Author : RED_dahLIA
Timeline : Ga jelas season berapa, pokoknya sebelum Mary tewas di tanggal 2 November 1983
Genre : Family, Drama
Rating : T
Disclaimer : Semua tokoh yang dipake di FF ini punya WB dan Mr.Eric karena ini FF Canon.
Summary : A day before her death, Mary had thinking about what will happen if she never made a deal with Azazel.
Note : salah satu FF koleksi lama yang terbengkelai. Mumpung ada waktu, dituntasin sekarang aja. Sebelumnya maap kalo rada kagok. Dah lama ga nulis FF lagi soalnya.
Malam itu sekali lagi aku terbangun di kegelapan. Berbalur keringat dingin dan pening yang cukup menyiksa, juga sedikit sesak di dadaku. Tanpa sadar aku mengusap keningku, merasakan kepalaku berdenyut saat memikirkan apa yang baru saja terjadi. Sejujurnya aku tidak pernah ingin memikirkan hal ini, namun aku terpaksa harus mengingatnya selama beberapa hari terakhir. Semua ini terasa seperti bayangan kelabu. Kadang muncul di saat cahaya datang dan lenyap saat kegelapan menyelimuti, namun pada intinya dia akan selalu ada membayangi.
Sambil berulangkali mengatur nafasku selirih mungkin, aku beringsut dari ranjang. Aku tak ingin membangunkan suamiku yang sedang terlelap di sisi ranjang satunya. John tampak kusut dan kelelahan. Karena itulah kupikir sebaiknya aku jangan mengusiknya.
Selama beberapa detik aku menyempatkan diri untuk mengamati wajah pria yang kucintai ini, mengingat dengan perih betapa aku sudah memberikan segala-galanya agar bisa mendampinginya dan saat impianku itu terwujud, aku berharap akan selalu bisa memberinya kebahagiaan penuh. Setidaknya itulah yang selama ini kupikirkan. Kehidupan sempurna, impian yang kubentangkan semenjak masih gadis belia, dimana kami semua bisa hidup normal sama seperti keluarga bahagia pada umumnya.
Malam sudah begitu kelam, tapi tak lebih pekat dari suasana batinku yang diliputi kegelisahan. Irama angin yang mempermainkan helai demi helai rambut pirangku serupa sebuah belaian halus, seolah berkata kalau dia bersedia menemaniku menghabiskan sisa malam dengan merenung dan merenung di atas balkon. Balkon memang sudah menjadi tempat kesayanganku. Di sana aku bebas menyendiri, menyesapi hidupku yang bermakna banyak hal.
Semua berjalan dengan sangat indah, nyaris sama seperti apa yang selama ini kuimpikan. Pesta pernikahan yang sempurna, bulan madu yang menyenangkan dan juga hari-hari awal kami sebagai sepasang pengantin baru. Kelahiran Dean disusul kehadiran Sam empat tahun kemudian makin menambah keceriaan hari-hariku. Oh, betapa aku sangat mencintai keluargaku dan juga hidupku. Bulir-bulir pasir waktu yang telah kulewati bersama mereka takkan pernah kusesali. Sebagai seorang wanita kini aku merasa hidupku lengkap.
Untuk beberapa saat rongga dadaku menghangat, terutama saat mengenang kilas balik memoriku sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. Mengenang tatapan penuh cinta dari John yang dihadiahkannya setiap hari, mengingat bagaimana wajah Dean yang girang sekaligus cemburu saat aku memberinya seorang adik, dan juga membayangkan ekspresi lucu Sam sewaktu aku mengganti popoknya membuat hawa dingin malam tak lagi mengusikku. Momen-momen tak ternilai tadi tak akan pernah bisa kurengkuh sebagai seorang Hunter. Bagaimana pun juga sangat manusiawi jika aku yang terlahir di dalam sebuah keluarga yang ’berbeda’ dari keluarga pada umumnya menginginkan sebuah keluarga yang ’wajar’ seperti yang telah kudapat sekarang.
Sepuluh tahun. Tercetus begitu saja di benakku. Yeah, sepuluh tahun. Firasatku mengatakan sesuatu. Sesuatu yang salah, amat-amat salah tentang makna yang terkandung di balik dua kata itu. Sekali lagi aku mengenangnya. Sepuluh tahun yang lalu seorang pria misterius datang padaku. Lebih tepatnya dia datang dan sempat menghabiskan waktu selama beberapa saat dengan keluargaku. Dia menyebut dirinya sebagai Dean, nama yang sama dengan nama ayah dan putra sulungku. Aku tak tahu bagaimana ini bisa jadi sebuah kebetulan atau memang nama Dean adalah nama yang amat pasaran, namun pemuda itu menyimpan banyak rahasia dalam dirinya.
Dean yang datang sepuluh tahun yang lalu bertubuh tegap dan kekar, berambut gelap dengan mata hijau yang menawan, dan dia juga mengaku sebagai seorang Hunter. Ada chemistry yang terasa janggal di antara kami. Entah mengapa aku seolah sudah mengenalnya sejak lama. Mungkin ini hanya ada dalam pikiranku saja. Namun setiap aku berdekatan dengannya, ada semacam aura yang cukup mengusikku sekaligus membangkitkan segumpal kasih sayang yang sulit untuk diungkap. Seakan-akan di antara kami ada sebuah keterkaitan batin maupun keterikatan darah. Perasaan inilah yang membuat hati kecilku sukar untuk menganggap Dean sebagai seratus persen orang asing padahal sebelumnya kami tidak saling kenal. Aneh, bukan?
Awal pertemuan kami tidak terlalu bagus. Agak salah paham begitulah, karena kukira dia memata-matai John dan aku di sebuah restoran kecil. Meski begitu aku menganggapnya sebagai pria yang cukup baik. Sampai saat dia berpamitan kepadaku dan mengatakan sebaris kalimat yang terdengar sangat aneh di telingaku, tentang tanggal 2 November 1983 dan larangan untukku agar tidak meninggalkan ranjang, apapun yang akan kudengar atau kulihat. Dia memohon agar aku berjanji akan melakukan apa yang dimintanya itu dengan mata berkaca-kaca dan gurat-gurat menahan emosi di wajahnya. Aku tak tahu kepahitan macam apa yang sedang ia rasakan sewaktu mengatakan itu, tapi kupikir dia sedang mengatakan sesuatu yang sangat serius. Maka dari itu aku mengiyakannya dengan seribu tanda tanya di kepala dan Dean membalasku dengan senyuman meski sebulir airmata jatuh di pipinya.
Sepuluh tahun. Kali ini aku mengenangnya dengan bara api dalam dadaku. Dua kata itu juga terucap dari bibir iblis laknat bermata kuning pucat. Aku tidak mendengar apa saja yang dia katakan secara komplit karena saat itu aku sedang hancur lebur. Iblis itu telah membunuh kedua orangtuaku, begitu pula dengan John, dia merampas nyawanya tanpa belas kasihan. Hidupku di ambang kegelapan. Tak ada masa depan bagiku waktu itu. Hampir seluruh isi ragaku seakan tersedot keluar dan meninggalkan rongga kosong. Jiwaku serasa hampa hingga begitu mudahnya kesedihan mendalam mengambil alih kuasaku. Kesedihan dan keputusasaan membutakan kedua mataku sekaligus menutup telingaku rapat-rapat.
Pada saat seperti itu yang kuinginkan hanyalah mengembalikan semua orang yang kucintai. Aku ingin mereka hidup kembali meskipun itu sangat mustahil. Dan iblis itu menawarkan sebuah perjanjian yang begitu sulit untuk ditolak ataupun diterima. Aku merasa terjebak, ibarat seperti makan buah simalakama. Aku tak ingin sebatang kara, bergelimang dalam kubangan putus asa dan menghabiskan sisa hidupku menikmati perihnya rasa kehilangan. Di sisi lain aku pun sedang mempertaruhkan sesuatu yang abstrak dan aku yakin ada yang salah dalam hal ini. Lagipula iblis penuh tipu daya, bukan? Tidak seharusnya aku mengadakan perjanjian dengan makhluk yang dilaknat Tuhan itu.
Namun Iblis itu sangat lihai memainkan kartu asnya dan aku tak punya daya. Begitu tersadar, yang kutahu hanyalah semua sudah sangat terlambat. Jasad ayahku yang terkapar bersimbah darah, tubuh John yang mendadak bernyawa kembali dan raut penuh kekecewaan sekaligus penyesalan mendalam dari Dean yang berdiri terpaku di kejauhan. Bahkan bibirku terasa berat untuk membela diri di hadapannya. Aku hanya ingin mempertahankan hidup! Egois, kau boleh menyebutku itu, Dean! Tapi aku tak punya pilihan...
Sepuluh tahun lalu aku sama sekali tidak memikirkan konsekuensi yang akan kutanggung atas keputusan bodoh ini. Anggap saja aku seperti gadis kecil yang goyah karena kehilangan pegangan dalam hidupnya. Dan hari ini, 1 November 1983, batinku gundah. Satu lagi malam yang kuhabiskan dengan merenung dan merenung.
EL EXTREMO
Rabu, 11 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar