Kamis, 29 April 2010

Fic: The Glass Passenger

Written by : Lady_Mannequin
Genre : Horror, Medical Drama and Romance
Setting : Seattle
Rating : T-13+
Title reference: This fan fiction title refers to a brand new album from Jack’s Mannequin.

Sinopsis : Fan Fic gabungan dari dua serial TV terpopuler, Grey’s Anatomy dan Supernatural ini menceritakan tentang serangkaian kematian aneh yang terjadi di King County Metro Bus, Seattle selama tiga hari berturut-turut. Kasus mencekam itu terhubung pada The Glass Passenger, sosok putih misterius yang hanya terlihat di kaca jendela sesaat sebelum terjadi kematian beberapa penumpang bus. Dean dan Sam serta dibantu oleh tim dokter bedah Seattle Grace Hospital harus segera memecahkan misteri The Glass Passenger sebelum korban lainnya berjatuhan.

Karakter Supernatural:
Dean Winchester a.k.a McWeird
Sam Winchester

Karakter dari serial Grey’s Anatomy :
Dr. Meredith Grey : Dokter bedah resident
Dr. Alex Karev : Dokter bedah resident
Dr. Isobel “Izzie” Stevens : Dokter bedah resident
Dr. Cristina Yang : Dokter bedah resident
Dr. George O’Malley : Dokter bedah magang
Dr. Derek Shepherd a.k.a McDreamy: Head of Neurosurgeon (Kepala bedah syaraf)
Dr. Erica Hahn : Head of Cardiothoracic Surgery (Kepala bedah jantung dan thorax)



Karakter dari forum Supernatural fanfic dan Grey’s Anatomy:
Lady a.k.a Keane
Ucha Sweetz
Charmed
Ambu
Andrew
Nenok
Juichi
Red
Dewa
Bym
Lissa
Sapphire
Cheezy Taz a.k.a Taz
Adellaide a.k.a Adel
***

THE GLASS PASSENGER

21 September 2008
8.50 AM

Keane berlari mengejar King County Metro Bus yang tengah melaju dengan kecepatan cukup kencang. Untunglah, sang supir bus menyadari keberadaan Keane dan menghentikan busnya. Sang supir bus menekan tombol pembuka pintu otomatis. Pintu bus terbuka dan Keane pun masuk dengan nafas yang masih terengah-engah. Ia menghempaskan diri di sebuah tempat duduk. Beruntung sekali ia masih bisa mendapatkan tempat duduk saat jam sibuk di pagi hari ini. Sebuah suarayang dikenal Keane terdengar dari belakang tempat duduknya.

“Wah Keane, kecepatan larimu tergolong kencang juga ya!” suara tersebut menyapa Keane. Keane sekonyong-konyong membalikkan tubuhnya menuju asal suara tersebut.

“Ucha!” seru Keane. “Kok tumben pagi-pagi begini sudah berangkat ke kampus?”

“Iya, jam sembilan pagi ini aku ada kuliah tambahan Anatomi. Sebenarnya sih aku nggak mau masuk, tapi karena mata kuliah ini asyik banget, jadi aku bela-belain masuk deh,” jawab Ucha.

“Oh, mata kuliahnya Miss Andrew ya?” tanya Keane lagi.


“Yupz, darimana kamu tahu, Keane?” Ucha balik bertanya.

Ketika Keane baru akan menjawab pertanyaan Ucha, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok bayangan putih yang memantul di kaca jendela King County Metro Bus. Keane terpana sesaat lalu spontan menengok ke arah datangnya bayangan namun ia tidak melihat seorang pun yang menyerupai sosok tersebut. Sekonyong-konyong Keane merasa merinding ketakutan. Ia duduk kaku dikursinya. Kedua tangannya mencengkeram ujung kursi. Apa tadi ia bermimpi? Ya, itu pasti hanya mimpi, atau semacam halusinasi. Ia pasti tertidur selama satu atau dua menit. Keane berusaha berpikir rasionaldan menekan pikiran-pikiran seram dalam benaknya.

“Keane, ada apa?” tanya Ucha. Keane tersentak mendengar pertanyaan Ucha lalu menyadari bahwa Ucha sedang memandangnya dengan tatapan tidak mengerti.

“Cha....” Kalimat Keane terpotong ketika tiba-tiba terdengar jeritan nyaring yang panjang dan mengerikan dari seorang penumpang pria berusia setengah baya yang berada tepat di depannya. Suara jeritan tersebut mengejutkan seluruh penumpang King County Metro Bus. Belum pernah Keane mendengar jeritan seperti itu sebelumnya. Jeritan kesakitan itu semakin keras terdengar dan berakhir setelah tubuh sang penumpang jatuh berdebum di lantai bus. Kejadian mengerikan itu berlanjut dengan pekikan kaget dari para penumpang lainnya sampai-sampai sang supir menghentikan busnya di tepi jalan.

Pandangan seluruh penumpang di dalam bus spontan tertuju pada kejadian sosok penumpang naas yang kini tergeletak di lantai bus. Para penumpang wanita terlihat pucat seketika setelah melihat kejadian tersebut. Beberapa diantaranya langsung memalingkan wajah karena tak sanggup melihatnya. Seorang pria jangkung bertubuh atletis dengan rambut coklat sekonyong-konyong bangkit dari tempat duduknyadan berjalan secepat mungkin menuju tubuh sang penumpang yang roboh itu. Pria itu dengan sigap mengeluarkan stetoskop dari dalam tasnya, meraba nadi di leher lalu membuka dua kancing teratas di pakaian sang penumpang. Stetoskop itu ia tempelkan ke dada sang penumpangyang tak bergerak itu untuk mendengarkan detak jantungnya selama tiga puluh detik. Setelah itu, ia mengisyaratkan kematian sang penumpang dengan gelengan kepala.

Tanpa sengaja kartu identitas sang dokter terjatuh saat ia sedang membereskan peralatan medisnya. Kartu tersebut kebetulan berhenti tepat dibawah kaki Ucha. Spontan Ucha memungut kartu itudan melihatnya sekilas.

”Dr. Alex Karev,” bisik Ucha perlahan seraya memperlihatkan kartu nama sang dokter pada Keane.

”Resident Seattle Grace Hospital,” lanjut Ucha. Keane dan Ucha spontan menatap Dr. Alex yang sedang menggotong tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu dan menaruhnya di kursi bus. Ucha berjalan menghampiri Dr. Alex untuk mengembalikan kartu identitasnya. Sang dokter mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum manisnya pada Ucha. Ucha membalas senyuman tadi lalu kembali ke tempat duduknya semula. Di saat yang bersamaan, supir bus menstater kendarannya dan kembali melaju di jalan raya. Tiba-tiba Keane memegang erat lengan Ucha.

”Kenapa, Keane?” tanya Ucha heran.
”Hmmm....itu...” jawab Keane terbata-bata lalu ia terdiam selama beberapa saat.
“Apa?” tanya Ucha lagi.
Keane ingin menceritakan pengalamannya melihat sosok bayangan putih misterius, namun ia masih ragu. Baru saja ia akan bercerita, namun tiba-tiba supir bus menghentikan kendaraannya di sebuah halte. Tak terasa Ucha dan Keane telah sampai di gerbang Seattle University. Ucha bergegas turun dari bus lalu disusul oleh Keane beberapa saat kemudian. Sebelum turun Ucha sempat memandang sekilas ke arah Dr. Alex Karev.

“Keane, tadi mau ngomong apa?” Ucha kembali bertanya.

Lagi-lagi Keane tidak sempat menjawab pertanyaan Ucha karena tiba-tiba Cellular Phone Ucha berbunyi. Ucha melihat sekilas identitas sang penelepon di layar LCD Cellular Phonenya dan memutuskan untuk mengangkatnya.

“Maaf Keane, aku harus segera masuk kelas sekarang karena Miss Andrew sudah datang. Sampai jumpa besok,” sahut Ucha lekas-lekas dan ia segera berlari menuju gedung fakultas kedokteran. Sebenarnya Keane ingin sekali menceritakan kemunculan sosok bayangan putih misterius tadi pada Ucha, tapi tidak sempat berhubung Ucha tengah buru-buru. Akhirnya Keane memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya, namun sekonyong-konyong ia teringat kembali pengalaman mengerikan yang baru saja dialaminya di King County Metro Bus. Keane merinding seketika saat mengingat sosok bayangan putih semitransparan yang dilihatnya di kaca jendela bus. Keane merasa ketakutan sebab ia belum pernah melihat hantu sebelumnya.

***

22 September 2008
8 AM

Bunyi alarm jam weker membangunkan Keane dari mimpi buruknya. Tubuh Keane masih gemetaran walaupun ia sudah terjaga penuh. Ia masih teringat jelas gambaran dari mimpi buruknya. Keane bermimpi melihat sosok bayangan putih misterius yang dilihatnya di kaca jendela bus kemarin. Keane berusaha menenangkan dirinya, namun ingatan mengenai peristiwa mengerikan kemarin terus melekat dalam benaknya. Keane melirik jam weker yang menunjukkan pukul delapan pagi dan dengan malas ia beranjak dari ranjangnya. Sebenarnya Keane sedang tak ada semangat untuk melakukan aktivitas hari ini, namun ujian tengah semester yang akan berlangsung siang hari nanti membuatnya mau tak mau harus berangkat ke kampus.

Gara-gara sosok bayangan putih misterius itu, Keane jadi ketakutan setiap melihat dan melewati kaca atau cermin. Keane terpaksa mengalihkan pandangannya ke tempat lain sebab ia pasti teringat sosok mengerikan itu bila tanpa sengaja menatap kaca. Saking takutnya, Keane tidak berani menatap kaca saat mandi dan gosok gigi, bahkan ia terpaksa merias wajahnya tanpa menggunakan cermin.

Keane meraih T-shirt bergambar cover album terbaru Jack’s Mannequin dari dalam lemari lalu memakainya sambil memencet tombol-tombol di Cellular Phonenya untuk menghubungi taksi, tapi sesaat kemudian ia baru tersadar bahwa uang sakunya hampir habis lantaran telah dipakai untuk akomodasi dan tiket konser Jack’s Mannequin selama 3 hari berturut-turut di McCaw Hall, Moore Theatre, dan Westlake Center. Toyota Camrynya juga tidak bisa digunakan karena sedang direparasi di bengkel. Sebenarnya kejadian kemarin membuat Keane takut naik bus, tapi apalah daya karena tak ada mobil dan uang pas-pasan akhirnya ia mengumpulkan keberaniannya untuk menggunakan sarana transportasi King County Metro Bus menuju Seattle University. Tentunya sambil berdoa semoga sosok bayangan putih misterius tidak lagi muncul dan peristiwa mengerikan kemarin tak terulang lagi.

Baru lima menit Keane berada dalam King County Metro Bus, kemudian terjadi kembali peristiwa kedua yang tak kalah mengerikan. Kali ini sosok bayangan putih misterius yang dilihat Keane di pantulan kaca jendela kemarin kembali muncul di bus yang ditumpanginya. Saat ini sosok putih semitransparan itu benar-benar terlihat jelas di mata Keane dari pantulan di salah satu kaca jendela King County Metro Bus. Kengerian yang amat sangat. Itulah perasaan yang mulai merayapi diri Keane sekarang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya membiru dan mengerut. Keane ingin menjerit tapi entah mengapa ia merasa kerongkongannya tercekat.

Belum sepenuhnya Keane menghadapi kengerian tersebut, tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan dari seorang gadis yang duduk tepat dibelakang Keane. Tubuh gadis naas itu merosot ke lantai bus dan terpuruk di sana. Keane hanya terpana melihat kejadian itu tanpa bisa berkata-kata.

Seorang wanita yang kebetulan berada tepat disebelah gadis naas itu langsung menjerit seketika melihat kejadian itu. Tak hanya itu, jerit tertahan terlontar dari mulut para penumpang lain. Jeritan tersebut terpaksa membuat supir bus menghentikan kendaraannya. Sekonyong-konyong seorang pria berambut coklat gelap melompat dari kursinya dan memberi isyarat pada penumpang lain tetap duduk dengan tenang. Ia membungkuk dan memeriksa tubuh gadis itu. Dengan lembut, ia mengangkat pergelangan tangan sang gadis dan memeriksa denyut nadinya.

Wajah pria itu tiba-tiba menjadi pucat dan serius. Puluhan penumpang lain hanya memperhatikannya. Mereka seolah terpaku dan tak kuasa berbuat apa-apa. Pria itu lalu beralih mencari denyut nadi di leher dan mengambil stetoskop dari saku jaketnya. Ia mendengarkan jantung sang gadis dengan stetoskop selama beberapa detik. Ia mengambil senter kecil dari dalam tas punggungnya lalu menyalakan senter tepat di depan mata sang gadis. Ia memperhatikan tanggapan pupil mata terhadap senter.

”Dia sudah meninggal,” pria itu mengumumkan kondisi sang gadis kepada semua penumpang bus. Keane yang merasa dirinya ada kaitannya dengan kejadian barusan memberanikan diri mendekati pria yang memeriksa gadis naas tadi.

”Dokter!” panggil Keane pada pria yang dari tingkah lakunya mencerminkan profesi seorang dokter tersebut.

”Ya?” sahut sang dokter.

”Saya Keane Maroon, Dokter. Boleh saya tahu prognosis Anda terhadap gadis ini?” tanya Keane sambil menjabat tangan sang dokter.

”Saya Dr. George O’Malley. Gadis ini meninggal karena gagal jantung, Keane,” tutur sang dokter.

”Saya akan membawa jenazah gadis ini ke Seattle Grace Hospital untuk diotopsi. Hasil otopsi akan menjelaskan lebih detail mengenai penyebab kematian gadis ini,” lanjut Dr. George O’Malley kepada Keane.

Sebenarnya Keane ingin berbicara lebih banyak dengan Dr. George O’Malley, namun sayangnya King County Metro Bus yang ditumpanginya telah sampai di gerbang Universitas Seattle. Keane mengucapkan terima kasih pada Dr. George O’Malley dan segera bergegas turun dari bus.

***

Fakultas Kedokteran Universitas Seattle
22 September 2008
2 PM


Setelah menyelesaikan ujian tengah semester, Keane berjalan secepat mungkin menuju ruang A4809 yang biasanya dipakai Ucha dan teman-teman sekelasnya untuk melakukan praktikum Anatomi. Untungnya saat itu praktikum Anatomi belum dimulai karena Miss Andrew, sang dosen belum datang. Keane langsung memasuki laboratorium tersebut dan menghampiri Ucha yang tengah memakai jas labnya.

“Cha, aku mau ngomong sesuatu sama kamu sebentar aja,” pinta Keane. Ucha tersentak kaget ketika tiba-tiba Keane memanggilnya.

“Ada apa, Keane?” tanya Ucha dengan nada kuatir saat melihat raut wajah Keane yang ketakutan.

”Kita ngobrol di koridor aja yuk,” ajak Ucha seraya menggamit tangan Keane dan membawanya keluar dari laboratorium. Setelah itu mereka berdua duduk di salah satu sofa yang berada di koridor Fakultas Kedokteran Universitas Seattle.

”Kamu masih ingat dengan kejadian yang terjadi di King County Metro Bus kemarin kan?” tanya Keane pada Ucha.

”Iya, Keane. Kasihan ya penumpang yang kena serangan jantung itu. Dia meninggal seketika. Memang serangan jantung bisa terjadi kapan saja,” sahut Ucha.

”Percaya nggak, peristiwa kematian mendadak karena serangan jantung terjadi lagi tadi pagi saat aku naik bus menuju ke kampus!” tutur Keane.

”OMG! Masa sih? Yang benar, Keane!” Ucha tersentak seketika.

”Kejadiannya sama persis seperti kemarin...” Keane menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan terdiam selama beberapa saat.

“Sebenarnya bukan hanya itu saja kejadiannya. Aku merasa melihat sesuatu yang aneh sesaat sebelum terjadi dua peristiwa mengenaskan itu,” lanjut Keane.

“Apa?” tanya Ucha setengah mendesak.

“Sesuatu yang tidak masuk akal,” jawab Keane pelan.

Sesaat Ucha terdiam, namun matanya menatap tajam pada Keane.

“Kuharap kamu mau mengatakan padaku, Keane. Apa hal ini ada hubungannya dengan dua kasus kematian di King County Metro Bus yang terjadi selama dua hari berturut-turut ini?” tanya Ucha. Ia sangat penasaran dengan apa yang akan diceritakan Keane.

“Aku merasa melihat sesosok bayangan putih memantul dari kaca jendela King County Metro Bus sesaat sebelum terjadi kematian dua penumpang naas itu,” tutur Keane.

Ucha tampak terperanjat mendengar penjelasan Keane.

“Apa kamu yakin melihat bayangan putih itu, Keane?”

”Ketika pertama kali lihat aku sebenarnya nggak percaya dengan penglihatanku. Masa iya ada hantu di pagi hari? Lagi pula juga aku nggak pernah lihat hal-hal seperti itu sebelumnya. Cha, aku jadi takut nih.”

”Hmm...coba kamu ingat baik-baik. Mungkin itu hanya khayalanmu saja, Keane.”

”Aku memang agak ragu saat pertama kali melihat sosok itu karena hanya bayangan sekelebat saja memantul dari kaca jendela bus, tapi aku yakin melihatnya ketika terjadi hal serupa untuk yang kedua kali.”

Ucha terkesiap mendengar jawaban Keane. Suasana hening sejenak.

”The Glass Passenger!” seru Ucha tiba-tiba.

”Kamu udah dengar album The Glass Passenger, Cha? Bukannya baru dirilis tanggal 30 September nanti?” tanya Keane tak mengerti.

”Bukan!” jawab Ucha seraya menunjuk T-shirt bergambar sampul album terbaru Jack’s Mannequin bertitel THE GLASS PASSENGER yang sedang dikenakan oleh Keane.



”Maksud kamu The Glass Passenger albumnya Jack’s Mannequin kan, Cha?” tanya Keane lagi.

”Bukan! Maksudku The Glass Passenger itu sebutan yang tepat untuk sosok putih semitransparan yang kamu lihat di kaca jendela bus,” papar Ucha.

”Apa-apaan sih!!! Masa judul album terbaru Jack’s Mannequin jadi nama hantu! Aaaahhh...aku tak sudi!!!” jerit Keane tak rela.

”Tenang.....Tenang.....Keane,” sahut Ucha menenangkan Keane. ”Kamu tadi bilang kalau kamu belum pernah melihat hantu sebelumnya. Jadi kemungkinan kamu melihat sosok menyeramkan itu karena kamu terlalu memikirkan The Glass Passenger,” tutur Ucha panjang lebar.

”Maksud kamu, sosok misterius seperti hantu itu sebenarnya tidak ada dan hanya halusinasiku saja?” tanya Keane dengan nada ragu.

”Bukan, Keane. Kamu kan selalu membicarakan The Glass Passenger dimana pun dan kapan pun, jadi mungkin kamu terpengaruh dan menjadikan sosok The Glass Passenger itu termanifestasi dalam dunia nyata.”

”Ahhh, kamu nakutin aja deh, Cha. Mungkin dugaan kamu ada benarnya, tapi yang nggak masuk akal kenapa kemunculan sosok The Glass Passenger selalu diikuti dengan kematian seseorang dan hal tersebut telah terjadi selama dua hari berturut-turut?”

”Hmmm....gimana ya? Mungkin sebaiknya kita harus menyelidiki kasus anehmu ini. Tentunya dengan bantuan orang yang telah berpengalaman menangani masalah supernatural seperti ini. Sepertinya aku ingat seseorang yang juga pernah mengalami peristiwa-peristiwa aneh seperti yang kamu alami itu.”

”Siapa orang itu, Cha?”

”Aku ingat kejadian yang menimpa Nenok, temanku yang kuliah di Washington University. Nenok bercerita padaku bahwa ia hampir tewas di tangan hantu yang menghuni sebuah lukisan antik. Untungnya ia diselamatkan oleh dua pria yang ahli dibidang supernatural.”

”Kamu mau kan antarkan aku ketempat Nenok?”

”Ok, jam 5 nanti kamu datang kemari lagi ya. Sekarang Miss Andrew sudah datang jadi aku harus masuk lab dulu ya, Keane,” sahut Ucha seraya menunjuk seorang dosen yang sedang berjalan menuju laboratorium Anatomi.

***

Apartemen Emerald
Kamar 1703
23 September 2008
8 AM

Ting.....tong...ting...tong.....

”Nenok!” seru Ucha senang.

”Ucha! Apa kabar?” sahut Nenok seraya memeluk Ucha.

”Nenok, kenalkan ini temanku, Keane. Ngomong-ngomong, ramai sekali disini. Memang lagi ada acara apa, Nok?” tanya Ucha.

“Oh, aku memang lagi mengadakan acara kumpul-kumpul anak forum fan fic, Cha” jawab Nenok.

“Ucha, Keane, kenalkan ini Red dan Juichi. Lalu dua cowok ini bernama Bym dan Dewa,” lanjut Nenok. Keane dan Ucha saling bersalaman dengan teman-teman Nenok.

“Kebetulan mereka semua ini sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan supernatural, jadi kamu bisa ceritakan pengalamanmu ke kita semua. Mungkin, kita bisa bantu,” sambung Nenok lagi.

Keane menceritakan panjang lebar tentang pengalaman seramnya kemarin dan dua hari yang lalu.

“Oh, My God!” pekik Juichi kaget. Wajahnya pucat seketika saat mendengar cerita Keane. Lain halnya dengan Nenok, Red, Bym dan Dewa. Wajah mereka berempat malah berseri-seri setelah Keane selesai menjelaskan.

“Wah, kita dapat kasus baru nih,” kata Dewa dengan antusias. Keane spontan menatap Dewa dan merasa aneh karena wajah Dewa malah berseri-seri setelah mendengar ceritanya. Wajah Nenok, Red dan Bym juga menunjukkan ketertarikan pada cerita Keane.

”Aku menamakan sosok misterius itu The Glass Passenger. Gimana menurut kalian?” Ucha angkat bicara.

”The Glass Passenger?” tanya Juichi tak mengerti.

”Wah, pas banget tuh!” seru Dewa memotong pertanyaan Juichi.

”Kamu hanya melihat sosok misterius itu di bus saja kan, Keane? Atau mungkin kamu pernah melihatnya di tempat lain?” tanya Nenok.

”Iya, Nenok. Entah kenapa, sosok misterius itu hanya terlihat saat aku naik bus,” jawab Keane.

”Sosoknya juga hanya bisa dilihat melalui pantulan kaca berarti The Glass Passenger adalah sebutan yang tepat bagi sosok misterius itu, Keane,” Red angkat bicara.

”Yach, masa judul album terbaru Jack’s Mannequin jadi nama hantu. Cari sebutan lain aja deh, tapi jangan pakai The Glass Passenger,” pinta Keane.

”The Glass Passenger sesuai kan untuk sebutan hantunya Keane?” tanya Red seraya melemparkan pandangan pada Bym, Nenok, Juichi dan Dewa.

”Setuju!!!” seru Bym, Nenok, Juichi, Dewa dan Ucha serempak yang ditimpali dengan pandangan cemberut dari Keane.

”Kalau begitu, aku akan memanggil Dean dan Sam Winchester. Mereka berdua sangat ahli dalam menangani hal-hal supernatural,” sambung Nenok sambil menekan-nekan tombol di Cellular Phonenya.

“Dean,” sapa Nenok melalui Cellular Phonenya.

”Oh, kamu sedang berada di Maple Leaf di King County. Berarti kamu dekat dari sini dong,” ujar Nenok.

“Dean, tolong temui kami di Emerald City Bar ya,” kata Nenok.

”OK. Sampai ketemu, Dean,” sahut Nenok sebelum menutup telponnya.

”Yap, Dean dan Sam akan datang ke Emerald City Bar jam 9 nanti,” jelas Nenok.

”Tapi mobilku nggak cukup untuk memuat kalian semua,” lanjut Nenok.

Ucha, Keane, Red, Nenok, Bym, Juichi dan Dewa saling berpandangan.

”Ferrariku juga masih di bengkel karena dua hari yang lalu habis tabrakan,” ujar Dewa.

”Ya udah, kita semua naik King County Metro Bus saja,” ujar Ucha menenangkan keributan.

”Jangan! Aku tak mau melihat sosok misterius itu apalagi kalau harus melihat seseorang yang tidak bersalah kehilangan nyawa,” potong Keane.

”Tak apa-apa, Keane. Mungkin kalau bersama-sama, kita semua bisa lihat sosok The Glass Passenger itu,” sahut Nenok menenangkan Keane.

”Kamu nggak perlu takut, Keane. Pokoknya kamu serahkan saja pada kita,” lanjut Nenok yang diikuti oleh anggukan dari Red, Dewa dan Ucha. Akhirnya Keane mengiyakan pendapat teman-temannya.

”Friends, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bisa ikut kalian karena sekarang aku harus ke Wallingford. Avenged Sevenfold akan manggung disana nanti siang,” cerocos Bym yang disambut dengan decak sebal dari Nenok, Red, Juichi dan Dewa.

***

King County Metro Bus
23 September 2008
8.50 AM

Kebetulan ada empat kursi kosong di King County Metro Bus. Ucha duduk bersama Keane, dan Red duduk disebelah Nenok tepat dibelakang kursi Keane. Nenok mengambil posisi di pojok kursi. Sementara itu Juichi dan Dewa berdiri di sebelah kursi yang diduduki oleh Red. Keane yang masih terbayang-bayang akan sosok The Glass Passenger berusaha keras untuk tidak melihat kaca jendela bus, namun suara panggilan Nenok membuatnya mau tak mau menengok ke belakang.

”Keane,” panggil Nenok yang duduk dibelakang Keane.

Keane membalikkan tubuhnya untuk melihat Nenok. Tanpa sengaja Keane melihat kaca jendela bus dan tampaklah pantulan sosok The Glass Passenger yang semitransparan. Anehnya tak satu pun penumpang bus yang menyadari kehadiran The Glass Passenger selain Keane. Dari pantulan kaca jendela, Keane dapat melihat posisi The Glass Passenger berada tepat dihadapan Dewa.

”AAAAAAAAAARRRGHH!!!!!!” jerit Dewa sambil memegang dadanya. Jeritan Dewa ini lebih tepat dikatakan sebagai jeritan kesakitan, sama seperti yang terjadi pada dua penumpang sebelumnya.

”Dewa! Dewa! Ada apa?!” seru Nenok panik.

”Jantungku.....sakit.......se....seperti ditusuk,” kata Dewa terbata-bata.

”The Glass Passenger!” bisik Keane pelan saat melihat sosok yang ternyata hanya dapat dilihat oleh matanya. Keane merasa sangat ketakutan. Sebenarnya ia ingin sekali menolong Dewa, namun ia tak tahu bagaimana caranya dan juga tak kuasa berbuat sesuatu. Keane seperti terpaku di kursinya. Wajahnya pucat, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya dan tubuhnya gemetar. Ucha yang duduk disebelah Keane mendengar bisikan pelan Keane tadi dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling bus, namun sayangnya ia tidak dapat melihat sosok The Glass Passenger. Serta merta Ucha memberitahukan kepada Nenok, Red dan Juichi bahwa saat ini Keane dapat melihat The Glass Passenger. Spontan Nenok, Red dan Juichi mencari sosok The Glass Passenger di kaca jendela bus dan disekeliling tempat duduk mereka. Sayangnya sama seperti Ucha, mereka juga tidak dapat melihat The Glass Passenger.

Tanpa berpikir dua kali Nenok mengeluarkan sebungkus garam dari dalam tasnya dan melemparkan butiran-butiran garam ke kaca jendela bus dan di sekeliling tubuh Dewa. Namun jeritan Dewa malah semakin kencang dan kedua tangannya terkepal semakin erat menandakan rasa sakit yang ia rasakan semakin parah.

Bibir Nenok komat-kamit membaca mantera dan kedua tangannya terus menerus melemparkan garam ke tubuh Dewa. Beberapa detik kemudian, jeritan Dewa berhenti. Ia jatuh tak sadarkan diri.

”Dewa! Bangun Dewa!” jerit Nenok panik sambil menepuk-nepuk pipi Dewa.

Disaat suasana kepanikan seperti itu, datanglah seorang pria berambut coklat. Ia bangkit dari tempat duduknya yang tepat berada di belakang supir bus. Keane ingat pria tersebut. Ya, ia adalah Dr. George O’Malley yang ditemui Keane saat kejadian meninggalnya seorang penumpang bus kemarin. Keane tidak akan pernah lupa pada wajah tampannya, warna matanya yang hijau kebiruan, alis tebal, bisep yang atletis dan lesung pipit yang membuat senyuman sang dokter semakin manis tanpa disadarinya mampu membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Kehadiran Dr. George O’Malley mampu membuat Keane sesaat melupakan sosok The Glass Passenger.

”Dr. George O’Malley,” sapa Keane.

”Keane,” sahut Dr. George O’Malley. “Ini kejadian kedua dalam dua hari berturut-turut,” lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sama seperti yang dilakukannya kemarin, Dr. George O’Malley berlutut memeriksa Dewa yang terkulai tak berdaya di lantai bus. Setelah meraba denyut nadi di leher, mendengarkan detak jantung Dewa lewat stetoskop dan melihat reaksi pupil terhadap cahaya senter, Dr. George mengumumkan bahwa Dewa telah meninggal. Tangis Nenok pecah seketika begitu mendengar kalimat yang diucapkan Dr. George. Red dan Juichi juga tak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata mereka. Sementara itu, Keane dan Ucha mencoba menghibur Nenok, Red dan Juichi yang tengah diliputi kedukaan mendalam.

***

Seattle Grace Hospital
23 September 2008
11 AM


“Kematian Dewa disebabkan oleh Cardiac Tamponade dimana pericardium penuh dengan darah. Kumpulan darah itu terjadi karena adanya lubang di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri jantungnya. Hal tersebut meningkatkan tekanan yang membuat jantungnya tidak dapat memompa darah dengan baik,” papar Dr. Sapphire, sang ahli forensik di Seattle Grace Hospital panjang lebar kepada Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha.

“Aku masih belum percaya Dewa telah meninggal,” kata Nenok sambil sesenggukan. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya.

“Padahal tadi pagi Dewa masih sehat dan tampaknya ia tidak sedang mengidap penyakit jantung, Dokter,” sambung Juichi.

“Dewa selalu menceritakan semuanya padaku, tapi mengapa ia tidak pernah bercerita kalau mengidap penyakit jantung,” timpal Red.

“Sayangnya Tuhan berkehendak lain. Kalian semua harus tabah menghadapi ini,” hibur Dr. Sapphire seraya menepuk-nepuk punggung Nenok. Tiba-tiba penyeranta Dr. Sapphire berbunyi. Ia segera mengambil penyerantanya dan membaca pesan didalamnya.

“Maaf, saya mohon diri dulu,” kata Dr. Sapphire seraya menyalami Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha.

“Terima kasih banyak, Dr. Sapphire,” sahut Keane yang berada disebelah Nenok.

“Sama-sama,” tutur Dr. Sapphire sejenak sebelum pergi dari hadapan Nenok dan kawan-kawannya.

Beberapa saat kemudian Cellular Phone Nenok berbunyi. Ia menghela nafas sejenak untuk meredakan tangisnya lalu mengangkat Cellular Phonenya.

”Dean, kamu dimana? Aku di Seattle Grace Hospital, Dean. Dewa baru saja meninggal,” papar Nenok. Air mata kembali terlihat menggenangi sudut matanya.

“Kematian Dewa itu benar-benar tak masuk akal. Tadi pagi Dewa masih sehat dan ia tidak mengidap penyakit jantung, namun tiba-tiba ia meninggal seketika setelah kemunculan The Glass Passenger di King County Metro Bus,” lanjut Nenok.

”Dean, kamu cepat kesini ya. Kita harus menyelidiki tentang The Glass Passenger sesegera mungkin,” desak Nenok.

”Bye, Dean,” kata Nenok mengakhiri percakapan dengan Dean.

”Dean dan Sam akan datang sebentar lagi, girls,” kata Nenok pada teman-temannya.

”Oh, syukurlah,” kata Red dan Juichi berbarengan sementara Ucha menghela nafas lega. Keane juga sangat berharap Dean dan Sam dapat mengatasi masalah The Glass Passenger. Ia merasa resah sebab sudah tiga orang meninggal sejak kemunculan sosok misterius itu.

”Girls, aku pergi ke toilet dulu ya,” kata Keane. Ia perlu keluar sejenak dari suasana duka yang membuat hatinya semakin resah.

Keane berjalan dari koridor bagian forensik menuju koridor utama Seattle Grace Hospital. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling koridor utama untuk mencari toilet dan tanpa sengaja matanya melihat Dr. George O’Malley yang sedang berjalan melewati koridor. Seketika itu juga jantung Keane langsung berdebar-debar kencang. Kebetulan Dr. George O’Malley juga melihat Keane dari kejauhan. Ia tersenyum pada Keane saat berjalan menghampirinya. Senyum George yang sangat menawan membuat debaran jantung Keane semakin kencang.

”Dr. George O’Malley,” sapa Keane dengan nada riang. Rona merah samar terlihat di kedua pipi Keane.

”Panggil aku George, Keane,” sahut George sambil tersenyum pada Keane.

”Bagaimana hasil otopsi temanmu?” tanya George.

”Dr. Sapphire mengatakan Dewa mengalami Cardiac Tamponade, George,” jawab Keane.

”Jadi pericardium si korban penuh dengan darah karena lubang di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri jantung,” timpal George.

Keane hanya mengangkat alis mendengar George bicara hal-hal kedokteran.

”Aneh, ini kasus ketiga yang datang ke Seattle Grace selama 3 hari berturut-turut,” lanjut George.

”Kasus ketiga, George?” tanya Keane lagi.

”Ya, penyebab kematian temanmu, lalu gadis yang tewas di King County Bus kemarin, dan seorang pria setengah baya dua hari sebelumnya sama-sama dikarenakan Cardiac Tamponade,” ujar George panjang lebar.

”Anehnya lagi, ketiga orang itu sama-sama tewas saat sedang menumpang King County Bus,” lanjut George lagi.

”Oh ya?” timpal Keane. Sekonyong-konyong Keane langsung teringat The Glass Passenger. Tubuh Keane merinding seketika.

”Aku tahu karena kebetulan dokter yang membawa mayat pria setengah baya dua hari lalu itu temanku yang juga bekerja disini,” papar George.

”Oh, jadi Dr. Alex Karev itu temanmu, George,” Keane menimpali.

”Kamu kenal Alex juga, Keane?” George balik bertanya.

”Kebetulan aku juga berada di King County Bus saat Dr. Alex mencoba menyelamatkan pria naas itu. Sayangnya maut lebih dulu menjemputnya,” sahut Keane.

”Ya, sayang sekali,” kata George. Tiba-tiba tatapan matanya terpaku pada bandul kalung yang sedang dipakai Keane.

”Wah, bandul kalungmu ini unik sekali. Matahari dan bulan dalam satu wajah. Hmmm...hmmm......sepertinya aku sering melihat kalung ini sebelumnya,” papar George lagi.

”Masa? Aku baru membeli kalung ini di toko barang vintage tiga hari yang lalu,” timpal Keane sambil memegang bandul kalungnya.


Sayang sekali percakapan mereka terinterupsi ketika tiba-tiba disaat yang bersamaan penyeranta George dan Cellular Phone Keane berbunyi.

”Maaf Keane, Meredith menungguku di ruang operasi. Ia dan Dr. Erica Hahn akan melakukan bedah pintas koroner. Sampai jumpa,” ujar George setelah membaca pesan yang tertera dalam penyerantanya.

”OK,” sahut Keane sambil tersenyum. George membalas senyumannya lalu segera berlari menuju ruang operasi. Sementara itu, Keane buru-buru menjawab panggilan di Cellular Phonenya.

”Apa? Dean dan Sam sudah datang. OK, aku segera kesana,” kata Keane melalui Cellular Phonenya.

***

Varsity Motel
23 September 2008
1 PM


Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha akhirnya sepakat membicarakan kasus The Glass Passenger di kamar motel yang ditempati Dean dan Sam.

”Keane, tolong jelaskan semuanya pada kami,” kata Dean.

Keane menceritakan panjang lebar mengenai kemunculan The Glass Passenger yang diikuti tiga kasus kematian aneh yang terjadi di King County Metro Bus kepada Dean dan Sam.

”Jadi semua kejadian yang kamu alami itu hanya saat pagi hari, Keane?” tanya Sam.

”Seingatku ya,” jawab Keane.

”Apa kamu ingat jam berapa kemunculan The Glass Passenger?” tanya Sam lagi.

”Hmmm....hmmm....” Keane berusaha untuk mengingat-ingat. Keningnya berkerut saat mencoba mengumpulkan ingatannya.

”Kalau tidak salah, aku berada di bus itu antara jam 8.50 sampai jam 9 lewat sedikit, Sam,” tutur Keane.

”Lalu bagaimana rupa The Glass Passenger? Bisa kamu jelaskan dengan lebih spesifik lagi,” kali ini giliran Dean yang bertanya pada Keane.

Tiba-tiba kelopak mata bagian atas Keane terangkat, bagian putih matanya terlihat jelas, kelopak mata bagian bawahnya menegang, dahinya berkerut dan bibirnya ditarik ke dalam. Ekspresi yang menampakkan ketakutan yang amat sangat.

”Keane, ada apa?” tanya Sam cemas.

”Aku takut, Sam. Sebab setiap aku melihat kaca atau cermin, aku selalu terbayang sosok The Glass Passenger,” tutur Keane pelan.

Tiba-tiba Dean datang sambil membawa sebuah cermin. Keane langsung ketakutan melihat cermin itu.

”Keane, kamu harus memberanikan diri melihat cermin ini sebab kami harus tahu darimana The Glass Passenger berasal,” desak Dean.

Karena desakan Dean itulah, Keane mengumpulkan keberaniannya melihat cermin. Selama beberapa detik sampai hitungan menit, Keane tidak juga melihat sosok The Glass Passenger.

”Aneh, mengapa sosok The Glass Passenger hanya terlihat di kaca jendela bus pada saat kematian ketiga penumpang itu ya?” tanya Keane heran.

”Itu bagus, Keane. Berarti kamu tidak perlu takut lagi bila melihat kaca atau cermin,” gumam Dean.

”Sebentar, Keane. Coba ingat-ingat, sosok The Glass Passenger itu lebih menyerupai pria atau wanita?” tanya Sam.

Alis Keane berkerut mendengar pertanyaan ini. ”Hmmm.... Sosoknya samar dengan warna putih semitransparan. Kurasa bagian atas sosok itu terlihat seperti pria,” tutur Keane sambil memandang Dean dan Sam bergantian.

”Ohya, salah satu dokter di Seattle Grace Hospital mengatakan padaku bahwa ada kesamaan penyebab kematian ketiga penumpang bus yang bertepatan dengan kemunculan The Glass Passenger. Mereka bertiga tewas karena Cardiac Tamponade, kondisi dimana pericardium dipenuhi darah karena lubang yang terdapat di ventrikel, septum dan atrium jantung mereka,” lanjut Keane lagi.

”Kalau begitu, kita harus segera mencari identitas The Glass Passenger sesegera mungkin agar tidak jatuh korban berikutnya,” ujar Sam cepat.

”Kita harus tahu dulu dimana ia dikubur agar bisa membakar tulangnya,” tambah Dean.

”Keane, untuk mencegah adanya korban tewas lagi, sebaiknya kamu tidak naik King County Bus dulu sebelum kami mebgetahui identitas The Glass Passenger,” perintah Sam.

”Ok, kalau begitu kita bagi tugas. Sam bersama Nenok, Juichi dan Red mencari identitas The Glass Passenger di perpustakaan. Sementara itu, aku bersama Keane dan Ucha akan menemui ahli forensik di Seattle Grace untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai ketiga korban tewas setelah kemunculan The Glass Passenger,” perintah Dean.

***

Seattle Grace Hospital
23 September 2008
3 PM


”Ucha, Keane, kalian harus berbicara dengan ahli forensik selagi aku bertindak, OK!” perintah Dean begitu mereka bertiga tiba di Seattle Grace Hospital.

”Beres, Dean,” jawab Ucha dan Keane berbarengan. Setelah itu Dean melangkahkan kakinya langsung menuju pintu samping Seattle Grace, sementara Ucha dan Keane berjalan ke koridor utama.

”Cha, lebih baik kita harus menemui Dr. George O’Malley dulu sebelum pergi ke Dr. Sapphire,” saran Keane.

”Kenapa nggak bareng Dr. Alex Karev aja, Keane?” kilah Ucha.

”Lho, memangnya Dr. Alex bakal ingat kamu, Cha? Bukannya pas pertemuan di bus itu kamu belum sempat kenalan dengannya?” tanya Keane heran.

”Ah, masa sih dia nggak ingat gadis secantik aku, Keane,” jawab Ucha dengan narsis yang langsung dibalas dengan cibiran Keane. Tiba-tiba Ucha tersentak ketika Keane mencubit lengannya.

”Aduh! Apa-apaan sih, Keane!” jerit Ucha sambil mengusap-usap lengannya.

”Cha, lihat deh! Itu George!!! OMG, George ganteng bangeeeett siiih,” seru Keane agak-agak histeris sambil menunjuk dokter yang baru keluar dari elevator. Spontan Ucha menatap pria yang dimaksud Keane.

”Iya, keren banget,” sahut Ucha yang tanpa sengaja matanya menatap dokter disebelah George.

”Benar kan kataku, George keren banget,” ujar Keane tersipu-sipu.

”Bukan George, Keane. Dokter yang aku bilang keren itu Dr. Alex Karev yang lagi jalan disebelah George,” balas Ucha.

”Hah? Alex? Nggak ah, masih lebih keren George!” rengek Keane. Ia tak setuju Georgenya kalah keren dari Alex.

”Ya sudah, terserah kamu deh, Keane. Ngomong-ngomong, kayaknya mereka berdua lagi berjalan ke arah kita tuh,” ujar Ucha sambil senyum-senyum.

”Keane? Ada apa?” tanya George begitu tiba di hadapan Keane dan Ucha.

”Hai, George,” sapa Keane lembut.

”Perkenalkan saya Ucha, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Seattle, Dr. O’Malley dan Dr. Karev,” kata Ucha memperkenalkan diri pada George dan Alex.

”Oh, kamu pasti gadis yang berada di bus tiga hari lalu saat kematian pria naas itu ya?” tanya Alex pada Ucha.

”Iya, ternyata Dr. Karev masih ingat ya,” jawab Ucha dengan wajah tersipu.

Saat Alex berhadapan dengan Ucha, Keane dapat melihat adanya saling ketertarikan dari tatapan mata dan eratnya jabatan tangan antara mereka berdua. Sementara George hanya tersenyum melihat rekannya itu.

”Keane, saat ini aku sedang istirahat siang. Bagaimana kalau kita minum kopi di kafe?” ajak George. Tentu saja ajakan tersebut tidak disia-siakan oleh Keane. Mereka berdua berjalan menuju kafe dan meninggalkan Alex dan Ucha yang tengah asyik mengobrol.

”Dr. Karev, saya sedang mengerjakan makalah dengan topik cardiac tamponade. Bolehkah saya minta masukan dari Anda sebagai dokter bedah?” tanya Ucha.

”Boleh, saat ini jam shiftku sudah berakhir. Kebetulan akhir-akhir ini ada beberapa kasus cardiac tamponade. Sayangnya para pasien itu telah tiada dan sekarang berada di ruang forensik. Aku akan menemanimu menemui Dr. Sapphire,” jawab Alex. Setelah itu, mereka berdua beranjak menuju ruang dimana Dr. Sapphire, sang ahli forensik berada.

Selagi Ucha dan Alex mengobrol dengan Dr. Sapphire, diam-diam Dean menyelinap ke ruang forensik setelah sebelumnya mengganti bajunya dengan setelan berwarna biru muda lengkap dengan jas putih seperti yang dipakai oleh para dokter residen diSeattle Grace. Untungnya saat itu sedang tidak ada orang di ruang forensik, jadi Dean dapat mencari ketiga mayat orang yang meninggal di King County Bus. Dean menuju ke sebuah meja dan melihat daftar mayat-mayat yang sedang berada di ruangan tersebut. Dean langsung mencari daftar mayat yang datang pada tanggal 21, 22 dan 23 September yang meninggal di King County Bus karena cardiac tamponade . Ternyata mayat pertama bernama Jimmy Partington yang berada dalam laci nomor 25, mayat kedua bernama Kelly Hersch yang berada dalam laci nomor 42dan mayat ketiga yaitu Dewa berada di laci nomor 56. Dean langsung berjalan menuju laci penyimpanan mayat nomor 25, dibukanya laci tersebut dan tampaklah sesosok mayat yang ditutup selembar kain putih. Dean membuka kain penutupnya dan tampaklah mayat Jimmy Partington. Lalu Dean memeriksa seluruh permukaan mayat pria itu terutama di bagian dadanya, namun tidak terdapat bekas luka luar sama sekali, padahal jantungnya rusak. Kondisi mayat Kelly Hersch juga sama seperti mayat pertama. KemudianDean menuju laci penyimpanan mayat Dewa dan menemukan kondisi serupa seperti kedua mayat sebelumnya. Dean membaca dengan seksama catatan forensik ketiga mayat tersebut dan menemukan persamaan bahwa mereka semua meninggal karena cardiac tamponade.

Setelah selesai, Dean keluar dari ruang forensik, mengganti bajunya dan langsung menelpon Sam.

”Sam, coba telusuri data Jimmy Partington dan Kelly Hersch. Mereka berdua adalah penumpang yang tewas di King County Bus pada tanggal 21 dan 22 September sebelum kematian Dewa. Aku akan mencari data dari Seattle Grace,” kata Dean pada Sam lewat Cellular Phonenya.

***

Perpustakaan Suzzallo
23 September 2008
4 PM


Sam bersama Nenok, Juichi dan Red pergi ke perpustakaan Suzzallo di tengah kota Seattle. Sam membagi tugas pada mereka semua. Nenok, Juichi dan Red mencari info mengenai The Glass Passenger, sementara dirinya menelusuri data tentang Jimmy Partington dan Kelly Hersch. Pencarian dimulai di berbagai surat kabar lokal, mulai dari Seattle Times, Seattle Post Intelligence, Seattle Daily Journal of Commerce, Real Change, Seattle Weekly sampai North Seattle Journal. Satu jam kemudian, Red, Nenok dan Juichi menyerahkan hasil pencarian mereka pada Sam.

”Wah, korban meninggal karena tertabrak bus di Seattle ada lebih dari 750 orang. Banyak sekali!” keluh Sam yang terperanjat seketika begitu melihat banyaknya berita korban kecelakaan tabrakan bus.

”Kita harus mengecilkan lingkup pencarian. Coba kalian ingat-ingat lagi semua yang berhubungan dengan The Glass Passenger,” saran Sam pada Red, Nenok dan Juichi.

”Tapi kita kan belum tahu kapan dan dimana tepatnya The Glass Passenger meninggal dunia?” tanya Juichi.

”Karena The Glass Passenger memakan korban di Seattle, kemungkinan besar dia juga tewas di Seattle ini. Jadi tadi aku cari korban kecelakaan di Seattle aja,” kata Red.

”Sebenarnya belum tentu juga kalau The Glass Passenger itu penyebab kematian para korban. Soalnya dulu aku pernah bertemu hantu yang ternyata tidak bermaksud jahat. Hantu itu muncul karena ingin memperingatkan manusia yang akan jadi korban. Namun ada kemungkinan jugaThe Glass Passenger itu punya dendam pada ketiga korban itu,” kilah Sam.

”Aku masih heran deh, kenapa hanya Keane yang bisa melihat The Glass Passenger? Padahal kan dia sebelumnya nggak bisa lihat hantu?” tanya Nenok.

”Atau jangan-jangan Keane sendiri yang ada hubungannya dengan The Glass Passenger?” sahut Juichi.

”Hmmmhh....” Sam menghela nafasnya dengan gusar. Kali ini pencarian identitas The Glass Passenger ternyata tidak semudah yang ia kira dan kini ia sedang berpikir keras bagaimana cara mengatasinya.

***

Emerald City Bar
23 September 2008
7 PM

Dean memandang ke sekeliling bar. Beberapa saat kemudian mata Dean tertuju pada seorang wanita cantik bergaun putih yang sedang duduk sendirian di depan meja bartender. Tanpa berpikir panjang lagi,Dean langsung menghampiri wanita tersebut

“Apa kursi ini kosong?” tanya Dean pada wanita tersebut.

Serta merta wanita bergaun putih itu menengok ke arah Dean. Ia mengibaskan rambut panjangnya. Mata birunya yang jernih memandang Dean dengan seksama. Wanita ini sungguh mengagumkan, pikir Dean. Hatinya langsung terpikat pada wanita ini.

”Tunggu sebentar, kamu bukan dokter kan? Dokter bedah syaraf atau semacamnya?” tanya sang wanita.

Alis Dean terangkat mendengar pertanyaan barusan. Dean menggelengkan kepalanya lalu balik bertanya,”Apa menurutmu aku ini dokter?”

”Bagus kalau kamu bukan dokter. Berarti kursi ini kosong,” sahut sang wanita sambil menunjuk kursi kosong disebelahnya. Ia tersenyum pada Dean. Tanpa membuang waktu lagi, Dean langsung duduk disamping wanita itu. Dean dapat melihat kecantikan serta pesona sang wanita dengan lebih jelas. Dean merasakan jantungnya berdebar lebih cepat saat berada dekat dengan wanita ini.

“Hai, aku Dean Winchester,” kata Dean seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan sang wanita.

“Meredith Grey,” ujar sang wanita sambil bersalaman dengan Dean. Selama beberapa saat mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan mesra.

“Boleh aku membelikanmu minuman?” tanya Dean dengan senyum ramah di bibirnya. Tawaran Dean tersebut diiyakan Meredith dengan anggukan dan senyuman.

“Joe, aku pesan Charmed 4ever,” ujar Meredith pada Joe, sang pemilik Emerald City Bar yang juga merangkap sebagai bartender.

“Apa? Charmed 4ever?” tanya Dean tak mengerti.

“Charmed 4ever itu minuman favoritku dan sebagian besar pengunjung disini. Rasanya unik, campuran Grey Goose Vodka, ginger ale dan lemon concentrate,” tutur Meredith. “Kau mau coba, Dean?”

“Boleh juga. Joe, bawakan satu lagi Charmed 4ever untukku,” sahut Dean. Joe pun langsung beranjak dari hadapan Meredith dan Dean untuk membuatkan minuman yang mereka pesan.

“Hmmm…hmmm…. Charmed 4ever…..Nama yang cukup unik juga ya,” cetus Dean lagi.

“Nama Charmed 4ever diberikan oleh Charlie Marsden, almarhum bartender disini yang menciptakan racikan minuman ini. Saking terkenalnya minuman Charmed 4ever, sampai-sampai ia dipanggil Charmed oleh seantero pengunjung bar. Sayang sekali ia sekarang sudah tiada,” lanjut Meredith.

Tak lama kemudian Joe mengantarkan Charmed 4ever yang dipesan Meredith dan Dean.



“Cheers,” kata Dean seraya mengangkat gelas berisi minuman yang dipesannya. Dean terus melancarkan pendekatan kepada Meredith. Ia memberikan senyum termanisnya pada Meredith.

“Cheers,” sambut Meredith. Ia membalas senyuman Dean lalu mengangkat gelasnya dan triiing… terdengar suara dua gelas yang bersentuhan. Setelah itu, Dean dan Meredith menyesap minuman Charmed 4ever masing-masing.

“Sayang sekali, pria yang menciptakan minuman dengan rasa seunik ini sudah meninggal,” ujar Dean.

“Ya, sayang sekali. Kebetulan saat itu aku menangani Charmed yang terluka sangat parah saat paramedis membawanya ke Seattle Grace Hospital. Ia ditabrak oleh bus yang dikendarai oleh supir yang mabuk. Tubuhnya terlempar ke jendela sebuah toko yang terletak di pinggir jalan. Seluruh bagian tubuhnya terluka oleh puluhan keping pecahan kaca yang menancap di permukaan kulitnya, namun cedera terparahnya diakibatkan oleh pecahan kaca terbesar yang menancap di jantungnya. Charmed mengalami Cardiac Tamponade dimana pericardium penuh dengan darah yang diakibatkan oleh pecahan kaca yang menusuk ventrikel kanannya tembus sampai septum dan melubangi atrium kirinya. Aku langsung membawanya ke ruang operasi. Dr. Erica Hahn melakukan bedah pintas koroner untuk memperbaiki kerusakan di dinding jantungnya, namun sayangnya besarnya lubang yang terdapat dalam atrium kirinya membuat jahitan di pericardiumnya terlepas saat bypass. Ia mengalami terlalu banyak pendarahan. Dr. Hahn telah berusaha semaksimal mungkin namun tekanan darahnya terus menurun tajam sehingga akhirnya Dr. Hahn terpaksa mengumumkan waktu kematiannya,” jelas Meredith panjang lebar.

Oh, jadi Meredith itu dokter. Wah, keren sekali kalau aku bisa mengencani seorang dokter, kata Dean dalam hati.

Pada saat Dean sedang memikirkan cara untuk membuat Meredith jatuh hati padanya, tiba-tiba kata Cardiac Tamponade membuatnya tersentak. Sekonyong-konyong Dean teringat tentang The Glass Passenger. Ia juga ingat bahwa ketiga korban yang tewas saat kemunculan sosok itu diakibatkan oleh Cardiac Tamponade. Dean merasa bahwa cerita Meredith ini ada kaitannya dengan The Glass Passenger. Oleh karena itu, Dean mencoba mengorek lebih dalam keterangan dari Meredith.

”Kelihatannya kamu masih ingat sekali kejadian itu Mer. Lalu bagaimana dengan keluarga Charmed?” tanya Dean.

”Kasihan sekali Charmed, padahal dia itu pria yang baik, ramah, supel, dan disukai oleh semua orang. Aku lebih kasihan lagi pada kakaknya. Ia begitu terpukul ketika mengetahui Charmed meninggal dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Sayangnya, supir bus yang telah menabrak Charmed kabur dan polisi belum dapat menemukannya sampai sekarang,” papar Meredith.

”Kasihan sekali, lalu sekarang bagaimana kabar kakak Charmed itu? Siapa tadi namanya?” tanya Dean lagi.

”Hmmm...kalau tidak salah kakaknya Charmed itu bernama Ambu. Kok pertanyaanmu jadi aneh, Dean,” kilah Meredith.

Dean sempat gelagapan ketika tiba-tiba Meredith mulai curiga padanya. Mata Dean sekonyong-konyong tertuju pada sebuah foto berbingkai yang digantung di salah satu dinding Emerald City Bar. Buru-buru ia mengalihkan topik pembicaraan.

”Wah, itu ada fotomu bersama teman-teman ya?” ujar Dean seraya menunjuk sebuah foto berbingkai di dinding bar.

”Oh, aku dan teman-teman memang pelanggan tetap bar ini. Itu foto terakhir kami dengan Charmed. Joe sengaja memasangnya foto itu di dinding untuk mengenang Charmed,” sahut Meredith.

Dean memperhatikan dengan seksama foto Charmed bersama para dokter dan bartender lain yang terpampang di dinding Emerald City Bar. Tiba-tiba, Dean menyadari bahwa ia sedang diawasi seseorang. Dean pun membalikkan tubuhnya dan mendapati bahwa seorang pria tampan berambut coklat gelap yang sedang duduk di meja dekat pintu bar sedang mengawasi gerak-geriknya bersama Meredith. Kecemburuan terlihat jelas dari tatapan pria itu.

”Hmmm....Meredith. Tampaknya pria pengagummu yang duduk di meja dekat pintu bar sedang memperhatikan kita terus menerus sejak tadi,” gumam Dean. Serta merta Meredith melihat ke arah yang ditunjuk Dean.

”Oh, itu Derek. Biarkan saja, Dean. Aku sudah putus dengannya,” kilah Meredith. Dean hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar kalimat Meredith.

”Hmmm, Dean. Bagaimana kalau kita lanjutkan obrolan dirumahku saja?” ajak Meredith. Dean langsung menanggapi dengan senang.

”Ayo,” sahut Dean sambil memberikan uang dua puluh dollar pada kasir bar.

Dean menggamit tangan Meredith lalu berjalan keluar dari Emerald City Bar.

***

Varsity Motel
23 September 2008
11 PM


Setelah mengobrol panjang lebar dengan Meredith dirumahnya, Dean kembali ke Varsity Motel. Saat ia membuka pintu, Sam terlihat masih berkutat dengan laptopnya untuk mencari info mengenai Jimmy Partington, Kelly Hersch, Dewa dan tentunya The Glass Passenger.

“Sam, bagaimana hasil pencarianmu tadi?” tanya Dean.

“Sulit, Dean. Banyak sekali korban kecelakaan di Seattle ini,” jawab Sam sambil menggelengkan kepalanya.

“Wah, tadi aku bertemu seorang dokter yang sangat cantik, seksi, menawan, pintar. Pokoknya dia benar-benar mengagumkan! Namanya Meredith, Sam,” tutur Dean.

”Kalau soal kayak gitu sih nggak usah diceritain deh, Dean. Lagian kok bisa sih kamu sempat-sempatnya kencan saat suasana kayak gini. Kasus The Glass Passenger harus kita pecahkan sebelum korban tewas bertambah,” omel Sam panjang lebar.

”Aku kan belum selesai bicara. Dengar dulu....” gerutuan Dean ini tiba-tiba diinterupsi Sam.

”Coba lihat ini, Dean!” potong Sam tiba-tiba sambil menunjuk laptopnya. Spontan Dean mendekati Sam untuk melihat info yang dimaksud Sam.

”Aku telah mencari data diri Jimmy Partington dan Kelly Hersch dan aku menemukan bahwa mereka berdua ternyata pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan saat mengendarai mobil. Mereka berdua juga sama-sama pernah menjadi tersangka pada beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Sayangnya kasus tersebut dimenangkan oleh mereka berdua. Pencabutan SIM mereka baru dilakukan tiga hari yang lalu,” lanjut Sam.

”Bagaimana dengan Dewa, si korban ketiga?” tanya Dean.

”Dia sebenarnya bertanggung jawab karena menyebabkan kecelakaan beruntun di Golden Highway dua hari yang lalu. Kecelakaan tersebut telah menewaskan empat orang dan melukai lima orang lainnya. Namun karena ayah Dewa adalah senator negara bagian Washington dari Partai Republik maka Dewa dapat bebas dari kasus tersebut. Berarti kita telah menemukan titik temu kasus ini. The Glass Passenger hanya membunuh para pengemudi tak bertanggung jawab yang telah menghilangkan nyawa orang lain,” tutur Sam lagi.

”Tadi aku ketemu Meredith yang kebetulan bercerita tentang bartender bernama Charlie Marsden alias Charmed. Charmed ditabrak bus lalu terlempar ke jendela. Seluruh bagian tubuhnya terluka oleh puluhan keping pecahan kaca, namun cedera terparahnya diakibatkan oleh pecahan kaca yang menancap di jantungnya. Charmed meninggal karena Cardiac Tamponade. Kamu ingat kan ketiga korban yang tewas saat kemunculan sosok The Glass Passenger diakibatkan oleh Cardiac Tamponade, Sam,” cerocos Dean.

”Jadi, kemungkinan besar The Glass Passenger adalah Charmed. Ia meninggal secara mengenaskan karena ditabrak bus sehingga ia membalaskan dendamnya pada para penumpang bus yang sebelumnya pernah menghilangkan nyawa orang lain. Penyebab kematiannya karena terlempar ke jendela juga menjelaskan kemunculan The Glass Passenger yang hanya terlihat di kaca jendela. Lalu Cardiac Tamponade yang dialami Charmed juga dialami oleh ketiga penumpang yang tewas itu,” lanjut Dean lagi.

”Kalau begitu aku akan mencari alamat Charmed,” kata Sam seraya mengambil buku indeks alamat dan nomor telpon penduduk Seattle yang diperolehnya tadi pagi dari perpustakaan Suzallo.

”Ingat Sam, nama lengkap Charmed itu Charlie Marsden. Dia punya kakak perempuan bernama Ambu Marsden,” ujar Dean mengingatkan.

”Aku menemukan alamatnya, Dean!” seru Sam tak lama kemudian.

***

Beacon Hill
24 September 2008
9 AM

Dean dan Sam tiba di sebuah rumah mungil yang beralamat di Beacon Hill 1014, Seattle 98184. Dean bergegas ke pintu depan rumah itu dan membunyikan bel. Tak lama kemudian pintu terbuka dan tampaklah seorang wanita berambut hitam berdiri dihadapan Dean dan Sam.

“Ya?” tanya wanita itu.

”Apakah benar Anda yang bernama Ambu Marsden?” tanya Dean cepat.

”Saya Dean dan ini Sam. Kami dari perusahaan asuransi Cavanaugh,” Dean langsung memperkenalkan diri pada wanita itu.

Mata wanita itu menyipit, dan mulutnya tertutup rapat menjadi sebuah garis tipis. ”Kurasa itu bukan urusan Anda,” katanya sinis.

”Dan aku sudah mengurus asuransi dua hari yang lalu. Jadi, silahkan pergi. Aku tidak tahu maksud kalian, tapi menjauhlah dari sini,” hardik wanita itu.

”Tunggu!” cegah Sam. Sayangnya wanita itu telah menutup pintu tepat dihadapan Dean dan Sam.

Dean dan Sam saling berpandangan lalu dengan segan berbalik pergi dan kembali mengendarai Impala.

”Sam, coba lihat ada berapa pemakaman di Seattle ini,” ujar Dean sambil menstater Impalanya. Sam langsung mengambil peta Seattle di laci dashboard dan segera menelusuri peta tersebut.

”Ada empat puluh delapan, Dean,” keluh Sam.

”Holy crap!” gerutu Dean.

”Kalau begitu, kau cari lokasi kuburan Charmed dari perpustakaan sesegera mungkin. Sementara aku akan menemui seseorang yang dapat membantu kita,” lanjut Dean lagi.

***

Kediaman Meredith Grey
24 September 2008
11 AM


Dean membunyikan bel di pintu rumah Meredith.

“Hai, Meredith,” sapa Dean lembut.

“Dean!” seru Meredith. Mata Meredith langsung berbinar melihat kedatangan Dean dan senyum mengembang di wajahnya.

“Ayo masuk,” ajak Meredith.

Dean membalas senyuman Meredith dan berjalan masuk menuju ruang tamu. Meredith membawakan sebotol bir untuk Dean.

“Mer, boleh aku bertanya lagi tentang Charlie Marsden alias Charmed?” tanya Dean.

“Charmed? Memangnya ada apa dengannya?” Meredith balik bertanya.

Dean menceritakan semua tentang The Glass Passenger pada Meredith, termasuk kesulitannya menghadapi kakak perempuan Charmed dan menemukan kuburannya. Meredith tersentak tak percaya saat mendengarnya. Alisnya terangkat, matanya membesar, dan mulutnya terbuka perlahan.

Ekspresi Meredith tersebut telah diperkirakan oleh Dean sebelumnya. Dean memang telah banyak berpura-pura dan berbohong sebelumnya, namun entah kenapa ia tak mau melakukannya pada Meredith. Dean memilih untuk jujur pada Meredith, meski sebagai resikonya ia akan dianggap aneh oleh Meredith.

“Jadi kamu itu semacam pemburu hantu, Dean,” kata Meredith pelan. Posisi tubuhnya terlihat menjaga jarak dengan Dean.

“Ya, kurang lebih seperti itu, Mer,” jawab Dean sambil mendekati Meredith.

“Oh, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu atau tidak,” gumam Meredith seraya membuka telapak tangannya di depan tubuhnya sebagai isyarat agar Dean tidak mendekat.

“Aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” sahut Dean. Lalu ia beranjak keluar dari rumah Meredith. Namun baru beberapa langkah, Dean berhenti berjalan dan menatap wajah Meredith.

“Tolong pikirkan baik-baik, Mer. Ini menyangkut hidup matinya seseorang. Pekerjaan kita sama-sama menyelamatkan nyawa manusia. Hanya bedanya, kau menyelamatkan manusia dengan cara yang rasional, sementara aku dengan cara mistik,” jelas Dean. Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia berbalik dan meninggalkan rumah Meredith.

Meredith tidak mengeluarkan sepatah kata pun menanggapi penjelasan Dean. Ia hanya memandangi kepergian Dean dengan tatapan kosong.

***

Varsity Motel
24 September 2008
11 PM

Background Music : Violence by Eskobar


Tok….tok….tok….

Terdengar suara ketukan di pintu kamar motel tempat Dean dan Sam bermalam. Dean terbangun dari tidurnya lalu beranjak untuk membukakan pintu. Betapa kagetnya Dean begitu mengetahui sosok yang tengah berada di depan pintunya itu.

“Meredith?” tanya Dean heran. Dean sangat terkejut melihat kedatangan Meredith setelah adu argumentasi yang mereka lakukan siang tadi.

“Dean, ini data mengenai Charmed. Ia meninggal pada pukul sembilan pagi empat hari yang lalu dan dimakamkan di Wallflowers Cemetery,” kata Meredith seraya menyerahkan selembar kertas pada Dean.

“Wallflowers Cemetery,” ulang Dean sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Terima kasih banyak, Mer. Informasi darimu benar-benar membantu kami,” lanjut Dean.

“Sam, kita harus pergi ke Wallflowers Cemetery!” seru Dean membangunkan Sam yang sedang tertidur nyenyak. Sekonyong-konyong, Sam tersentak kaget lalu bangun dari ranjangnya. Ia mengucek matanya sebentar lalu memandang jam dinding yang menunjukkan jam sebelas lewat 11 menit kemudian berjalan menuju wastafel yang ada disebelah kiri ranjangnya.

“Dean, kamu mau melakukan apa saat tengah malam begini?” tanya Meredith tak mengerti.

“Seperti yang aku bilang tadi siang, Mer. Aku dan adikku akan membongkar makam Charmed, lalu menaburkan garam dan membakar jasadnya,” sahut Dean. Meredith terperangah sesaat, namun segera dapat mengendalikan dirinya.

“Bagaimana bila keluarga Charmed ingin mengunjungi makamnya dan tiba-tiba mereka mengetahui bahwa jasadnya sudah tak ada lagi?” tanya Meredith lagi.

“Maaf, Mer. Cara ini memang terdengar mengerikan, namun kami telah melakukannya berulang kali untuk menghentikan terror dari hantu yang belum tenang,” jawab Dean seraya mengambil jaket dan kunci Impalanya.

“Aku ikut denganmu, Dean!” seru Meredith.

“Apa? Jangan, Mer! Sebaiknya kamu tidak perlu ikut. Pekerjaan ini mengerikan. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu,” cegah Dean.

“Meredith?” tanya Sam seraya mengulurkan tangannya pada Meredith.

“Aku Sam, adik Dean. Ayo kita bergegas ke pemakaman, Mer,” ajak Sam pada Meredith.

“SAM!!!” teriak Dean.

“Tenang saja, Dean. Tidak akan terjadi apa-apa,” kata Sam menenangkan Dean dan Meredith. Lalu mereka bertiga keluar dari kamar motel dan bergegas ke Wallflowers Cemetery.

***

Wallflowers Cemetery
25 September 2008
1 AM


Satu setengah jam telah berlalu dan kini Dean, Sam dan Meredith telah berada di Wallflowers Cemetery yang terletak di puncak Magnolia Hill. Area pemakaman itu diliputi kesunyian yang mencekam. Udara terasa suram dan dingin. Dean, Sam dan Meredith berjalan diatas tanah lembab yang ditutupi oleh daun-daun yang berguguran. Setiap langkah kaki mereka diiringi oleh suara angin berdesau di antara pepohonan, seolah-olah para penghuni kuburan mengeluh, karena daerahnya dimasuki mereka. Suara burung hantu terdengar dari kejauhan. Pohon-pohon tua tampak bergoyang-goyang karena tiupan angin.

Dahan-dahan pepohonan yang melambai-lambai ditiup angin dan ratusan batu nisan serta patung penjaga makam membuat Meredith merinding ketakutan. Meredith gemetar, wajahnya pucat, tangannya menggigil dan hembusan angin malam yang kencang mengacak-acak rambut panjangnya. Dean mengetahui ketakutan Meredith. Ia merangkul Meredith dengan erat. Meredith pun mendekatkan tubuhnya yang menggigil ke tubuh Dean.

”Ini dia!” seru Sam sambil menunjukkan kuburan Charmed dengan cahaya senternya. Dean dan Meredith bergegas menuju makam itu. Beberapa saat kemudian mereka bertiga berdiri di depan kuburan Charmed. Di bawah sinar bulan yang pucat, mereka bertiga melihat tulisan yang dipahat pada batu nisan.

R.I.P
Charlie Marsden
1982 – 2008

”Meredith, tolong pegang senter ini,” kata Dean sambil menyerahkan senternya. Lalu Dean dan Sam mulai menggali kuburan Charmed yang masih baru itu. Selama beberapa menit hanya suara sekop yang terdengar, menggali serta membuang tanah dan batu. Akhirnya terdengar suara sekop terbentur pada peti mayat. Dean membuka peti mayat dengan bantuan sekop dan sesaat kemudian tampaklah mayat Charmed yang setengah membusuk. Bulan muncul dari balik awan menyinari mayat Charmed. Pemandangan mengerikan tersebut membuat Meredith merinding ketakutan. Tak lama kemudian, Dean dan Sam mengangkat tubuh mereka kembali ke atas tanah. Dean mengambil sekantung garam lalu menaburkannya di atas mayat Charmed. Kemudian Sam membuka jerigen berisi bensin dan menuangkannya di atas mayat Charmed. Setelah selesai, Dean menyalakan korek api dan melemparkannya ke dalam lubang makam yang didalamnya terdapat mayat Charmed. Dalam seketika api berkobar di dalam makam yang berlubang itu. Lalu setelah api padam, Dean dan Sam mengambil sekop dan mulai menutup kembali makam Charmed.

“Rest in Peace, Charmed,” gumam Meredith lirih sambil memandang makam Charmed.

“Mungkin kamu bisa mengusulkan ke Joe untuk mengganti nama minuman Charmed 4ever, Mer,” saran Dean.

“Jadi The Glass Passenger telah berakhir, Dean,” ujar Meredith.

“Semoga saja. Aku dan Sam akan memastikannya pagi nanti,” sahut Dean seraya menggamit tangan Meredith dan mengajaknya keluar dari Wallflowers Cemetery.

***

King County Metro Bus
25 September 2008
8.45 AM


Walau Dean dan Sam telah membakar mayat Charmed, namun mereka harus memastikan bahwa ia telah beristirahat dengan tenang. Mereka memanggil Keane untuk bersama-sama menumpang King County Metro Bus pada jam 9 pagi karena biasanya The Glass Passenger memakan korban pada waktu tersebut. Beberapa saat kemudian tampaklah King County Metro Bus di hadapan Dean, Sam dan Keane. Mereka bertiga beranjak dari halte dan mulai menaiki Bus. Untungnya saat ini bus sedang sepi penumpang. Keane dan Dean duduk bersebelahan. Sementara Sam duduk tepat dibelakang mereka.

“Keane?” sapa seseorang yang duduk di belakang Keane. Spontan Keane membalikkan tubuhnya dan dilihatnya Bym yang duduk disebelah Sam.

“Hai, Bym,” sahut Keane sambil tersenyum. Sekonyong-konyong Keane dikejutkan oleh sosok The Glass Passenger yang memantul di kaca jendela bus.

“Dean…” gumam Keane pelan sambil menarik lengan baju Dean. Baru saja Dean menyadari isyarat Keane tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara jeritan panjang dan menyakitkan.

”AAAAAAAAAARRRGHH!!!!!!” jerit Bym kesakitan. Jeritan sama seperti yang terjadi pada Jimmy, Kelly dan Dewa. Spontan Sam yang duduk di sebelah Bym langsung tersentak.

”The Glass Passenger!” seru Sam. “Dean, bagaimana ini?” tanya Sam cemas. Ia sama sekali tak memprediksi kejadian ini. Sementara Dean, Sam dan Keane tengah memeras otak untuk menghentikan The Glass Passenger, Bym terus menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya.

Dalam suasana panik, sekonyong-konyong Dean melihat kalung berbandul matahari dan bulan yang dipakai Keane. Ia merasa pernah melihat kalung itu sebelumnya. Sesaat kemudian Dean teringat foto Charmed yang terpampang di dinding Emerald City Bar. Ya, kalung Keane ini sama persis dengan kalung yang dimiliki Charmed. Serta merta Dean menarik kalung itu dari leher Keane, mengambil pemantik dari sakunya, menyalakan pemantik lalu membakar kalung itu. Dari kaca jendela, Keane dapat melihat sosok The Glass Passenger dikelilingi oleh kobaran api.

Sam yang melihat tindakan Dean tersebut, sekonyong-konyong mengambil kapak kecil dari dalam tasnya untuk memecahkan kaca jendela King County Metro Bus yang tertutup rapat.

“Keane, bawa Bym menjauh dari jendela,” perintah Sam sambil memukulkan kapak ke kaca jendela bus. Tak lama kemudian kaca jendela bus pecah dan Dean melemparkan kalung itu keluar jendela. Sekonyong-konyong suara kaca yang pecah tersebut membuat supir bus menghentikan kendaraannya. Sebuah King County Metro Bus lain yang berada di samping bus yang mereka tumpangi melindas kalung yang dilempar Dean tadi sehingga hancur seketika. Di saat yang bersamaan dari pantulan kaca bus, Keane melihat sosok The Glass Passenger perlahan hancur didalam kobaran api yang mengelilingi tubuhnya. Sosok The Glass Passenger mengerut sesaat sebelum hancur sepenuhnya menjadi pecahan-pecahan kaca yang perlahan menghilang di udara.

“Bym! Bym!” seru Keane berusaha menyadarkan Bym. Dean beranjak ke samping supir bus untuk memohon maaf atas kejadian ini dan memberi penjelasan singkat bahwa apa yang mereka lakukan tadi menyangkut hidup Bym. Sementara itu, Sam membalut telapak tangannya yang terkena pecahan kaca. Dean lalu menggendong Bym keluar dari bus diikuti oleh Sam dan Keane. Keane menghentikan sebuah taksi lalu mereka berempat naik ke taksi tersebut dan pergi menuju ke Seattle Grace Hospital.

Di dalam taksi, Dean meletakkan Bym yang tidak sadarkan diri di pangkuannya. Ia meraba nadi di leher Bym dan merasakan denyut pelan nadi Bym di jarinya. Lalu Dean meraih Cellular Phonenya dan mulai menghubungi Meredith.

“Meredith, aku sedang menuju Seattle Grace. Ada satu lagi korban The Glass Passenger. Kemungkinan ia juga mengalami cardiac tamponade,” kata Dean melalui Cellular Phonenya.

***

Seattle Grace Hospital
25 September 2008
09:30 AM


Meredith dan George berlari menuju ruang gawat darurat setelah mendapat info dari Dean bahwa ia segera datang kemari membawa pasien cardiac tamponade. Mereka berdua mengenakan gaun khusus trauma berwarna kuning lalu memakai sarung tangan steril kemudian keduanya langsung berlari ke depan pintu utama ruang gawat darurat.

“George, siapkan ruang trauma!” seru Meredith. George langsung berjalan menuju ruang trauma.

Tak lama kemudian datanglah Dean, Sam dan Keane yang membawa Bym yang tidak sadarkan diri ke ruang gawat darurat Seattle Grace Hospital. Meredith langsung menghampiri Dean yang sedang menggendong Bym.

“Dean, pindahkan pasien ini ke brankar dalam hitungan ketiga. Satu….dua….tiga….” perintah Meredith pada Dean untuk membaringkan tubuh Bym ke sebuah ranjang brankar yang telah tersedia di ruang gawat darurat.

”Meredith, ruang trauma nomor dua telah siap,” kata George begitu kembali ke ruang gawat darurat.

”Keane?” tanya George heran.

”George, kejadian yang menimpa Bym sama seperti yang dialami ketiga penumpang yang tewas di King County Metro Bus. Ada kemungkinan ia juga mengalami cardiac tamponade,” jawab Keane cepat. George dan Keane kembali memperhatikan Bym yang terbaring diam di atas brangkar dengan wajah pucat dan mata terpejam.

”OK George. Ayo kita bawa pasien ini ke sana,” perintah Meredith. George membantu Meredith mendorong ranjang Bym menuju ruang trauma. Dean dan Keane berada di sebelah ranjang Bym. Sementara itu, Sam mengikuti di belakang mereka.

Luka yang terdapat di telapak tangan Sam membuatnya meringis menahan sakit. Dr. Izzie Stevens yang baru tiba di ruang gawat darurat melihat wajah Sam yang terlihat menahan sakit. Tanpa membuang waktu lagi, Izzie langsung berlari menghampiri Sam yang tengah berjalan menuju ruang trauma.

”Hei, sebentar!” seru Izzie saat berhadapan dengan Sam.

”Apa Anda terluka, Tuan?” tanya Izzie. Sam mengulurkan telapak tangan kanannya yang terluka pada Izzie. Dengan hati-hati, Izzie membuka balutan di tangan kanan Sam dan melihat pecahan kaca kira-kira sepanjang 10 cm tertancap tepat di tengah telapak tangannya dan sekeliling permukaannya tertutup darah kering. Setelah itu, Izzie melihat ke sekeliling ruang gawat darurat dan kedua matanya melihat beberapa meja periksa yang tengah kosong. Lalu Izzie menyuruh Sam duduk di salah satu meja periksa. Seorang perawat membawakan sepasang sarung tangan kulit steril, antiseptik, sebotol obat bius, suntikan, jarum dan perban ke hadapan Izzie.

”Terima kasih, Taz,” kata Izzie pada perawat itu. Kemudian Izzie membuka pembungkus lalu memakai sarung tangan kulit steril. Ia mengambil suntikan, mengisinya dengan obat bius lalu menyuntikkannya ke telapak tangan Sam. Izzie dapat melihat dari ekspresi wajah Sam bahwa rasa sakitnya agak berkurang.

”Siapa namamu?” tanya Izzie.

”Sam,” jawab Sam singkat.

”Sam, aku akan mencabut pecahan kaca ini. Satu....dua...tiga...” kata Izzie sambil menarik pecahan kaca itu, mula-mula dengan hati-hati, lalu lebih keras. Tindakan Izzie tersebut membuat Sam mengerang kesakitan. Lalu pecahan kaca itu terlepas dan Izzie membersihkan luka Sam dengan antiseptik. Berhubung luka Sam cukup dalam, Izzie mulai menjahitnya dengan hati-hati.

Diam-diam Sam memperhatikan Izzie yang sedang menjahit lukanya. Sam menatap Izzie dengan seksama, memperhatikan wajahnya yang halus, kulitnya yang putih, tubuhnya yang ramping, kepalanya yang tertunduk dengan rambut keritingnya yang berwarna pirang keemasan. Tiba-tiba jantung Sam berdetak sedikit lebih cepat. Dia sangat cantik, kata Sam dalam hati. Kecantikan yang sempurna itu membuat Sam terpesona. Tiba-tiba Izzie merasa kalau ia tengah diperhatikan. Izzie mengangkat wajahnya dan menatap Sam lekat-lekat dengan mata indahnya yang berwarna hazel.

”Sam, ada apa?” tanya Izzie.

”Berapa lama lukaku ini akan sembuh, Dokter.....” Sam balik bertanya.

”Dr. Isobel Stevens. Tapi panggil saja Izzie,” jawab Izzie. ”Lukamu akan sembuh selama kurang lebih seminggu, namun kamu harus memastikan agar luka ini tetap steril,” lanjutnya. Sam tersenyum mendengarnya dan Izzie pun ikut tersenyum. Lalu mereka berdua saling bertatapan dan menyadari pesona satu sama lain selama beberapa saat.

Perlahan wajah Izzie terlihat merona merah dan serta merta ia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya menjahit luka Sam. Setelah selesai, Izzie membalut telapak tangan Sam dengan perban steril berwarna putih. Sam mengulum senyum saat menyadari perubahan di wajah Izzie.

”Nah, selesai,” kata Izzie.

”Dr. Izz......” kalimat Sam terpotong saat tiba-tiba penyeranta Izzie berbunyi. Izzie segera membaca pesan dalam penyerantanya.

”Sam, maaf aku harus pergi sekarang. Dr. Shepherd membutuhkanku,” ujar Izzie seraya beranjak dari tempat duduknya.

Izzie menuliskan resep untuk Sam sambil memberitahukan tanda-tanda bila terjadi infeksi pada lukanya.

”Hubungi aku bila terjadi sesuatu pada lukamu,” kata Izzie seraya menuliskan serangkaian nomor pada secarik kertas yang kemudian diberikannya pada Sam.

”Terima kasih banyak, Dr. Izzie,” kata Sam sambil tersenyum. Izzie membalas senyumannya lalu mulai berjalan keluar dari ruang gawat darurat.

***

Background Music : Life by Our Lady Peace


Pada saat yang bersamaan di ruang trauma nomor dua, sebuah ruang periksa khusus yang diperlengkapi seperti ruang operasi dengan berbagai perangkat monitor, Dean dan Keane hanya bisa terpana di sudut menyaksikan Meredith dan George yang tengah berusaha keras untuk menyelamatkan Bym.

George dan seorang perawat bernama Lissa memindahkan Bym ke meja periksa di ruang trauma. Lissa menata bantal Bym supaya ia bisa berbaring tegak, lalu mengambil satu set peralatan infus dan mulai memasang infus di vena yang terdapat di lengan Bym. Di saat yang bersamaan, George menggunting baju Bym, lalu memasang nasal canula dan sejumlah kabel monitor untuk memantau fungsi vitalnya.

“Tekanan darah delapan puluh satu per delapan puluh, nadi sembilan puluh, nafas tiga puluh,” kata Meredith setelah melakukan pemeriksaan pada Bym.

”Aku kesulitan mencari venanya, Dr. Grey,” kata Lissa setelah menusukkan infus di beberapa titik di lengan Bym namun ia tidak juga menemukan vena yang tepat.

Meredith mengambil alih peralatan infus dari tangan perawat itu dan memasang infus di vena subklavia Bym, pembuluh balik tebal di bawah tulang selangka lalu menyiapkan kateter tiga ruang. Meredith melubangi vena tersebut dan memastikan bahwa cairan yang keluar dari sana adalah darah gelap yang mengalir tanpa berdenyut. Ia lalu meloloskan kawat pemandu lewat jarum suntik, lalu dilator sepanjang kawat pemandu, dan kateter dimasukkan. Meredith membilas infus dengan larutan garam, melekatkan kateter ke kulit Bym dan memasang perban.

”George, lakukan X Ray dan bila benar ia mengalami cardiac tamponade maka lakukan juga ultrasound!” seru Meredith pada George. George langsung melakukan X Ray pada Bym dengan alat radiologi portabel yang berada di ruang trauma. Setelah selesai, George melakukan Ultrasound untuk melihat bagian dalam tubuh Bym.

”Ya, pericardiumnya penuh dengan darah. Ini sama sekali tidak baik,” kata George seraya menyerahkan hasil X Ray dan Ultrasound Bym pada Meredith. Meredith melihat foto sinar X Bym menunjukkan penumpukan darah yang cukup banyak di jantungnya sehingga menekan paru dan menggeser trakeanya.

”Oh tidak, kadar saturasi oksigennya turun hingga 80. Ia perlu oksigen,” seru Meredith seraya mengganti nasal canula yang terpasang di hidung Bym dengan masker oksigen lalu menempelkannya stetoskop di dada Bym untuk mendengarkan irama jantungnya. Ia juga memperhatikan monitor yang terletak tepat dihadapannya.

”Gawat! Tekanan darah turun sampai 76. Ia tidak stabil,” kata Meredith sambil menggelengkan kepalanya.

”CODE BLUE! CODE BLUE!” teriak Meredith lewat interkom. Tiga orang perawat berlarian masuk ke kamar Bym. Semua bekerja keras untuk menyadarkan Bym tapi ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda vital stabil

”Ia tidak bisa menunggu lagi. George, cepat cari Dr. Erica Hahn. Ia harus dioperasi sekarang!” perintah Meredith.

Tak lama kemudian, George datang bersama Dr. Hahn ke ruang trauma tempat Bym berada. Dr. Hahn mengamati irama detak jantung Bym di monitor yang berada di sebelah Bym. Dr. Hahn menyaksikan irama normal melambat, lalu bentuk gelombangnya melebar.

”Irama agonal,” kata Dr. Hahn. ”Grey, kita harus membawanya ke ruang operasi sekarang!” lanjut Dr. Hahn. Ia memutuskan untuk mengoperasi Bym saat ini juga.

”Suster Lissa, bantu aku untuk memindahkan dia segera ke ruang operasi!” kata Meredith pada perawat yang berada disebelahnya.

”George, tolong siapkan ruang operasi!” perintah Meredith. George langsung berlari menuju ruang operasi.

Sebelum Bym dibawa ke ruang operasi, Meredith memberitahukan kondisi Bym pada Dean, Sam dan Keane dan memberikan lembar prosedur operasi. Setelah itu Meredith kembali ke ruang trauma memeriksa catatan medis Bym, melihat hasil lab dan Elektrokardiogram (EKG). Ia juga memeriksa mulut Bym untuk melihat bahwa tidak ada gigi goyang yang kemungkinan bisa terlepas saat operasi dilakukan. Selain itu, ia juga memeriksa gelang bertuliskan nama Bym untuk memastikan bahwa pasien yang akan dioperasi sudah benar, menuliskan daftar alergi obat. Terakhir, Meredith memeriksa mata Bym untuk memastikan bahwa Bym sedang tidak memakai lensa kontak atau mengenakan perhiasan yang bisa menimbulkan bahaya. Beberapa saat kemudian George datang dan memberitahukan bahwa ruang operasi sudah siap. George bersama Meredith, Lissa dan dibantu oleh seorang perawat bernama Adel membawa Bym ke ruang operasi.

Di ruang operasi nomor 3, dua perawat memastikan bahwa ruangan itu telah dibersihkan sepenuhnya sesudah operasi terdahulu dan semua alat yang diperlukan telah tersedia dan steril. Tim dokter yang terdiri dari Dr. Erica Hahn, Meredith, George dan seorang dokter ahli anestesi sedang bersiap melakukan pembedahan. Mereka mengenakan baju operasi, masker dan penutup rambut. Setelah itu mereka mencuci tangan dan memasuki ruang operasi. Seorang perawat yang telah berada di ruang operasi memakaikan sarung tangan kulit steril pada keempat dokter ini.

Sementara itu di gallery ruang operasi, Dr. Izzie Stevens dan Dr. Cristina Yang tengah bersiap untuk menyaksikan jalannya bedah pintas koroner yang akan dilakukan oleh Dr. Hahn dibantu oleh Meredith dan George.

”Hari ini menyebalkan. Aku tidak diikutkan lagi pada bedah pintas koroner ini. Aku sudah kehabisan cara untuk melunakkan hati Dr. Hahn,” keluh Cristina pada Izzie.

”Tadi aku menangani pasien luka tusuk bernama Sam. Ia tampan, tinggi, atletis dan tatapan matanya yang berwarna hijau sangat mengagumkan. Sayangnya aku tidak bisa mengobrol banyak dengannya karena tiba-tiba Dr. Shepherd menyuruhku menangani test pra operasi pada pasien penderita tumor otak yang ditanganinya. Namun, hasil test pasien itu memberitahukan bahwa ternyata ia alergi anestesi sehingga kami terpaksa menunda operasinya,” jelas Izzie panjang lebar.

Tiba-tiba dan Cristina dan Izzie dikagetkan oleh kedatangan Dr. Alex Karev bersama Ucha. Mereka lebih kaget lagi dengan ekspresi wajah Alex dan Ucha yang tampak cerah dan berseri-seri.

”Jadi itu teman kencan Alex yang baru?” tanya Cristina dengan suara pelan pada Izzie.

”Yeah, semalam aku melihatnya bermalam di kamar Alex. Mudah-mudahan saja gadis itu bukan Ava kedua,” bisik Izzie.

Ucha yang merupakan mahasiswi kedokteran tingkat dua merasa beruntung sekali bisa menyaksikan jalannya bedah pintas koroner secara langsung seperti ini. Dari gallery, Ucha dapat melihat Bym yang telah berada di meja operasi. Dokter ahli anestesi membiusnya lalu memasang tabung endotrakeal di mulut Bym dan beberapa selang intravena. Seorang perawat membersihkan kulitnya, menutup tubuhnya kemudian mengoleskan antiseptik berwarna kuning kecoklatan ke kulit dada Bym. Lalu pembedahan dimulai.

Ucha ternganga dengan takjub saat menyaksikan Dr. Erica Hahn menyayatkan scalpel nomor 10 tepat diatas tulang dada Bym sepanjang 10 sentimeter. Scalpel tersebut membelah kulit dan otot dada Bym dengan sayatan bersih dan panjang. Darah yang mengalir keluar dari sayatan tersebut terlihat seperti bunga merah. Setelah itu Dr. Hahn menggunakan gergaji sternal untuk memotong tulang dada Bym. Dr. Hahn lalu memasang retraktor pada sayatan tersebut untuk membuka dada Bym dan tampaklah jantung Bym yang berukuran kurang lebih sebesar sekepalan tangan dan diapit oleh kedua paru-parunya.

Setelah itu Ucha melihat seorang perawat bedah menyalakan mesin pintasan jantung-paru sirkulasi ekstrakorponeal. Alat mekanis ini digunakan untuk sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh Bym pada saat memintas jantung dan paru. Mesin tersebut juga memungkinkan dicapainya medan operasi yang bebas darah. Perfusi dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh Bym. Dr. Hahn melakukan pintasan jantung-paru dengan memasang kanula di atrium kanan, vena kava dan vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh Bym. Kanula tersebut kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik yang terdiri dari dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat. Darah vena yang terambil dari tubuh Bym dari kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan dan kemudian dikembalikan ke tubuhnya. Darah yang didinginkan tersebut akan menurunkan kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan oksigen juga berkurang. Larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan mengencerkan kekentalan dari darah yang didinginkan itu. Kanula yang dipergunakan untuk mengembalikan darah teroksigenasi dimasukkan ke aorta asendens.

Sementara itu Dr. Meredith menyuntikkan antikoagulan untuk rnencegah pembentukan trombus dan embolisasi yang dapat terjadi ketika darah berhubungan dengan permukaan asing sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh Bym dengan pompa mekanis. Selama operasi dilakukan, tubuh Bym dijaga agar selalu dalam keadaan hipotermia dalam suhu 82,4°F sampai 89,6°F.

Dr. Hahn memperbaiki kerusakan yang terdapat di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri pada jantung Bym. Setelah itu, Dr. Hahn menjahit pericardium dan aorta koroner. Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah Bym dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru. Setelah dibebaskan dari mesin pintasan, Meredith memberikan Bym protamin untuk menangkal efek heparin. Dr. Hahn menyambung kembali tulang dada Bym. Lalu Meredith melepaskan retraktor dari dada Bym. Setelah itu, Dr. Hahn menutup irisan vertikal yang berada tepat di tengah dada Bym dengan jahitan.

Dr. Hahn, Meredith dan George memantau status Bym dari tekanan darah, kadar saturasi oksigen, gas darah arteri, elektrolit dan pembekuan darah dengan seksama dari monitor jantung dan elektrokardiogram (EKG). Semuanya terlihat normal sehingga Dr. Hahn memutuskan menyuruh perawat untuk memindahkan Bym dari ruang operasi menuju ruang perawatan intensif.

Meredith dan George melepaskan gaun operasi, masker dan sarung tangan, mereka berdua bergegas keluar dari ruang operasi untuk memberitahukan Dean, Sam dan Keane mengenai kondisi Bym.

”Meredith, bagaimana keadaan Bym?” tanya Dean cemas.

”Operasinya sukses,” jawab Meredith sambil tersenyum.

”Oh, syukurlah,” kata Dean dan Sam seraya menarik nafas lega.

”Apakah kami bisa menjenguk Bym, Dr. Meredith?” tanya Keane.

”Maaf, ia belum boleh dikunjungi karena masih berada di ruang ICU untuk menstabilkan kondisinya,” sahut Meredith.

”Mer, bagaimana kalau kita bertemu di Emerald City Bar malam nanti?” ajak Dean.

”Hmmm....boleh,” jawab Meredith. Ia tersenyum pada Dean.

”OK, kalau begitu aku dan Sam mohon diri dulu. Sampai ketemu nanti malam, Mer,” lanjut Dean.

Dean dan Sam lalu berjalan menyusuri koridor. Mereka meninggalkan Keane yang tengah asyik mengobrol dengan Dr. George O’Malley.

Dr. Cristina Yang dan Dr. Izzie Stevens yang baru keluar dari gallery memergoki Meredith sedang memperhatikan Dean yang berjalan menuju elevator. Mereka berdua spontan ikut memperhatikan objek yang sedang dipandang Meredith.

“Meredith, siapa pria yang mengenakan kemeja hijau itu?” tanya Cristina.
”McGorgeous,” gumam Meredith sambil terus memandang ke arah Dean.
“McGorgeous?” tanya Cristina.
“No?” Meredith balik bertanya.
“McMuscular?” celetuk Izzie tiba-tiba.
“NO!!!” seru Cristina dan Meredith berbarengan.
“McWeird,” tutur Meredith yakin.
“MCWEIRD??” pekik Izzie dan Cristina bersamaan.
“Karena dia .......” Meredith menghentikan ucapannya dan terdiam sesaat.
“Aneh,” lanjut Meredith singkat seraya memandang Izzie dan Cristina.

Izzie hanya menggelengkan kepala sementara Cristina hanya mengangkat alis melihat tingkah Meredith yang tidak biasanya.

“Apakah McWeird telah resmi menggantikan McDreamy?” tanya Cristina.

“Lihat saja nanti,” sahut Meredith sambil tersenyum.

TAMAT


Notes :
Jantung terdiri dari empat rongga yaitu serambi (atrium) kanan & kiri dan bilik (ventrikel) kanan & kiri.

Cardiac tamponade : penekanan jantung yang disebabkan oleh peningkatan intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam pericardium.

Pericardium : selaput ganda yang menutupi jantung. Selaput / lapisan pertama menempel sangat erat pada jantung, sedangkan lapisan luarnya lebih longgar dan berair, untuk menghindari gesekan antar organ dalam tubuh yang terjadi karena gerakan memompa konstan jantung.

Septum : dinding pemisah di antara sebelah kiri dan kanan serambi (atrium) & bilik (ventrikel).

CODE BLUE : sebuah kode yang menyatakan bahwa pasien sedang mengalami kegawatan yang mengancam jiwanya.

Catatan mengenai sumber (Cardiac Tamponade dan Coronary Artery Bypass Graft Surgery/bedah pintas koroner) :
1) Fornauer, Andrew; Narasimham L. Dasika, Joseph J. Gemmete, and Constantine Theoharis (Spring 2003). "Pericardial Tamponade". Journal of Vascular and Interventional Radiology.
2) Isselbacher, E.M., Cigarroa, J.E., Eagle, K.A. (1994). Cardiac Tamponade. Circulation. Volume 90, Pages 2375-2378
3) Thibodeau, G.A., Patton, K.T. (2003). Anatomy & Physiology. Missouri: Mosby.
4) Eagle KA, Guyton RA, Davidoff R, et al (2004). "ACC/AHA 2004 guideline update for coronary artery bypass graft surgery: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Update the 1999 Guidelines for Coronary Artery Bypass Graft Surgery)". Circulation 110 (14): e340–437.
5) SUNY Labs 21:st-1500 - Mediastinum: Pericardium (pericardial sac).
6) MedlinePlus Encyclopedia Cardiac tamponade
7) Grey’s Anatomy episode Crash into Me dan From a Whisper to Scream.

Catatan penulis :
Fan Fiction ini penulis dedikasikan khusus kepada Andrew McMahon dari Jack’s Mannequin yang telah memberikan ide cerita ini. Ide ini penulis dapatkan saat menantikan album terbaru Jack’s Mannequin bertitel The Glass Passenger yang dirilis tanggal 30 September 2008. Penulis membuat FF ini juga dalam rangka mempromosikan album The Glass Passenger Wink Wink
Ohya, The Resolution, single terbaru Jack’s Mannequin dari album The Glass Passenger sudah bisa didengarkan di Radio Hard Rock FM, Trax FM dan tentunya di blog penulis http://jacksmannequinfans.multiply.com (mode promosi on* Smiley )

Sekali lagi, penulis mengucapkan terima kasih bagi para pembaca yang telah berkenan menyimak FF ini dan mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada karakter dalam FF ini yang kurang berkenan bagi pembaca Smiley
Berhubung juga besok kita akan menyambut hari raya Idul Fitri, penulis mengucapkan Mohon Maaf Lahir Batin Smiley Smiley Smiley

1 komentar:

  1. wah..ff nya keren...
    penggambarannya juga keren, apalagi pas saat pembedahan...
    lumayan buat nambah pengetahuan ttg kedokteran..

    salam kenal..^^

    BalasHapus