Rabu, 11 November 2009

Fic: Ursa Minor & Ursa Mayor – A Mythology Behind The Stars

Author: Red_dahLIA
Judul : Ursa Minor & Ursa Mayor – A Mythology Behind The Stars
Genre : Horror?
Summary: Sam and Dean find a murder mystery case of a couple of mother and child which has similarities with a legend about the constellations, Ursa Minor and Ursa Mayor.

Rating : T, tadinya. Tapi abis tau endingnya kayanya lebih cocok ke M.
Disclaimer : Winchester bersodara punya WB dan karena aku ngefans banged ama cowo keren yang namanya Dewa (keren? Err… dosa gak ya kalo aku bo’ongin orang2 kaya gini?), aku tampilin dia sekali lagi deh (biar tambah ge-er). Kalau yang laennya, ide crita, tokoh2 OC, setting, dll, punya aku (insyaallah).




“Kau yakin di sekitar sini tempatnya, Dean?” tanya Sam dengan nada kesal.

Sejak beberapa jam yang lalu mereka hanya berputar-putar tak tentu arah di sebuah daerah pemukiman sepi penduduk. Penerangan yang minim ditambah jalan setapak yang tak terawat membuat perjalanan mereka menjadi semakin tidak nyaman. Apalagi kini mereka sedang memasuki sebuah hutan yang cukup lebat.

Dean, yang yakin sekali kalau dia sangat tahu jalan, berkeras kalau memang di sinilah tempat yang dimaksud Bobby sebagai tempat penampakan tanda-tanda misterius tentang keberadaan demon.

Beberapa hari sebelumnya Bobby memang mengabarkan kalau ada fenomena aneh di Lousiana tentang kematian beruntun beberapa orang yang diawali dengan terdengarnya suara bisikan-bisikan gaib yang hanya bisa didengar oleh para korbannya sebelum mereka meninggal. Bisikan gaib apa itu? Bobby tak bisa merincinya. Dia hanya mengatakan kalau bisikan itu berasal dari bahasa yang benar-benar asing, bukan bahasa manusia.

“Aww, jalanan ini benar-benar menyebalkan!” seru Dean sebal ketika Impalanya menerjang beberapa gundukan tanah dan membuat mereka berdua terguncang-guncang di dalam mobil.

“Kurasa aku mulai mual,” keluh Sam. “Bisa-bisa aku muntah di dalam mobil kalau kau tidak segera menemukan tempat tujuan kita!”

“Kau boleh muntah, Sammy. Tapi aku akan mendepakmu keluar sebelum kau sempat muntah di mobilku!” balas Dean agak ketus, mulai frustrasi rupanya.




Jalan setapak mulai melebar, namun kondisinya masih belum juga belum membaik. Di kanan-kiri jalan penuh pepohonan menjulang dan ini semakin memperburuk penerangan yang sudah parah. Jalanan itu benar-benar gelap sekarang dan Dean hanya bisa mengandalkan lampu mobilnya untuk menerangi jalan mereka.

“Oh, gosh! Awaaass!!!” teriak Sam spontan.

Tiba-tiba saja di depan mereka muncul seorang wanita tua yang menyebrang jalan. Kemunculan tak terduga ini membuat Dean kelabakan. Refleks, kakinya menginjak pedal rem kuat-kuat sambil membanting setir. Impala hitam itu pun sempat berputar-putar dengan bunyi decit menggelitik telinga sebelum akhirnya berhenti di tepi jalan dan mengakibatkan debu-debu beterbangan, menggumpal menghalangi pandangan.

“Sh*t!!” umpat Dean keras. Untung saja dia dan Sam mengenakan sabuk pengaman. Kalau tidak, bisa-bisa mereka celaka tadi. “Sam, kau tidak apa-apa?”

Sam tidak sempat menjawab pertanyaan Dean ini karena serta merta dia sudah melompat keluar dari mobil untuk mengejar wanita tua yang muncul secara tak terduga tadi.

“Anda tidak apa-apa, nyonya?” tanya Sam agak panik.

Yang ditanya hanya diam membisu, menatap lekat-lekat sesuatu yang berada nun jauh di antara semak belukar dan kerimbunan pohon dedalu di tepi jalan. Sam mengikuti arah pandangan wanita itu dan tidak menemukan apapun di sana. Entah apa yang menarik perhatian wanita itu sampai nekat menyebrangi jalan sekaligus mengabaikan keselamatannya sendiri.

Agak lama Sam mencermati penampilan wanita tua di hadapannya itu. Rambutnya keriting dan penuh uban, mengenakan sweeter rajutan warna hijau toska dan rok berumbai berwarna crimson. Sorot matanya yang sayu menyiratkan kerinduan mendalam dan secercah harapan terpendam. Meski begitu, wanita tua itu sama sekali tidak menggubris pertanyaan Sam ini.

“Calisto…“ desah wanita tua itu perlahan sambil menunjuk ke arah semak belukar tadi. Tak ada apapun di sana. Sam sudah mengeceknya berkali-kali untuk memastikan.

“Ada apa, Sam?” tanya Dean yang masih tampak kacau setelah kejadian tadi.

Sam terdiam. Wanita tua itu masih saja kukuh menuding ke arah yang sama dan menyebutkan nama Calisto berulang kali. Mau tak mau, Sam jadi semakin penasaran sekaligus juga merasa iba.

“Bibi Hera!” seru seseorang yang muncul dari kegelapan, tergopoh-gopoh. “Oh, untunglah bibi tidak apa-apa…”

Seseorang yang baru saja datang ini adalah seorang pemuda bertubuh tinggi besar, tegap dan berkulit agak gelap. Tampak jelas wajahnya sangat cemas dan berubah lega saat menghampiri wanita tua yang dipanggilnya bibi Hera itu.

“Hai,” sapa Sam. “Namaku Sam dan dia kakakku, Dean. Boleh kami tahu apa yang sedang terjadi di sini?”

“Err…” Pemuda itu tampak ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Sam. Dia tahu kalau kedua orang itu adalah orang asing. “Aku tak tahu apakah ini pantas dibicarakan atau tidak…”

“Kami hampir menabrak bibimu,” kata Dean dengan intonasi sejelas mungkin, terkesan berusaha meredam rasa kesalnya. “Dan kami ingin tahu apakah ada alasan yang bagus untuk tidak menyalahkannya.”

Selama beberapa saat pemuda itu menatap Dean dan Sam bergantian, tampak sedang menilai-nilai apakah sebaiknya dia berterus terang atau tidak, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mempercayai kedua orang itu.

“Namaku Dewa. Alasan yang cukup masuk akal bisa kujelaskan kepada kalian, tapi kurasa kita tidak pantas ngobrol di tengah jalan seperti ini. Kalian bisa mampir sebentar ke rumah kami kalau kalian tidak keberatan. Mungkin aku bisa melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf untuk kecerobohanku menjaga bibiku.”

Sam dan Dean saling berpandangan, sama-sama bimbang. Mereka tidak boleh terlalu banyak membuang waktu. Di sisi lain sedang terjadi pembunuhan berantai dan butuh campur tangan mereka secepatnya. Apakah mampir sebentar di rumah orang yang baru saja mereka kenal ini adalah ide yang baik?

Tanpa sengaja Sam mengerling ke arah kerimbunan pohon, arah yang ditunjukkan nyonya Hera tadi dan sontak dadanya serasa tersiram air es, sangat terkejut. Di tengah kerimbunan pohon itu terlihat sesosok gadis yang diam-diam sedang mengintip mereka. Sam tak bisa memastikan seperti apa rupa gadis itu karena suasana yang cukup gelap, tapi dia yakin sekali kalau ia tidak salah lihat.

“Sam! Kau mau kemana?!” teriak Dean ketika tiba-tiba saja Sam berlari dan menerobos masuk ke dalam semak belukar, mencari-cari sosok gadis misterius yang dilihatnya tadi.

Gadis itu sudah lenyap begitu saja saat Sam hampir mencapai tempatnya bersembunyi, namun dia sempat memberi Sam tatapan dengan sorot hampa dan desisan tersamar yang mengiringi kepergiannya bersamaan dengan hawa dingin tak wajar mendirikan bulu kuduk.

“Arcas…”

Langkah Sam terhenti. Dia sempat tertegun sejenak dan memikirkan apa yang baru saja dilihatnya. Jika ada seseorang yang muncul dan mendadak hilang secepat kilat tepat di hadapanmu, sudah pasti seseorang itu bukan lagi manusia. Lalu apa maksud semua ini. Siapa itu Calisto, nama yang diucapkan nyonya Hera berkali-kali? Lalu apa pula Arcas itu?

“Dia Calisto!!” teriak Hera histeris. Sayang, baik Dewa dan Dean tidak bisa melihat apa yang sudah dilihat Sam dan Hera ini.

Dewa harus berupaya keras memegangi bibinya yang meronta-ronta sambil meneriakkan nama Calisto berulangkali. Mau tak mau Dean pun membantu Dewa menenangkan bibinya itu.

“Calisto sudah tidak ada lagi, bibi. Dia sudah pergi. Relakanlah dia,” bujuk Dewa selembut mungkin. Namun Hera malah menangis sesenggukan, tampak kacau sekali dan menimbulkan rasa iba bagi siapapun yang melihatnya.

“Sebaiknya kita bawa dia ke mobilku,” usul Dean. Tanpa pikir panjang Dewa setuju dan menuntun tubuh Hera yang gemetar hebat ke dalam Impala Dean.

Sementara itu Sam masih mencermati keadaan di sekeliling tempat lenyapnya wanita misterius tadi. Jika dugaannya benar, bisa jadi wanita itulah yang bernama Calisto dan kemunculannya inilah yang menjadi penyebab kenapa Hera bertingkah aneh seperti orang stress.

“Sam! Kau mau ikut atau tidak?!” seru Dean dari dalam mobil. Mesin mobilnya sudah menyala dan siap kembali meluncur menyusuri jalan setapak tak mulus yang membuat suasana hatinya buruk sejak tadi.

Sam mengabaikan seruan Dean. Dia baru saja menemukan sesuatu yang cukup menarik perhatian. Di batang pohon tempat Calisto lenyap tertinggal sebuah torehan kasar. Sam tak sengaja menemukannya saat meraba-raba batang pohon itu untuk mencari tahu dimana letak keanehannya. Saat Sam menyalakan korek apinya, dia semakin tertegun saat bentuk torehan itu semakin jelas. Torehan itu berbentuk seperti sebuah layang-layang berekor. Entah apa maksud simbol ini.

“Sammy!” teriak Dean ditimpali dengan beberapa kali suara klakson, memaksa Sam untuk lekas-lekas meninggalkan obyek yang membuat kepalanya dipenuhi tanda tanya ini.

***

“Calisto adalah nama sepupu perempuanku,” Dewa mulai bertutur setelah mereka semua tiba di rumah Hera. Dia sudah memberikan obat tidur untuk bibinya dan kini Hera sedang tertidur di kamarnya meski sebelumnya masih terlihat seperti orang linglung.

Sam dan Dean menerima selembar foto yang disodorkan Dewa kepada mereka. Di dalam foto itu tampak seorang gadis berambut hitam panjang dan bermata coklat cemerlang sedang tersenyum ceria. Meski samar, Sam mampu mengenalinya. Dia memang Calisto, gadis yang dilihat Sam sekilas di dalam hutan tadi.

“Dia sudah meninggal, kan?” tanya Dean sambil terus memandangi wajah cantik Calisto di foto itu.

Dewa mengangkat bahunya dan menarik nafas panjang. Terlihat jelas guratan kesedihan di wajahnya.

“Begitulah. Kejadiannya baru sekitar seminggu yang lalu. Saat itu dia dan anaknya pergi memancing di hutan yang tadi kita lewati. Jauh di dalam hutan itu ada sebuah sungai yang arusnya cukup deras dan banyak ikan salem datang di saat menjelang akhir musim semi seperti ini. Entah apa yang membuat mereka memutuskan untuk masuk jauh ke dalam hutan dan akhirnya tak pernah kembali lagi. Mereka hilang.

Tim SAR sempat datang dan mengadakan operasi penyelamatan dibantu dengan puluhan relawan. Hasilnya…” Dewa menarik nafas panjang sekali lagi, tampak kesulitan untuk melanjutkannya. “…mereka menemukan jasad sepupuku di tepi sungai yang jaraknya cukup dekat dengan hilir. Sepertinya dia terbawa arus deras dan mati tenggelam. Begitulah.”

“Kau bilang dia pergi bersama anaknya, kan?” tanya Sam. Sejak tadi dia memandangi sekeliling dan tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seorang anak kecil di rumah ini. Paling tidak akan ada foto-foto atau mainan anak di sini, tapi sayangnya tidak ada.

Dewa mengangguk dan menyahut, “Oh, itu benar. Dia pergi bersama Arcas…”

“Arcas?!”

Dean menatap Sam dengan sorot ingin tahu. Dia cukup kaget dengan reaksi yang ditunjukkan Sam saat mendengar nama ini disebut. Namun Sam hanya memberinya kode dengan kedipan mata agar Dean jangan bertanya dulu.

“Ya, Arcas adalah nama anak laki-laki sepupuku itu dari seorang laki-laki yang tidak jelas. Hasil hubungan affair, begitulah bibiku menyebutnya. Calisto sendiri tidak pernah memberitahu siapa ayah anak itu dan dia bahkan tidak pernah menyebutkan apapun terkait pria itu. Beda dengan pamanku yang senang dengan Arcas dan bahkan memilihkan nama untuknya, bibiku tidak terlalu suka Arcas dan sejak Arcas dilahirkan, bibiku mengusir Calisto pergi dari rumah ini. Sepupuku itu dianggap telah mempermalukan nama keluarga,” lanjut Dewa.

“Oh, kasihan sekali dia,” celetuk Dean.

Kini Sam paham kenapa tidak ada tanda-tanda kalau ada anak kecil yang pernah tinggal di rumah ini. Ini karena Arcas memang tidak pernah diakui Hera sebagai cucunya.

“Mau bagaimana lagi? Ini karena mendiang pamanku, Jupiter Jones, adalah seorang yang namanya sangat terpandang di kota kecil kami ini. Dia adalah seorang astronom yang hebat dan pernah menjabat sebagai walikota sebanyak dua periode berturut-turut sebelum dia meninggal setahun setelah Calisto diusir dari rumah ini,” jelas Dewa.

“Jupiter Jones? Nama yang aneh.”

Lagi-lagi Dean menyeletuk. Cepat-cepat Sam menendang betis Dean pelan saja. Kalau Jupiter Jones itu adalah nama mendiang mantan walikota, sudah sepantasnya mereka sedikit menghormatinya, kan?

Tapi Dewa tidak terlihat tersinggung sedikitpun, bahkan malah setuju dengan pendapat Dean.

“Memang namanya aneh. Sebetulnya nama pamanku bukan Jupiter Jones, tapi Timonthy Jones. Pamanku sengaja mengganti namanya begitu supaya semua orang tahu kalau dia sangat mencintai astronomi. Jupiter adalah planet terbesar di tata surya kita dan pamanku ingin dianggap seperti itu. Alasan yang aneh, kan?”

Sam memutar bola matanya. Ya, itu memang alasan yang sangat aneh! batin Sam.

“Kembali ke kasus Calisto dan Arcas, bagaimana nasib Arcas? Apakah dia selamat?” tanya Dean yang tampaknya mulai tertarik.

Dewa menggeleng, muram.

“Jasadnya tidak bisa ditemukan. Well, sebenarnya kami tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak, mengingat umur Arcas masih enam tahun dan pastinya dia tak mungkin bisa bertahan sendirian di dalam hutan selama seminggu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya bisa menerima laporan dari tim SAR.

“Tim SAR sudah dibubarkan setelah tiga hari selang penemuan mayat Calisto dan selama itu pula mereka tidak menemukan apa-apa lagi. Kesimpulan yang mereka berikan adalah Calisto dan Arcas terseret arus deras saat sedang memancing. Jika Calisto ditemukan di dekat hilir, maka dapat dipastikan mayat Arcas sudah terhanyut ke laut dan tidak bisa ditemukan.”

Suasana sempat hening selama beberapa menit. Baik Sam dan Dean tidak enak hati dengan Dewa yang tampak masih sangat sedih dengan kejadian yang menimpa keluarganya.

“Saat ini sudah tengah malam dan di kota sekecil ini tidak ada penginapan, jadi kupikir kalian bisa menginap di sini. Itu pun jika kalian tidak merasa keberatan,” kata Dewa sambil tersenyum lemah. “Hanya bantuan ini yang bisa kutawarkan. Anggap saja sebagai permintaan maaf dariku.”

Tak perlu waktu lama bagi Dean untuk mengiyakan tawaran Dewa. Dia terlihat antusias sekali menginap di rumah ini, apalagi saat Dewa menawari mereka makan malam. Diam-diam Sam merasa malu dengan tingkah kakaknya itu, tapi seperti biasa dia hanya bisa menggerutu pelan dan mendengus tanda tak senang.

***

Entah kenapa Sam sama sekali tidak bisa tidur meski badannya terasa sangat lelah. Padahal kamar tidur yang dipinjamkan Dewa untuknya dan Dean sangat nyaman. Ranjangnya luas dan cukup untuk dipakai tidur mereka berdua. Satu-satunya yang sangat mengusik pikiran Sam adalah kamar itu dulu bekas kamar Calisto dan sejak kematiannya Calisto selalu membayang-bayangi ibunya hingga ibunya nyaris gila.

Jam dinding sudah menunjukkan jam 3 dini hari dan sejak tadi Sam hanya bisa berguling-guling di atas sisi ranjang yang menjadi bagiannya. Di sisi ranjang satunya Dean malah tidur dengan pulasnya tanpa terusik. Tentu saja dia tidak merasa terganggu, Dean kan tidak melihat penampakan Calisto tadi. Di lain pihak, Sam merasa sangat penasaran dengan motif Calisto menghantui ibunya. Apakah dia dendam karena Hera sudah mengusirnya? Atau karena perlakuan buruk Hera kepadanya semasa hidup? Entahlah…

Sekali lagi Sam mengubah posisi tidurnya, memunggungi Dean yang tidur tenang sekali, dan mencoba memejamkan matanya yang sulit sekali diajak kompromi.

“Oh, sudahlah!”

Akhirnya Sam menyerah juga dan memutuskan untuk mencuci muka di kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar mereka. Air dingin yang bersentuhan dengan kulit wajahnya membuat Sam segar dan sedikit merasa baikan. Meski begitu tetap saja kepalanya masih terasa berat. Banyak hal yang masih belum terungkap dari kasus ini dan melihat kondisi Hera yang menyedihkan, Sam ingin sekali membantunya.

“Ini kasus kecil, Sam. Begitu Calisto datang lagi, kita tinggal membacakan mantra pengusir arwah atau memasang jimat untuk menghalanginya datang kembali.”

Begitu kata Dean saat Sam memaparkan apa saja yang dialaminya malam ini, bahwa dia memang melihat Calisto bergentayangan dan menghantui ibunya sendiri.

“Usulmu boleh juga. Hanya saja kupikir dia sedang berusaha menyampaikan sesuatu kepada ibunya dan juga kepadaku,” balas Sam, teringat simbol layang-layang berekor yang ditinggalkan Calisto untuknya. “Dia juga membisikkan nama Arcas tadi. Apa kau memikirkan hal yang sama denganku, Dean?”

“Bahwa Arcas masih hidup? Yeah, bisa jadi. Dan Calisto ingin kita membantu Hera menemukan Arcas. Tapi apa dia yakin Hera mau menerima cucu dari orang yang tidak jelas asal-usulnya itu? Well, bukan aku berprasangka buruk sih. Aku ragu, itu saja.”

“Aku juga ragu, Dean. Aku ragu kalau itu hanya satu-satunya alasan Calisto meninggalkan simbol layang-layang berekor kepadaku tadi. Kupikir ada suatu hal lain yang juga ingin disampaikannya.”

“Mungkin dia hobi bermain layang-layang,” jawab Dean asal saja. “Aku ngantuk sekali, Sammy. Besok saja kita bahas lagi hal ini. Sekarang aku mau tidur.”

Cara yang bagus untuk menghindar dari kasus rumit, begitu pikir Sam yang kesal dengan ulah Dean. Tapi untuk kesekian kalinya dia bisa maklum. Dean sudah menyetir seharian dan pasti butuh lebih banyak istirahat.

Semilir angin malam berhembus menerpa punggung Sam. Semula Sam tak berpikir macam-macam. Namun semakin lama, desir angin yang berhembus semakin terasa tak wajar, dingin menusuk dan mendirikan bulu kuduk. Sam semakin tak nyaman saat merasakan ada sekelebatan yang lewat tepat di belakangnya.

Seketika itu Sam berbalik. Tak ada siapapun di belakangnya. Akan tetapi perasaannya masih belum membaik. Dia merasakan kehadiran seseorang yang sedang mengawasinya dari arah depan. Sambil menahan nafas dan menelan ludah, Sam kembali berbalik arah dan kembali menghadapi cermin wastafel. Boleh jadi Sam bisa merasa lega. Tak nampak sosok apapun atau pantulan aneh-aneh di cerminnya. Hanya ada pantulan dirinya di sana.

Kelegaan Sam tak berlangsung lama karena perlahan-lahan muncul keanehan di permukaan cermin itu. Cermin yang tadinya bersih kini mendadak berselimut embun yang datang entah dari mana. Detik berikutnya, muncul goresan-goresan di atas permukaan cermin berembun itu seolah ada ruas jari tak kelihatan yang menggoreskannya. Semua goresan itu terhubung menjadi sebuah simbol, simbol layang-layang berekor.

“Apa-apaan ini..?”

Sam tertegun. Sekali lagi muncul simbol aneh di depan matanya. Layang-layang berekor ini mirip dengan yang ditinggalkan Calisto tadi, hanya saja kali ini arahnya berbeda.

Ragu-ragu, Sam menyentuh permukaan cermin itu, namun baik embun maupun goresan itu tidak hilang. Jelas ini adalah sebuah pertanda sedang terjadi sesuatu yang supernatural di sini. Baru saja Sam hendak berpikir apa maksud semua ini, saat tiba-tiba ada tangan menepuk pundaknya dan mengagetkannya setengah mati.

“Dean?! Kau mengagetkanku, tahu!”

Dean hanya nyengir jahil melihat adiknya terkaget-kaget. Tak lama kemudian dia bertanya, “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak tidur?”

“Calisto memberiku simbol lagi. Yang ini sedikit berbeda dengan yang tadi. Lihat!”

Mendadak Sam terbelalak, sekali lagi dia dibuat terkejut. Gambar layang-layang berekor itu sudah lenyap tak berbekas. Cermin itu bersih, sama seperti semula. Sungguh aneh!

“Kurasa kau sedang kecapekan, Sam. Tidak? Maaf deh,” seloroh Dean enteng saat mendapati ekspresi Sam serius sekali. “Setelah sempat tidur sebentar tadi, aku punya pemikiran cemerlang. Mungkin kau dan Dewa bisa membantuku membuktikan apa pemikiranku ini benar atau tidak. Tapi besok pagi saja. Sekarang lebih baik kau tidur!”

***

“Jadi begini gambarnya ya?” tanya Dean setelah Sam menyerahkan kertas yang sudah digambarinya dengan simbol-simbol dari Calisto semalam. “Benar-benar seperti layang-layang.”

“Dean, seriuslah!” pinta Sam dongkol. Tadinya dia kira Dean memang punya pemikiran bagus tentang apa yang sedang terjadi sekarang.

Sambil mengernyitkan dahi, Dean mencermati baik-baik simbol di atas kertas itu. Tak lama kemudian dia berkata, “Apa kau tidak pernah berpikir kalau ini adalah gambar dari rasi bintang?”

Kedua alis Sam terangkat. Benar juga! Dia tidak pernah memikirkan hal ini.

“Apa alasanmu mengira ini gambar rasi bintang?” tanya Dewa. Tadi pagi setelah sarapan, kakak adik ini meminta bantuannya untuk memecahkan misteri tentang Calisto dan Arcas. Tentu saja dia tidak keberatan membantu mereka, apalagi Dewa ingin tahu apa alasan di balik semua ini.

“Begini, pamanmu adalah astronom, bukan? Dia cinta sekali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan perbintangan dan benda-benda angkasa sampai-sampai menamai dirinya sendiri sesuai dengan nama planet. Bisa jadi Calisto juga suka dengan hal-hal semacam ini. Jadi kupikir dia ingin menunjukkan sesuatu dengan lambang rasi bintang seperti ini,” jelas Dean. “Kira-kira rasi bintang apa ini ya?”

“Itu Ursa Major,” sahut Sam setelah membolak-balik halaman buku tentang astronomi yang baru saja diberikan Dewa kepadanya. Buku itu milik pamannya dan masih terawat baik.

“Ursa Major atau rasi bintang beruang besar. Lalu yang satunya ini adalah Ursa Minor atau rasi bintang beruang kecil. Jadi, ini artinya apa?” lanjut Sam sambil mencocokkan semua simbol yang ada. Ursa Mayor dan Ursa minor memiliki bentuk layang-layang berekor yang khas sehingga mudah dibedakan dari rasi bintang yang lain.

Hening sejenak, sampai akhirnya Dewa berdehem untuk meminta perhatian.

“Well, aku tak tahu pasti apakah dugaanku ini benar atau tidak. Kupikir Ursa Major dan Ursa Minor itu punya hubungan. Biar kujelaskan. Kalian tentu tahu dari mana asal nama hampir semua benda angkasa seperti Mars, Venus, Pluto dan begitu pula dengan nama-nama rasi bintang. Semuanya berasal dari mitologi kuno. Err… aku pernah tahu satu buku tentang astrologi yang disimpan pamanku di kamarnya. Kurasa ada keterangan mengenai hal ini dalam buku itu. Coba aku cari dulu bukunya.”

Tanpa menunggu persetujuan Dean dan Sam, Dewa sudah bangkit dari kursinya dan bergegas pergi ke kamar pamannya. Sementara itu Sam masih sibuk membaca halaman demi halaman yang sekiranya bisa menjadi masukan dalam kasus ini.

“Buku ini lumayan juga, Dean. Kau…”

Sam mengangkat wajahnya untuk mencari tahu reaksi Dean yang sedang duduk berhadapan dengannya, namun detik itu juga dia terkejut. Sekujur tubuh Sam serasa membeku saat menyadari bahwa kini yang duduk berhadapan dengannya bukan lagi Dean, tapi Calisto.

Gadis itu tidak berkata apapun. Dia hanya diam mematung dan menatap Sam dalam-dalam dengan bola matanya yang biru pucat dan bibirnya yang ungu menghitam. Sam sendiri merasakan sensasi kengerian hebat. Dia tak bisa bergerak, berbicara atau berteriak. Yang bisa dilakukannya hanyalah diam terpaku dan terus berkontak mata dengan arwah yang ada di hadapannya ini. Sementara itu, tanpa disadari Sam, halaman-halaman buku Astronomi sedang dibacanya terbuka dengan sendirinya dan berhenti pada halaman tertentu.

“Sam! Sammy!!”

Seketika Sam tersadar begitu Dean menjentikkan jari tepat di wajahnya. Calisto sudah lenyap, digantikan oleh Dean yang semestinya memang sedang duduk di hadapannya sejak awal.

“Kenapa kau melamun begitu? Eh, kau mau bilang apa tadi?” tanya Dean, heran dengan air muka Sam yang tegang sekali dan mendadak dibanjiri keringat dingin.

“Dia datang lagi,” kata Sam dan buru-buru menambahkan melihat ekspresi tidak mengerti Dean. “Calisto.”

“Well, dia bilang apa?”

“Tidak ada.”

Dean mengangkat kedua bahunya, bingung. Sam juga sama bingungnya dengan Dean. Beberapa saat kemudian Sam tersentak menyadari halaman buku yang terbuka pada bab tertentu.

“Hei ini!” kata Sam setengah [bigno]ik.

Tak lama kemudian dia cepat-cepat membaca apa saja yang tertulis di halaman itu, halaman yang memaparkan banyak hal tentang planet terbesar di tata surya kita. Semua yang tertulis di sana memberikan Sam titik terang dan semua menjadi semakin jelas saja saat Dewa datang membawa buku astrologi yang diceritakannya tadi.

***

“Dalam mitologi Yunani, Calisto adalah nama seorang dewi yang sangat cantik. Kecantikannya sangat tersohor di kalangan para dewa lainnya hingga menyebabkan Zeus, raja dari segala dewa jatuh cinta padanya dan menjalin hubungan gelap yang akhirnya menghasilkan seorang anak. Kau tahu siapa nama anak hasil hubungan gelap itu, Dean?” Sam mulai menuturkan hipotesanya. “Kau benar. Namanya Arcas.”

Dean mengedikkan bahunya enteng. Dia belum menjawab karena tidak tahu apa maksud Sam yang tiba-tiba saja bercerita tentang mitologi Yunani ini. Jadi dia memilih untuk diam mendengarkan.

“Permaisuri raja dari segala dewa itu pun sangat marah begitu mengetahui apa yang sedang terjadi di antara Calisto dan suaminya, karena itulah dia mengutuk Calisto menjadi beruang. Lalu Arcas yang selamat dari kutukan, pergi berburu di hutan dan bertemu dengan Calisto yang sudah berwujud seekor beruang. Arcas tak tahu bahwa beruang itu adalah ibunya dan tak sengaja membunuh binatang itu. Zeus yang sangat marah akhirnya mengutuk Arcas dan mengangkat ibu-anak itu ke surga, serta mengabadikan wujud mereka berdua menjadi kumpulan bintang di langit. Ursa Major atau rasi beruang besar untuk Calisto dan Ursa Minor atau rasi beruang kecil untuk Arcas.”

“Baiklah! Sekarang bisa kau jelaskan kenapa kau tiba-tiba menguasai mitologi Yunani?” tanya Dean menyerah.

Sejak tadi Dean memang masih belum banyak mengerti kenapa tiba-tiba saja Sam minta diantarkan ke suatu tempat yang berada di dalam hutan dan terus saja menceramahi Dean dan Dewa tentang mitologi Yunani yang dia kira ada hubungannya dengan kasus ini.

“Kita sudah tahu tentang Calisto dan Arcas, kan? Kukira mitologi ini memang sangat pas untuk mereka berdua. Mereka dinamai sesuai dengan mitologi ini.” jawab Sam kalem. “Begitu juga dengan bibimu, Hera. Dia juga punya nama yang sama persis dengan nama permaisuri raja segala dewa dalam mitologi Yunani itu.”

Dean dan Dewa saling berpandangan, mulai mengerti walau masih agak bingung.

“Lalu?” tuntut Dewa.

“Kukira pamanmu sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan astronomi dan astrologi. Buktinya dia menikahi bibimu yang namanya sama dengan nama permaisuri raja dewa Yunani dan bahkan menamai anak dan cucunya sesuai dengan nama dewa yang masih ada hubungannya dengan mitologi tentang rasi bintang itu,” seloroh Dean yang sibuk menyetir.

Sam menggeleng muram. Dia teringat halaman buku yang sengaja dibiarkan Calisto terbuka untuknya dan inilah yang sudah menguak semua rahasia.

“Pamanmu bukan hanya menyukai astronomi dan astrologi, Dewa. Tapi dia juga maniak. Sangat maniak karena benar-benar menerapkannya dalam dunia nyata,” Sam berhenti sejenak untuk menghela nafas. Dean dan Dewa menunggunya dengan rasa penasaran yang kentara. “Kalian tahu tidak, Jupiter adalah nama lain dari Zeus. Ya. Pamanmu adalah kakek sekaligus ayah dari Arcas.”

Mulut dewa terbuka lebar, sangat shock mendengar ini semua. Kalau ini benar adanya, maka telah terjadi inses di dalam keluarganya. Inilah mengapa sepupunya Calisto memilih untuk merahasiakan siapa ayah bayinya dan juga kenapa pamannya bisa sangat menyukai Arcas meski akan terasa wajar karena dia adalah kakeknya.

“Kurasa bibimu juga tahu tentang hal ini. Karena itulah dia mengusir Calisto dan Arcas. Alasan kenapa Calisto terus menghantuinya adalah karena dia ingin ibunya sadar bahwa Calisto tidak bersalah. Sama dengan dewi Calisto dalam mitologi Yunani yang diperkosa Zeus, Calisto sepupumu juga diperkosa ayahnya sendiri.”

Dewa tertunduk semakin dalam. Wajahnya pucat dan gemetar. Ekspresi yang tampah di wajahnya kini geram, sedih dan sangat terpukul.

“Lalu, apa alasan Calisto menampakkan diri dan menunjukkan semua simbol rasi bintang ini?” tanya Dean pada Sam.

“Kurasa dia percaya kalau aku bisa menyingkap semua misteri ini. Dia mempercayaiku untuk membersihkan namanya yang sudah tercemar di mata ibunya,” jawab Sam lirih. “Selain itu, sepertinya dia ingin kita menemukan Arcas.”

“Jadi, Arcas masih hidup, kan?” desak Dewa yang segera antusias begitu mendengar perkataan Sam ini.

Sam terdiam. Dia sendiri tidak terlalu yakin. Tapi harapan itu selalu ada. Bisa jadi Calisto ingin mereka datang menolong anaknya yang sampai sekarang masih terjebak seorang diri di dalam hutan.

***

“Kau bisa dituntut kelompok pecinta alam kalau mereka tahu tentang hal ini,” kata Sam kepada Dean yang menandai setiap pohon yang mereka lewati dengan cat semprot. Saat ini mereka sedang menjelajah ke dalam hutan, mencari tanda-tanda keberadaan Arcas. Penelusuran diawali dari pohon dengan goresan lambang Ursa Major yang dibuat Calisto semalam yang ujungnya menunjuk ke arah utara.

Dean nyengir sambil mengocok kaleng cat semprotnya, “Biar saja. Kan tidak semua pohon kutandai. Lagipula ini bisa disebut sebagai keadaan mendesak. Betul tidak, Dewa?”

Dewa diam saja, masih sangat terpukul tampaknya. Sejak tadi dia berjalan agak linglung dengan ekspresi kosong. Pasti masih sulit baginya untuk menerima semua ini. Seminggu yang lalu dia baru saja kehilangan sepupu dan keponakannya, lalu sekarang ditambah lagi dengan berita inses ini. Jelas dia sedang tergoncang.

“Lalu, kita harus pergi kemana?” tanya Dean.

“Kita hanya perlu menunggu,” balas Sam, sibuk mengedarkan pandangannya ke segala arah dan mencermati setiap batang pohon di dekatnya. “Ini dia!”

Goresan berbentuk layang-layang berekor tiba-tiba saja muncul di batang pohon Mahoni tepat di sebelah kiri Sam. Ujungnya menunjuk ke arah selatan.

“Ini lambang Ursa Minor,” sahut Sam. “Kurasa Calisto meminta kita berjalan lurus ke selatan untuk menemukan Arcas.”

“Aku tak tahu, Sam. Tapi sebaiknya aku percaya saja padamu,” kata Dean tenang dan menandai pohon itu dengan cat semprot warna kuning.

Mengikuti nalurinya, Sam membimbing Dean dan Dewa untuk terus berjalan menerobos semak belukar, semakin masuk jauh ke dalam hutan. Entah sudah berapa lama mereka bertiga berjalan. Sementara matahari sudah tinggi dan mereka semua mulai kelelahan.

“Apa masih jauh, Sam?” tanya Dean sambil berjongkok dan berusaha mengatur nafasnya yang tak karuan.

Sam mengamati pepohonan di sekelilingnya. Agak jauh di depannya ada segerombolan pohon yang tinggi menjulang hingga memblokir cahaya matahari. Ini membuat area di sekitar pepohonan itu cukup gelap. Semula Sam mengira Calisto akan muncul lagi atau memberinya sebuah simbol lagi, namun ternyata dia salah. Calisto masih belum ingin menampakkan dirinya kembali.

Sekali lagi Sam berputar dan mencermati keadaan di sekelilingnya, tapi sedetik kemudian dia tertegun. Dia melihat sebuah pergerakan di area hutan yang cukup gelap itu. Tidak salah lagi! batin Sam yakin. Dia semakin yakin saat melihat sosok seperti anak kecil sedang duduk jongkok sambil memeluk kedua lututnya. Dari kejauhan anak kecil itu tampak gemetar ketakutan. Pasti dia sedang kelaparan, dehidrasi dan kedinginan, pikir Sam dengan lonjakan kegembiraan di hatinya. Arcas sudah ketemu!

“Hei! ARCAS!!!” teriak Sam, berlari secepat mungkin menuju ke arah pepohonan tadi.

Sontak Dewa berlari mengikuti Sam. Dean yang tadinya sedang duduk berselonjor santai, terpaksa berlari mengekori Dewa.

Semakin dekat, Sam bisa melihat ekspresi Arcas yang tampak sangat menderita. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Benar-benar menyedihkan. Kasihan sekali anak sekecil itu harus bertahan seorang diri di tengah hutan lebat tanpa seorang pun yang melindunginya.

“Arcas…” seruan Sam terhenti. Kedua kakinya terasa lemas dan gemetar. Semangatnya yang tadi menggebu-gebu hilang entah kemana. Dia tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Dia memang melihat Arcas, tapi bukan seperti ini yang diharapkannya.

“Oh, astaga!!” teriak Dean, shock. Saking terpukulnya, Dewa bahkan tak bisa berkata-kata lagi.

Pemandangan yang tersaji di hadapan mereka bertiga memang sangat mengerikan sekaligus memualkan. Tubuh manusia tercabik-cabik, organ-organ dalam berserakan di mana-mana dan tulang yang sudah terpencar di banyak tempat. Begitu juga dengan usus dan beberapa repihan daging yang sudah mongering membusuk, ditinggali ulat belatung. Aroma yang tercium sangat menyengat dan mengocok isi perut.

Seketika itu Dean dan Sam muntah-muntah. Seluruh isi perut mereka terkuras habis. Sementara Dewa jatuh berlutut dengan wajah merah padam dan dibanjiri air mata. Dia menangis tersedu-sedu, sangat sedih melihat kondisi mayat keponakannya yang sudah hancur tak karuan.

***

Di sisa perjalanan mereka, Sam dan Dean hanya diam membisu. Ada banyak kekecewaan di dalam hati Sam. Kekecewaan karena semula menyangka akan menjumpai Arcas dalam keadaan hidup dan utuh, tapi dia salah besar. Naif rasanya jika mengira anak sekecil Arcas bisa bertahan hidup di dalam hutan lebat selama seminggu.

Arcas sudah pergi menyusul ibunya dengan cara yang tak kalah tragisnya. Jasadnya susah ditemukan, tentu saja, karena kawanan anjing hutan yang memangsa bocah itu menyimpan makanan mereka di tempat yang tersembunyi sebagaimana insting hewan liarnya.

Calisto ingin mayat anaknya ditemukan supaya bisa dimakamkan dengan layak, itulah salah pesan yang sudah dia sampaikan pada Sam, selain siapa ayah Arcas sebenarnya. Pada akhirnya, sama seperti mitologi tentang Ursa Major dan Ursa Minor, ibu-anak itu pun bersatu di surga dan hidup berbahagia dalam kenangan setiap orang yang mengenal mereka. Sam masih merasakan kegetiran dalam dirinya. Dia menyesal tidak bisa menolong Arcas lebih cepat.

“Tidak usah menyesal, Sam, “ kata Dean dengan nada bijak. “Arcas sudah tewas dimangsa anjing hutan lebih dari beberapa hari yang lalu dan itu bukan salahmu. Kita bahkan baru saja tiba di kota ini kemarin, kan? Lagipula mayat bocah itu sudah dievakuasi dari hutan. Hera dan Dewa sedang menyiapkan upacara pemakamannya. Arcas akan dimakamkan bersebelahan dengan Calisto.”

“Sama dengan mitologi itu. Ursa Major dan Ursa Minor diletakkan bersebelahan di langit sebagai perhiasan angkasa dan sebagai penunjuk arah bagi para nelayan dan pengembara,” timpal Sam lirih.

“Ya. Begitulah.”

“Aku hanya merasa kalau nasib mereka terlalu menyedihkan. Apa kau pikir begitu, Dean?”

Dean masih menyetir Impalanya santai. Ekspresi wajahnya tampak tenang.

“Setiap orang akan menemui ajal mereka dengan cara mereka sendiri-sendiri, Sam. Yang bisa kita lakukan sebagai orang yang ditinggalkan hanyalah menerima sesakit apapun itu nanti terasa.”

“Tapi aku tidak bisa hanya diam menerimamu menemui ajal dengan cara yang sudah kau pilih itu, Dean! Aku tidak bisa membiarkanmu mati sia-sia karena deal sialan yang kau buat itu!”

“Aku tidak akan mati sia-sia, Sam. Percayalah. Karena aku sudah mendapatkan adik tersayangku kembali,” balas Dean lemah.

Kerongkongan Sam tercekat. Perasaannya semakin tak karuan saja. Kenapa Dean tidak memikirkan apa yang akan dia rasakan nanti setelah Dean tiada? Sedangkan Dean tampak tidak terlalu memikirkan akhir hidupnya sendiri, padahal Sam hampir frustrasi karenanya.

Impala itu terus melaju menyusuri jalan setapak yang berbatu. Langit telah berubah warna, bersaput warna jingga dan hawa dingin pertanda petang akan segera tiba berhembus menyapa. Kasus yang lebih berat sedang menanti kedua bersaudara itu di kota selanjutnya.

EL EXTREMO



Note :
1. Sebelumnya tema sejenis sudah aku pake buat fic Harry Potter dan sukses jadi fic horror yang lebih banyak romantisnya daripada seremnya alias fic horror paling gak serem yang pernah ada. Hiks… Poor me…
2. Btw, mitologi Yunani ini sudah aku baca sejak masih SD dari majalah bobo dan intisari terbitan tahun 90-an. Sejak itu aku jadi suka banget ama mitologi ini. Bagus sih muatan moralnya *sotoy*
3. Kalau ada teman-teman yang misal iseng2 ngecek kebenaran mitologi Yunani yang diangkat ke fic ini, maka sebelumnya aku mau kasi tau dulu kalau mitologi tentang Ursa Minor dan Ursa Mayor yang ada di dalam fic ini sudah diadaptasi sedemikian rupa sesuai kebutuhan cerita sehingga tidak sama persis dengan aslinya. Namun inti dari mitologinya tetap aku coba pertahankan.
4. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa si Dewa yang aku angkat jadi chara? Kebetulan aja semua OC di sini namanya aku ambil dari nama dewa-dewi Yunani. Jadi aku kira pas aja kalo jalanin chara punya Baladewa88. Tapi kalo pemilik chara ini mau ge-er ya silahkan saja. Aku maklum kok. Hihihi…

2 komentar: