Minggu, 13 Desember 2009

Fic: Fertile (Chapter 4/10)

~*~

Awalnya Sam membuat jurnal tentang kehamilan Dean dengan format pencatatan harian. Setiap hari dia mewajibkan diri menulis segala yang terjadi, seberapapun membosankan dan rutinnya itu. Format itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian Sam mengevaluasi caranya menulis jurnal dan memutuskan mengubah strategi dengan lebih menekankan pada peristiwa yang tidak biasa atau menurutnya penting dan perlu dicatat. Entah pertanda apa, tepat ketika dia berubah haluan itulah terjadi sesuatu yang langsung dapat masuk kategori patut ditulis.

Pagi itu berjalan seperti pagi-pagi yang biasa. Sam tengah berkutat di depan kompor menyiapkan sarapan saat kakaknya masuk ke dapur, mengendus bau masakan yang mengambang di atmosfer dapur dan membuka kulkas. Sam bahkan tidak melirik, mengira Dean mencari kudapan sebelum sarapan, kebiasaan baru Dean yang sudah dikenali adiknya. Sam baru menoleh saat Dean bertanya, "Ke mana semua persediaan kacang polong beku kita?"

"Kan sudah habis dipakai masak makaroni kacang polong," Sam bergidik membayangkan makanan itu, yang dilahap Dean dengan rakus semalam sementara Sam lebih pilih menyantap roti lapis.

"Punya tepung kiloan yang kemasannya utuh?" tanya Dean lagi.

Sam mengerutkan kening. "Untuk apa? Jangan bilang mau kaumakan mentah-mentah."

"Pengganti barbel," sahut Dean enteng.

"Bar..." Sam mendelik, "Ya ampun, Dean! Kamu itu sedang hamil, mau olah raga angkat beban?"

"Aku selama tiga bulan praktis tergeletak, Sam. Sekarang aku merasa baikan dan ingin olah raga, kamu protes. Bukankah kamu sendiri yang kemarin bilang kehamilan jangan dijadikan alasan untuk absen melatih otot, eh?" bantah Dean.

Sam hampir menggaruk kepalanya kalau tidak ingat tangannya berlumur sari tomat. "Ya, olah raga itu penting, bagus pula buat orang hamil, tapi jangan angkat beban, dong!"

"Sit-up dan push-up, kan sudah tidak masuk hitungan."

"Yoga?"

Dean tercengang memandang adiknya. "Dean Winchester. Tidak. Akan. Pernah. Beryoga. Titik."

"Baiklah. Kalau aerobik? Kamu bisa jalan kaki di sekitar rumah," Sam berusul. Ada untungnya menyewa rumah yang terletak di tengah lahan kosong yang luas dengan pemandangan lumayan segar.

Kakaknya terlihat menimbang-nimbang, baru menjawab, "Bolehlah." Dia lalu keluar ke halaman belakang lewat pintu dapur.

Sam menyerukan di belakangnya, "Ingat kondisimu. Jangan berlebihan."

Dean cuma melambai dengan cuek.

Sam sempat memperhatikan gerak-gerik kakaknya. Dia kenal saudara semata wayangnya itu dan hampir yakin bahwa Dean akan mencoba berlari alih-alih berjalan. Memasuki trimester kedua kehamilannya, Dean seolah baru dapat suntikan energi dan dia boleh dibilang kembali menjadi Dean yang biasa, plus selera makan yang berlipat dan preferensi hidangan yang rada ganjil. Dean yang biasa, setelah beberapa bulan dilanda keletihan tentu takkan menyia-nyiakan kesempatan dan tenaga untuk jadi lebih aktif. Benar saja. Sam memutar bola mata ketika sosok kakaknya yang berlari mengitari rumah melintas di depan jendela. Namun, sup tomat yang menggumpal di atas kompor alih-alih mengental mengalihkan perhatian Sam.

Mangkuk besar berisi sup tomat yang akhirnya sukses dijinakkan oleh Sam itu telah tersaji di atas meja makan waktu pintu belakang terbuka. Sam mengangkat kepala dari koran yang dibacanya dan dilihatnya Dean berdiri limbung di ambang pintu, nafasnya memburu dan wajahnya membara terbakar matahari. Sebelah tangannya berpegangan pada pintu, bagi mata yang tak biasa akan terlihat kasual, tetapi Sam melihat buku-buku jari kakaknya yang memutih.

Hampir saja Sam terlambat menangkap tubuh kakaknya yang jatuh lemas.

"Hei, hei, Dean!" Sam menepuk pelan bahu Dean yang dirangkulnya.

Jemari Dean mencengkeram lengan Sam, niatnya mau bangkit dari lantai, tetapi Sam menahannya dengan halus.

"Jangan bangun dulu. Kamu baik-baik saja?" mata cemas Sam menyusuri sosok kakaknya.

"Cuma pusing sedikit," gumam Dean, sekali lagi mencoba berdiri.

"Pusing apa? Kamu hampir pingsan begini," omel Sam, kalimat "kubilang juga apa" menggantung di lidah dan tatapannya.

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Sekarang singkirkan cakar Sasquatch-mu dan posisikan aku vertikal."

Sam menyipitkan mata.

"Aku sungguh tidak kenapa-napa, Sammy."

"Kita perlu ke dokter," putus Sam.

"Apa? Tidak usah. Memangnya aku ini apa, cuma pening sedikit pergi ke dokter," tolak Dean.

"Tapi, kan kamu sedang hamil dan..."

Dean mengibaskan tangan kesal, "Kubilang aku baik-baik saja dan itu mestinya cukup untukmu," dia beringsut bangkit, menampik tangan Sam yang membantunya dan duduk di kursi makan.

Sam tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Dean saat ini. Dia mengambilkan segelas air yang langsung diteguk habis oleh Dean. "Oke. Tidak ke dokter sekarang, tapi kalau sampai ini terjadi lagi, aku akan membawamu ke sana," tegasnya.

"Yah," Dean memutar telunjuknya di bibir gelas, "Berlari itu tindakan bodoh, aku paham kini. Aku hanya belum terbiasa. Tubuhku terasa seperti dicetak ulang. Semuanya berubah." Dia menerawang, "Jantungku tadi cepat sekali berdetak sampai terdengar menggema di kupingku. Nafasku jadi pendek, padahal dulu aku bisa kalahkan kau menyelam."

"Itu lumrah," Sam mengangguk mengerti, "Nah, selama kamu mengenali kembali kinerja tubuhmu, bagusnya latihanmu yang ringan-ringan saja. Akan kutemani kau jalan pagi besok."

"Siap, Pelatih."

~*~

Jalan-jalan pagi berdua ternyata terbukti menjadi kegiatan yang menyenangkan baik untuk Sam maupun Dean. Sam dapat mengawasi kakaknya sambil berolah raga, sementara Dean memperoleh gerak badan dan aktivitas luar ruangan yang dibutuhkannya setelah beberapa lama terpaksa berkurung diri. Agar ada variasi, Sam menambah latihan kebugaran kakaknya dengan memodifikasi program yang dibacanya di sebuah situs, yakni olah raga dengan memanfaatkan barang-barang rumahan yang sederhana, tentu dengan porsi latihan yang ringan. Dean tidak akan memandang sebuah kursi dengan cara yang sama lagi karena di tangan Sam benda itu dapat jadi alat pendukung latihan aerobik.

Ada satu hal lagi yang membikin olah raga berdua itu menjadi acara yang indah untuk mengawali hari, tapi kedua Winchester itu akan enggan untuk mengakuinya, paling tidak Dean yang demikian. Itu adalah obrolan santai yang tak pernah absen dari setiap sesi latihan. Percakapan yang acap tiada jelas ujung pangkalnya, apalagi arahnya, tetapi menjadi jembatan yang menyeberangi dua tahun putus kontaknya mereka. Perbincangan mereka biasanya baru usai seiring dengan kelarnya sarapan karena dua bersaudara itu lantas tenggelam dalam konsentrasi membaca surat kabar.

Suatu pagi, Dean menurunkan lembaran koran lokal yang baru dibacanya dan tiba-tiba berkata, "Sepertinya aku menemukan kasus untuk kita."

Sam menghentikan kesibukannya menandai iklan baris lowongan pekerjaan dengan pensil, dia mengangkat kepala dan membalas, "Apa?"

"Lagi-lagi ada bocah yang ditemukan meninggal di toilet sekolah Clayton High. Ini sudah kejadian ketiga dalam dua minggu terakhir," Dean menyorongkan korannya ke depan adiknya, "bacalah."

Sam memindai artikel di hadapannya dan mengerutkan bibir. "Memang terlihat ada suatu pola," gumamnya.

"Benar, kan? Anak perempuan, berambut merah, terkunci di bilik toilet dan sebab kematiannya adalah dehidrasi padahal dilaporkan menghilang kurang dari dua hari," Dean menimpali.

"Ya. Polanya cukup konsisten. Barangkali hantu, arwah penasaran," simpul Sam.

Dean mengangguk.

"Tapi itu bukan urusan kita," Sam mengembalikan koran itu pada kakaknya.

Dean tersentak. "Apa maksudmu bukan urusan kita?"

Sam memandang Dean di seberang meja, katanya, "Dean, kukira kita sepakat bahwa mengingat kondisimu, kita sementara tidak berburu dan," dia menuding halaman iklan yang dihiasi lingkaran di sana-sini, "itulah sebabnya aku mencari pekerjaan."

"Sepakat? Oh ya, biar kucari dulu nota kesepakatan tentang itu, tapi... tunggu, aku tidak menemukannya karena memang tak pernah dibikin!" sambar Dean keluar sarkasmenya.

Sam tahu pada suatu hari akan mengalami problem macam ini, tetapi tak disangka saatnya begitu cepat. Dia baru saja mau meluncurkan argumen mengapa berburu pada saat seperti itu bukan saja merupakan ide yang buruk, tetapi juga bodoh setengah mati ketika Dean berpindah gigi alih strategi.

"Sammy, aku ini seorang pemburu. Pekerjaanku adalah memburu dan membinasakan makhluk-makhluk seperti itu agar tidak ada orang yang tak berdosa jadi korban. Itu sudah ada dalam darahku dan kamu memintaku untuk mengingkarinya?"

Dean kerap berseloroh bahwa Sam punya senjata ampuh berupa tatapan anak anjing memelas yang membuat adiknya itu sukar ditolak kemauannya. Namun, ternyata Dean menyimpan amunisi ekspresi persuasif yang sama dahsyatnya, terutama jika ditujukan pada Sam. Apalagi kali ini Dean menampilkan totalitas pandang memohon dengan matanya yang besar, performa meyakinkan yang cukup layak buat masuk nominasi Oscar. Dalam hati Dean menyeringai seraya mengawasi mimik wajah adiknya yang demikian gampang terbaca macam buku terbuka. Apa yang dikatakan Sam selanjutnya sudah dapat diterkanya.

"Yah..." Sam mendesah, "aku belum dapat mengatakan apa kita akan tangani kasus ini. Sebaiknya kita selidiki latar belakangnya dengan teliti, baru kita putuskan." Benar saja, sikapnya melunak.

Dean membentangkan lembar koran di depan muka untuk menyembunyikan senyum lebarnya.

~*~

Kasus itu memang ternyata merupakan model generik garami dan bakar yang sederhana. Dari hasil mengubek-ubek informasi di dunia maya dan pustaka (kali ini dilakukan oleh Dean) dan wawancara orang-orang yang terkait (dikerjakan Sam seorang diri), keduanya dapat mengidentifikasi penyebab kematian misterius anak-anak sekolah yang beruntun itu. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah hantu seorang anak sekolah yang meninggal dalam keadaan terkunci di toilet sekolah selama masa liburan musim panas. Katie Mitchell, demikian nama si hantu anak sekolah, sampai mengalami kematian yang menyedihkan dikarenakan keteledoran seorang penjaga sekolah. Kemudian, si penjaga sekolah yang tidak ingin terlibat dengan pihak kepolisian diam-diam mengubur mayat Katie di lahan kosong di belakang sekolah. Selama beberapa dekade tampaknya hantu Katie hanya berkeliaran di seputar sekolah, tak sampai menimbulkan kericuhan. Paling satu-dua orang jadi kaget waktu melihatnya. Yang membuat hantu Katie mengamuk beberapa minggu terakhir adalah penggalian untuk pemancangan fondasi bangunan tambahan sekolah yang mengusik kuburnya. Sejak itulah korban mulai berjatuhan.

Setelah mempelajari kasus itu dengan seksama, Dean tanpa ragu berpendapat bahwa mereka mesti mengenyahkan hantu Katie. Sam sendiri masih agak sangsi mengenainya dan konsultasi dengan Bobby tidak membawa jalan keluar seperti yang dia harapkan. Bobby hanya memeriksa berkas kasus yang disusun Winchester bersaudara, lalu mengatakan bahwa itu tampak seperti acara rutin garami dan bakar, hantu gentayangan biasa, tapi tetap saja mereka tidak boleh meremehkan kecenderungan agresif hantu Katie yang meningkat.

Komentar Bobby itu ibarat lampu kuning bagi Dean dan Sam. Lampu kuning itu ditafsirkan berbeda oleh Dean dan Sam, seperti juga yang terjadi pada lampu kuning lalu lintas pada umumnya. Satu pihak mengira lampu kuning itu pertanda mereka harus berhenti, di sisi lain ada yang beranggapan justru harus menginjak gas kian dalam sebelum lampu kuning itu berubah jadi merah.

Situasi status quo di antara dua bersaudara itu berubah karena dua hal, yaitu saat ada satu anak lagi yang tewas di sekolah itu dan kini sekolah ditutup sementara oleh pihak yang berwenang untuk penyidikan. Peristiwa yang satu lagi kurang berhubungan langsung, yakni Sam mendapat kepastian bahwa koran lokal di Palo Alto yang dulu pernah jadi tempatnya bekerja waktu kuliah bersedia memuat tulisannya tentang dunia supranatural di kolom mingguan. Sam jadi lebih murah hati karenanya dan dia akhirnya menyerah pada bujukan Dean untuk turut berburu hantu Katie.

Syahdan, pada malam yang telah ditentukan, Dean dengan antusias menggali lokasi yang disinyalir merupakan makam ilegal Katie, Sam di sampingnya. Namun, ketidakberuntungan memutuskan untuk menyapa mereka malam itu. Hantu Katie muncul dan tanpa basa-basi menyerang kedua bersaudara itu.

Sam dengan cekatan mengayunkan tongkat besi yang dipegangnya seperti pemain golf. Hantu Katie yang ada di hadapannya buyar dan Sam memanfaatkan kesempatan untuk menaburkan garam di atas kerangka yang baru mereka sibak itu. Kelar menggarami, Sam meraih jerigen bahan bakar, siap menuangkannya.

Hawa dingin berkelebat melewatinya dan Sam otomatis menoleh pada kakaknya yang berdiri tidak jauh dari lubang galian. Semua terjadi begitu cepat setelah itu.

Hantu Katie mengalihkan serangannya pada Dean dan dia melayang menuju pemuda itu dengan rona muka penuh angkara murka. Dean mengawasi dengan konsentrasi penuh, pistol berpeluru garam di tangan, menunggu hantu itu berada dalam jarak tembak yang paling efektif.

Hantu Katie sudah cukup dekat dan Sam mengira telinganya akan segera menangkap bunyi letusan senjata. Namun, telunjuk Dean yang melekat di pelatuk pistol mengejang dan Sam menyaksikan wajah terkejut kakaknya, sepasang matanya yang melebar, mendengar sentakan nafas Dean yang mendadak. Dean urung menembak dan tertegunnya dia tak disia-siakan oleh hantu Katie yang mengirim tubuh Dean menubruk sebatang pohon dengan sekali sorong.

"Dean!" Sam berseru khawatir. Dia hampir menghambur ke arah kakaknya, tapi bertahun-tahun berburu menempanya untuk pantang melalaikan tugas. Lekas Sam menumpahkan seluruh isi jerigen ke dalam lubang dan menyulut tulang belulang Katie dengan korek api.

Sam menanti sampai hantu Katie lenyap dari pandangan, memastikan semua sisa jenazahnya terbakar, baru menghampiri kakaknya. Dean tergeletak miring di dekat batang pohon, kedua tangannya mendekap bagian perut dengan protektif. Sam dengan hati-hati meraih bahu Dean, membantunya duduk.

"Brengsek," rutuk Dean, tampak masih belum pulih dari terperanjat.

"Kamu tidak apa-apa? Ada yang luka? Apa yang terjadi?" berondong Sam cemas.

"Makhluk ini yang terjadi!" Dean menunjuk perutnya.

"Apa?"

"Momennya sungguh tepat. Waktu aku sudah mau menembak, ada yang bergerak di sini," terang Dean.

Sam mengejapkan mata. "Maksudmu, dia mulai menendang?"

Dean mencibir, "Berjingkrak lebih tepat. Sialan, bikin kaget saja." Dia berdiri pelan-pelan dengan diasisteni Sam, desis yang lolos dari mulutnya membuat Sam meringis.

"Ada yang sakit?"

"Tidak terlalu. Hanya harga diriku yang terluka," sambar Dean, memungut pistol yang dijatuhkannya tadi.

Tidak terlalu, berarti ada yang sakit, kan?

"Kita ke dokter," ucap Sam tegas, nadanya mirip John kala tidak ingin dibantah.

"Sekarang juga? Kamu sadar ini sudah pukul berapa? Ini, kan bukan situasi darurat, Dik."

Sam mengulurkan tangan mencatut pundak kakaknya, "Kita ke dokter, sekarang. Aku tidak peduli apa aku harus mengikat dan menyeretmu ke sana. Pokoknya kamu harus diperiksa saat ini juga," paksa Sam, kumat kepala batunya.

Dean galibnya tak segampang itu setengah disetir adiknya menuju tempat mereka memarkir Impala, membiarkan Sam di belakang kemudi membawanya ke tempat praktek Dr. Zhang. Namun, dia terlalu lelah untuk berdebat lebih lanjut, apalagi melawan Sam. Kalau mau jujur, yah, nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang bertumbukan dengan batang pohon menjadi faktor pendukung pula, tapi dia lebih baik telanjang di jalanan sebelum mengakui itu pada Sam. Jadilah perjalanan tergesa dini hari itu disesaki suara batin masing-masing.

~*~

Barangkali pengalamannya berurusan dengan para pemburu yang membuat Dr. Zhang tidak terlalu kaget mendapati pintunya digedor pada jam yang kurang beradab. Masih dengan kostum tidur, si dokter mempersilakan kedua Winchester bersaudara untuk masuk ke ruang periksa.

"Apa yang terjadi?" tanya Dr. Zhang sambil mengamati gerak kaku Dean menaikkan tubuh ke meja periksa.

Dean untuk kesekian kalinya menampik uluran tangan Sam yang berniat menolong, jawabnya, "Bukan perkara penting, sebetulnya. Namun, si boneka beruang ini memaksaku kemari."

Sam, melipat tangannya dengan jengkel, menyahut, "Oh ya, buat si tangguh Dean Winchester, dilempar hantu sampai menabrak pohon bukanlah hal penting. Tak mau bersandar di jok mobil setelahnya juga tidak menandakan bahwa punggungmu sakit, kan. Dan, oh, hampir aku lupa, berjengit setiap kali mobil melintasi lubang di jalan itu sama sekali normal, begitu?"

Andai sedang tidak di pihak oposisi, Dean akan merasa bangga bahwa dua tahun kuliah tidak memunahkan daya observasi kaum pemburu adiknya.

Dr. Zhang memandang Sam dan Dean bergantian, sorot matanya nyaris terhibur. Dia menghampiri pasiennya dan berkata, "Saya putuskan mempercayai versi adik Anda. Nah, sekarang beri tahu saya,  selain di punggung apa ada daerah lain yang terasa sakit?"

Dean dengan enggan menjawab, "Rasanya tadi sikutku terbentur pula. Tapi yang agak nyeri hanya punggung."

"Anda tahu apa yang harus Anda lakukan," senyum Dr. Zhang.

"Yeah, buka-bukaan dan biarkan Anda meraba-raba saya," balas Dean sinis, tetapi dibukanya juga kemeja longgar dan kaus dalamannya, yang terakhir disebut ini membuat Dean menggigit bibir sewaktu mencopotnya.

Dr. Zhang berpindah ke belakang Dean, tangannya dengan cermat menyentuh seputar tulang belakang Dean, mengangguk saat memastikan tidak ada masalah di sana. Kemudian dia memeriksa punggung Dean, ditemukannya beberapa titik yang memerah dengan memar mulai terbentuk. Umpatan yang lolos dari mulut Dean waktu Dr. Zhang menekan di bawah tulang bahunya membuat Sam melontarkan pandangan tidak suka, tapi si dokter dengan santai melanjutkan pemeriksaannya.

"Bagaimana di sini? Sakit?" Dr. Zhang terakhir membenamkan jarinya agak dalam ke titik di atas pinggang Dean.

"Tidak begitu."

"Bisa putar tubuh?"

Dean ternyata dapat melakukannya meski dengan lamban disertai rintihan pelan.

"Selain menghantam pohon, apa ada cedera lain yang disebabkan oleh hantu itu pada Anda?"

"Kukira tidak."

Dr. Zhang mengambil sebuah buku resep dan mencoret-coret di sana. "Menurut saya, cedera Anda tidak parah. Luka kena benda tumpul tentu akan jadi memar karena ada perdarahan di bawah kulit dan nyeri ototnya saya kira akan reda dalam beberapa hari. Ini saya resepkan salep untuk mempercepat kesembuhan memarnya dan bisa melemaskan otot yang tegang. Salep untuk manusia, tentu saja. Karena itu hanya bisa ditebus di apotek yang namanya saya tulis di bawah ini."

Si dokter tidak heran ketika Sam yang mengajukan pertanyaan berikut, "Apa salep itu aman untuk bayinya? Maksud saya, Anda tahu bahwa orang hamil tidak boleh sembarangan mengonsumsi zat kimia."

"Aman, saya yakin. Anda berdua tidak perlu khawatir. Nah, omong-omong soal itu, saya akan memeriksa bayi Anda sekarang dan saya minta Anda berbaring, kalau itu tidak menyulitkan," ucap Dr. Zhang.

Dean dengan enggan menelentangkan tubuhnya di atas meja periksa, hampir mendesis kala punggungnya yang sakit bersentuhan dengan permukaan meja yang keras meski sudah dialasi selimut. Saat itu Sam baru menyadari mengapa akhir-akhir ini celana Dean tampak bertambah panjang sampai menyapu tumit sepatunya. Rupanya kakaknya mengenakan celana dengan menurunkan bagian pinggang menjadi jatuh di pinggulnya buat mengakomodasi perutnya yang membesar. Itu baru terlihat jelas setelah Dean membuka pakaian atasnya dan berbaring. Sam spontan membikin catatan mental: belanja pakaian atau mempermak baju-baju lama kakaknya.

"Saya, kan tidak mungkin memeriksa kandungan Anda secara internal seperti pada wanita, jadi seperti yang dulu, saya gunakan USG," jelas Dr. Zhang sambil menyiapkan alat itu.

Dean menjalani proses pemeriksaan itu dalam diam, tanpa bicara baik pada Sam maupun si dokter. Adiknya itu yang malah banyak bertanya.

"Apa itu artinya?" Sam menunjuk monitor.

"Itu artinya keponakan Anda dalam kondisi baik. Saya tidak melihat adanya gangguan," Dr. Zhang menggerakkan alatnya agar memperoleh gambar dengan posisi sedikit berbeda. "Anda bisa lihat panjangnya sudah bertambah satu inci sejak pemeriksaan terakhir, tangan dan kakinya memanjang. Itu kepalanya," tunjuk Dr. Zhang.

"Terlihat seperti alien bagiku," itu komentar Dean.

"Memang di awal trimester kedua seperti itu, kepalanya masih lebih besar dan belum proporsional dengan anggota tubuh lainnya, tapi Anda akan saksikan di akhir trimester ini dia bakal jadi mirip bayi manusia. Saya perlu ingatkan," Dr. Zhang mengedik ke arah Sam, "meski mungkin adik Anda sudah mengetahuinya, bahwa beberapa minggu ke depan perkembangan bayi Anda akan sangat pesat supaya Anda tidak terkejut dan mempersiapkan diri."

"Itu bahasa halus untuk aku akan menggembung seperti balon?" Kalimat itu baru usai dilontarkan saat Dean tiba-tiba menarik nafas tajam, tangannya serta merta bergerak ke perutnya, bisik makian di mulutnya.

"Wah," Dr. Zhang mengamati monitor dengan antusias, "saya tidak tahu pasti berapa usia kandungan Anda, tapi kelihatannya si bayi agak terlalu dini untuk mulai bergerak, mestinya baru satu-dua minggu lagi. Kelihatannya dia ingin menyapa lebih cepat."

Baru jadi bayinya beberapa bulan sudah ketularan semangat Dean yang matang sebelum waktunya, pikir Sam.

Dr. Zhang menggeser alatnya dengan gerakan melingkar di perut Dean untuk beberapa lama sebelum menyudahi pemeriksaan. Dean mengelap jel yang terasa lengket di kulitnya dengan handuk kertas, tanpa sadar dia mengelus perutnya saat merasakan si bayi antara bergerak, jungkir balik, atau menendang di dalam sana. Tangan Sam yang terjulur penasaran langsung ditepak Dean dan berikutnya tatapan "mau apa kamu, pegang-pegang segala" menyusul.

"Anda akan terbiasa, atau tepatnya, harus terbiasa dengan gerakan bayi," ujar Dr. Zhang. "Pada trimester kedua bayi biasanya aktif bergerak karena ruang untuknya masih cukup luas. Ditambah perkembangan fisiknya yang maju pesat..."

"Oh yeah, beruntungnya aku," gerutu Dean.

Sam sekonyong-konyong ingat akan sesuatu yang dibacanya. "Dokter, bagaimana dengan jadwal periksa rutin?"

"Menurut saya, untuk sementara datang saja sekali sebulan. Biasanya masuk trimester ketiga baru Anda akan perlu lebih sering bertemu saya."

"Kalau menuruti kamu, Sammy, aku bisa-bisa mondok di sini," timpal Dean.

"Dan membiarkanmu meneror pasien lainnya? Aku tidak sejahat itu."

"Pasien yang lain, kan hewan!"

"Tepat sekali," pungkas Sam.

"Mudah-mudahan bulan depan kita sudah bisa mendeteksi detak jantung bayinya," potong Dr. Zhang sebelum dua bersaudara itu terlibat adu mulut konyol. Dengan perhatian Sam dan Dean kembali terarah padanya, si dokter menyambung, "Seiring pertumbuhan fisiknya, gerakan bayi akan terasa lebih intens sehingga akan menyebabkan ketidaknyamanan. Itu biasa. Yang saya ingin Anda lakukan adalah datang kemari dengan segera bila ada rasa sakit yang menyiksa, terutama di daerah panggul, oke? Juga kalau bayinya berhenti bergerak untuk waktu yang cukup lama."

"Baiklah."

"Oh ya, saya hampir lupa. Ini daftar beberapa suplemen yang saya kira Anda perlukan. Tidak perlu resep, Anda dapat membelinya di apotek dan vitamin-vitamin ini sudah lolos standar FDA semua," kata Dr. Zhang setengah berkelakar.

Sam yang menyimpan kertas yang diserahkan si dokter sementara Dean mengenakan kembali kemejanya. Kaus dalamannya dilipat sekenanya. Sempat Sam membaca isinya sekilas sebelum mengantungi kertas itu dan dia bertanya, "Apa tidak cukup hanya dengan makanan sehat, dok?"

"Orang hamil membutuhkan nutrisi ekstra. Makanan sehat tentu saja sangat dianjurkan, tapi untuk zat besi, asam folat dan kalsium mesti ada asupan tambahan karena zat-zat itu penting untuk orang hamil dan saya kira dari makanan saja belum mencukupi. Saya tidak menulisnya di daftar itu, tetapi saya menyarankan Anda, Tuan Winchester, untuk mengonsumsi susu khusus ibu, eh maksud saya orang hamil," papar Dr. Zhang.

"Catat itu, Sam. Kamu yang tukang belanja, kan sekarang," celetuk Dean.

Sam mendesah. Beli buku tentang kehamilan saja sudah menjadi perhatian kasir, apalagi kalau dirinya berkeliaran di rak tempat susu ibu hamil.

"Saya rasa pemeriksaannya sudah cukup dan Anda berdua dalam keadaan baik, tapi saya kira sampai si bayi lahir, Anda jangan berburu dulu, Tuan Winchester. Berburu, sesederhana apapun buruannya, adalah kegiatan yang melelahkan dan beresiko tinggi. Anda perlu berpikir untuk dua orang sekarang," pesan Dr. Zhang.

"Dia, sih belum berpikir untuk dua orang," seloroh Sam, "makan untuk dua orang yang sudah."

Dean menggumam saja menanggapi saran si dokter dan Sam memutuskan untuk menafsirkannya secara optimis. Keduanya lantas bertolak pulang, tapi sebelumnya sempat Sam memaksa Dr. Zhang menyebutkan ongkos periksa dan setelah mengetahui angka yang menurutnya amat murah itu, menjejalkan lembaran-lembaran uang ke tangan si dokter.

~*~

Dean mengamati susu untuk orang hamil di gelasnya dengan alis terangkat sebelah. Susu itu tadi ditinggalnya selama beberapa menit karena masih terlampau panas untuk diminum. Satu dan lain hal kemudian mengalihkan perhatiannya dan kini ketika dia teringat akan si susu, cairan itu memang sudah dingin, juga mengendap di bagian bawah gelas. Dean mengaduk susunya. Kurang sabar menunggu endapan itu larut, hanya setelah beberapa putaran sendok diaduk, susu itu diteguknya.

"Blegh!" Dean menjulurkan lidah, meletakkan gelas di bak cuci piring.

Sam terkekeh melihat tampang komikal kakaknya. "Apa separah itu rasanya?"

"Entahlah, Bung. Orang-orang itu berani sekali menamakan benda itu susu dan menyatakannya baik untuk diminum," Dean membilas rasa ajaib di mulutnya dengan jus jeruk.

"Makanya, lain kali langsung diminum, jangan sampai mengendap," ujar Sam.

"Apa, sih yang bikin endapan di bawah itu?"

Sam mengangkat bahu. "Zat besinya, mungkin?"

Dean menyeringai jenaka. "Susu anti-kerasukan, dong kalau begitu. Dengan besi mengaliri darahmu, tak ada hantu yang berani menerobos," candanya.

Sam sudah buka corong siap menguliahi kakaknya tentang bedanya logam besi dengan zat besi sewaktu telinganya menangkap suara mesin mobil di kejauhan. Sam melongok dari jendela dan matanya menangkap sosok sebuah Chevelle 1971 berwarna tidak jelas yang melaju mendekati rumah dengan debu jalanan meruap di belakangnya. Mobil itu diparkir di halaman rumah dan tak berapa lama kedua Winchester bersaudara sudah duduk bersama Bobby di dapur.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Bobby pada Dean.

"Yeah. Kopi, Bobby?"

"Trim's. Kalian ini... nekat berburu dalam kondisi tidak seratus persen. Kenapa tidak kalian oper kasus itu padaku atau pemburu lain?" Bobby menyesap kopinya.

"Ampun, deh. Didepak dari rumahmu masih kena kauomeli pula?"

"Selama kalian di sini, kalian adalah tanggung jawabku. Jika kalian melakukan tindakan bodoh dan berbahaya, aku punya hak untuk memarahi kalian, atau menampar bokong kalian kalau perlu."

Sam buka suara, "Aku akan pastikan itu tidak terjadi lagi."

"Sebaiknya begitu," Bobby tampaknya tidak benar-benar ingin memarahi dua bersaudara itu, dia sudah lega menyaksikan mereka masih relatif utuh dan sehat. "Nih," Bobby mengeluarkan sebuah amplop dan memberikannya pada Sam, "ada surat buatmu."

Sam mengeluarkan isi surat dan senyum mekar di wajahnya seusai membaca surat itu.

Dean yang mencoba mengintip di balik pundak adiknya bertanya, "Surat dari mana?"

"Waktu itu aku mengirim lamaran pekerjaan dengan menggunakan alamat Bobby, demi alasan keamanan, kau tahu. Ini balasannya. Aku diterima," cerah Sam menjawab.

Dean merampas lembar surat di tangan adiknya. Keningnya berkerut saat menatapi kalimat demi kalimat. "Kamu melamar untuk jadi penjual buku keliling?"

"Jam kerjanya fleksibel," Sam beralasan. Lagipula, kalau ekspresi Sam yang selalu disebut Dean sebagai tampang anak anjing memelas itu dapat berefek pada manusia selain kakaknya, profesi yang dipilihnya itu sudah tepat. Sam juga merasa memiliki kemampuan interpersonal yang lumayan, dibanding Dean paling tidak. Jadi kenapa tak memanfaatkan modal yang dimilikinya?

"Belum cukup kamu kerja menulis artikel konyol untuk koran itu?"

Bobby menyela, "Selamat, Sam. Masalah itu pula yang sebetulnya ingin kubicarakan dengan kalian. Dr. Zhang menghubungiku, memberi tahu kondisi Dean sekaligus menitip pesan bahwa kita sudah harus mengawali mencicil persiapan untuk operasi. Kata Dr. Zhang, kita akan mulai berlatih bedah begitu kandungan Dean masuk bulan ketujuh, tapi dari sekarang kita harus belajar dulu."

"Baiklah," Sam mengangguk, tidak terlalu gembira dengan prospek itu.

"Maksud Dr. Zhang, dia memang akan mengoperasi Dean, tapi dia ingin kita mengasisteni, aku paham itu sebab tak mungkin kita minta bantuan paramedis. Namun, seandainya Dr. Zhang berhalangan, dia menghendaki kita juga mampu membedah sendiri," lanjut Bobby.

"Apa hubungannya belajar operasi dengan pekerjaan Sam?"

Bobby melirik Dean, "Kamu tahu, kan bahwa Dr. Zhang tidak minta ongkos sepeser pun buat mengeluarkan bayimu, tapi dia kan tak mungkin menalangi peralatan operasi dan obat-obatannya."

Sam mengangguk paham. "Dari sekarang kami harus menabung untuk biaya itu." Pada Dean dia berkata, "Yang kudapat dari menulis cuma cukup untuk sehari-hari dan kamu tidak dapat bekerja dengan kondisimu seperti ini. Jadi aku membutuhkan pekerjaan itu, Dean."

"Aku bisa kerja," sanggah Dean.

"Kerja kasar sudah dicoret dari daftar. Kamu mau cari uang dengan apa? Bertaruh di meja bilyar? Aku ingin lihat kamu menyodok bola kalau kandunganmu sudah besar nanti dan tidak, judi kartu juga beresiko. Dan jangan berpikir tentang penipuan kartu kredit atau mencuri, kita sedang menetap di suatu tempat sekarang," tukas Sam.

Sorot mata terpukul Dean menjadikan Sam diam-diam menyesali apa yang barusan terlontar dari mulutnya. Dia tahu bahwa torehan pisau tidak akan melukai Dean seperih kata-kata yang menegaskan betapa tak berdaya posisinya, bagaimana dia kini mesti banyak bergantung pada adiknya. Saudara yang sejak kecil telah dirawat dan diayominya.

"Dean, aku..."

"Jangan."

Di tengah suasana canggung itu Bobby berucap, "Itu juga menjadi pemikiranku." Dia mengeluarkan sebuah pistol model lawas yang dibungkus kain dari dalam tas yang dibawanya. "Bisa kauperbaiki ini?" pertanyaan itu mengarah pada Dean.

Dean dengan tertarik mengamati senjata di hadapannya. "Smith & Wesson, bikinan tahun 1940-an," gumamnya. Jemarinya menelusuri lekuk pistol itu dengan teliti. "Ya, akan kucoba. Punya siapa ini?"

"Seorang kolektor kenalanku. Dia memiliki sejumlah pistol lama yang perlu direparasi. Aku tak punya waktu mengerjakannya, jadi kuserahkan padamu. Dia berani bayar banyak asal pistolnya berfungsi kembali dan jika kamu butuh suku cadang tinggal hubungi aku," terang Bobby.

"Trim's, Bobby," mendung di wajah Dean sedikit memudar kini.

"Yeah. Sama-sama, Nak. Sekarang, ceritakan padaku selengkapnya tentang perburuan terakhir kalian."

~*~

BERSAMBUNG

Chapter 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar