Minggu, 13 Desember 2009

Fic: Fertile (Chapter 3/10)

~*~

Dr. Zhang Wei Long tersenyum ketika melihat rombongan Sam, Dean dan Bobby berdiri di pintu tempat prakteknya. Dia menyambut Bobby dengan ramah, tangannya menjabat Sam dan Dean dengan yakin. Sesekali mata hitamnya yang sipit menunjukkan ketertarikan dan rasa ingin tahu tatkala mengarah pada Dean, tetapi dia tidak banyak bertanya. Setelah sedikit basa-basi dengan Bobby yang diselingi bisik-bisik ala urusan bisnis terlarang, Dr. Zhang meminta ketiga tamunya untuk menunggu sementara dia menyiapkan ruang periksa.

Dean duduk di kursi ruang tunggu yang kecil dengan gelisah, sedangkan Sam menyusuri poster-poster bergambar aneka margasatwa yang dipajang di dinding dan Bobby mencabut buku dari saku jaketnya, sebentar saja sudah tekun dia melahap halaman demi halaman.

"Bung, apa kalian sudah gila? Dia itu dokter hewan!" desis Dean.


"Yang sudah terbiasa berhadapan dengan urusan supranatural," tukas Sam.

"Tetap saja. Apa tidak..."

"Dean," potong Sam tegas, "kita tidak mau ambil resiko dengan memeriksakan kamu ke dokter kandungan biasa. Bisa-bisa nanti ada juru kamera dan wartawan berkemah di halaman rumah Bobby dan wajahmu terpampang di halaman depan koran-koran sebagai keajaiban medis abad ini," Sam meringis, "dan ayah akan memecat kita sebagai anak, barangkali," tambahnya bergurau.

Dean meyipitkan mata mendengarnya dan Sam menepuk bahu kakaknya, yang membuat Dean menjauh dari kontak itu, lalu meneruskan, "Bobby sudah lama kenal dengannya. Dr. Zhang menjadi penyedia barang-barang yang diperlukan berburu, yang asalnya dari Timur. Jika Bobby butuh dokter dan tak dapat ke rumah sakit, Dr. Zhang adalah pilihannya. Beberapa orang di kalangan pemburu juga mengenalnya."

"Aku tahu Bobby percaya padanya, tapi aku tidak," balas Dean, sepatunya membuat garis-garis berdebu di lantai.

"Belum, maksudmu."

"Lihat saja nanti."

Sam menghela nafas, "Itu karena kamu lebih pilih diperiksa dokter kandungan wanita yang seksi, begitu?"

"Tepat sekali, bocah kuliahan."

Sam menelan jawaban yang sudah siap dilemparkan karena saat itu pintu ruang periksa terbuka dan Dr. Zhang melangkah dari sana ke arah dua bersaudara itu.

"Silakan masuk," ucapnya seolah menghadapi pasien biasa belaka.

Sam segera bangkit, tapi Dean kelihatan enggan mengangkat bokongnya dari kursi. Sam mesti menarik lengan kakaknya sampai ikut berdiri menggunakan kekuatan penuh, sebab sekali Dean mantap di suatu posisi, sukar dia disuruh bergerak, apalagi pindah. Sam juga mendorong punggung kakaknya supaya dia mau berjalan menuju ruang periksa, dirinya mengikuti di belakang. Sempat Dean melirik ke arah Bobby dengan ragu-ragu, tapi Bobby mengibaskan tangan mengisyaratkan bahwa cukup Winchester bersaudara saja yang masuk ke sana. Masuklah, anak-anak, dan nikmati pertunjukannya.

Kalimat pertama yang diucapkan Dean setelah dia berbaring di atas meja periksa yang hampir kekecilan adalah, "Yakin Anda tidak melakukan malpraktek, dok?"

Bagus, rutuk Sam sambil menutup wajahnya. Jadilah antagonis dengan orang yang berpotensi kaubutuhkan.

Namun, Dr. Zhang tampaknya telah terbiasa menerima reaksi seperti itu. Pria bertubuh kurus tapi liat itu dengan kalem menyahut, "Kalau Anda tidak bilang-bilang, siapa yang akan tahu?"

Dean menggerutu tak jelas.

"Bisa ceritakan gejala atau apapun yang Anda rasakan?" tanya Dr. Zhang.

Beberapa detik berlalu dan Dean tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab, jadi Sam ambil alih. "Mual dan muntah di pagi hari, tidak suka cahaya matahari, kelelahan, nafsu makan menurun," wajahnya agak merona waktu menyebut ini, "Payudara sensitif dan emosi yang sangat labil."

"Kamu lupa sesuatu," celetuk Dean.

"Apa?"

"Terlambat haid selama... coba kuhitung, bertahun-tahun," sarkasme Dean keluar.

Dr. Zhang mengangguk. "Dan alat tes kehamilan menunjukkan hasil positif. Hm, andaikan aku dokter kandungan, aku pun juga akan berpendapat bahwa Anda memang tengah hamil, Tuan Winchester."

Dean memberi Sam tatapan paten "kubilang juga apa".

Dr. Zhang meneruskan, "Pemeriksaan seputar leher rahim jelas tidak mungkin dilakukan, " Dean mendengus sampai di sini, "Tapi saya akan coba memeriksa kondisi Anda dengan USG."

"Kalau periksa darah?" Sam sudah berbekal pengetahuan sebelum datang ke situ.

"Hasilnya kurang lebih akan sama dengan tes urine, hormon HCG yang ada di urine juga akan terdeteksi di sana," jawab Dr. Zhang, "tapi jika kakak Anda bersedia diambil darahnya, buat sekadar memastikan, saya dapat memeriksanya sebentar."

"Tidak usah," putus Dean.

"Baik. Sekarang, maaf, saya akan membuka pakaian Anda," kata Dr. Zhang.

"Tidak bermaksud apa-apa, dokter, tapi Anda dari jenis kelamin yang salah," Dean menepis tangan sang dokter yang sudah bergerak mau membuka kancing kemejanya. Dean sendiri yang melucuti kemejanya, menaikkan kaus oblongnya sampai bagian perutnya terpampang dan menurunkan sedikit pinggang celananya.

Hal pertama yang terlintas di benak Sam saat melihatnya adalah ke mana perginya otot abdomen kakaknya yang enam pak itu?

Dr. Zhang meraba perut Dean, mengetuk sesekali di sana-sini sambil mendengarkan entah apa dengan stetoskopnya. Dean menatap lurus ke langit-langit, mencoba tidak memikirkan betapa inginnya dia melompat kabur, mengenyahkan dingin logam stetoskop di perutnya, menghajar orang asing yang meraba-raba dirinya dan mengutuk Sam dan Bobby karena membawanya ke situ.

"Tidak terlihat jelas oleh mata awam," ucap Dr. Zhang, tangannya berhenti di bagian bawah perut Dean, "tapi ada tonjolan di sini yang menandakan ada janin di dalam."

Sam melongok dengan tertarik, hampir mengulurkan tangan untuk menyentuh tatkala matanya bersirobok dengan Dean yang matanya berkilat berbahaya. Pesan yang disampaikan gamblang: jangan coba gerayangi aku kalau masih sayang dengan tanganmu, atau anatomimu yang lain.

Dr. Zhang lalu berjalan ke pojok ruangan untuk mendorong meja beroda yang di atasnya terdapat sebuah mesin mendekati sisi meja periksa, sementara Dean mengawasi mesin yang mendekat itu dengan waspada dan sempat melempar candaan basi, "Hei, Sammy, apa bedanya USG dengan MSG?"

"USG itu singkatan dari ultrasonografi yang..." Sam yang tidak sadar diajak berkelakar menjawab serius.

"Jangan mulai sok pedantik denganku," Dean memotong.

Dr. Zhang tersenyum sekilas mendengar itu. Dia mengambil sebuah tube dan mengoleskan jel isinya di perut Dean yang bisa-bisanya menaikkan alis pada adiknya, menyugestikan pelumas untuk kesempatan yang sangat berbeda. Dr. Zhang kemudian mengambil sebuah alat berkabel seperti mikrofon tumpul dan menjalankannya di atas kulit Dean yang sudah licin kena jel.

"Coba lihat di monitor," dengan sebelah tangan sang dokter menunjuk layar di atas mesin.

Sam manggut-manggut seolah dia mengerti apa yang mestinya dilihat di sana. Dean sendiri tidak repot-repot menyembunyikan ketidaktahuannya. Keningnya berkerut memandangi monitor.

"Lihat gumpalan berwarna putih itu? Nah, itu janinnya," jelas Dr. Zhang. Dia mengganti posisi alatnya beberapa kali untuk memperoleh gambar yang lebih gamblang. "Kalau yang itu adalah kepalanya," sang dokter menunjuk ke monitor, "itu tangan dan kakinya. Masih belum kelihatan jelas, memang."

Dean menyipitkan mata, memiringkan kepala, mencoba melihat monitor itu dari berbagai sudut pandang yang mungkin, tapi buatnya gambar hitam-putih di sana tak berarti apapun. Malah kelihatan seperti materi tes Rorschach.

"Apa janinnya sehat?" pertanyaan ini datang dari, coba tebak, Sam tentunya.

"Kondisinya baik dan sehat, perkembangannya normal sesuai dengan usia janin yang kuperkirakan sekitar sepuluh-sebelas minggu," terang Dr. Zhang.

Ada ironi di sana, batin Dean. Bagaimana sesuatu yang supranatural dapat berkembang dengan normal. Di sisi lain, Dean agak terkesan dengan terkaan tepat sang dokter tentang usia kandungannya. Tadi memang sengaja dia tidak sebutkan waktu gejalanya bermula, maksudnya setengah menguji.

"Panjangnya baru sekitar tiga inci, memang belum signifikan. Namun, beberapa bulan ke depan besarnya akan jadi beberapa kali lipat dan terlihat jelas," Dr. Zhang menambahkan.

"Jadi, selamat tinggal selama enam bulan pada cewek-cewek cakep," ujar Dean.

"Yeah," timpal Sam, "Kecuali jika kamu mau mereka lari menjauh alih-alih mendekat."

Dr. Zhang menyudahi pemeriksaan USG-nya dan memberi Dean handuk kertas untuk mengelap dirinya. Selepas membereskan peralatannya, sang dokter memandang kedua bersaudara itu dengan bersungguh-sungguh. Katanya, "Saya tidak tahu mesti berkata apa menghadapi kasus Anda ini."

"Kami juga begitu," gumam Dean.

"Ini..." lanjut sang dokter, "Fenomena menakjubkan, meski bukannya tidak mungkin. Saya pernah membaca ada lima persen posibilitas bayi dapat dikandung di luar rahim, tepatnya di dalam abdomen, atau dapat juga disebut kehamilan ektopik. Sepanjang sel telur yang sudah dibuahi mendapat pasokan makanan, dia dapat tumbuh bahkan dalam tubuh seorang pria. Sangat berbahaya, memang karena tubuh pria tidak disiapkan untuk hamil. Ini sangat langka. Maka dari itu saya amat..." Dr. Zhang melambaikan tangan ke samping, "Terkesan, barangkali kata itu tidak cukup."

Sam kelihatan sudah siap berdiskusi medis panjang lebar dengan Dr. Zhang, tetapi Dean keburu turun dari meja periksa, mengenakan kemejanya kembali dan berkata, "Terima kasih, dok," dengan kaku.

"Sama-sama," balas Dr. Zhang. "Saya tidak punya kewenangan untuk meresepkan obat buat Anda, Tuan Winchester, tapi izinkanlah saya menawarkan ramuan herbal dari Cina untuk menjaga kesehatan Anda dan janin Anda. Ramuan itu dibuat secara alami dan berkhasiat meningkatkan vitalitas, mengingat kondisi Anda saat ini," tawarnya.

"Anda ini dokter atau dukun, sih?" itu terceplos begitu saja dari mulut Dean. Maklum, meski tidak asing berurusan dengan rempah dan tanaman herbal eksotis, untuk soal pengobatan para Winchester cenderung berkiblat ke kedokteran Barat modern.

"Uh... yah, terima kasih atas tawarannya, dokter. Akan kami pertimbangkan," Sam bergegas memperbaiki situasi. Dengan mengedikkan leher dia mengisyaratkan Dean untuk keluar dari kamar periksa sementara dia tinggal di sana.

"Maafkan polah kakak saya, dia..."

Dr. Zhang membuka telapak tangannya, "Saya paham. Ini tidak mudah baginya, juga bagi Anda. Dia akan membutuhkan Anda lebih dari sebelumnya dan Anda perlu mempersiapkan diri untuk itu."

"Jadi... berapa kami harus bayar?" Sam bertanya.

Sang dokter hanya tersenyum. "Bisa melihat langsung kasus seperti kakak Anda sudah cukup bagi saya, lagipula teman Bobby adalah temanku pula dan apalah harganya pertolongan kecil di antara teman, bukan?"

Sam membalas senyum Dr. Zhang dengan tulus, "Terima kasih banyak, dokter. Kami tampaknya masih akan merepotkan."

Dr. Zhang mengangguk. Dia lantas menyodorkan sebuah amplop ukuran sedang pada Sam yang menerimanya dengan pandang bertanya.

"Foto USG pertama janin kakak Anda. Saya kira Anda ingin memilikinya," jelas Dr. Zhang tanpa diminta.

Sang dokter tidak perlu mendengar untuk mengetahui kata terima kasih dari Sam, mata jernih pemuda itu telah menyuarakannya selantang bel gereja.

~*~

Perjalanan pulang kembali ke rumah Bobby lebih banyak diisi kesunyian, bahkan radio dan kaset pun tak dimainkan. Bobby memegang kemudi dengan mata lurus ke jalan, Sam sibuk mengamat-amati foto USG dengan seksama, membolak-baliknya ke segala arah untuk melihat yang mana yang berbentuk janin. Dean sejak awal menolak melihat foto-foto itu. Dia duduk di kursi penumpang depan, bersandar letih di sisi pintu.

Sekonyong-konyong Sam berkata, "Aku akan kembali ke California."

Dean dengan terkejut melongok ke jok belakang. "Apa?"

"Aku mesti mengurus cuti akademik di Stanford. Aku kan tak dapat meninggalkan kuliah begitu saja, mana aku dapat beasiswa pula," jelas Sam.

"Oh." Kusangka kamu bakal pergi lagi untuk selamanya.

"Hanya beberapa hari," Sam menjawab pertanyaan yang tak terungkap itu, "Paling seminggu sampai sepuluh hari kalau aku naik bus." Karena aku tidak berani memakai tabunganku untuk beli tiket pesawat lagi setelah kini aku tahu keluarga Winchester akan bertambah anggota.

"Bawa si Impala."

"Apa?" Maksudnya, Impala kekasih kesayangan kakaknya yang Sam bahkan tak dipercaya untuk mencucinya?

"Lebih cepat daripada naik bus," jawab Dean apa adanya.

Bobby tidak buka suara, tapi saat matanya bertemu dengan Sam di kaca spion tengah, Sam tahu bahwa pria itu setuju. Lebih lekas Sam kembali, makin baik.

"Sudah beberapa lama dia tidak diajak berlari. Ini kesempatan yang bagus untuk melatihnya," kata Dean lagi.

Sam memutar bola mata. Kakaknya itu membicarakan mobilnya seakan dia benda hidup, barang piaraannya.

"Oke. Aku berangkat besok kalau begitu, setelah sarapan," putus Sam.

Dean menoleh ke belakang dan mengultimatum, "Tapi ingat, jangan sampai ada gores dan lecet sedikitpun pada bodinya. Jika itu terjadi, akan kukuliti kamu, tak peduli apa aku sedang hamil atau tidak."

Sam mengangkat jempol dengan mengolok, "Beres. Dan aku punya catatan dari dokter itu untuk mengurangi sakit pagi harimu." Sam membaca daftarnya, "Makanlah sedikit-sedikit, tapi sering, lalu banyak minum, mengudap sebelum tidur, menu makan sementara boleh apa saja yang kausukai tapi jangan untuk seterusnya. Lalu, kuharap kamu bisa baik-baik selama kutinggal."

Dean menunjuk hidung dengan ekspresi sok suci yang seakan mengatakan, "Siapa? Aku?"

Sam cuma berharap semoga rumah Bobby masih berdiri utuh ketika dia pulang nanti.

~*~

Roda Impala berhenti berputar dan raungan mesinnya padam tepat di halaman depan rumah Bobby. Sam turun dari mobil, menyandang ransel dan memandang berkeliling. Senyum miring berkelebat di bibirnya, setidaknya bangunan rumah di hadapannya terlihat tidak mengalami bencana apapun. Entah dengan kondisi di dalam. Sam melangkah perlahan ke beranda, merasakan otot-ototnya yang kaku lantaran berjam-jam menyetir nonstop agar dapat lekas sampai. Dean yang sedang hamil (Sam masih sedikit geli dengan pikiran itu) dan Bobby bukanlah kombinasi yang dapat ditinggal berlama-lama tanpa ada penengah di antara mereka, makanya Sam bersicepat kembali.

Sam membuka pintu dengan kunci yang dipinjamkan Bobby, agak heran mendapati suasana sehening kuburan. Jangan-jangan sudah pada saling bantai, batinnya, tapi isi rumah itu masih tampak sama seperti waktu dia tinggalkan seminggu lalu. Koreksi, pikir Sam setelah melongok ruang kerja, ada pengurangan signifikan di rak dan tumpukan buku milik Bobby.

"Bobby? Dean?" panggil Sam, menyusuri ruang demi ruang dan mendapati semuanya kosong.

Dia naik ke lantai atas langsung menuju ke kamar tidur yang ditempati dirinya dan Dean. "Dean? Di mana kau?" serunya.

Pertanyaan itu terjawab sewaktu Sam memasuki kamar itu. Didapatinya kakaknya berbaring miring di atas ranjang, sebungkus biskuit setengah dimakan di dekatnya. Kali ini ruangan itu tidak remang seperti biasa, melainkan melimpah oleh sinar mentari yang masuk dari jendela terbuka, sehingga Sam melihat jelas gurat lelah sudah tak terlalu kentara di wajah pulas Dean. Satu pertanda bagus, Sam berharap.

Dia meletakkan ransel lalu turun mencari Bobby. Jika di seluruh rumah tidak terlihat batang hidung pria itu, maka lokasi berikut yang jadi sasaran pencarian adalah bekas lumbung yang dijadikan bengkel oleh Bobby. Dan benar saja, ditemukannya Bobby di bengkel dalam kondisi identik dengan Dean: tertidur lelap. Bedanya, Bobby dikerumuni beberapa tumpuk buku yang Sam tahu berasal dari ruang kerjanya.

"Hei, Bobby. Bangun," Sam mengguncang pelan bahu Bobby.

Bobby memang tidak menyimpan pisau di bawah bantal macam Dean, tapi refleks meninjunya membuat Sam buru-buru mundur.

"Hei, Sam," ujarnya melihat sosok jangkung berdiri di depannya. "Sudah kelar urusanmu?"

Sam mengangguk. "Semua beres. Bagaimana Dean?"

Bobby menggeram pelan mendengar pertanyaan itu, membikin Sam menatapnya penasaran.

"Yah... bisa dikatakan minggu ini bukanlah minggu yang mulus bagi kami berdua," sahut Bobby dengan ekspresi letih bin mangkel. Dia tidak mengelaborasi dan Sam tidak mengusut lebih lanjut, lebih baik begitu.

"Ini ada kaitannya dengan kamu dan buku-buku yang bermigrasi dari rumah kemari?" Sam duduk di samping Bobby.

"Yeah. Aku sumpah, belum pernah aku begitu cepat marah karena tingkah seseorang. Tapi yoyo emosional yang mengenakan wajah kakakmu itu... Tuhanku, aku mesti menjauhkan diri dari rumah sebelum aku berbuat sesuatu yang akan kusesali," Bobby berkata seraya mengusap muka.

Sam mulai terkekeh. "Kamu... kabur dari Dean?"

Bobby memandangnya lurus. "Demi kewarasanku dan kesehatan dia, ya."

Bibir Sam baru bergerak membentuk awal kata maaf ketika Bobby mengibaskan tangan. "Tidak perlu. Aku ikhlas melakukannya, tapi kalau untuk waktu yang lebih lama lagi aku tidak sanggup, Nak. Dan itu memang ingin kubicarakan denganmu dan Dean."

Sam terlihat penasaran, tetapi kala Bobby tidak meneruskan, dia menanggapi, "Oke. Kita bicara pada saat makan malam saja. Eh, omong-omong soal makan, Dean sudah dapat makan seperti biasa?"

Bobby menyeringai. "Nak, saranku, awasi piringmu dengan baik."

~*~

"Itu mau kaumakan atau tidak?" garpu di tangan Dean sudah dalam posisi siap menerkam potongan ayam di piring Sam.

Sam mengejapkan mata dan detik berikutnya ayam yang diincar itu mendarat di piring kakaknya untuk dilahap kemudian. Dia melirik Bobby yang ambil posisi makan di kepala meja, paling jauh dari Dean. Peringatan yang disampaikan tadi sore rupanya bukan guyon belaka. Sam tahu bahwa kakaknya doyan makan, tapi belum pernah dia menyaksikan Dean bersantap bak pengungsi kelaparan macam begini, padahal baru minggu lalu Dean ogah disuruh makan. Jika semua perilaku kakaknya jadi bipolar seperti ini, pantas saja Bobby kelimpungan.

Sam mempercepat tempo makannya di bawah tatapan penuh arti Bobby dan tak berapa lama acara makan malam pun usailah.

"Buset, Dean," komentar Sam. "Kalau tak hati-hati kamu nanti jadi gemuk."

Dean masih mengunyah sisa kentang tumbuknya, tapi dia menyahut, "Bukankah semua orang hamil juga jadi gemuk?" Dia menelan dan menambahkan, "Lagipula, aku akan membawa beban sekian pon di perutku ke mana-mana, itu sudah merupakan olahraga, bukan?"

Sebelum terjadi debat kusir, Bobby menyela, "Sudahlah. Sekarang aku ingin bincangkan sesuatu dengan kalian."

Dua pasang mata mengarah padanya dengan tatapan ingin tahu yang identik.

"Yah, begini," Bobby berdehem, "Sebelumnya biar kusampaikan bahwa aku sayang kalian berdua seperti anak-anakku sendiri," alis Bobby yang terangkat memblokir reaksi sok tahu Dean, "tapi, atas dasar beberapa hal yang telah kupertimbangkan, aku mencarikan rumah buat kalian tinggal sementara."

"Kamu menendang kami keluar?" tanya Dean langsung yang serta merta dapat "hush" dari Sam.

"Tidak bisa dibilang begitu. Dengar, ini lebih kepada untuk kebaikan kalian sendiri, meski aku akui bahwa aku juga dapat lebih lega karenanya. Begini, tempatku ini masih cukup dekat dengan pusat kota. Sebaik-baiknya kita menyembunyikan Dean, kemungkinan bahwa akan ada orang yang melihat kondisinya lumayan besar dan kita tentu tak ingin itu terjadi. Akan jadi masalah besar, itu."

Kedua bersaudara itu mengangguk setuju.

"Maka," lanjut Bobby, "aku menghubungi beberapa temanku dan kutemukan sebuah... katakanlah tempat persembunyian sementara."

"Di mana?"

"Ada rumah kecil di tengah lahan pertanian yang sudah tak produktif, beberapa mil dari sini. Letaknya sudah di luar kota, jauh dari jalan utama. Pemiliknya sekarang sudah renta dan tinggal di kota, harga sewanya untuk beberapa bulan kukira wajar dan rumah itu sudah siap ditempati, kalian bisa pindah kapan saja," jelas Bobby.

"Kamu bilang di tengah lahan pertanian? Berarti posisi defensif yang bagus," Sam tampak mempertimbangkan.

"Yeah. Kalian dapat tahu siapa saja yang mendekat dalam radius hampir satu mil. Tetangga praktis tidak ada karena setelah lahan pertanian itu ada hutan dan daerah perbukitan. Dean bisa keluar rumah tanpa khawatir ada yang melihat, kecuali jika kau sial dan tertangkap teropongnya pengamat burung."

Dean menggumam, "Bagus. Rumah kecil di padang rumput."

Sam menoleh heran ke arah kakaknya, tak menyangka judul buku Laura Ingalls Wilder akan keluar dari mulut seorang Dean. Dari mana kakaknya tahu?

Dean menjawab pertanyaan tak terkatakan itu dengan, "Bung, tebak siapa yang temani kamu nonton serial tevenya waktu kita kecil dulu?" Dengan tatapan setengah menerawang dia meneruskan, "Cewek-cewek pionir zaman dulu, apa pada masa itu sudah ada celana dalam ya?" Tanpa hirau pada pandangan terganggu Sam dan Bobby, Dean berkata, "Rumah pertanian, eh? Apa kita juga bisa sekalian menunggang kuda poni?"

"Dean!"

"Apa?"

Giliran Bobby yang mengacuhkan Winchester yang lebih tua dan berucap pada Sam, "Hal lain yang kupikirkan adalah rumah itu lebih dekat dengan tempat dokter Zhang dan aku dapat sering berkunjung mengecek keadaan kalian."

"Tanpa ikut menjadi gila karenanya," sambung Sam.

Bobby tersenyum tipis. "Memang, aku agak kewalahan juga. Dean, penelitian, urusan bengkel dan penjualan, berburu..."

"Apapun juga, terima kasih untuk semuanya, Bobby," ujar Sam.

"Jadi, kapan kami akan resmi diungsikan?" tanya Dean.

"Bagusnya, malam ini juga."

~*~

Tidak terhitung lagi oleh Sam berapa kali dirinya dan Dean disangka pasangan kekasih sesama jenis. Itu selalu menjadi lelucon pribadi antara dia dan kakaknya. Namun, acara migrasi ke rumah pertanian itu terasa oleh Sam sudah menyerupai situasi suami-istri muda yang tengah sibuk pindah rumah, dengan seorang bayi dalam proses pembuatan. Sebenarnya barang-barang mereka berdua tidak banyak, gampang saja dipak, diangkut dan dibongkar di rumah baru. Dean dan Sam telah terbiasa hidup nomaden, mestinya kepindahan kali ini juga tak sulit. Mestinya.

Kelakuan menjengkelkan Dean babak pertama dimulai segera setelah Bobby kembali ke rumahnya dan mereka berdua mulai mengeluarkan segala isi koper dan ransel serta menatanya di tempat yang tersedia. Untuk malam itu mereka belum dapat menikmati listrik dan mengerjakan semuanya di bawah cahaya lilin menyuburkan ladang gerutuan Dean, apalagi ketika penataan barang dan ruang tidak sesuai dengan seleranya. Sam saat itu amat penat, dia belum istirahat dengan patut setelah perjalanan panjangnya dari California. Namun, dia tidak tega membiarkan kakaknya bersih-bersih, menggeser dan mengangkat perabotan seorang diri, maka jadilah sampai fajar dia meredekorasi rumah dengan mata sudah tiga watt pijarnya. Untung Dean kembali stabil ketika siangnya Sam mengikutsertakannya dalam kegiatan memperbaiki beberapa kerusakan kecil di berbagai sudut rumah. Malah kerjanya bertukang lebih teliti dari biasa, walau rada lamban jadinya. Dia baru berulah lagi sewaktu Sam mengajaknya berbelanja.

Sam mencoba mengingat apa ada satu saja barang pilihannya yang tidak dapat kritik dari Dean. Dia tidak bisa menemukan satu pun. Kakaknya itu sejak dulu memang cermat dalam membelanjakan uangnya, tapi kali ini Dean sungguh membuat Sam frustrasi dan merasa dirinya pembelanja terbodoh di dunia. Saat Sam menemukan dirinya berdebat konyol dengan Dean tentang merek kertas toilet dan harus menahan keinginannya membalas Dean dengan menjulurkan lidah, dia angkat tangan dan membiarkan apa mau kakaknya itu.

Satu-satunya penghargaan atas perbuatannya itu adalah komentar seorang pengunjung wanita yang begini bunyinya, "Manis sekali ya, cowok itu mengalah pada pacarnya. Dalam hubungan itu memang harusnya begitu."

Yang benar saja.

Setiba di rumah, listrik telah menyala, tetapi ganti pompa air yang bermasalah. Sam malam itu dapat merasakan metabolisme tubuhnya mengubah kalori dari makanan yang baru disantapnya menjadi tenaga yang menggerakkan dirinya menimba air di sumur. Dean bukannya tidak menawarkan bantuan, tapi mengisi satu ember membuatnya terengah-engah dan Sam lantas memintanya mengangkut jerigen air saja, dengan gerobak dorong.

Semua masalah itu harusnya membikin Sam pulas begitu menyentuh kasur, seperti Dean di tempat tidur sebelah, tapi Sam dengan heran mendapati dirinya sukar benar memejamkan mata. Barangkali adrenalin masih mengalir dalam darahnya, batinnya merasionalisasi. Daripada kutak-kutik di ranjang, Sam memilih mencomot buku yang ada di meja samping tempat tidurnya.

Buku itu berjudul "What To Expect When You're Expecting".

Sam menyalakan senter dan membuka halaman pertamanya, tersenyum mengingat saat dia membeli buku itu di toko dekat kampusnya sembari menunggu keputusan dekan tentang izin cutinya. Kasir yang melayani memberinya senyum hangat dan bertanya ramah, "Siapa yang membuatmu beli buku ini? Kekasih?"

"Kakakku," jawab Sam, hampir keceplosan menyebut kakak lelaki alih-alih kakak perempuan.

"Kuucapkan selamat kalau begitu," ujar si kasir. "Semoga semua berjalan lancar."

Lancar, pikir Sam, jalan menuju ke sana adalah dengan memahami persoalan. Dia telah mendalami soal mengapa Dean bisa hamil, sekarang waktunya mempelajari bagaimana kehamilan itu berjalan dan itu sebabnya buku dengan warna sampul feminin itu dibeli dan dibacanya.

Sejak kecil Sam telah terlatih menjadi pembaca yang gegas dan lihai menemukan inti dalam bacaan, sedetil apapun materinya. Kali ini pun demikian. Sam memusatkan perhatian pada bahasan mengenai apa yang dialami orang hamil, bagaimana mengatasi kesulitan yang muncul sehari-hari dan dia melongok sekilas tentang bedah caesar, yang lain dia lompati saja. Tak heran dalam beberapa jam buku itu sudah khatam dia baca dan beberapa menit setelah itu Sam terlelap.

Pagi harinya, Sam terbangun dengan berbantalkan buku yang terbuka di halaman dua ratus sekian dan posisi tubuh yang rada kurang manusiawi. Diliriknya Dean yang masih terkapar di ranjang seberang dan dia menggeliat, menimbulkan bunyi gemertak di sana-sini, lantas diraihnya buku yang ditiban kepalanya semalaman, meluruskan halaman yang terlipat. Masih menggema di kepalanya ide yang melintas semalam dan dia mengambil notes, mulai membikin daftar panjang tentang hal-hal yang mungkin akan terjadi pada Dean selama dua trimester ke depan berdasarkan apa yang terdapat dalam buku. Maksud Sam awalnya adalah untuk antisipasi, secara mental, setidaknya. Namun, kemudian otak ilmuwannya berjalan dan Sam berpikir bahwa situasi yang dialami Dean itu ideal untuk studi kasus. Lembar-lembar notes berisi daftar dirobeknya dan Sam menyelipkannya dalam buku agenda yang masih setengah kosong. Sebuah ide lain berkembara di benaknya.

Sam teringat akan ayahnya dan jurnal miliknya, buku yang dapat disebut sebagai ensiklopedia dunia supranatural dari mata seorang pemburu. Pada mulanya John tentu tidak bermaksud menjadikan jurnalnya sebagai rujukan dalam bekerja, dia hanya menuliskan semua yang dipelajarinya, hal-hal yang notabene masih asing baginya. Namun, kumpulan pengetahuannya itu menjadi amat berguna dari segi praktis saat John terjun sepenuhnya sebagai pemburu. Nah, Sam melihat tak ada salahnya membikin semacam jurnal tentang kehamilan kakaknya. Siapa tahu dapat bermanfaat jika mereka kelak menemui kasus yang mirip dan pikiran bahwa dia menjadi pengamat langsung sebuah kejadian langka membuatnya bersemangat.

Sam mencari-cari pulpen dan kemudian menorehkan kata demi kata di halaman lowong buku agendanya.

~*~

BERSAMBUNG

Chapter 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar