Minggu, 13 Desember 2009

Fic: Fertile (Chapter 2/10)

~*~

Dua belas jam setelah Sam mengakhiri pembicaraan yang menurutnya setengah gila dengan Dean, taksi yang ditumpanginya dari bandara berhenti di depan gerbang dengan papan nama bertuliskan Singer Auto Self Service Salvage Yard di atasnya. Sam turun, membayar ongkos taksi lalu melangkah melewati gerbang, terus menuju sebuah bangunan rumah dengan ransel di punggung dan tangan. Kakinya yang panjang melompati anak tangga ke beranda dua-dua, kemudian diketuknya pintu. Bobby yang membukakan, terlihat tidak terkejut mendapati Sam ada di depan pintunya.

"Hai, Bobby," sapa Sam.

"Hai, Nak," Bobby menyodorkan segelas air suci pada Sam yang meminumnya dengan sukses. "Masuklah," katanya seraya menepuk bahu Sam ketika pemuda itu melewatinya masuk ke rumah.

"Dean..."

"Tiba dua jam yang lalu dan sekarang molor di atas," potong Bobby.


Sam berjalan ke arah tangga untuk naik ke lantai atas, tetapi pertanyaan Bobby membuatnya berhenti dan berbalik.

"Ada sesuatu yang perlu kuketahui tentang Dean?"

Sam menghela nafas panjang. "Jika aku dapat menjawabnya, akan kujawab. Namun, sampai saat ini aku masih belum tahu benar keseluruhan masalahnya," dia mencoba mengelak. Bukan apa-apa, dia yakin Bobby juga bakal segera tahu, tapi Sam ingin bicara terlebih dulu berdua dengan kakaknya.

Bobby menatapnya penuh selidik, tapi bergaul lama dengan para Winchester mengajarinya untuk tidak memaksa mereka berbicara kalau belum merasa siap. Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat.

"Dia tampak kacau waktu datang tadi, seperti bukan dirinya. Aku merasa perlu mengetes macam-macam sebelum kuperbolehkan dia masuk," ujar Bobby.

Jika yang disampaikan lewat telepon tadi memang benar adanya, Dean punya alasan yang sahih untuk kacau, pikir Sam. Begitu pula aku, dan mungkin Bobby.

"Yah, lebih baik aku ke atas dulu untuk menemuinya," Sam berkata. Dia mengangguk pada Bobby lalu menaiki tangga menuju lantai atas rumah Bobby.

Sesampainya di lantai atas, Sam tanpa ragu langsung berjalan ke kamar yang biasa ditempati dia dan Dean kalau mereka sedang menginap di rumah Bobby. Dibukanya pintu kamar, agak heran melihat semua tirai jendela dirapatkan sehingga kamar menjadi remang-remang di siang secerah ini. Sam menaruh ransel-ranselnya di lemari lalu menyingkap tirai, membiarkan cahaya matahari masuk.

Sebuah geraman dari arah tempat tidur menyambutnya. "Argh... tutup lagi tirainya!"

"Tapi..."

"Tutup!"

Sam menurut. Lebih baik jangan cari perkara dulu, batinnya. Dia duduk di tepi tempat tidur tempat kakaknya berbaring dengan posisi fetal, selimut tipis menyelubungi sampai yang terlihat cuma pucuk rambutnya.

"Dean."

Kakaknya menyahut pelan, "Hei, Sammy," kelegaan jelas terdengar di sana. "Cepat sekali kamu datang. Naik Pegasus ya?"

"Terbang pakai pesawat paling awal yang dapat kutemukan," jelas Sam.

"Oh," Dean menurunkan selimut, menampakkan wajahnya yang setengah terkesan, setengah ngeri ketika mendengar kata "pesawat".

Mata Sam segera saja melihat betapa kuyu dan pucatnya muka Dean, sampai Sam dapat menghitung bintik coklat yang biasanya samar di sekitar hidung Dean. Mata kakaknya yang hazel-hijau menjadi terlihat besar di wajahnya, kelelahan membayang di sana. Tatkala Dean pelan-pelan mengangkat tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang, Sam sampai merasa perlu turut membantu. Benar-benar berbeda dari kakaknya yang biasa. Siapa kamu dan apa yang kaulakukan dengan kakakku, ingin Sam menyeletuk demikian.

Dean dan Sam sudah biasa diam-diaman berjam-jam sejak mereka masih kecil dan mereka baik-baik saja dengan itu. Namun, keheningan yang melingkupi ruangan saat itu terasa menekan dan tidak nyaman.

Sam yang pertama buka suara. "Jadi," katanya lambat-lambat, "bagaimana kamu begitu yakin bahwa kamu er... hamil?"

Dean dengan tampang pasrah merogoh saku untuk mengambil dompetnya. Dia mengeluarkan sebuah batangan plastik kecil dari dalam dompet dan menyerahkannya pada Sam. "Ini," sahutnya singkat seolah itu menjelaskan semuanya.

Sam menjepit benda itu dengan jemarinya dan mengernyitkan kening.

"Itu alat tes kehamilan, bodoh. Yang dicelupkan ke urine itu. Kaulihat, dua garis artinya positif," papar Dean dengan nada aneh.

Pemahaman melintas di benak Sam dan yang keluar dari mulutnya adalah, "Bung, kamu sudah mencuci benda ini sebelum memberikannya padaku?"

Dean memutar bola mata. "Sam, aku positif hamil dan apakah benda ini sudah kucuci atau tidak itu hal terakhir yang kukhawatirkan sekarang!"

"Tapi, kalau tidak salah aku pernah baca bahwa alat tes rumahan macam ini dapat saja tidak akurat," bantah Sam, setrip plastik itu dikembalikannya pada Dean.

"Itu kan yang diharapkan semua cowok kala pacar mereka menunjukkan alat tes itu pada mereka," tukas Dean. "Aku sudah coba berbagai jenis alat tes dan semua hasilnya sama, ya positif itulah. Tidak perlu kuliah untuk tahu apa artinya itu, bukan?"

Sam memandangi kakaknya, tidak tahu harus berpikir apa, apalagi mengatakan sesuatu. Otaknya dipenuhi tanda tanya besar yang terus berputar dan wajahnya mengekspresikan itu tanpa ditutupi. Sepanjang usia mudanya, Sam telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri berbagai hal yang di luar normal. Hal-hal yang baru kaupercayai hanya bila telah melihatnya langsung. Namun, yang satu ini benar-benar menguji ambang batas kepercayaannya.

Lama sekali kakak beradik itu kembali dalam kesunyian. Sampai akhirnya Sam berucap, "Ceritakan bagaimana kamu dapat sampai dalam kondisi seperti ini."

Dean tak langsung menjawab. Dia merenung beberapa saat kemudian berkata, "Daripada menceritakan hal memalukan dan menghina ini dua kali, lebih baik kaupanggil Bobby kemari dan akan kukatakan pada kalian."

~*~

Bobby, meski sempat geleng kepala dan rada mendelik sewaktu mendengar apa yang menimpa Dean, meleset dari dugaan Sam, dia tampak lebih cenderung untuk percaya. Barangkali usia tua dan sudah banyak melihat dunia menjadikannya begitu. Yang jelas, kalimat yang dilontarkan Bobby setelah berhasil mencerna peristiwa mengejutkan yang dikabarkan padanya itu adalah, "Kita harus memperlakukan ini layaknya kasus yang biasa kita tangani, anak-anak. Kita kupas dengan hati-hati dan metodis."

Sam mengangguk setuju, pendekatan logika-rasional adalah bidangnya. Namun, Dean memprotes, "Aku bukan kasus. Aku tidak mau jadi kasus." Dan dia terdengar seperti bocah lima tahun yang perengek.

"Suka tidak suka, mau tidak mau, kamu memang telah jadi suatu kasus, Kak," tandas Sam. "Kasus yang amat langka, malahan."

Dean menanggapinya dengan menggumam tak jelas dan... cibirankah itu yang dibentuk oleh bibirnya?

"Bagus, aku jadi kasus. Dan kalau kamu mulai wawancara ini dengan menanyakan apa ada sesuatu yang aneh atau tidak biasa, aku akan menendang bokongmu sampai ke Timbuktu," rutuk Dean.

Sam menahan senyum mengingat kalimat itu adalah pertanyaan yang wajib diajukan buat setiap kasus yang mereka kerjakan. Yang ini, sih sudah lewat dari kategori tidak biasa, pikir Sam, ini termasuk luar biasa. Amat sangat.

"Oke. Ceritakan tentang kasus terakhir yang kautangani, kalau begitu," Sam membuka notes dan siap mencatat.

Dean memulai penuturannya. "Kira-kira dua bulan yang lalu, aku mendengar rumor ada sekelompok penyihir di Austin yang mengadakan upacara persembahan dengan mengorbankan manusia. Aku menyelidikinya dan singkat cerita aku menyelinap ke bangunan kuno tempat mereka melakukan ritual, maksudku untuk mencegah mereka. Tidak usah kubeberkan detilnya, pokoknya aku berhasil memporak-porandakan acara mereka. Namun, salah satu dari mereka, katanya, sih kerasukan Dewi Bast atau sebangsa itu, mengatakan padaku bahwa aku telah membuat sang dewi marah karena mengganggu jalannya upacara pemujaan terhadapnya. Karena itulah..." suara Dean tercekat di sini.

"Apa?"

"Sang dewi mengutukku," Dean mengucapkannya dengan berat.

"Dewi Bast?" tanya Sam, berhenti sebentar dari kegiatannya menulis.

Bobby memandang Dean dengan tatapan yang menyampaikan bahwa dia mengerti. Pada Sam, Bobby menjelaskan, "Dewi masyarakat Mesir kuno, diasosiasikan dengan kesuburan dan kelahiran anak." Kalimat selanjutnya ditujukan pada Dean, "Aku baru tahu kalau pemujaan terhadapnya masih berlangsung sampai sekarang."

Dean angkat bahu. "Mereka kelompok kecil yang tertutup. Tidak banyak orang tahu. Yah, jika aku tak kebetulan menghancurkan acara mereka, aku juga takkan tahu tentang mereka."

"Tunggu, jadi... kamu keliru mengira sekumpulan pemuja dewi kuno sebagai penyihir berbahaya?" tanya Sam tercengang.

"Itu mengecilkan masalah, tapi ya. Begitulah. Dan jangan tanya bagaimana itu bisa terjadi, tak penting lagi sekarang."

Sam mendengus, "Dan kamu menganggap enteng kutukan itu."

Dean mengangguk. "Mulanya begitu. Aku sempat mencari informasi tentang Dewi Bast, tahu tanggung jawab kedewiannya, tapi cuma itu. Kupikir mereka cuma penganut aliran kepercayaan yang sinting."

Bobby mendeham tajam, "Profesi kita menuntut untuk memperhatikan semua legenda dan mitos, Nak, seberapapun tampak remehnya itu."

"Saat itu aku sedang tidak dalam kondisi berburu terbaikku, oke?" sentak Dean.

Sam mengangkat tangan menenangkan. "Baiklah. Lanjutkan," pintanya.

"Kemudian, aku merasakan sesuatu yang aneh mulai terjadi padaku. Seperti yang sudah kukatakan padamu kemarin, Sam," Dean mengangguk ke arah adiknya, "aku tidak bisa minum minuman keras. Brengsek, bahkan bir pun tidak. Ada sesuatu dengan baunya yang bikin aku tidak ingin menenggaknya. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku ke bar cuma pesan soda."

"Soda juga sebetulnya tidak bagus buat wanita..." pelototan Dean membuat Sam buru-buru meralat, "eh, orang hamil."

"Seolah itu belum cukup mengerikan, aku jadi cepat sekali capek, seolah tenagaku habis disedot lubang hitam. Aku..." Dean meringis, "nyaris pingsan selepas memburu banshee. Jangan menatapku seperti itu, Sam. Aku hanya nyaris pingsan, tidak semaput betulan. Sampai di mana tadi? Oh ya, lalu aku juga jadi benci matahari. Huh... menyetir kemari adalah siksaan bagiku. Sempat kupikir aku terkontaminasi darah vampir atau apa. Tidak, Bobby, kau tak perlu khawatir. Aku tidak dekat-dekat sarang vampir selama setahun terakhir. Terus, yang bahkan aku pun heran, makanan jadi tak lagi menarik di mataku. Ada saja yang tidak beres, begitu. Tentu saja, mual dan muntah hampir setiap pagi sama sekali tidak membantu. Aku juga jadi sering sakit kepala. Dan, uh... ada bagian tertentu di tubuhku yang jadi...er... sensitif." Sampai di sini Dean menunduk menyembunyikan wajahnya yang kini bersalin rupa menjadi merah padam.

Sam, dasar ilmuwan, mengkonfirmasi, "Sensitif, di mana tepatnya?"

Ekspresi Dean antara ingin mencekik adiknya dan malu berat. Sam diam-diam mencatat tanggal hari itu sebab tidak banyak hal yang dapat membikin Dean malu seperti ini.

"Er... di bagian yang kusukai dari wanita," pelan sekali jawaban Dean.

"Bilang payudara saja susah amat," celetuk Bobby tak sabar.

Tawa Sam kontan meledak.

Ingin sekali rasanya Dean menghilang ke rumah siput saat itu dan tidak muncul lagi. Namun, dia seorang Winchester dan Winchester selalu tabah dalam menghadapi apapun. Demi mengingat kredo itu, Dean menarik nafas panjang beberapa kali dan menguatkan diri.

"Aku jadi teringat kutukan sang dewi dan mencari referensi tentang dia. Kala aku membaca bahwa dia Dewi Kesuburan, yah, tidak sukar menerka dia mengutukku dengan apa. Dan ya, aku tahu ini susah dipercaya, tapi aku tahu tanda-tanda orang hamil. Itulah sebabnya aku iseng mencoba alat tes kehamilan dan ternyata hasilnya, yang sangat mengagetkan, positif," papar Dean.

Sam dan Bobby berpandangan, masing-masing punya jalan pikiran sendiri, tapi mimik muka khawatir mereka sama-sama tercetak jelas.

"Dean, kamu yakin tidak ada Trickster yang terlibat dalam kejadian ini?" tiba-tiba ide itu menyeruak di benak Bobby.

Jika ini adalah ulah Trickster, semua akan jadi lebih gampang. Tinggal dilacak, paksa makhluk itu untuk jentikkan jari dan puf... seluruhnya beres. Namun, Dean menggeleng. "Tidak pernah ketemu Trickster, jadi tak ada alasan baginya untuk mengerjai aku."

"Dan..." Bobby sedikit ragu waktu mengatakan ini, "Apa kamu sudah hubungi ayahmu?"

Dean memutar bola mata. "Dia meninggalkan aku dua bulan yang lalu, katanya ke St. Louis. Sejak itu aku tidak mendengar apapun darinya. Dan kalaupun aku telepon dia atau tinggalkan pesan, apa coba yang mesti kukatakan, yang tidak akan bikin dia mengira aku sudah edan, hanya bercanda mengerjai dia atau keduanya!"

Pena Sam yang sedang bergerak di lembaran notesnya terdiam. Sedikit banyak pahamlah dia kini kenapa Dean bisa sampai melakukan kesalahan fatal dalam berburu: salah satu cabang pikirannya tertuju pada ayahnya. Perpisahan itu terlampau segar untuk dienyahkan dari kepala.

Sam mendengus, "Huh, meskipun kita menghubunginya, aku tidak yakin ayah akan langsung bertemperasan kemari. Jangan-jangan malah segan karena dia pikir dia terlalu muda untuk jadi kakek."

Dean mendelik pada adiknya, tapi lantaran ada perkara yang lebih genting, ucapan Sam tentang ayahnya dibiarkan berlalu untuk sementara.

"Kamu tidak coba melacak keberadaan kelompok pemuja Dewi Bast itu?" tanya Bobby.

Dean menggeleng. "Aku, yah, sedang tidak cukup fit untuk itu," akunya dengan berat hati.

Bobby mengangguk-angguk sementara Sam justru geleng kepala.

"Ya ampun, Dean. Cuma kamu yang bisa mengalami hal macam ini. Kenapa kamu tidak bikin murka Dewa Kemakmuran saja, alih-alih Dewi Kesuburan?" Sam menatap kakaknya, antara gemas, kasihan, geli dan tentu saja cemas.

Bobby buka suara sebelum Dean sempat membalas, "Baiklah. Kita punya informasi yang lebih lengkap dan gambaran kasusnya. Yang sudah terjadi, terjadilah. Tidak usah tangisi susu yang sudah tumpah, apalagi dijilati. Yang kita perlu pikirkan sekarang adalah cara mengatasinya."

"Itu berarti langkah berikutnya adalah riset, riset dan riset," putus Sam yang diamini oleh Bobby.

~*~

Suara yang menyambut Sam tatkala dia terjaga dari tidur keesokan harinya bukanlah riuh aktivitas pagi yang biasa: denting peralatan memasak di dapur, cicit ceria burung, kokok ayam jago dan semacamnya, melainkan suara kakaknya muntah-muntah di kamar mandi. Sam menghembuskan nafas kuat-kuat sampai helaian rambut di dahinya tertiup, bangkit dari tempat tidur dan menuju sumber suara. Di sana dilihatnya Dean berlutut di depan kloset, tubuhnya bergetar setiap kali isi perutnya memberontak keluar. Insting Sam membuatnya ikut berlutut di samping kakaknya, sebelah tangan mengusap-usap punggung Dean dengan gerakan melingkar, tangan yang satu menyeka keringat dingin di pelipis Dean. Tidak ada yang aneh dengan itu, Sam telah melakukannya setiap kali kakaknya sakit karena kebanyakan minum pada malam harinya. Namun, reaksi Dean saat itu membuat Sam terkejut.

"Jangan dekat-dekat," tanpa melihat, Dean menepis tangan adiknya.

"Dean?" Sam terbelah antara menuruti dan tetap di sisi kakaknya.

Dean menoleh sekilas dan mengerutkan muka. "Aku tidak suka aroma tubuhmu," katanya pendek.

Jawaban ajaib Dean itu membikin Sam untuk beberapa saat jadi macam ikan mas koki, mulutnya membuka-tutup tanpa sepatah kata pun yang terucap.

"Aku sungguh-sungguh. Tolong pergilah sekarang, kamu membuat ini lebih parah," pinta Dean lemah.

Sam akhirnya berdiri dan keluar dari kamar mandi, sebelumnya sempat dia mengolok, "Bagus kalau kamu tidak suka bau badanku, berarti kita memang benar-benar saudara." Tak berapa lama Sam kembali untuk menaruh handuk dan pakaian ganti buat Dean. "Mandilah sekalian," katanya, kemudian dengan cengiran iseng meneruskan, "lalu turunlah untuk sarapan."

Kata "sarapan" itu membawa efek seperti yang diduga dan Sam dapat menangkap lontaran jengkel "aku benci kau" dari Dean di sela-sela episode muntah.

~*~

Turun untuk sarapan. Mudah disarankan, sukar diimplementasikan ternyata, dumal Sam seraya memandang mangkel kakaknya yang duduk berselonjor di atas tempat tidur, majalah terpentang di hadapannya dan senter siaga di tangannya.

"Dean," ajak Sam dengan nada seseorang yang batas kesabarannya sudah kian tipis, "Ayo kita ke bawah dan makan. Nanti hidangannya dingin."

"Tidak lapar," tampik Dean.

"Aku tahu perutmu rasanya sedang tidak enak, tapi kamu harus makan sesuatu," bujuk Sam seperti yang biasa dilakukan Dean bila Sam-lah yang sedang kumat malas makannya.

"Kamu saja yang makan."

"Ya tidak bisa begitu, dong. Mana mungkin aku makan sendirian."

"Oh ya? Jadi selama kuliah di Stanford kamu tidak pernah makan?"

Dapat serangan sengit macam itu, Sam ganti strategi. "Makan, ya? Sedikit...saja. Lagipula Bobby sudah buatkan sarapan yang enak, kok."

"Tidak ada yang suruh dia masak buatku, kan?"

Sam menekan dorongan untuk mencabuti rambutnya, atau rambut kakaknya, dan mencoba dengan setengah berjudi, "Kalau cuma kamu sendiri yang tidak makan, sih bukan masalah. Tapi pikirkan anak yang kaukandung."

Dean mematung selama beberapa detik, ketika dia akhirnya mengangkat kepala untuk menatap Sam, ekspresinya terlihat ganjil, jenis mimik yang belum pernah disaksikan Sam sebelumnya dan karenanya sukar diterjemahkan maknanya.

"Baiklah, cerewet," pungkas Dean.

Senyum mengembang tipis di bibir Sam, tapi itu menguncup lagi mendengar kelanjutan kalimat Dean, "Tapi bawakan makanannya kemari."

Dean lantas menyalakan senter mungil untuk menerangi halaman majalah di hadapannya karena tirai kamar itu lagi-lagi ditutup rapat semuanya seolah sinar matahari menjadi musuh bebuyutan Dean. Di mana logisnya hal itu, Sam tak mau memikirkannya. Mendengar kakaknya mau makan saja dia sudah cukup senang dan selanjutnya Sam turun ke dapur untuk menunaikan misinya.

Misi itu tentu saja tidak semudah waktu didengar di telinga. Sam sampai bosan menghitung berapa belas kali dia naik-turun tangga sambil menating baki, saban kali dengan jenis makanan yang berbeda atau kalaupun makanannya sama, cara penyajiannya yang lain, meski di mata Sam bedanya hanya amat sangat sedikit sekali. Sam tak habis pikir, kenapa Dean jadi begini rewel dan pemilih dalam soal makanan, demikian bertolak dari sikapnya yang biasa, yang menyambar apa saja yang ada di piringnya, di piring Sam juga, kalau adiknya itu lengah. Namun, kali ini dia bagai kerasukan roh nenek bawel. Ada-ada saja alasan yang dilontarkan untuk menampik makanan yang dibawakan Sam. Sebagian rada masuk di akal, sebagian konyol, sisanya jelas alasan dibikin-bikin.

Sejak awal Sam telah melarang Bobby menggantikan dirinya mondar-mandir menyediakan sarapan. Biarlah ini jadi kontes adu keras kepala Winchester bersaudara saja, niat Sam. Toh, nanti juga akan ada yang mengalah dan Sam dapat menjadi amat ngotot kalau dia mau.

Babak puncak pertarungan menggelikan itu dimenangkan oleh Sam ketika dia meletakkan piring berisi roti panggang berlapis daging asap dan selada di hadapan Dean. Kakaknya itu mengamati tumpukan roti dengan kritis, sampai menelengkan kepala untuk memastikan ketebalan dan kematangan rotinya benar-benar pas, pendek kata bak ilmuwan meneliti spesimen. Dean tersenyum miring waktu menyadari kali ini Sam benar-benar mengikuti instruksinya sampai ke titik dan komanya.

"Roti lapis yang sempurna," ucap Dean, meraih setangkap dan mengerikiti ujungnya.

Sam menjatuhkan diri di kursi, otot betisnya menjerit, tapi dia tersenyum dan berkata, "Makannya pelan-pelan."

Balasannya adalah gumam tak jelas lantaran Dean masih mengunyah rotinya. Habis sepotong, Dean meletakkan piringnya di meja samping tempat tidur. "Nanti lagi. Aku tidak berani makan banyak-banyak sekaligus," terangnya.

"Kalau begitu," Sam bangkit, "Bawa piringmu ke bawah karena Bobby sudah menanti di ruang kerjanya."

~*~

Mengajak Dean ikut serta dalam riset pustaka dan sumber dunia maya ternyata merupakan suatu kesalahan besar. Bukan hanya tidak produktif, melainkan juga menyumbang kontribusi negatif bagi kemajuan Sam dan Bobby. Sejak tiba di ruang kerja Bobby merangkap perpustakaan pribadinya yang disesaki buku tebal berdebu, Dean cuma membaca beberapa paragraf, mencuil roti di piringnya, bergerak gelisah, lalu mengomel jengkel, kembali membaca lagi, begitu seterusnya. Makin banyak materi yang dibacanya, kian seru gerutuannya dan gelisahnya bermanifestasi jadi beragam aktivitas yang mengganggu. Sam dan Bobby telah kerap berhadapan dengan tindak-tanduk Dean yang menggelitik saraf marah, tetapi kali ini Dean betul-betul sulit ditolerir.

Andai dia psikiater, barangkali Sam akan mendiagnosis kakaknya dengan gangguan kepribadian bipolar, sebab kecenderungan tenangnya yang kemarin raib tanpa bekas. Yang dihadapinya kini adalah Dean yang bak landak, disenggol sedikit atau bahkan tanpa provokasi sama sekali langsung mencuat semua durinya. Teguran Bobby agar Dean duduk diam dan membaca mendapat sambutan panas dari Dean, yang berujung pada Bobby secara resmi menendang Dean keluar dari ruang kerjanya. Sepeninggal Dean, Sam dan Bobby saling pandang, pikiran mereka seragam: kenapa tidak dari tadi saja kita berbuat begitu?

Penelitian mereka berlangsung progresif setelahnya. Berjam-jam Bobby dan Sam bertekur menghadapi kitab yang terdiri dari ribuan halaman, mencatat hal-hal yang dianggap perlu, mereferensi silang penemuan mereka, mendiskusikannya dengan serius, berbagai ide dilontarkan bolak-balik di antara mereka seperti bola pingpong. Sampai larut malam dua orang itu meriset, poci kopi di meja kerja beberapa kali diisi ulang.

Sepanjang hari itu Bobby dan Sam hanya ambil jeda untuk menunaikan kebutuhan dasar, sekedar meregangkan otot dan merehatkan mata yang keriting atau dalam kasus Sam ditambah jatah waktu untuk mengecek keadaan kakaknya. Sejak di-persona non grata dari ruang kerja, Dean berkurung diri di kamar tidurnya. Aktivitasnya sehari itu praktis dilakukan di atas tempat tidur: membaca, menonton film lawas yang diputar di televisi atau memainkan permainan di komputer jinjing Sam yang sempat-sempatnya digotong dari California. Yang terakhir itu membuat Sam terpaksa memakai komputer meja Bobby yang sudah gaek jika dia butuh mengaduk-aduk dunia maya. Tentu saja gaek di mata Sam, karena menurut Bobby komputer itu masih ciamik untuk barang berusia lima tahun.

Satu kegiatan Dean yang dominan adalah tidur. Dia bak beruang sedang hibernasi dan Sam merasa agak kasihan melihat betapa tampak lelahnya Dean bahkan dalam kondisi terlelap. Rasa iba itulah yang diingat-ingat terus oleh Sam saban kali dia mesti membujuk Dean supaya mau makan. Kalau tidak demikian, tekanan darah Sam bisa melejit dengan stabil mengingat kerewelan Dean soal santapan rupanya masih berlanjut, walau tidak semenjengkelkan waktu sarapan tadi. Sam sempat membatin, jika ada kompetisi memperebutkan gelar orang suci untuk pelayan orang hamil, dia layak jadi kandidat.

Santo Samuel Winchester, enak didengar, bukan?

~*~

Satu minggu berlalu dengan irama kegiatan nan monoton sampai Bobby mendeklarasikan bahwa dirinya dan Sam telah mengulik semua sumber yang tersedia. Berdua mereka menemui Dean yang masih bergelung di ranjang, tampangnya penasaran menerka-terka apa yang bakal disampaikan Bobby dan Sam, sekaligus menyiratkan harapan.

Sam ditunjuk jadi juru bicara secara aklamasi dan dia mengawali laporannya dengan, "Yah, dari apa yang sudah kami baca, ternyata ada beberapa tokoh pria dalam mitologi yang mengandung anak dan melahirkan. Misalnya Dewa Zeus yang melahirkan Athena dan Dionysus, dan dalam agama Hindu diyakini Dewa Wisnu melahirkan Dewa Brahma. Sejumlah kebudayaan di dunia ada yang mempercayai bahwa kaum pria juga bisa hamil," untuk sedikit mengolok Sam menambahkan, "dan jangan lupakan film Junior."

"Apa itu maksudnya untuk membuatku merasa baikan?" sambar Dean keki.

Sam meneruskan ceramahnya seolah barusan tidak ada interupsi, "Ada sejarah panjang tentang asal-usul dan transformasi tentang kepercayaan terhadap Dewi Bast selama berabad-abad, tapi kurasa itu tidak perlu kuceritakan semua padamu. Yang penting diketahui tentangnya adalah Dewi Bast dilambangkan dengan kucing, karena itulah dia dianggap sebagai ibu yang baik dan protektif, selain digambarkan punya banyak anak. Itu, dan orang Yunani yang menyetarakan Dewi Bast dengan Artemis, dewi bulan mereka yang membuat Dewi Bast diasosiasikan dengan kesuburan dan kelahiran anak."

"Cerita yang bagus, tapi bagaimana itu akan membantu?" Dean menyela.

Bobby melirik ke arahnya, "Perlukah kuambilkan lakban?"

Sam melerai sebelum Dean memperburuk situasi, "Ya, itu agak membantu, memperjelas masalah, setidaknya menurut sudut pandangku." Tatapan tak sabar Dean mengiringi penuturan Sam selanjutnya. "Aku dan Bobby berhasil menemukan sejumlah kasus yang boleh dibilang serupa denganmu. Tidak ada jumlah pasti dan identitas secara jelas, kau pasti tahu kenapa, tetapi itu memberi kami gambaran bagaimana harus melangkah."

"Yaitu?" Dean ingin sekali menarik keluar kata-kata dengan segera dari mulut adiknya.

"Mempertahankan kehamilanmu," sahut Sam tandas, tapi hati-hati.

Keheningan yang melanda selama beberapa saat di ruangan itu demikian pekat seolah dapat dipotong dengan pisau.

"Apa?" Dean memandang adiknya seolah di bahu Sam tumbuh satu kepala cadangan, atau dua.

"Kasus-kasus kehamilan supranatural yang terjadi pada pria tidak seragam polanya, kami cuma temukan tak lebih dari enam yang tercatat disebabkan oleh kutukan Dewi Bast, tetapi satu hal yang konstan adalah jika pria itu mencoba mengenyahkan kandungannya, dia bisa pilih antara tewas dengan sukses atau bayinya kembali dengan cara misterius," terang Bobby.

"Jadi, Kak, minimal kamu tidak bisa keguguran," celetuk Sam.

Dean mengerutkan alis, "Kalau digugurkan?"

Lekas Sam menyahut, "Langkahi dulu mayatku karena aku tidak akan membiarkanmu bermain-main dengan nyawamu."

"Sekali ini dengarkan adikmu," timpal Bobby.

"Tidak bisa bikin ramuan atau ritual pembalikan atau brengsek, apapun untuk menolak kutukan ini?" tanya Dean, putus asa merembesi setiap kata.

Kompak Sam dan Bobby menggeleng.

"Terlalu berbahaya. Kita tak mau berjudi melawan sosok dewi kuno yang kuat dengan nyawamu sebagai taruhan. Lagipula, kalaupun ada ramuan atau upacara, bahan-bahannya kelewat antik atau sudah pada punah dari muka bumi ini, mustahil dicari. Oke, andaipun kita entah bagaimana bisa menemukannya, apa kuat kantong buat membayar ongkosnya? Itu sama saja dengan mencoba menggenggam angin, Nak," lugas Bobby mengutarakan jalan pikirannya.

Dean menatap Sam dan Bobby berganti-ganti, mereka dapat membayangkan roda-roda di otaknya berputar dengan cepat mengunyah semua yang baru saja didengarnya. Serentetan mimik silih berganti melintasi mukanya: terkejut, marah, kecewa, bingung, ngeri dan yang terakhir pasrah.

"Oke, selain memutuskan bahwa aku tetap hamil, apa ada lagi yang kalian temukan? Misalkan saja, masalah praktis seperti bagaimana mahkluk ini akan dila... dikeluarkan dari tubuhku bila waktunya tiba?"

"Uh..." serempak Bobby dan Sam jadi kelu, mereka berdua berbalas pandang yang menyampaikan pesan serupa: kamu saja yang mengatakan.

"Sam?" Dean-lah yang menentukan untuk mereka.

Sam menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, menyibakkan poni yang terjuntai di dahinya, bahasa tubuh yang menyampaikan keengganannya buka mulut. Namun, dengan menghindari mata kakaknya terlontar juga, "Yah... tidak ada cara yang mudah untuk mengatakan ini. Dari data yang Bobby dan aku kompilasikan, kami dapati pada dasarnya ada dua cara bagi seorang pria untuk melahirkan bayinya. Yang pertama, er... bila saatnya sudah dekat, secara gaib nanti akan muncul semacam... uh, bukaan di..."

"Apa? Seolah hamil saja belum cukup, aku bakal punya vagina juga?" teriak Dean dengan suara satu oktaf lebih tinggi dari biasa, kalau tidak mau dibilang menjerit.

"Uhm... sebut saja jalan lahir, dan itu sifatnya temporer, dan..."

Dean mengacungkan telunjuk pada adiknya, mengisyaratkan agar Sam tutup mulut. Dia bersyukur bahwa saat itu dia tengah duduk, sebab kalau dia berdiri pasti bakal merosot jatuh. Dengan memberanikan diri, Dean berpaling pada Bobby, "Dan alternatifnya?" dia bertanya pelan, seluruh tubuhnya lunglai seperti balon karet kehabisan udara.

Bobby menjawab dengan apa adanya, "Lebih mengerikan dari sisi kami. Kami mesti mempelajari cara melaksanakan bedah caesar."

Dean anehnya terlihat lebih lega mendengar keterangan itu. "Hm, bedah caesar ya? Aku dari sekarang bisa memesan Sam sebagai penjahit lukanya kalau begitu."

"Kenapa aku?" Sam tak begitu antusias mendengarnya.

"Karena terakhir kali Bobby menjahitku, bekasnya kelihatan seperti tusuk silang nenek-nenek!" jelas Dean.

Bobby menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti "bocah kurang ajar tak tahu terima kasih" ditingkahi kekeh pelan Sam. Kemudian Bobby berkata, "Aku dan Sam sekalian membaca tentang prosedur bedah caesar, yang tidak gampang dilakukan, ingat itu. Kami telah berencana untuk melakukan percobaan sebelum benar-benar membelah perutmu," di sini Bobby menyeringai, "itu sesuatu yang baru. Biasanya aku menutup rekahan di daging orang, eh, kali ini mesti membuka dan merogohinya," dengan puas Bobby melihat wajah Dean jadi pucat-kelabu mendengarnya. "Ah, omongan tentang bedah ini buat aku ingat sesuatu."

"Dan itu adalah?"

"Memeriksakanmu ke dokter."

~*~

BERSAMBUNG

Chapter 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar