anda pelajari sebelum kita mulai berlatih, jika Anda berminat," tawarnya.

"Terima kasih. Saya sudah punya buku dan bahan yang saya perlukan, tapi tambahan materi akan lebih bagus," jawab Sam.

"Sudah sejauh mana Anda membaca?"

Sam mengingat-ingat, "Sampai sekarang saya baru membaca prosedur umum operasi dan sedikit tentang anatomi. Kita belum akan mulai latihan dalam waktu dekat, kan?"

"Seperti yang saya dulu pernah katakan, kita awali di trimester ketiga." Dr. Zhang mengerutkan alis sekilas dan berkata pada pasiennya, "Tidak ada salahnya bila Anda juga mau belajar tentang operasi yang dilakukan pada Anda, Tuan Winchester."

Dean menyeringai, "Oh, tidak. Aku cukup tahu kalian mau pakai bius jenis apa, sisanya kuserahkan pada kalian."

Jawaban enteng itu menimbulkan reaksi memutar bola mata dari Sam dan senyum Dr. Zhang.

"Apa Anda yakin kami akan membius Anda? Kalau dananya tidak cukup untuk anestesi..." Dr. Zhang membiarkan kalimatnya menggantung.

Dean terlihat agak ngeri memikirkan implikasinya dan berseru, "Itu namanya tidak berperikemanusiaan! Operasi tanpa bius, sama saja balik ke abad pertengahan!"

Sam ikut nimbrung mengganggu kakaknya. "Kami tidak bisa memberimu alkohol sampai mabuk karena ada bayimu. Yah, barangkali kalau aku sedang baik hati aku bakal menonjokmu sampai pingsan."

Dean misuh-misuh mendengarnya, menggerutu tak jelas.

Sam mengalihkan perhatiannya pada si dokter. Tanyanya, "Yang tadi Anda lakukan itu mengukur apa?"

"Oh, itu agar saya ada gambaran kasar tentang pertumbuhan bayi, dibandingkan nanti dengan hasil USG." Dr. Zhang memasang stetoskopnya dan menempelkan ujungnya di perut Dean. "Saya tidak terlalu mahir dalam soal ini, tetapi saya akan coba mendengarkan detak jantung bayinya. Anda rileks saja, Tuan Winchester. Ini mungkin butuh agak lama."

Memang jadinya makan beberapa menit untuk Dr. Zhang beraksi dengan stetoskopnya. Dicobanya memindah posisi stetoskop, mengubah kekuatan benda itu ditekankan ke kulit Dean. Selama itu Dean memandang ke langit-langit dengan bosan, lama-lama jadi terbiasa dengan logam dingin yang menyentuhnya dan perhatiannya terarah pada polah dua cicak kecil yang merayap di dekat lampu.

"Ah," Dr. Zhang berseru pelan, "ini dia." Si dokter mendengarkan dengan tekun seraya memandangi arloji di pergelangan tangannya.

Satu menit kemudian Dr. Zhang melepas stetoskopnya dan berkata, "140 denyut per menit. Itu normal. Anda mau dengar?"

Sinar keraguan berkelebat di mata Dean, tetapi Dr. Zhang sudah menyodorkan stetoskop padanya. Dean memasang alat itu di telinganya, meringis sewaktu telinganya menangkap suara gemuruh dan gemersik yang jadi serasa sepuluh kali lipat lebih kencang.

"Sudah terdengar?"

Dean memejamkan mata, konsentrasinya tertuju pada suara-suara gaduh yang ditangkap telinganya.

"Belum."

Dr. Zhang menggeser ujung stetoskop ke daerah yang disinyalir akan memberikan hasil.

"Bagaimana?"

Dean hampir mau menjawab "negatif" sewaktu dia mendengar samar-samar ada suara berdebuk teratur, yang dia yakin bukan berasal dari jantungnya.

"Coba ke bawah sedikit," pintanya yang dituruti Dr. Zhang.

Dug...dug...dug... Dean mendengar di telinganya dan terus berbunyi seperti itu. Makhluk lain di dalam situ punya jantung, berdenyut dengan trengginas, memompa darah ke seluruh tubuh mungilnya yang tak terlihat mata telanjang.

Tumbuh. Hidup.

Sam yang mengamati proses itu dengan tertarik mendapati perubahan ekspresi kakaknya. Senyum mengembang perlahan di bibir Dean, begitu lembut seperti kelopak mawar merekah di musim panas. Senyum itu melunakkan gurat kecemasan yang keras di wajah kakaknya, menggantikannya dengan sesuatu yang hampir damai.

Dean membuka mata dan Sam belum pernah melihat kakaknya begitu sumringah.

"Wow." Itu saja silabel yang terlontar, tetapi nadanya demikian sarat makna. Tercengang, takjub, heran, senang, mungkin juga rasa syukur dan kasih yang meruap, kalau mau digali sampai ke lapisan terdalam.

Kegembiraan itu menular, begitu kata orang. Sam tidak meragukannya kini.

Dr. Zhang membiarkan Dean mendengarkan detak jantung bayinya untuk beberapa lama, baru meminta Dean melepaskan stetoskopnya. Permintaan itu dituruti Dean dengan sedikit enggan.

"Bagaimana? Anda sudah dengar sendiri, kan," Dr. Zhang beralih mempersiapkan alat USG.

Dean mengejapkan mata, sisa terkesima jelas terbaca di mukanya.

"Yeah. Itu... itu..." dia putar otak untuk mendapatkan ekspresi yang tepat buat melukiskan pengalaman barusan. Tidak ditemukannya.

Dr. Zhang mengangguk. "Saya mengerti," katanya.

Pemeriksaan berlanjut dengan ritual USG yang biasa, hanya kali ini baik Sam maupun Dean tidak banyak buka mulut sepanjang Dr. Zhang memeriksa. Jadilah si dokter bermonolog menerangkan apa yang tertangkap di layar monitor.

"Ya, kondisi bayi dalam keadaan sehat dan aktif. Panjangnya sekarang sekitar sebelas inci. Saya kira Anda kini sudah mulai bisa menerjemahkan apa yang Anda lihat di layar karena tubuh bayi Anda lebih jelas terbentuk. Anda lihat, pelan-pelan tubuhnya akan tumbuh sehingga kepalanya tidak terlihat sangat besar. Ini masa yang penting bagi perkembangan paru-parunya sehingga andai pada bulan keenam dia dilahirkan prematur, dia punya kemampuan minimal untuk bertahan hidup."

Dean dan Sam memperhatikan layar monitor dengan cermat. Benar yang dikatakan Dr. Zhang. Lebih gampang kini untuk mengidentifikasi apa adalah apa. Minimal Dean bisa langsung menunjuk mana kepala, kaki, tangan dan torso bayinya kalau ditanya.

Sesi USG itu diakhiri Dr. Zhang dengan, "Tuan Winchester, saya ucapkan selamat pada Anda karena telah melampaui separuh jalan kehamilan Anda. Saya pernah membaca dan mendengar sendiri bahwa orang-orang selalu mengatakan setengah jalan di awal adalah yang paling sulit, tapi Anda telah melaluinya. Empat bulan ke depan akan terasa meluncur saja."

Dean menyeringai. "Jangan bilang begitu dulu, dok. Kami keluarga Winchester selalu menempuh segalanya dengan cara sesulit mungkin, soalnya. Bayi ini tidak terkecuali."

Dr. Zhang melambaikan tangan, "Ah, sedikit optimisme, kan tidak buruk. Selain itu..."

Dering telepon dari arah tempat tinggal Dr. Zhang yang terletak di lantai atas tempat prakteknya memotong apa yang akan dikatakan si dokter. Dr. Zhang minta permisi pada dua bersaudara itu lalu bergegas keluar dari kamar periksa. Terdengar derap sepatunya menaiki tangga.

"Jadi, sejauh ini semuanya oke, huh?" tanya Sam, mengulurkan kemeja kakaknya sementara Dean mengenakan kausnya.

"Uh-huh. Mulus seperti pantat bayi," jeda sejenak, "tidak bermaksud memainkan kata."

Sam kini dapat mengenali dengan mudah kapan si bayi bergerak tanpa perlu diberi tahu oleh kakaknya. Yang perlu diperhatikannya adalah sudut mata Dean yang berkerut sedikit setiap kali merasakan gempuran dari si bayi di perutnya. Dari apa yang diamatinya, si bayi baru saja beraksi lagi.

Dean mengkonfirmasi dugaan itu dengan mengusap perutnya, menunduk sedikit dan berujar, "Hei, kalau mau tendang, tendang ke arah luar saja. Kamu pikir organ dalamku itu bola sepak, eh?"

Sam melayangkan tatapan geli sewaktu Dean berkata lagi, "Nah, itu mendingan. Bocah pintar."

Dean menengadah dan matanya bersirobok dengan Sam. Sam sendiri tidak dapat memastikan apa yang dibaca dan dipahami kakaknya dari sorot matanya, yang jelas dia terkejut ketika Dean menarik pergelangan tangannya dan menempatkan telapak tangan Sam di perutnya. Sam berniat menarik kembali tangannya, tetapi Dean mengunci kesempatan itu.

"Bilang 'hai' pada Paman Sam," perintah Dean, tersenyum oleh kelakar tak sengaja itu.

Sam tidak yakin si bayi akan mengerti, apalagi menuruti permintaan kakaknya, tapi dia diam saja dan membiarkan telapak tangannya tetap menyentuh perut Dean.

Sebuah gerakan halus terasa olehnya, hampir tidak tertangkap lantaran samar dan cepat, seperti elusan sayap kupu-kupu atau kelebatan hantu lewat. Penasaran, Sam memindahkan tangan ke arah gerakan itu menghilang, sedikit menekan, tapi tidak menyesakkan. Tindakan itu berbalas. Tawa Sam spontan meledak sewaktu telapak tangannya mendapat sodokan dari dalam beberapa kali.

Sam tidak sempat merasa konyol ketika dia berkata, "Hai juga."

Si bayi menendang lagi sekali dan Sam tercengang campur senang. Terbawa eforia, Sam membungkukkan badan, hendak menempelkan telinganya ke perut Dean.

"Hei, beri bayiku ruang personal," Dean mendorong jidat Sam yang sudah demikian dekat dengan perutnya mundur dan menyingkirkan tangannya sekaligus.

Sam mengangkat tangan tanda menyerah. Senyum merekah di bibirnya. Bahwa Dean mengizinkannya merasakan gerakan si bayi, membiarkan tangannya di sana tanpa ancaman, itu sudah kemajuan besar, pikirnya. Tak perlulah bermain dengan keberuntunganmu.

Sam mengawasi kakaknya sementara otaknya sibuk mencerna apa yang baru saja dialaminya dan pemahaman yang mencuat menyentakkannya. Selama ini dia terlampau berfokus pada si bayi sebagai masalah, problem yang harus dipecahkan dan dihadapi. Dia lalai mengingat bahwa si bayi adalah kehidupan sendiri, suatu entitas bernyawa, calon penyandang nama Winchester. Anggota keluarga baru: anak dari kakaknya, yang berbagi garis darah yang sama dengannya.

Keponakannya.

Aku akan jadi paman, ucap Sam dalam hati, terpana oleh gema ide itu, tercekat oleh sekian kemungkinan yang bisa jadi muncul dari sana.

Merasakan gerakan bayi itu di bawah tangannya, menjalin kontak pertamanya dengan makhluk yang belum dikenalnya, itu membuat Sam memandang situasi ini dengan perspektif baru. Ini bukan hanya masalah supranatural ataupun studi, melainkan jauh menjangkau ke ruang personal. Si bayi tak sekedar objek, tapi dia kelak akan menjadi seseorang yang penting dalam kehidupan Sam dan Dean. Bayi itu adalah tanggung jawab baru bagi mereka, seseorang yang akan mereka sayangi, lindungi dan jaga seumur hidup.

Berpikir lebih jauh, bayi itu adalah bukti nyata keajaiban penciptaan dan Sam merasa beruntung dapat menyaksikannya secara langsung, sekaligus jadi kecil tak berdaya di hadapan Sang Pencipta.

Kini Sam mulai dapat meresapi mengapa nada takzim itu sampai menyeruak sewaktu Dean pertama kali menyebut si bayi sebagai anaknya. Dan dia ingin Dean tahu bahwa dia mengerti.

"Dean..."

Suara pintu dibuka dan langkah mendekat Dr. Zhang menelan apa yang ingin dikatakan Sam dan potensi momen film cewek itu pun berlalu.

"Maaf," Dr. Zhang berkata, sama sekali tidak menyadari apa yang barusan terjadi, "saya agak lama menelepon. Vitamin yang saya resepkan apa masih ada?"

Dean mengangguk.

"Saya buatkan resep lagi bulan depan saja kalau begitu. Nah, jika sudah tidak ada yang mau dibicarakan, saya kira cukup untuk pemeriksaan kali ini," ujar si dokter, kali ini menerima pembayaran dari Sam karena sia-sia saja menolak.

Dr. Zhang lalu mengantar Sam dan Dean sampai ke depan pintu seperti yang selalu dilakukannya, tak lupa mengawasi keadaan di sekitar area itu sebelum melepas kepergian dua bersaudara itu. Kewaspadaan tidak merugikan, hanya membuatmu tampak paranoid, kadang-kadang, tapi aman.

Sam sudah melangkah keluar dari bangunan tempat praktek Dr. Zhang menuju Impala, tetapi Dean berhenti di ambang pintu, berpaling pada si dokter dan dengan nada rendah penuh penghargaan diucapkannya, "Trim's, dok. Untuk semuanya." Dijabatnya tangan Dr. Zhang dengan hangat.

Dr. Zhang tersenyum sama hangatnya. "Sayalah yang berterima kasih karena Anda mengizinkan saya menangani kasus Anda yang boleh terbilang amat langka ini. Ini pengalaman yang sangat menakjubkan bagi saya, begitu pula bagi Anda, saya kira."

"Yeah."

Dengan satu anggukan Dean berpamit dan menyusul adiknya yang sudah menghidupkan mesin mobil.

~*~

BERSAMBUNG

Chapter 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar