Rabu, 28 April 2010

Fic: Playing Dead (crossover dengan Devour)

FF SN/Devour : BELUM ADA JUDUL. ADA YANG MAU NGASIH??
GENRE : HOROR, THRILLER

RATING : bisa T - M (bahasaku terlalu mengerikan dan terlalu banyak kesadisan. Hahahahaha ^.^)

Disclaimer : Supernatural dan Devour bukan milikku. Kalau mereka punyaku, si Dean dan Jake sudah aku bawa pulang dari jaman dulu.

A / N :
1. Kondisi korban benar - benar aku deskripsikan sesuai dari Devour.
2. Entahlah, kesan Dean jijik pada organ akhir-akhir ini sering di tampilin di Supernatural season 5. Mengugah selera untuk mengerjai karakter Dean sampai mual. (keinget Dean bilang,. 'be my valentine' ke Sam sambil nyerahin jantung manusia. >> SN0514)
3. Mencoba mengcompare dua jiwa satu wajah. (Dean / Jake )
4. Menguatkan kenangan Dean tentang Jo, Hellhounds dan Ellen. (SN0510)
5. Maaf kalo cerita agak aneh, dan ngelantur karena ini cerita versi saya, diatas dari Supernatural dan Devour. Meng-mix antara dua definisi berbeda antara half human half demon sangat susah sebenarnya. Jadi aku ambil jalan tengah yaitu definisi ku sendiri. (SN0506)
6. Pengenalan tanda pemisah. Bila terdapat tanda ***** itu berarti akhir dari chapter. Bila --- itu berarti masih di chapter yang sama, tetapi adegannya berbeda.


=====================================
Dean baru saja mengambil orderan makanan dari kasir, kemudian berjalan ke arah meja nomer delapan. Dean kemudian duduk di kursi panjang. Dia menyentakkan piring datar berisi salad sayur yang hampir menggunung dengan lapisan saus mayonaise dengan tatapan jijik, seakan berusaha menyingkirkan 'makanan kambing' tersebut dari hadapannya. Sementara itu, Dean berusaha mendekatkan dan mengakrabkan dirinya dengan cheeseburger-nya.

Dean mengambil botol saus sambal kemudian mengukir saus tersebut di atas daging burger nya. Sementara Sam, adiknya, yang nyatanya lebih tinggi darinya, yang sangat mencintai 'makanan kambing' tersebut, sedang membenamkan diri di balik sebuah laptop berukuran 14" tersebut. Sementara matanya mengamati layar laptop, tangannya bergerak perlahan untuk mengaduk salad agar tercampur sempurna dengan mayonaise.

Dean baru saja hendak memberikan gigitan sayang pada burger nya ke dalam mulutnya, Sam langsung menyelanya.

"Tunggu!" pekik Sam sementara dia tetap menatap layar.


"Apa? Aku kan sudah cuci tangan?" tanya Dean heran. Memang dasar si Mr. Clean umpat Dean dalam hati. Selain sangat menikmati pola hidup sehat (merumput-dalam kosakata Dean), Sam termasuk golongan orang bersihan, di banding Dean tentu saja.
"Bukan! Bukan masalah cuci tangan." sahut Sam sepotong - sepotong.

"Lalu apa Samantha??" tanya Dean sudah mulai berang. Sam membiarkan burger kesayangannya itu hampir dingin.

"Jangan panggil aku Samantha!" kata Sam sambil menatap Dean tajam. Kemudian dia memutar balik laptopnya dan menghadapkan layar laptop pada Dean. Sebuah tampilan website memenuhi layar. Sebuah berita heboh soal pembunuhan, atau mutilasi lebih tepatnya, beruntun di kota ini. "Lihat, ternyata sebelum si Dakota meninggal, tiga teman terdekatnya telah meninggal dengan cara yang misterius."

"Misterius atau mengerikan?" tanya Dean sambil mengerutkan dahinya dengan tatapan aneh ke arah Sam. Pandangan matanya ke layar membuat dia harus terpaksa melihat potongan mayat yang berlumuran saus merah, darah, yang sudah tidak menyatu lagi dengan bagian tubuh yang lain, atau setidaknya mayat tersebut cukup tidak terlihat oleh cairan merah tersebut.

"Dua-duanya." jawab Sam singkat seolah menghiraukan tatapan jijik penuh makna dari Dean. Sam menggerakkan kusornya dan mengklik sebuah judul tulisan yang membawanya ke sebuah jendela baru.

"Apa itu?" tanya Dean. Sebenarnya Dean bukan sesosok manusia yang buta komputer. Justru Dean bisa di bilang lebih berteknologi dari Sam, terutama dari segi elektro. Dean bisa membuat EMF dengan barang sehari - hari. Hanya saja pengetahuan Dean di dunia maya, atau internet, lebih terarah ke urusan dewasa ketimbang urusan perburuan.

"Ini dia. Dia adalah satu - satunya saksi mata, dan hidup dari semua mutilasi ini."

"Sebentar... Maksudmu, dia masih hidup?"

"Yeah, dia menjadi saksi atas kematian keempat sahabatnya. Sungguh tragis bukan?"

"Seolah dialah pembunuhnya." kata Dean akhirnya menggigit chesseburgernya.

"Kau benar, polisi memang sudah lama mengincar atau memata - matai dia. Polisi tentu saja sudah lama curiga padanya sejak terjadi kasus kedua. Kau tahu Dean, di kasus pertama, korbannya tiga orang."

"Mengerikan. Memangnya, bagaimana bisa membunuh tiga orang bersamaan tetapi pelaku tidak terluka? Lagipula, apa sih yang di lakukan ketiga orang itu. Seperti orang bodoh saja, mati dengan cara mudah."

"Hey, dude. Tidak semudah itu asal kau tahu. Makanya, baca artikel dari awal sampai habis. Lagipula, dua diantaranya bukan termasuk teman dekatnya. Mereka di temukan meninggal olehnya di asrama mereka. Dengan kondisi kacau."

"Seberapa kacau?" tanya Dean penasaran.

"Well, darah membasahi kasur dan sarung bantal. Beberapa peluru hasil tembakan jarak kurang dari 10 meter bersarang di tubuh mereka dengan parah. Merusak jantung, dan paru - paru si laki - laki. Menembus dada si perempuan. Tebak apa yang terjadi? Mereka di tembak saat mereka sedang berhubungan..."

"Stopp.. sudah jangan buat aku kehilangan selera makan." potong Dean yang sukses hampir mual gara - gara Sam.

"Bukannya kau sendiri yang tanya seberapa kacau?"

"Jangan terlalu mendetail. Lanjutkan ceritanya."

"Tidak lama, di ketahui pemilik dari senjata pembunuh tersebut adalah Conrad. Teman dekatnya. Dia di temukan tewas tidak jauh dari dua orang tersebut, dengan batang pensil tertancap di telinganya, dan luka di mata, serta...."

"Kan aku sudah bilang. Jangan terlalu mendetail!" Dean mulai marah.

"Okay..okay.. Maaf. Hanya saja. Kau lucu, akhir - akhir ini kau mulai jijik dengan semua darah dan mayat. Ha- Hahahaha.." kata Sam kemudian di akhiri oleh tawanya yang terputus - putus itu.

"Terlalu banyak darah tertumpah dalam hidupku." kata Dean polos.

"Jangan berlebihan."

"Aaa... bitch."

"Jerk. Seperti biasa." kata Sam sambil memutar bola matanya.

"Lanjutkan kasusnya. Kasus kedua."

"Baiklah, yang kali ini lebih aneh saja. Dia berada di tukang tatto bersama seorang perempuan, entah siapa namanya, yang kemudian menemukan sepotong jari di dalam kantung kentang gorengnya."

Dean melempar seperempat (sisa) cheeseburgernya ke atas piring. "Dude kau buat aku mual."

"Kau lucu dude." Sam melanjutkan ketawanya. Untung saja Sam melakukan diet go-green, sehingga tidak ada perasaan jijik saat menyantap makanan berwarna merah tersebut (baca:daging,red).

"Lupakan. Jadi, bagaimana menurutmu? Makhluk apa ini?"

"Well, sejauh ini, dia lebih dari manusia, lebih dari binatang, atau demon kelas teri. Selera membunuh demon kelas teri tidak seperti ini. Kali ini, korban - korban kita seperti tercincang habis."

"Kau sudah sinting dude. Itu sudah tidak lucu. Jangan melebihkan kondisi korban."

"Aku serius. Seumur - umur, tidak ada demon sekejam ini."

"Kecuali Famine yang pernah membuat dua insan manusia saling menggigit habis."

"Kau benar. Dan aku tidak suka itu. Bagaimana dengan hellhounds?"

Seketika mata Dean nanar. Dua kenangan pahit dalam hidupnya terkuak seketika mendengar nama hellhounds. Hatinya sakit, jiwanya sakit. Sayang, matanya seakan menyumbat aliran air matanya. Dia tidak bisa menangis. Salah, dia tidak boleh menangis. Dean harus kuat, meski kenangan hellhounds, telah merenggut segalanya dari hidupnya, dan hidup dua orang yang amat di sayanginya.

"Mungkin. Mereka memang punya jiwa lapar sangat tinggi." sahut Dean getir.

Sam kaget, dan menyadari raut wajah Dean. "Maaf. Aku keceplosan."

"Tidak papa. Baiklah, bagaimana kita bertemu dengan dia?"

"Tadi pagi aku bertemu dengan tetangga sebelah rumahnya. Dia hari ini menghadiri upacara pemakaman Ross. Ross adalah korban ketiga, korban terakhir sejauh ini. Dia adalah orang terakhir yang bertemu dengan Ross, sekaligus orang terakhir yang di telepon oleh Ross sesaat sebelum ia meninggal.."

"Tunggu. Tapi mengapa hellhounds membunuh teman - temannya?"

"Pertanyaan bagus. Kurasa bukan hellhounds. Lagipula, kalau dia terasuki oleh demon, tetangga kanan kiri sebelah rumahnya tidak memberikan keterangan adanya perubahan sikap, sifat, tingkah laku."

"Sebaiknya kita mencari tahu langsung dari mulutnya."

*****

Seorang laki - laki yang tidak setinggi Sam dan sedikit lebih pendek dari Dean berjalan dengan tatapan serius, seolah kepalanya sedang penuh dengan segumpal pikiran. Laki - laki itu meski tampak sedang ebrpikir keras namun berjalan dengan langkah tergesa - gesa. Seolah ada sesuatu yang menyebabkan ia harus pergi dengan cepat.

Impala hitam bertengger di bawah pohon oak sambil mengamati keadaan luar gereja tempat upacara pemakaman. Sedang laki - laki tersebut berjalan sambil terburu - buru ke arah mobil van hitam yang di parkir sekitar lima belas meter dari Impala.

Dean dan Sam, kakak beradik itu sudah menunggu sekitar setengah jam lalu. Mereka sengaja membiarkan laki - laki itu menyelesaikan upacara pemakaman orang terdekatnya. Dean dan Sam setidaknya mengerti bagaimana bila dia menjadi orang yang terpaksa menghadiri tiga kali upacara pemakaman kurang dari dua bulan.

Dean dan Sam menghampiri laki - laki itu, sesaat sebelum laki - laki itu memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubang kunci.

"Special agent." kata Dean sambil mengeluarkan lencananya, dan kemudian Sam melakukan hal yang sama.

"Maaf, memangnya ada apa?" tanya laki - laki itu.

"Kau Jake Gray?" tanya Sam memastikan.

"Yeah. Aku Jake Gray. Ada apa?"

"Kami Special Agent. Bagian kasus pembunuhan misteri."

"Seperti detektif?"

"Kurang lebih." Jawab Dean, kemudian melanjutkan, "Aku Special Agent Hunt, dan dia partnerku, Special Agent Luther."

"Agent Luther." kata Sam sedikit miris sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Jake Gray. Hah! Bodoh! umpat Sam. Dia tahu siapa itu agent Hunt dan agent Luther. Yang benar saja.

"Jake Gray." kata Jake, "Memangnya ada apa?" lanjutnya.

"Kami dengar, Anda adalah saksi mata dari keempat pembunuhan itu, benar bukan?" tanya Dean sok berwibawa. Sedang Sam menyiapkan sebuah notes kecil setelah disikut oleh Dean.

"Yeah. Aku melihat mereka semua mati terbunuh."

"Begini saja, kau mau membahasnya lagi dengan kami?" tanya Sam.

"Tentu saja, tapi aku yakin kalian tidak akan percaya denganku seperti Sherriff lainnya di sini."

"Belum tentu. Bagaimana kalau sekarang?" tanya Dean.

"Maaf, aku harus segera pergi. Aku terburu - buru."

"Tunggu..." kata Dean.

"Begini saja, bagaimana kalau kamu ikut dengan kami? Kita akan bicarakan ini dalam perjalanan. Kami punya mobil." kata Sam sambil menunjuk sebuah mobil hitam, yang terparkir di samping pohon oak besar.

"Maksud Anda, kalian akan mengantarkan saya?"

"Tentu saja, lagipula, partnerku akan sangat mengijinkan kau menumpang, benar begitu?" tanya Sam sambil menyikut Dean.

"Tentu saja." kata Dean kemudian berbalik sambil menatap tajam Sam, dan menggerakkan tanggannya di depan leher seakan melakukan gerakan menggorok leher.

"Terima kasih."

Mereka bertiga berjalan dan kemudian masuk ke dalam Impala milik Dean.

"Kemana kamu akan pergi?"

"Antarkan aku ke toko Tatto di Palm Street."

"Toko Tattoo dimana kau menemukan bagian tubuh mayat temanmu?"

"Marisol yang menemukannya. Di dalam kantung kentang goreng. Tidak lama mayat Dakota di temukan."

"Kalau begitu mengapa kau ingin kesana?"

"Begini saja, ceritakan semua yang telah kau ceritakan pada polisi setempat. Ceritakan dari awal kasus pembunuhan ini. Toh perjalanan ke Toko Tattoo itu perlu dua setengah jam dari sini." terang Sam.

"Dimulai dari Darius?"

"Yeah, laki - laki yang tewas di kasur itu." Sam lagi - lagi yang menjawab. Dean hanya diam dan memusatkan mata ke jalan. Sial, aku jadi sopir pribadi! Umpat Dean.

“Malam sebelum itu, Connie, er, mungkin kalian mengenalnya dengan nama Conrad. Dia meneleponku, mengajak aku makan siang bersama. Makanya, siang itu aku pergi ke asrama siswa. Sayang, kamar Connie terkunci. Aku malah menemukan ponselnya di depan kamar Darius. Aku masuk. Mendapati Darius dan pacarnya, meninggal, tragis. Kemudian, di kursi sebelah kasur mereka, Connie dengan lidah terpotong dan telinga tertancap pensil.”

“Wow. Sungguh?”

“Aku percaya kalian tidak mempercayai aku.”

“Siapa bilang?” tantang Dean.

“Kau melihat gelagat aneh dari si Connie beberapa hari sebelumnya? Seperti, dari mana dia mendapat pistol itu?” tanya Sam memutus pembicaraan Dean.

“Tidak. Tidak ada yang aneh. Mungkin siswa lain melihat itu hal yang lumrah. Connie membunuh Darius, kemudian bunuh diri. Tapi itu tidak mungkin.” kata Jake sambil menggeleng.

“Maaf, kau bilang siswa lain lumrah bila mendengar Connie membunuh Darius? Memangnya ada apa?”

“Connie dan Darius memang saling membenci. Mereka sering terlihat bertengkar. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Connie sudah mengeluarkan pistol hendak menembak Darius. Tapi aku mencegahnya. Kemudian aku menyita pistolnya, dan membuangnya ke danau.”

“Tapi bagaiamana dia mendapatkannya?” tanya Dean.

“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Itu… hanya… Entahlah. Semua tidak percaya aku pernah membuang pistolnya. Makanya, cerita Connie pembunuh Darius disebarkan. Tapi aku tidak percaya. Terutama, aku pernah memimpikan itu!”

“Mimpi???” tanya Sam dan Dean bersamaan.

“Yeah. Aku, Connie dan Dakota adalah teman sejak kami masih kecil. Suatu hari saat aku berulang tahun ke dua puluh satu, Connie mengajak dan memperkenalkan aku serta Dakota pada sebuah game online, berjudul “The Pathway”. Sejak itu aku sering bermimpi aneh, bahkan melihat sesosok makhluk aneh nan mengerikan di dalam basement ku.”

“Mundur sebentar, kau mengalami mimpi? Seperti apa contohnya?”

“Aku sempat bermimpi menembak ayahku sendiri, kemudian aku memotong lidahku dengan gunting. Seperti penglihatan. Tapi terkadang aku bias melihat apa yang telah terjadi. Entahlah. Aku sudah menceritakan pada sheriff. Tapi tidak ada yang percaya. Mereka menganggap aku anak ingusan yang stress kehilangan orang terdekatku.”

“Baiklah, lalu bagaimana dengan Dakota? Bagaimana jarinya bias ada di…”

“Kasus Dakota, aku tidak tahu sama sekali. Aku bahkan tidak tahu dia meninggal, sesaat barulah aku sadar setelah polisi datang.”

“Kalau si Ross?” tanya Dean.
“Diaa…. Aku menemuinya bersama Marisol sebelumnya. Kita bercerita tentang mimpiku yang lain. Aku sedang berburu…”

“Berburu?” tanya Dean. Well, konotasi dan denotasi ‘berburu’ sangat berbeda maknanya.

“Yeah, menembak seekor macan, kemudian aku mendengar bayi menangis. Aku memasuki hutan, tapi aku malah menemukan seorang perempuan tua, telanjang, dan melemparkan ular, yang kemudian mengigit leherku. Ada juga mimpi tentang seseorang yang membakar habis kampusku. Itu terjadi saat malam dimana Connie memperkenalkan The Pathway.”

“Sebentar, berarti kau mendapat premonition sebelum bermain “The Pathway”?”

“Yeah, tapi, setelah bermain itu, aku merasa lebih sering bermimpi atau mendapat menglihatan aneh.”

“Memangnya The Pathway itu apa sih?”

“Sebuah game. Entahlah, Connie mendaftarkan aku disana, pemainnya menyelamati hari ulang tahunku. Saat aku ingin membuka web tersebut, web itu sudah tidak ada. Hanya Page is not found. Entahlah.”

“Begitu ya? Kau melihat yang telah terjadi seperti apa?”

“Aku sempat bias membayangkan apa yang terjadi pada Ross. Bahwa dia dibunuh oleh makhluk yang ada di basement ku. Mobilnya tertabrak semak berduri.”

“Soal, makhluk dalam basement mu,seperti apa dia?”

“Aku cuma melihat sekilas. Pathway itu meneleponku, dan memberitahuku sesuatu. Aku lupa. Kemudian, aku mendengar ada seseorang berjalan di dalam basement. Aku mengikutinya. Kemudian, makhluk aneh itu mendekat ke arahku. Dia seolah bertubur besar, bertanduk, aneh. Mirip alien.”

“Lucu sekali.”

“Tapi aku serius, agent Hunt.”

“Mengerikan sekali. Orang tuamu dimana?”

“Ayahku dirumah, bersamaku. Ibuku, dia mengalami kecelakaan parah dan dirawat di rumah sakit sepanjang aku hidup.Dia terpaksa berada di kursi roda. Kondisinya parah.”

“Maaf sekali memaksamu untuk bercerita semua ini.” Kata Sam turut prihatin.
“Tidak papa. Hanya saja, kalian percaya dengan semua ceritaku yang aneh ini?”

“Kau bercanda dude, kami pernah mengalami yang lebih aneh dari smeua ini. Siapa juga menyangka kita pernah bertemu Lucifer.”

“Apa maksudmu agent Hunt?”

“Bukan apa – apa, dia orang jahat. Lupakan saja.Tenang saja, maksudnya Cuma ingin mengatakan, bahwa kita percaya padamu. Kita sering bertemu dengan kasus yang lebih mengerikan” Kata Agent Luther alias Sam yang sadar Dean sudah mulai mengelantur.

“Baiklah. Terima kasih agent Luther. Senang ada yang percaya dengan semua ini.”

“Omong-omong, mengapa kamu ingin kembali ke tukang tato itu?”

“Well, tadi aku bertemu dengan pendeta yang memimpin upacara. Dia bercerita soal setan yang bisu, dan tuli. Mengingatkan aku akan, Connie, telinga yang di sumbat dan lidahnya di potong. Pendeta itu bilang soal, makhluk kegelapan dengan wajah mirip kambing bertanduk tiga. Dan, aku sadar, tukang tato itu memiliki tato yang sama. Mungkin saja dia pernah bertemu dengan aliran sesat. Tapi, kalian percaya dengan setan dan semacamnya?”

“Yeah, aku dan partnerku sering melihat hal yang seperti itu. Tapi kita berusaha untuk menghalau mereka mengacaukan pikiran kami.”

“Wow. Sangat bagus sekali.”

“Anyway, kau sudah sampai. Ini kan tempatnya?” tanya Dean.

“Terima kasih sebelumnya.”

“Begini saja, kalau kau menemukan penjelasan lebih rinci, hubungi saja aku dan partnerku. Ini nomer kami.” Kata Sam sambil menyerahkan dua buah kartu nama.

“Hubungi kami saja, setelah kau selesai mendapat penjelasan darinya. Sehingga kau tidak usah menceritakan semuanya panjang lebar pada kami nantinya.” Kata Dean sambil tertawa.

“Terima kasih.”

*****

Dean dan Sam duduk termenung dalam kamar motelnya. Sam sedang mencari – cari artikel yang mungkin bias membantu makhluk apa itu. Sepanjang perjalanan pulang setelah menghantarkan Jake, mereka telah berdiskusi. Itu bukan hellhounds. Mungkin arwah penasaran, atau sesuatu yang lain. Yang belum pernah mereka temukan sebelumnya.

Dean beranjak berdiri, “Aku akan menelepon Castiel saja. Siapa tahu dia bias membantu.”

“Terserah saja. Kuharap dia bisa datang segera. Internet di tempat ini sudah mulai menjengkelkan.”

“Cas?” tanya Dean beberapa saat setelah dia menekan tombol ‘dial’.

“Ada apa?” suara di seberang sana.

“Aku ada di sini Ocean Motel. Kitaa…”

“Ada apa?” kata Cas di belakang Dean.

“Jangan selalu mengagetkan aku.”

“Maaf.”

“Menghabiskan pulsa saja kau.”

“Baiklah. Aku tutup.”

“Ada apa?” kata Cass lagi setelah menutup telepon dari Dean.

“Kasus.”

Cass diam sebentar, kemudian menjawab, “Bukan demon biasa. Dia…makhluk kuat.”

“Apa maksudmu?” tanya Sam.

“Kalian ingat soal anak setengah demon yang terakhir kita temui?”

“Yeah. Aku ingat. Jesse kan?” kata Sam.

“Jake Gray seperti dia. Hanya saja berbeda. Masa lalu yang berbeda. Dan takdir yang berbeda.”

“Tapi, bukannya, makhluk seperti dia hanya ada satu jenis?” tanya Dean.

“Benar, tapi dia berbeda. Jesse dan Jake jelas berbeda. Jenis yang berbeda. Karena itu, bisa ada dua yang seperti itu.” terang Cass sambil berjalan seliweran.

“Jelaskan lebih rinci.” kata Dean kemudian mengambil dua botol beer, yang satu untuk dirinya, yang satu untuk Sam.

“Begini. Jesse bisa berada di antara dua hal, demon dan manusia. Dia baru berusia sebelas tahun saat itu. Dia belum bisa menentukan apa yang terjadi. Jake, dia sudah dua puluh satu tahun. Sejak premonition pertamanya, kekuatan utamanya muncul, Jake sudah memilih untuk menjadi manusia. Di bawah sadarnya, dia sendiri telah memutuskan menjadi manusia.”

“Jadi, maksudmu, Jake telah berada di jalur yang benar?”

“Yeah. Di bawah sadarnya. Dia bisa saja menjadi demon kembali, tentu bila dia memutuskan untuk bergabung.”

“Berarti, half human half demon itu seperti memiliki kekuatan supernatural yang berbeda?”

“Anggap saja special kids, Dean. Seperti Sam. Makhluk – makhluk special seperti Sam dulu. Dia diciptakan dan dibenihkan manusia, hanya saja, dirusak kehadiran darah demon. Jesse, dibenihkan oleh demon dan manusia. Jake berbeda lagi.”
“Apa maksudmu?”

“Jake Gray. Orang tua aslinya adalah Anne Kilton. Dia terpossessed saat itu. Jake dibenihkan oleh dua demon. Dia lebih ke arah sepenuhnya demon side. Hanya saja, sesuatu terjadi padanya, membuat dia percaya, dan membuat dia memilih menjadi manusia.”

“Apa maksudmu?”

“Dia bisa menjadi sepenuhnya demon. Sayangnya tidak. Dia diambil dari kedua demon itu saat dia baru saja dilahirkan.”

“Dia diadopsi?” tanya Dean.

“Yeah. Bagiamana kalian bisa melewatkan hal itu?”

“Maaf, kami sebenarnya lebih focus ke dalam kasus, bukan pada Jake Gray sendiri.”

“Dia diadopsi keluarga Gray. Ayahnya dan Ibunya yang sekarang, mengambil Jake saat masih bayi, saat mereka berburu binatang. Dalam sebuah pondok, mereka mendengar bayi yang menangis, dan mereka melihat seorang demon mengangkat bayi tersebut. Dalam kacamata mereka, mereka melihat itu sebagai ancaman bagi sang bayi. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah bayi yang baru saja lahir dari si demon. Mereka mengambil bayi itu. Dan meninggalkan dua demon itu di pondok dengan amarah mereka.”

“Pantas saja, Jake sering bermimpi soal, pondok itu.”

“Apa maksudmu?” gantian Cass yang bertanya.

“Jake bilang dia pernah berada di posisi sama. Berburu dan mendengar bayi menangis. Masuk ke pondok itu. Kemudian ular menggigit lehernya.”

“Penglihatan yang sengaja ditampilkan oleh orangtua kandungnya. Mereka ingin Jake melihat masa lalunya. Dalam versi yang berbeda. Ular, dari abad ke abad, dilambangkan sebagai makhluk bawah. Demon, Evil, Lucifer, sisi jahat, selalu dilambangkan dengan ular, atau bahkan terkadang singa atau harimau. Melambangkan kekuatan dan keperkasaan, dan kesadisan.”

“Berarti, mungkin saja keempat temannya itu dibunuh dan dibuat seolah Jake pembunuhnya karena mereka- orang tua kandung mereka, merasa, bahwa dengan cara itu Jake dapat kembali ke arah mereka.” kata Sam perlahan.

“Bisa jadi. Dan melihat premonition dan semakin terbunuhnya teman terdekat Jake bahkan orang terakhir yang di hubungi Jake, berarti sebentar lagi mereka akan menemukan Jake.” kata Sam lagi.

“Berarti kita harus menemukan Jake.”

“Sebelum para demon itu. Kemana dia?” kata Cass.

Dean merogoh kantung jeansnya, “Dia mengunjungi pembuat Pathway. Dia baru saja meninggalkan message padaku.”

“Kita harus segera kesana.” kata Sam.

“Pathway?”

“Sebuah game. Semenjak Pathway dimainkan, Korban pertama jatuh, dan kemudian korban berikutnya.” kata Dean acuh sambil berkemas. Sementara Sam sedang dalam proses men-shutdown laptopnya.

“Bagaimana jalan game itu?” tanya Cass.

“Entahlah, yang pasti para pemainnya bisa mendapatkan data pribadi Jake. Mereka mengirimkan ucapan selamat pada Jake di hari ulang tahunnya.”

“Ternyata seperti itu.” Gumam Cass.

“Ada apa?” tanya Sam.

“Tidak. Kau tahu, mungkin saja itu game buatan… Si pembuat sengaja membuat agar teman atau kawan terdekat Jake memainkannya dan mem-persuade Jake untuk bermain. Dari situ mereka bisa menemukan Jake dengan mudah.”

“Kalau begitu, demon itu sudah sangat canggih.”

“Atau merasuki seseorang yang merupakan pembuat game tersebut.” kata Cass santai.

“Dan, Jake sedang dalam perjalanan kesana.”

“Astaga, mengumpanka ke sarang yang tepat.” kata Dean.

“Kita harus bergegas.” kata Cass mengakhiri kemudian dia menghilang.


*****

Jake hanya mengamati si pembuat game itu. Mr. Kater. Aiden Kater. Baru saja Mr. Kater itu memasuki gedung Kater Games. Sesaat kemudian Jake berbalik meninggalkan arah. Dia berjalan berbalik ke arah mobilnya. Mengendarai mobilnya ke arah selatan.

“Kau gila!”

“Dengarkan aku. Wanita itu memang ada di dalam basementku.”

“Terserah. Tapi semua itu hanya omong kosong.”

“Memang seharusnya aku tidak menemuimu.” kata Jake kemudian membanting pintu. Dia kesal. Kenapa semua orang tidak ada yang percaya padanya. Kenapa? Dia menceritakan yang sesungguhnya. Dia tahu, pembuat game itu dapat membahayakannya. Tapi…. Jake diam sejenak. Tekadnya sudah bulat. Dia akan pulang kerumah, membersihkan badan, dan sore nanti akan menemui Aiden Kater, pembuat Pathway.

---
Jake baru saja mandi dan sedang duduk di tangga basement nya. Sebuah gudang rapuh nan berantakan ada di hadapannya. Sebuah rak kotor penuh barang tepat di depan matanya. Tiba – tiba, matanya seakan teralihkan perhatiannya ke arah sebuah lubang di dinding. Dia berjalan perlahan dan merogoh sesuatu. Sebuah kotak hitam!

Dia membuka kotak itu. Terpampang wajah ayahnya. Ayahnya seorang yang menganut ajaran sesat. Tidak. Ayahnya tahu siapa dia, Ayahnya tahu siapa sebenarnya dia. Siapa dia. Tapi mengapa ayahnya, merahasiakan itu semuanya? Kepada siapa dia harus bercerita? Special Agent itu kah?

Dia berusaha merogoh lubang itu lagi, siapa tahu berkas lainnya dia ketemukan. Siapa dia? Mengapa dia bisa melihat semua pembunuhan itu?

Tidak ada apa – apa.Dia berbalik. Kaget.

“Maafkan aku teman.” kata Connie kemudian melakukan sesuatu yang membuat matanya gelap. Tidak seharusnya Connie disini. Pikirnya. Connie sudah tidak ada.

---

“Connie?” tanya Jake saat pertama kali membuka matanya.

“Maafkan aku teman. Aku tidak punya pilihan lain.” katanya lalu menghilang entah kemana.

“Jake Gray. Sangat pintar, pemarah, anakku.”

“Bohong.”

“Kau hanya tidak mengerti apa yang terjadi. Ibumu, sebenarnya sudah mati. Anne Kilton namanya, ibu kandung biologismu. Melahirkanmu, dalam kedemon-annya. Aku adalah ayahmu.”

“Bohong. Ibuku sedang di rumah sakit dan asal kau tahu, ayahku sedang di rumah.”

“Bodoh!” kau hanya anak adopsi mereka. Mereka mengambilmu dariku. Dari ayahmu, dan dari ibu kandungmu.”

“Tidak! Kau bukan siapa – siapa!”

“Kau kira untuk apa game itu dibuat? Untuk mendapatkan kau kembali, setiap temanmu yang terbunuh, semakin membuktikan siapa dirimu.”

“Kau bohong.”

Jake Gray berlari menghidar. Sayang, Aiden Kater telah berhasil mennangkapnya, mencengkram erat dirinya. Tiba – tiba tangannya yang tertato, yang masih merah, merasa sakit. Dia mencengkram erat tangannya, meski badannya berusaha lepas dari cengkraman Aiden Kater.

“Lihat!” teriak Aiden Kater.

Jake menaikkan lengan jaketnya, melihat ke arah tangannya. Tatto nya berubah. Menjadi gambar kambing bertanduk, seperti milik tukang tattoo miliknya.

“Lihat! Pintu neraka sudah terbuka untukmu Nak. Kau adalah Anak Neraka. Anak Demon. Kau seharusnya ikut dengan kami.” Kata Aiden Kater kemudian berubah wujud menjadi Dakota.

“Lepaskan aku.”

Dakota kembali berubah wujud menjadi Aiden Kater.

“Aku mendapatkanmu dengan susah, dan aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”

“Lepaskan.” Kata Jake kemudian membuat Aiden Kater kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke dalam kolam di belakangnya. Aiden Kater membentur dasar kolam dan tubuhnya mengambang di permukaan. Asap tebal hitam mengepul dari mulutnya yang terbuka. Dan kemudian menghilang bercampur dengan angin.

---
“Kau tidak apa apa?” tanya Dean saat bertemu dengan Jake di depan gerbang perusahaan Kater Games itu.

“Tidak apa. Tapi kurasa aku baru saja membunuh Aiden Kater.”

“Kau yakin?” tanya Sam.

“Entahlah. Tapi…” belum sempat Jake melanjutkan kalimatnya, Castiel muncul di belakangnya.

“Sebaiknya kalian pergi segera, sekarang. Para sekuriti menyadari kematian Aiden Kater.”

“Kau, kau, dan kau, cepat masuk ke dalam mobil.” Kata Dean sambil menunjuk Jake, Sam lalu Cass secara berurutan.

Mereka menurut dan langsung masuk ke dalam mobil. Dean mengendarai mobil dengan cepat.

“Apa yang terjadi memangnya?” tanya Sam.

“Dia membunuh Aiden Kater. Tapi Demon itu masih ada di sana dan merasuki yang lain.” terang Cass.

“Bagaimana kau tahu? Aku kan sudah membunuh Aiden Kater?” tanya Jake.

“Benar. Kau membunuh Aiden Kater. Tapi bukan berarti kau membunuh demon itu. Demon bisa saja merasuki siapa saja. Menjadi siapa saja.”

“Jadi… Aiden Kater terbunuh sia – sia?” tanya Jake.

“Tentu saja.”

“Kau siapa?” tanya Jake baru saja sadar.

“Aku? Aku Castiel. An…” Cass baru saja akan mengatakan, Angel of The Lord.

“Dia Castiel. Partner kami yang lain. Dia mengurusi masalah sepertimu. Er, specialist dalam berhubungan dengan makhluk halus bin ajaib tersebut.” terang Dean kemudian terkekeh.

“Nama yang aneh.”

“Castiel adalah nama seorang Angel utusan Tuhan.” Kata Dean sambil terkekeh lagi. Sedang Cass hanya diam, seolah tidak mengerti.

“Mereka sudah menemukanmu.” Kata Cass tiba – tiba, sambil memegang tangan Jake.

“MAKSUDNYA???” tanya Dean, Sam dan Jake.

“Mereka sudah siap menerimamu kembali. Mereka sudah sekali kehilangan Jesse, mereka tidak ingin kehilangan dia kali ini.” kata Cass pertama untuk Jake kemudian untuk Dean dan Sam.

“Berbahaya.” kata Dean.

“Kita harus menyelamatkanmu.” kata Cass.

“Dari siapa? Memangnya ada apa? Siapa kalian?” tanya Jake bingung seratus persen.

“Special Agent. Urusan kasus pembunuhan, tetapi melibatkan makhluk gaib.”

“Ghost buster? Yang benar saja.” kata Jake tertawa. Semuanya hanya diam kecuali Jake.


“Kalian benar – benar ghostbuster ya?” tanya Jake kaget.

“Semacam itulah.” terang Sam jujur.

“Jadi ada apa denganku?” tanya Jake.

“Ayahmu, ayah adopsi mu, Paul, dia sudah tahu siapa kamu sejak kamu dilahirkan. Dia sengaja mengambilmu. Demi keuntungannya sendiri. Entah apa untungnya. Ibumu…” tiba – tiba Impala tersebut berhenti.

“Ada apa?” tanya Cass, Jake dan Sam.

“Entalah. Ada yang salah. Aku akan turun.”

“Tunggu! Aku tahu dimana kita.” Kata Jake tiba – tiba.

“Dimana?” tanya Dean dan Sam.

“Pondok itu.” kata Cass sebentar lalu pergi entah kemana.

“Mana Castiel?” tanya Jake.

Dean diam bingung.

“Dia masuk ke hutan.” elak Sam. Apalagi yang harus ia katakan soal Cass. Mengatakan dia seorang Angel yang bisa menghilang dan muncul tiba – tiba?

“Kita harus mencari Castiel. Di dalam sana, semua mimpiku berasal.” teriak Jake.

“Baiklah. Kita masuk sekarang.” kata Dean. Kemudian dirinya dan Sam membawa sebuah tas yang lengkap dengan dua buah senter.


*****

Mereka sudah berada di depan pondok tua tersebut.

“Disini?” tanya Sam.

“Yeah. Di rumah ini aku bermimpi mendengar bayi menangis.”

“Baiklah, sekarang kita masuk.” kata Dean.

Baru saja Jake melangkahkan kaki selangkah di depan Dean dan Sam masuk ke pondok itu. Pintu pondok itu tertutup.

“Jakee!!!” Teriak Dean dan Sam. Mereka menggedor – gedor pintu kayu itu.

Jake melihat wanita dengan busana ungu menangis di pinggiran pondok. Badannya tertekuk. Jake melongok ke dalam.

“Anakku.”

Jake berusaha menghindar. Tapi wanita tua itu menahannya. Sekilas dirinya mendapati bayangan nisan Anne Kilton. Inikah ibunya?

Wanita itu mendekatkan diri, mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Jake.Memberikan Jake masa lalu dirinya. Dimana di pondok ini, dia dilahirkan. Dimana dia bisa melihat kedua orangtua adopsinya mengambil dirinya semasih bayi. Dan, Ayah dan Ibunya yang berlari dari kejaran demon, ayahnya sendiri. Ibunya terjatuh, menghantam pohon oak besar. Ayah adopsi nya, menggendong dia.

Dia melihat demon itu marah.

Dia sadar. Matanya merah, menangis. Baru kali ini dia melihat semuanya. Terpaksa menyadari siapa dirinya. Keturunan murni demon. Matanya membelalak.. Namun wanita tua itu memunggungginya dan berbalik. Melewati pintu kayu tua, ke halaman belakang rumah.

Dia melihat, tulang belulang, darah berceceran. Sebuah altar batu, dengan sebuah cawan berisi cairan merah. Tetesan air menetes ke dalamnya.

“Itu darah.” Kata wanita tua itu.

Jake mendongak, melihat ke atas. Kedua orang tuanya, terikat. Terbunuh sadis. Meneteskan darah, ke dalam cawan tersebut. Jake jatuh tersungkur menangis. Kedua orangtuanya. Dia tidak peduli, mereka telah menipunya. Dia terlalu sayang dan membaur dengan kehidupan keluarga Gray.

“Minumlah darah itu, dan bergabunglah dengan kami. Kau tidak sama dengan mereka, kau, sama dengan kami.”

Jake mengumpulkan energinya, mendorong wanita tua itu ke pohon oak besar. Ingin memukulnya. Sayang, tiba – tiba wanita itu seperti tertahan sesuatu, mulutnya menganga. Jake mundur perlahan.

Jake mengamati perubahan yang terjadi. Wanita itu berubah wujud.

“Hi, Jake.” Kata wanita itu. Dia sudah tidak tua, dia menjadi muda, sosok yang dia kenal.

“Marisol?”

“Jake!” teriak Dean dan Sam yang akhirnya memilih untuk memutar ke arah belakang rumah. Ke halaman belakang.

Dean menggunakan senjatanya dan menembak Marisol.

“Bagaimana bisa?” tanya Jake.

“Aku bisa menjadi siapa saja Jake. Termasuk Marisol. Marisol yang kau temui belakangan ini adalah aku.” Katanya lalu tertawa.

Dean mengkokang senjatanya dan menembak wanita itu lagi.

“Winchester.” Kata Marisol kemudian tertawa dan melakukan satu gerakan. Telapak tangannya terulur, dan mengibaskannya ke angin. Dean dan Sam terhantam ke pohon oak besar. Punggungnya sakit.

“Lepaskan kami.” Teriak Dean.

“Ini bukan urusan kalian. Kali ini kesempatan bagi kami untuk mengembalikan kejayaan kami.”

“Lepaskan kami dan Jake. Atau aku akan…” Sam terdiam.

“Sam Winchester. Aku tidak akan menyakitimu, Lucifer akan mengambil alih untuk hidupmu. Tapi Dean, aku bisa membunuhnya, sekarang.” Marisol mengerutkan tangannya dan seketika Dean menggeram kesakitan.

“Lepaskan mereka.” Teriak Jake.

“Kau tidak bisa berbuat apa – apa Jake. Kau kehilangan kekuatanmu, karena kau memutuskan menjadi manusia. Kau tidak bisa sekuat Jesse dulu.”

“Siapa Jesse?”

“Sepertimu. Hanya saja dia membangkang. Dia entah kemana sekarang.”

“Hiraukan dia Jake!” teriak Dean kesakitan.

“Diam!” kata Marisol, mengerutkan tangannya lagi. Dean dan Sam meringis kesakitan.

“Lepaskan mereka!” perintah Castiel yang tiba – tiba muncul. Dia membawa pisau yang lain. Sesuatu lain.

“Ini bukan urusanmu Castiel! Diam saja kau!”

“Pantas saja, kau bisa menemukan dia dengan cepat, dan kau tidak terlacak olehku, Eleanor.” kata Castiel.

“Eleanor?” tanya Sam.

“Dia bukan Demon. Dia fallen Angel. Angel yang dibuang ke neraka, karena berhubungan dengan Demon. Mengkhianati Heaven, memihak ke arah Lucifer. Dan berhubugan dengan kaki tangan Lucifer. Dia menjadi demon setelah ia meresmikan dirinya bergabung bersama kaki tangan Lucifer.”

“Omong kosong! Kau tidak bisa membunuhku.” Kata Eleanor itu. Eleanor dan Marisol adalah orang yang sama.

“Kau bukan manusia, bukan Angel. Tapi tubuhmu masih separuh Angel, bodoh!” kata Cass. Dean terkikik kesakitan. Baru kali ini dia mendengar Cass mengumpat.

“Jake, lupakan semua omong kosong ini, dan minumlah.” Eleanor mengulurkan tangannya mengangkat cawan itu, dan hendak mengulurkannya pada Jake.

Castiel bergerak maju dan menusuk Eleanor menggunakan pisau untuk membunuh Angel.

“Bodoh!” teriak Eleanor.

Tubuhnya terbakar. Ia berubah wujud. Bukan wujud Marisol. Bentuk Demon. Kaki tangan Lucifer.

“Aku sudah bilang, kau tidak bisa membunuhku!” kata Eleanor kemudian tertawa.

Eleanor menggerakkan tangannya. Castiel terhantam, berada di pohon oak ketiga. Di sebelah Dean. Cass masih sempat menjatuhkan pisau milik Ruby, pisau untuk membunuh Demon.

“Jake.. ambil itu.” Perintah Cass.

Jake sadar, pisau itu tidak jauh dari tempatnya. Dia berusaha meraihnya.

Eleanor maju, mematahkan tulang kaki Jake.

“Kau seharusnya menurut pada ibumu Jake.” Kata Eleanor tertawa, kemudian menuangkan darah dalam cawan ke dalam mulut Jake. Jake tersedak beberapa kali oleh darah yang di paksa masuk itu.
Dia masih sadar. Dia berusaha sekuat tenaga mengulurkan tangan, mengambil pisau itu, dan menghujamkannya tepat di jantung Eleanor. Eleanor berteriak kesakitan. Dia berjalan tertatih mundur. Dan akhrinya terbakar habis. Kemudian menghilang.

Jake merasakan sesuatu di kepalanya. Dia merasa seperti di lahirkan kembali. Dia merasa, seperti masih di dalam kandungan ibunya. Ibu kandungnya, Eleanor. Dia merasa tidak bisa bernapas. Bayangan ibunya melahirkan. Dia melihat dirinya di bawah ayahnya.

Dia tersedak lagi. Beberapa darah muncrat.

Ikatan tak kasat mata milik Dean, Sam dan Cass lepas sesaat setelah Eleanor musnah.

“Jake.” teriak Sam dan Dean.

“Dia mengalami transformasi. Kita harus membunuhnya.” kata Cass.

“Maksudmu?”

“Dia akan menjadi anak setan. Menggantikan Jesse.” kata Cass.

“Jangan lakukan itu.” Kata Dean menggeleng.

“Setidaknya itu akan menghilangkan sakitnya transformasi ini.” Kata Cass lagi.

“Biar aku saja.” Dean kemudian menggoreskan pisau Ruby dan membuat luka di lengan Jake.

“Tapi..” kata Cass pelan.

“Dengan begini, setidaknya, dia akan lumpuh. Toh, belum tentu nanti dia akan menjadi demon. Bila dia sangat ingin menjadi manusia.” Kata Sam berusaha meyakinkan Cass..

“Terserah.Kurasa, kalian harus segera pergi, polisi dalam perjalanan kemari.” Kata Cass kemudian menghilang.

“Maaf Jake.” Kata Sam.

*****

Jake membuka mata. Menghirup udara segar. Dia melihat seorang Sherriff mendekatinya, memborgol tangannya dan berkata, “Demon kecil.” Kemudian menggiring dirinya ke dalam mobil polisi.

Jake kaget sekaligus lega. Dia tetap manusia. Inilah pilihannya.

“God, do they think I killed them? The devil could not kill her baby so I have to blame because I was human. But maybe they are right. The path may not exist. Maybe it's my imagination that helps me live with the horror I have done. Wake me from this nightmare. Please. Help me.” Itulah kata terakir yang di pikirkannya.

-END-

============

Silahkan kasih kritik dan saran. Dilayani via offline alias via sms.
hahahahha... ^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar