Minggu, 18 April 2010

Fic: One Night At Perdition, Censored Version

Author: Oryn
Rating: T.
Genre: drama (what else?)
Chapters: 1. Words: 4.281.
Universe: Perdition AU, jagad ciptaanku sendiri.
Warning: hustler!boys, mention of sexual activity, possible OOC.
Disclaimer: I don't own Supernatural and its characters. The alternate universe is all mine, though.
Summary: satu malam di Perdition, malam nikmat yang berdosa, sekaligus membersitkan harapan dan memantapkan tekad.
Translation: one night at Perdition, a deliciously sinful night, yet it builds some hope and strenghens a resolve.
Author's Note: ini berawal dari kepusingan mencari basis untuk bikin fic PWP Sam, eh... berkembang jadi satu AU sendiri. Ini adalah versi yang telah disensor, kalau ingin membaca versi utuhnya (dengan catatan sudah cukup umur) bisa dicari di akun FF.net saya. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.

~*~

Ada dua hal yang secara distingtif menandakan kehadiran seorang Dean Winchester, seperti lantunan terompet yang ditiup sebagai sinyal kedatangan seorang raja. Yang pertama adalah bunyi sepatu butnya ketika menapak, ritme yang menunjukkan langkah-langkah penuh percaya diri, cara berjalan seorang pria yang tahu apa yang diperbuatnya, paham betul ke mana tujuannya, tanpa ragu. Yang kedua adalah aroma kolonye yang semerbak bahkan tatkala Dean masih berjarak empat meter dari hidung si pengendus. Bau pewangi yang tanpa merek, yang Dean selalu berlagak misterius bila ditanya, yang menurut Sam sedikit kelewat menyengat, tapi entah bagaimana digandrungi kaum hawa.

Sam tersenyum ke gelas birnya sewaktu wangi kolonye itu kian kuat menghantam penciumannya dan suara langkah kakaknya terdengar mendekat. Dia mereguk birnya hingga tinggal separuh, tidak menoleh sampai sosok kakaknya duduk di sampingnya dan menyapa.

"Kamu masih di sini?" tanya Dean, memberi sinyal pada pelayan bar untuk menyediakan segelas bir buatnya.

Sam menyeringai. "Memangnya mau di mana lagi?"

Dean menunggu sampai busa birnya menyurut baru menyeruputnya. "Tadi aku lihat kau dengan kemenakan perempuan walikota," selidiknya.

"Yeah. Tadinya juga begitu... sampai Gordon datang," balas Sam seraya tersenyum masygul.


"Gordon? Oh, bung. Jangan bilang dia merampas pelangganmu lagi." Dean meraih ke saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok.

"Ruby tidak suka kalau kita merokok, ingat?" cetus Sam.

"Persetan dengan dia," tukas Dean cuek, memantik geretannya dan tak lama kemudian asap rokok sudah menghembus ringan dari bibirnya. "Omong-omong, ada apa, sih dengan si Gordon? Sejak kerja di sini, dia seperti mendeklarasikan perang sipil saja denganmu."

Sam angkat bahu. "Entahlah. Aku sendiri tak tahu apa yang kuperbuat padanya sampai dia menyimpan dendam kesumat padaku."

"Sedikit mendiskreditkan di muka konsumen, sabotase kecil-kecilan, sikut-menyikut, itu masih bisa diterima di bisnis ini. Tapi kalau terang-terangan menyabet pelanggan dari bawah hidungmu... itu benar-benar mengajak musuhan namanya," gerutu Dean.

"Ah, sudahlah. Rezeki tiap orang, kan ada sendiri-sendiri. Biarkan saja dia. Toh, itu belum betul-betul menggangguku," tanggap Sam kalem.

Dean menatap adiknya. "Ck...ck... kamu kelewat baik, sih. Yah, asal kau ingat, begitu dia bertingkah di luar batas, hubungi aku dan bakal kulabrak dia, kupermak muka dan organ vitalnya sampai tidak bisa kembali terjun dalam pekerjaan ini."

Sam hanya tertawa pelan mendengarnya. Kadang Dean memang protektif berlebihan kalau sudah menyangkut adiknya. Percuma saja mencegah.

"Kamu sendiri belum ada klien?"

Dean tak langsung menjawab lantaran dia tengah berkonsentrasi membikin asap sigaret berbentuk donat.

"Kalau aku sudah punya klien, apakah aku akan duduk menyempil di sini bersamamu?" Dean balik bertanya.

"Biasanya jam segini kamu kan sudah tidak beredar di sini, melainkan di lantai atas sana."

"Aku baru saja datang, kok. Tadi dokternya ayah menahanku agak lama, ajak diskusi soal pengobatan dan segala macam. Makanya jadi telat kemari," terang Dean.

"Oh. Bagaimana ayah?"

Sam tahu bahwa Dean tahu itu sebagian besar cuma basa-basi standar, tapi toh Dean menyahutinya juga.

"Membaik."

Itu juga jawaban standar Dean saban kali ditanya. Permainan aneh yang mereka jalankan sejak lama.

Sam mengangguk. "Baguslah."

"Kenapa tidak kamu datang dan melihatnya sendiri?" gumam Dean, paham bahwa itu pun permintaan sia-sia, tetapi bukan Dean namanya kalau berhenti berharap.

"Mungkin besok," Sam menyahut pendek. Besok lusa, besok minggu depan, besok bulan yang akan datang, selalu nanti dan nanti, dengan segebung alasan sebagai justifikasi.

Kedua bersaudara itu tak melanjutkan bertukar kata lagi sesudahnya, hanya duduk berdampingan dengan punggung melekat di meja bar, mengawasi ruangan besar Kelab Perdition yang terhampar di hadapan mereka sembari sesekali membasahi kerongkongan dengan bir dingin.

Malam belum begitu larut dan itu tampak dari jumlah tetamu yang tak sampai separuh dari kursi yang tersedia. Sebagian besar adalah perempuan, tentu saja. Gadis-gadis kuliahan atau lajang yang mencari pengalaman baru, wanita karier yang melepaskan ketegangan dari tempat kerja, ibu rumah tangga yang ingin bereksperimen, tante-tante yang punya dahaga akan belaian yang tak pernah terpuaskan, sampai minoritas perempuan gaek yang pencinta ulung dan terampil. Mereka ada yang datang seorang diri dan berkelompok, tergantung apa yang jadi hasrat malam ini. Namun, yang homogen adalah adanya paling tidak seorang pria yang menemani. Bisa yang jabatannya sekedar pramuria, ataupun pramunikmat layaknya kedua Winchester bersaudara.

Sam mengetuk-ngetukkan jari di lututnya mengikuti detak musik tekno-new age yang diputar dengan volume yang memungkinkan pengunjung mengobrol walau harus sama-sama mendekatkan kepala, tetapi memadai bagi yang ingin bergoyang di lantai dansa. Matanya yang jeli beredar dari satu meja ke meja tamu lainnya. Lampu di dalam kelab memang diatur tak terlalu terang, tapi dia dapat mengetahui bahwa dari sekian wanita di sana, belum ada yang berminat menggunakan jasanya. Satu-dua kedapatan melirik penasaran ke arahnya, tapi lantas mengalihkan tatapan.

Si bungsu Winchester tersenyum tipis. Barangkali memang belum rezekinya.

Posisi duduk kakak-beradik Winchester memungkinkan mereka memandang bebas ke seluruh deretan pintu dan ceruk di lantai dua. Itulah yang menyebabkan hempasan pintu ruang kantor pemilik kelab di lantai tersebut langsung tampak dan menyedot perhatian keduanya.

Dean menyikut adiknya kala dilihatnya seorang pria menghambur keluar dari ruang kantor, mantel panjang coklat muda kusam yang dikenakannya melambai seiring langkah-langkah panjangnya yang dihentak penuh kemarahan, mimiknya merengut total dengan mata biru menyala berang. Andai sorot mata dapat meletikkan api, niscaya kelab itu telah bergemertak terbakar.

Sudut bibir Sam terangkat sedikit sewaktu pria itu menuruni tangga lengkung menuju lantai dasar kelab tempatnya berada, tanpa tegur-sapa melewatinya begitu saja, langsung menuju ke wilayah di mana pelayan bar sedang bertugas.

"Wiski," ucap pria itu, nyaris seperti perintah.

Pelayan bar menuangkan wiski di gelas sloki dan pria itu menandaskannya dalam sekali tenggak. Dia memberi isyarat agar pelayan bar meninggalkan botol wiski di depannya.

"Tapi, Cas..." pelayan bar buka suara.

"Letakkan botolnya," ujar Castiel, ada unsur "atau kau akan merasakan akibatnya" yang tak terkatakan. Benar-benar terdengar persis kapten polisi mengancam buron yang berniat kabur.

Pelayan bar menghela nafas, tapi toh dia memenuhi kemauan Castiel.

Dengan satu gerakan tangan Castiel menyuruh si pelayan bar pergi, kemudian dia mencomot gelas dan botolnya sekaligus, mendekap keduanya seakan benda itu dapat menyelamatkannya dan membawanya ke sebuah meja kosong di pojokan. Dia memulai pertunjukan orang mabuk sambil murung plus uring-uringan di sana.

"Whoa," Dean berseru pelan. "Ada yang bangun di sisi tempat tidur yang salah rupanya."

"Itu dan bertengkar dengan Ruby tidak membantu sama sekali," celetuk Sam.

"Yeah," gumam Dean, menggelengkan kepala saat tampak olehnya Castiel terbatuk-batuk lantaran wiski yang diteguknya tersasar ke tenggorokan.

"Ada apa lagi, sih di antara mereka berdua?"

"Ada apa, katamu?" Dean mengisap rokoknya beberapa kali sebelum mendekatkan kepala dengan senyum konspiratif ke arah adiknya. "Banyak yang terjadi pada dua orang itu. Kau tahu, mereka bertikai sengit sebelum ini gara-gara anggaran belanja perangkat pengamanan gedung. Aku menduga keras, kali ini berantem hebat karena urusan pajak. Biasa, Castiel mana mau disuruh mengakali laporan keuangan agar kelab membayar pajak dalam jumlah lebih kecil ketimbang yang semestinya." Dean mendengus, "Manajer keuangan yang jujur. Baru kali ini kudengar hal seperti itu."

Pantas, pikir Sam. Castiel memang demikian adatnya. Kalau Dean yang berdebat dengan Ruby, kemungkinannya adalah mengenai musik macam apa yang mestinya dikumandangkan di kelab.

"Bercekcok melulu," sambut Sam, "macam anjing dan kucing saja."

Dean tertawa. "Bukan, lebih persis buldog dan pudel memperebutkan sosis!"

Sam tersenyum mendengar tamsil itu. Sejurus kemudian dia berkata, "Aku heran, kenapa Castiel tidak hengkang saja dari sini? Maksudku, dia begitu kerap berbantahan dengan Ruby, hampir sesering kau menjenguk ayah."

Dean mengabaikan klausa terakhir adiknya dan menanggapi, "Soalnya kalau Castiel cabut dari sini, dia mau kerja di mana lagi? Dia dulu peniup peluit di perusahaannya, melaporkan penggelapan yang terjadi sampai dipecat dengan tidak hormat dan namanya masuk daftar hitam, ditolak banyak perusahaan. Satu-satunya orang yang bersedia terima dia ya cuma Ruby waktu itu, ingat?"

"Ya... tapi teler setiap kali usai berantem dengan bos, itu lama-lama merusaknya juga," Sam berargumen.

"Bukan urusan kita. Kita lihat saja nanti mana yang akan takluk lebih dulu. Aku pertaruhkan uangku pada Cas," Dean berujar santai. "Dan kamu mau tahu sebuah isu bagus, Sam?"

"Apa?"

Dean merendahkan suara, "Aku dapat info ini dari sumber yang valid dan bisa dipercaya. Konon, Ruby sebenarnya naksir pada Castiel."

"Hah?" Sam tercengang. "Masa iya?"

Agak sukar bagi Sam membayangkan itu. Soalnya menurut hemat Sam, Castiel adalah pria yang baru akan dipacari Ruby hanya bila seluruh kaum adam di muka bumi telah habis tak bersisa. Dua insan itu kelewat bertolak belakang dalam segala segi, bak siang dan malam, layaknya malaikat dan setan. Namun, bukankah ada istilah "tertarik karena berlawanan"?

"He-eh, tapi sayangnya cowok itu masih belum mampu melupakan Anna," gosip Dean lebih lanjut.

Sam mengerutkan kening. "Anna siapa?"

"Anna Milton."

"Anna yang pemandu lagu di Karaoke Paradise?" Sam mengonfirmasi.

"Yep. Cewek berambut merah itu eks tunangan Castiel. Mereka bubar jalan tidak lama setelah Cas kerja di sini," papar Dean.

Sam mengangguk-angguk, gaya orang yang baru maklum suatu persoalan.

"Eh, terpikir olehku, mestinya kamu kasih nasehat ke Castiel soal bagaimana caranya menghadapi Ruby. Kau pasti masih ingat trik-triknya, bukan? Bagaimanapun, Ruby kan mantan pacarmu," usul Dean tiba-tiba.

"Mantan pacar apanya? Kami cuma kencan selama beberapa minggu," sanggah Sam. Lebih dari cukup buat mengetahui bahwa mereka serasi sebagai bos dan bawahan, canggung sebagai teman dan payah sebagai kekasih.

"Tetap saja. Itu rekor paling lama Ruby bermonogami dengan seorang cowok," Dean mengerling pada adiknya.

Sam mengibaskan tangan, sengaja mengalihkan topik. "Omong-omong, dari mana, sih kamu dapat selentingan segala macam seperti itu?"

Dean mengirimkan sepotong seringai lebar yang otomatis menimbulkan reaksi meringis pada Sam. "Makanya beredar, dong," dia menepuk punggung adiknya sampai Sam nyaris tersedak. "Gaul sedikit, jangan cuma duduk membaca sambil menunggu pelanggan datang."

"Untuk apa? Toh kamu juga selalu menceritakan semuanya padaku, seperti barusan ini," tukas Sam.

Itu ada benarnya, pikir Dean. "Lain kali aku tidak memberitahukan apa-apa padamu saja kalau begitu."

"Yakin?" Sam mengangkat alis menantang. Dia hafal tabiat kakaknya yang sukar mengerem mulutnya jika mengetahui sesuatu yang menarik. Dean memang selalu membagi semuanya dengan Sam. Cerita, makanan, uang, rumah, hidup.

"Kita lihat nanti," putus Dean. Tidak benar-benar menyerah, juga tak langsung menyanggupi.

Figur semampai seorang wanita yang menuruni tangga dengan mantap mencuri perhatian Winchester bersaudara, menyebabkan obrolan mereka terputus sampai di situ.

Dean dan Sam, keduanya adalah pria normal dan karenanya wajar saja mata mereka terpancang pada wanita itu bak serbuk besi melekat pada magnet. Mengenakan blazer kerja warna gelap yang berpotongan pas badan, wanita itu tampak profesional sekaligus menggoda. Celana panjangnya memperjelas bentuk kakinya yang panjang dan ramping, menjalani setiap langkah dengan anggun. Wajahnya hanya disaput solekan tipis, tetapi justru itu menonjolkan keelokan alaminya nan memikat. Rambut pirangnya yang panjang ditata apik, memberi kesan semiacak yang segar. Gerak-gerik dan sikap tubuhnya menguarkan kekuasaan dan keyakinan diri. Dia bagaikan maharani, memandangi wilayah kerajaannya yang terbentang di bawahnya.

Perempuan itu menuju ke arah Winchester bersaudara dan begitu melihat sosoknya datang menghampiri, Dean tergesa-gesa berbalik mencari asbak guna mematikan rokoknya dan berkumur dengan sisa birnya. Dia sudah memajang senyum sok polos sewaktu wanita itu berhenti di hadapannya.

"Dean," teguran feminin nan tegas meluncur dari bibir si wanita.

"Hai, Ruby," Dean balik menyapa.

Ruby menelengkan sedikit kepalanya, matanya setajam skalpel tatkala menyusuri perawakan Dean dari bawah ke atas dan kembali lagi.

"Apa yang kukatakan tentang merokok pada saat bekerja?" Ruby bertanya lembut, tapi Winchester bersaudara telah cukup lama kenal dengannya untuk sanggup mendeteksi nada berbahaya tersamar di baliknya.

Dean cuma menyeringai pasrah, membenci kenyataan bahwa di depan Ruby dia demikian sering kehabisan kata-kata.

Ruby memutar bola mata. Dia merogoh ke dalam saku blazernya dan mengulurkan sekotak permen mint penyegar nafas yang langsung diambil Dean.

"Kau tahu, mencium pria perokok rasanya sama dengan mencium asbak," cela Ruby, melipat tangannya.

Andai yang dihadapi bukan Ruby, Dean sudah akan menyeletuk, "Memang kamu pernah mencium asbak?" Namun, entah kenapa wanita satu itu sanggup membikin lumpuh lidah Dean yang biasanya tangkas. Dean biasanya berkilah bahwa dia sengaja mengalah, tapi Sam tahu kakaknya memang kalah.

"Ada pesta lajang di kamar VIP," Ruby menujukan kata-katanya pada Dean, "mereka meminta penari."

"Siap, bos," sambut Dean.

Sam membatin, kadang dia merasa jawaban yang pantas untuk perintah Ruby adalah, "Hamba laksanakan, duli paduka ratu."

Dean mencomot sebutir permen pemberian Ruby dan dengan demonstratif mengulumnya. Wanita itu tetap menatapnya lurus tanpa reaksi lainnya, lama-lama bikin bulu kuduk Dean berdiri juga.

"Baiklah, Dik. Kaudengar kata bos, tugas memanggil," Dean berpaling pada adiknya, tersenyum bungah. Dia selalu menikmati kesempatan di mana dia harus menari bugil di depan sekelompok audiens perempuan yang histeris dan Sam mau tak mau merasa terhibur.

Dean mengangguk tanda permisi pada Ruby dan beranjak dari situ. Namun, baru beberapa langkah dia lalui, suara Ruby kembali terdengar.

"Mereka secara spesifik memesan pria berseragam. Polisi, tentara, terserah kau," Ruby menyampaikan.

"Beres."

Dean memberi kode "oke" dengan tangannya, lantas beralih jalan menuju kamar rias tempat segala macam kostum dan pernak-perniknya disimpan.

Sepeninggal si sulung Winchester, Ruby memindahkan perhatian pada Sam yang menyesap birnya pelan-pelan.

"Sam," dia mendekat satu hasta, sinar matanya agak melunak ketika menyapu wajah pemuda itu.

"Yeah." Sam sengaja berlambat-lambat menuntaskan birnya, rada kagok berdua begitu dekat dengan Ruby. Sampai kini, dia masih belum dapat memahami sepenuhnya, kegilaan apa yang dulu mendorongnya buat mengajak Ruby berkencan. Sungguh, bersuka-sukaan dengan bosnya sendiri itu bukan tindakan paling cerdas yang pernah dikerjakannya.

Kalaupun Ruby menangkap selintas kegelisahan Sam, itu tak diperlihatkannya. Air mukanya tetap tenang, murni bisnis, hanya menyipitkan mata sewaktu tangan Sam bergerak ke balik jaketnya, tempat dia lazimnya menyimpan sebuah buku saku.

"Singkirkan pikiranmu dari buku itu. Klien di meja sepuluh khusus meminta kau menemaninya," Ruby memberi tahu, datar.

Lega ada alasan untuk mengalihkan pandang dari Ruby, Sam melongok ke arah meja yang dimaksud. Dia menemukan seorang wanita yang mengenakan setelan kerja tiga potong duduk di sana, tengah mengobrol santai dengan Andy, pramuria rekan Sam. Seolah merasakan ada yang memperhatikannya, wanita itu menoleh dan matanya bertemu dengan Sam, keduanya bertukar senyum dan anggukan singkat tahu sama tahu.

Tekanan ringan di bahunya membuat Sam menoleh. Dia menemukan jemari Ruby bertengger di situ, cat kukunya yang merah gelap demikian kontras dengan warna putih kulitnya.

"Layani dengan baik. Dia pelanggan lama yang baru kembali," amanat Ruby. Dia meremas pundak Sam. Pelan saja, tapi meninggalkan jejak di hati pemuda itu.

"Baiklah." Memangnya ada alternatif jawaban apa lagi?

Ruby menarik tangannya, melempar seulas senyum lembut pada Sam yang bertanya-tanya, apakah matanya tak keliru menangkap seleret rasa menyayang dalam senyum itu. Namun, Sam membatin, dia tak berani bertaruh terlalu banyak pada hal itu.

"Selamat bekerja."

Itulah yang terakhir diucapkan Ruby sebelum dia putar badan dan berjalan pergi ke arah yang berlawanan dari Sam. Untuk beberapa jenak Sam masih memandangi punggung Ruby yang menjauh, helai-helai pirang rambutnya yang tergerai bebas, bokongnya yang kencang di balik balutan celananya, yang bergoyang seirama lenggang langkahnya. Sesaat Sam jadi terkenang pada suatu masa di kala wanita itu berderap mendekatinya untuk kemudian menghujaninya dengan ciuman, tubuh ulet Ruby dalam pelukannya, bisikan halus di telinganya. Namun, memori itu segera sirna digusur oleh realitas: ketak-ketik hak stiletto Ruby dengan irama khas nan otoritatif yang berangsur melirih.

~*~

Sam tegak di bawah hujan air pancuran, kehangatan bulir-bulir air membasuh kulitnya, meluruhkan keringat dan peristiwa yang memicu timbulnya peluh itu. Dia menuang sabun cair banyak-banyak ke telapak tangannya, menggosok setiap inci tubuhnya, lekuk dan lipatan tak luput olehnya. Dia membusakan sejumlah sampo, mencuci rambutnya, memijat kepalanya dengan gerak melingkar yang menenangkan. Setelahnya, guyuran air diperderas dan semburannya membilas badannya yang berkilat oleh sabun, tangan Sam sibuk mengusap ke segala penjuru.

Bahkan setelah semua busanya hanyut, Sam masih berlama-lama berdiri di sana, membiarkan air hangat mengalirinya, seakan berharap cairan itu dapat membersihkan sampai ke lubuk dosa. Ritual mandi setelah bertugas itu telah dianut Sam sejak pertama kali dia menjalani profesi ini dan kamar mandi persegi berukuran kecil itu berfungsi sebagai semacam tempat meditasi singkat bagi Sam. Tempat di mana dia mengembalikan segenap ketenangannya, semangat dan hal-hal yang menjadikan dia seorang Sam Winchester.

Perlahan-lahan Sam menutup keran, menyambar handuk kasar dan mengeringkan tubuh, menyekakan kain itu kuat-kuat sampai kulitnya memerah. Dia mengenakan busana bersih setelahnya dan keluar dari kamar mandi menuju deretan loker yang diperuntukkan bagi pekerja Kelab Perdition. Sam tengah memasukkan peralatan mandi ke dalam lokernya sewaktu dia menangkap pertanda Dean memasuki ruangan.

"Hei, Kak," Sam mengangguk ke arah saudaranya.

Dean mengayun langkah mendekati loker miliknya yang berada di sebelah Sam. Kentara benar seragam angkatan laut ala penari bugilnya itu asal saja dipakainya, sekedar meliputi bagian-bagian yang secara norma sosial wajib ditutup. Sam dapat melihat titik-titik keringat di pelipis kakaknya dan rambut Dean yang berantakan, menduga bahwa pemuda itu baru menyelesaikan sesi menghiburnya yang rada eksibisionis.

"Yo, Sammy," balas Dean, menarik pintu loker sampai terbuka dan menyingkir tepat sebelum serombongan barang terlempar keluar.

Sam mendengus geli. Dean belum berubah dalam aspek yang satu itu.

"Sudah mau pulang?" tanya Dean, menilik adiknya merapikan isi loker dan menyampirkan tas di bahu.

"Yeah."

Si bungsu Winchester memang punya kebijakan untuk hanya melayani maksimal dua tamu per malam. Tadi dia sudah menemani mengobrol nona keponakan walikota dan memperoleh tips lumayan. Ditambah Cindy, tamu seksi yang barusan terlibat pertempuran kelamin dengannya sampai tiga babak, itu dihitung dua orang, bukan? Ruby pernah menanyakan perihal kuota itu pada Sam dan pemuda itu memberi alasan bahwa dengan demikian dia bakal terkesan eksklusif. Membatasi tamu membuat dia dapat memberi servis maksimal, tambah Sam. Itu terbukti. Sam termasuk pejantan di Perdition yang jumlah kliennya stabil. Saban malam ada saja yang menggunakan jasanya, kadang sampai pakai daftar tunggu segala.

Dean meraup propertinya yang berserakan di lantai, menyorongkannya serampangan ke dalam loker. Dia menarik tas dan satu stel pakaian ganti kemudian menutup paksa pintu loker.

"Kamu mau pulang juga?" Sam bertanya. "Kalau ingin salin baju dulu, aku tunggu kau."

Senyum lebar macam orang dapat rejeki nomplok yang terkembang di wajah Dean membarengi jawaban bersemangatnya, "Nuh-uh. Ada dua dari cewek-cewek itu yang mengajakku main bertiga. Coba tebak di mana?" Dean tak menunggu sahutan Sam. "Hilton, bung! Sekali-kali melakukannya di hotel mewah terdengar menyenangkan, benar? Tempat tidur besar, jacuzzi, sampanye, stroberi salut coklat. Mm..."

"Aku pulang duluan kalau begitu," Sam berkata.

"Yep. Besok juga tak perlu siapkan sarapan untukku. Aku akan mencicip hidangan hotel berbintang," tutur Dean. Matanya berbinar dan Sam menebak-nebak mana yang bikin kakaknya segirang itu: kans dibayar untuk meniduri dua perempuan sekaligus ataukah makanan lezat yang diperoleh gratis.

"Percaya diri betul kau bahwa mereka akan mengizinkanmu menginap di sana." Bukan Sam namanya kalau tidak mengganggu kakaknya.

"Setelah apa yang bakal kulakukan pada mereka, toh cewek-cewek itu pasti kelelahan dan membiarkan aku tidur di sana," ujar Dean mantap. Tidak bermaksud menyombong, cuma menyatakan hal yang sangat mungkin terjadi.

Sam tersenyum sekilas. "Sampai besok kalau begitu."

Dia hendak berbalik dan pergi, tapi lontaran kata-kata Dean menyetopnya.

"Hei, tangkap ini."

Spontan tangan Sam membuka dan sebuah objek jatuh ke telapaknya. Serangkaian kunci.

"Aku dijemput pakai limo, jadi tugasmu mengandangkan Impala," jelas Dean.

"Oke." Sam mengantungi kunci itu, bunyinya gemerincing beradu dengan kunci apartemen yang sudah ada di saku.

Dean mendekat dan menatap adiknya, lagaknya serius, yang justru malah membuat Sam tergelitik.

"Kuperingatkan padamu," Dean mengacungkan telunjuk di muka Sam, "jangan sampai ada gores sedikit pun pada bodi cantiknya, jangan mengotori kabin dan jangan coba-coba mengganti kasetnya dengan musik konyolmu," dia berhenti untuk kesan dramatis, "apalagi mencolokkan Ipod!"

Sam memutar bola mata. Capek, deh.

"Pokoknya," Dean menyudahi petuahnya, "jaga dia dengan nyawamu."

"Sudah selesai? Aku pulang ya," dengan itu Sam balik kanan maju jalan meninggalkan kakaknya, sempat melambai iseng pada Dean dan nyengir membayangkan reaksinya.

Sam melewati lorong agak gelap yang berujung di pintu belakang kelab, dia keluar dari bangunan itu dan menghentikan langkah di pekarangan belakang kelab yang sempit, tempat peti-peti bekas dan beberapa kotak sampah besar berada. Pemuda itu bersandar ke tembok, menatap sekilas ke langit kelam dan jemarinya meraba sisi dalam jaketnya, mencari sebungkus rokok yang dia tahu tersimpan di sana. Sam tidak punya hobi mengisap sigaret sebagaimana Dean kalau sedang tak bekerja, tetapi bila gundah, sesekali dia membutuhkan sebatang-dua batang untuk menemaninya berpikir.

Ada satu hal yang membebani benaknya malam ini. Ah, bukan. Lebih tepat bila dikatakan telah menjadi permenungannya secara samar-samar sejak beberapa lama, tetapi baru benar-benar nyata mengusiknya kini. Satu pertanyaan yang sejatinya sederhana belaka: apakah dia akan begini terus?

Sam menyulut rokoknya, nyala api di ujung rokok terlihat jelas di keremangan pekarangan. Dia mengisap benda itu beberapa kali, asap tipis meluncur tak berbentuk dari celah bibirnya, melayang ke udara lalu lenyap. Jikalau masalah dan beban pikiran dapat hilang begitu saja seperti asap, pikir Sam, itu akan memudahkan. Namun, hidup tidak berjalan seperti itu.

Jemari Sam menyisir rambutnya yang masih agak basah. Secara otomatis menjalankan kegiatan merokoknya sembari melayangkan lamunan. Terbayang olehnya angka saldo terakhir di buku tabungannya, hasil menyisihkan sebagian besar bayarannya di Kelab Perdition dan uang tips dari para pelanggannya. Jumlahnya cukup banyak ternyata, tidak sia-sia dia berhemat selama ini. Cukup banyak untuk keluar dari pekerjaan ini, cukup banyak untuk merengkuh ambisinya memperoleh hidup yang normal, cukup banyak... untuk membiayai kuliah.

Hal terakhir itu membuatnya bersemangat. Belajar di perguruan tinggi. Sesuatu yang dulu terdengar amat mahal, tak terjangkau, tapi kini Sam tahu dia dapat melakukannya. Dia sudah melaksanakan riset kecil-kecilan, mengumpulkan informasi tentang kampus-kampus yang diminatinya, lengkap dengan tawaran beasiswa. Sam pernah mengambil SAT di sekolah menengahnya dan skornya cukup tinggi untuk mengajukan beasiswa, meski bukan beasiswa penuh. Sam sejak lama paham bahwa dia mampu melewati tes masuk perguruan tinggi mana pun yang dia ingini, hanya waktu itu ada berbagai masalah yang menghalanginya pergi kuliah, problem finansial cuma salah satunya. Namun, kali ini dia bertekad bahwa tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Tidak juga Dean.

Kakaknya itulah yang sempat membikin Sam bimbang. Utamanya, sebab kuliah berarti meninggalkan kota tempat mereka saat ini bermukim. Dean selalu menjadi tulang punggung keluarga Winchester, menopang anggotanya yang tersisa dan Sam biasanya loyal pada kakaknya, ada rasa tak tega membiarkan Dean menanggung semuanya seorang diri, sungguhpun Dean selalu bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Tambahan pula, Dean sudah merasa puas hidup seperti ini. Dia tak paham mengapa adiknya getol mencari kesempatan guna mengubah nasib, mencari sesuatu yang lebih baik. Bagi Dean, mereka punya pekerjaan bagus, bisa berkumpul bersama, itu sudah memuaskan. Mengejar yang di luar itu seperti berjudi, jika kalah menyakitkan.

Sam tidak begitu. Dia tumbuh di bawah perlindungan kakaknya dan terbiasa menerima hanya yang terbaik dari Dean. Barangkali itu salah satu faktor yang menjadikan dia mampu memiliki aspirasi dan berupaya keras mewujudkannya. Sam sama sekali belum puas dengan apa yang dijalaninya saat ini, tidak puas. Profesi ini dipandangnya sebagai batu loncatan belaka, sebangsa alat buat mencapai tujuan yang lebih tinggi, menggapai impian yang terjuntai dari langit.

Tidak, putus Sam yakin. Dia tidak punya keinginan untuk terus hidup begini, seterusnya jadi gigolo, pria panggilan pemuas perempuan. Dia tak mau hidupnya berakhir karena AIDS, penyakit kelamin atau dipenjara. Lagipula, Sam mengerti bahwa masa keemasan pramunikmat takkan bertahan selamanya. Senantiasa ada lelaki baru yang lebih kinyis-kinyis, lebih memesona, sementara dirinya menua dan layu. Pergi kuliah adalah satu cara yang dipikirnya tepat untuk mengakhiri semua ini. Setelah lulus kelak dia akan memiliki bekal ilmu dan gelar yang cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak, yang tidak melibatkan menjual fisiknya. Pekerjaan yang menuntut kemampuan otaknya, bukan kepiawaiannya main di ranjang. 

Sam berkhayal tentang suatu hari di mana dia mampu menghasilkan cukup banyak uang untuk mengongkosi kehidupan keluarga Winchester. Dean bisa pensiun dan tak perlu mengkhawatirkan pemasukan tiap bulan, tak usah berhitung ketat agar tidak terjadi besar pasak daripada tiang. Ah, tapi bukankah Dean telah terbiasa bekerja keras? Menganggur niscaya bikin dia resah. Baiklah. Sam bisa saja memberinya modal untuk membuka bengkel. Kakaknya itu menggemari dunia otomotif. Kalau saja dia tidak harus memberi makan adik dan ayahnya, Dean tidak keberatan bekerja sebagai montir di bengkel kecil. Memiliki usaha servis mobil sendiri tentu menyenangkan.

Angan Sam beralih kepada satu orang lagi yang juga menyandang nama Winchester. John, ayahnya. Pria yang memekarkan rasa pedih, gondok, sekaligus iba setiap kali sosoknya terlintas di kepala Sam. Manusia yang tidak pernah dimengerti Sam sampai kini, padahal kata orang-orang justru mereka punya sifat yang persis. Mirip apanya, dumal Sam. Dia tidak akan menggeret anak-anaknya yang masih belia ke seluruh pelosok negeri, sebagaimana yang diperbuat John bertahun-tahun yang lalu, demi mencari dan memburu monster pembunuh Mary, istrinya, yang tak pernah eksis. Memaksa kedua putranya menjalani hidup yang cuma setingkat lebih baik daripada gelandangan, sampai beberapa serangan stroke dan komplikasi penyakit mengirimnya ke keadaan koma, kemudian melumpuhkannya dan John terpaksa menghabiskan tahun-tahunnya di rumah perawatan yang diongkosi Dean.

Sam berpikir, bila dirinya bisa menjadi seorang profesional yang terhormat dan berpunya, dia akan dapat mencarikan rumah perawatan yang lebih baik untuk ayahnya. Bukan yang gedungnya seperti nyaris tak terurus, dengan perawat bertampang masam dan dokter yang letih. Ya, kalau dia ada dana, sebagian dapat digunakan untuk memastikan kepulihan John. Tidak seratus persen seperti ayah gagah yang dikenalnya dulu, tapi progres yang mendekati itu.

Barangkali, Sam menebak-nebak, jika sudah sukses kelak dia akan mampu membuka hatinya untuk memaafkan ayahnya atas segala yang ditimpakan padanya sejak kecil. Dia dapat mengangkat kepala dan berkata bahwa dia tetap berhasil meski tanpa campur tangan orang tua satu-satunya. Memaafkan ayahnya akan menimbulkan rasa bangga, alih-alih prospek menyakitkan seperti sekarang. Mungkin, suatu hari nanti dia dan John bisa berdamai. Syaratnya cukup itu: kalau Sam sukses.

Demi semua itu Sam berani bertaruh. Sekarang atau tidak sama sekali. Bukankah keberuntungan menaungi orang yang berani mengambil tindakan?

Mengambil keyakinan semacam itu, ada kelegaan berkembang di dada Sam. Masalah yang tersisa hanyalah bagaimana mengatakannya pada Dean, bagaimana meyakinkan kakaknya bahwa itu pilihan terbaik dan apa yang dilakukannya tak lain untuk kepentingan seluruh keluarga. Itu tampaknya agak sulit, tetapi yah, itu jadi urusan besok saja. Dia akan memikirkannya kemudian, saat ini kepalanya sudah penuh.

Sam mematikan rokok dengan menginjak puntungnya. Dia mengayunkan kaki ke lapangan tempat Impala kesayangan kakaknya diparkir, merasa lebih optimis. Dia membuka pintu sedan hitam besar itu, duduk di kursi pengemudi dan menyesuaikannya, mengubah sedikit letak kaca spion. Jok kulit itu menyambut hempasan tubuhnya seperti teman lama, aroma kabin menyapanya akrab dan derum mesin kala dihidupkan terasa familiar.

Sam tersenyum jahil ketika mengganti album Metallica Dean dengan kaset Pearl Jam-nya, irama "Last Kiss" segera memenuhi mobil. Dia memasukkan gigi dan berkendara pulang, sosok Impala bagai lebur di antara keramaian lalu lintas malam di distrik yang tak pernah tidur itu dan gemerlap lampu-lampu kota.

~*~

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar