Author: Tee-tah.
Genre: action.
Rating: T.
Disclaimer : semuanya punya PH masing-masing. Kecuali makhluk yang namanya saya ciptakan sendiri.
Timeline : Supernatural season 3.
Impala hitam keluaran tahun 1967 melaju kencang melintasi kota Fox River. Didalamnya terdapat dua orang pemuda Kansas yang memiliki tujuan untuk berburu. Tidak seperti pemburu pada umumnya yang memburu hewan-hewan di hutan, target utama mereka adalah iblis dan makhluk-makhluk halus lainnya. Profesi yang aneh karena jarang orang berprofesi seperti mereka. Tapi bukan Winchester namanya kalau memilih segala sesuatu yang mayoritas. Kedua orang yang berada dalam mobil itu adalah Dean dan Sam Winchester.
“Sam, apa rencana kita selanjutnya?" tanya Dean, sang kakak, dengan tatapan mata lurus ke depan, sangat berkonsentrasi.
“Kita akan melakukan tindak kriminal karena dengan hal itulah kita bisa leluasa mengamati situasi sekitar penjara," ujar Sam, sang adik. Ditatapnya Dean yang sedang berkonsentrasi menyetir. Ada sekelumit rasa iba ketika menatap kakaknya yang nampak kelelahan itu.
“What? Jadi tahanan, maksudmu? Mengapa tak kita coba saja menjadi tukang bersih-bersih di sana?” tanya Dean sambil sesekali menatap ke arah Sam yang sedang berkutat dengan laptopnya.
“Pikirkanlah, jika kita jadi tukang bersih-bersih di sana, pastinya kita takkan bisa berada di sana selama 24 jam penuh. Yang memungkinkan itu hanya menjadi tahanan di sana," jawab Sam tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dean.
“Ya sudahlah. Tapi makanan ala tahanan tak begitu enak. Kita sudah berkali-kali masuk penjara dan aku rasa makanan di sana sama-sama memiliki citarasa yang buruk," canda Dean sambil nyengir, namun tak direspon oleh Sam.
“Dean, kau nampak kelelahan..." kata-kata Sam dipotong oleh Dean.
“Stop... aku tahu kau mau bicara apa. Dan jawabannya adalah tidak dan takkan pernah!" bentak Dean dengan volume suara yang sengaja dikeraskan, yang pasti bisa membuat Sam langsung tutup mulut.
“Omong-omong, aku sudah menemukan jenis makluk ini. Namanya adalah Mutilafisier. Memotong-motong bagian tubuh korban adalah ciri khasnya. Sasarannya adalah orang-orang yang telah membunuh seseorang yang mereka sayangi. Dan berita hari ini, Joseph Metcalfe, seorang tahanan Fox River, tewas tanpa tangan dan kepala saat semua tahanan melakukan kerja bakti," ujar Sam panjang lebar tanpa melepaskan pandangan sedikit pun dari laptopnya.
“Oke, sekarang kita tancap gas ke bank dan kita jalankan semuanya,”tukas Dean bersemangat dan memacu mobilnya menuju bank terdekat.
Beberapa jam kemudian, akhirnya mereka sampai di bank kota dan mejalankan aksinya. Tapi sebelum itu, keduanya menelepon polisi terlebih dahulu agar proses masuk penjara dapat berjalan cepat.
“Angkat tangan,dan jangan bergerak!”ujar Dean lantang sambil mengacungkan senjata api, sementara Sam "menyandera" satpam bank yang berada di dekat pintu.
Dean berjalan dengan langkah sangar ke arah teller bank. Diacungkannya sebuah senjata laras panjang ke arah sang teller. Tentu saja teller tersebut ketakutan, namun untungnya belum sempat Dean berkata-kata atau mungkin lebih tepatnya mengancam, suara sirine mobil polisi bekumandang. Segerombol laki-laki memasuki bank, beberapa di antaranya menyeret dan memborgol Sam, sementara yang lainnya menodongkan senjata ke arah Dean dan memberi isyarat agar melepaskan pistol yang ada di tangannya, kemudian menangkap dan memborgol Dean. Mereka berdua pun diangkut menuju mobil polisi untuk selanjutnya dibawa ke penjara Fox River.
“Semoga saja my baby tenang di penitipan, karena itu akan lebih baik daripada polisi-polisi keparat ini membawanya ke penderekan,” gumam Dean. Memang, sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu dia menitipkan Impala tersayangnya di penitipan mobil yang berada tak jauh dari bank.
Beberapa menit kemudian kedua mobil polisi itu pun tiba di penjara Fox River. Penjara itu berada di kawasan Fox River yang tidak padat penduduk. Bangunan penjara itu terlihat sangat kokoh dengan kawat-kawat berduri yang mengelilingi bagian atas dinding yang memisahkannya dari dunia luar dan seolah berkata “kalian takkan pernah bisa lolos”. Kesan seram dan kejam sudah dapat terlihat sejak pertama kali melihat bangunan depannya.
Dean dan Sam masing-masing digiring oleh satu petugas. Mereka dibawa ke dalam. Banyak lorong di dalam penjara itu, dengan bermacam-macam kamera pengintai yang terpasang di setiap sudutnya. Tampaknya penjara ini pantas mendapat gelar penjara ter-killer versi Dean dan Sam.
Akhirnya kedua bersaudara itu pun tiba di depan sel yang akan menjadi tempat mereka entah selama berapa hari. Penjaga sel segera membuka jeruji besi dengan tampang tak ramah. Polisi pun segera melepas borgol mereka dan mendorong keduanya ke dalam sel sehingga jatuh tersungkur. Kejadian itu membuat seluruh penghuni sel tersebut menoleh ke arah mereka.
“Er, hai....” ujar Dean berusaha mencairkan suasana. Namun, hal itu tampak membuat teman satu sel mereka hilang feeling dan memalingkan muka. Dean dan Sam menyandarkan tubuh di pojok kanan sel. Sel itu hanya berisi 6 orang sudah termasuk mereka berdua di dalamnya.
Dean menatap sekeliling sel. Temboknya kebanyakan sudah terkelupas dimakan usia atau rayap mungkin. Jeruji-jeruji besinya juga sudah berkarat dan mulai berbau. Pandangan Dean terhenti pada sosok lelaki yang duduk menyendiri di pojok belakang sel.
Laki-laki itu memiliki tato keren di kedua lengannya yang memang hanya terlihat sampai di situ. Rambutnya yang jarang tampak menghiasi kepalanya. Umurnya mugkin lebih sedikit di atas Dean, tapi masih tampak terlihat lebih muda. Wajahnya juga terlihat tak berdosa untuk ukuran seorang tahanan. Terlihat sekali bahwa pria itu sedang serius memikirkan sesuatu.
Selang beberapa menit kemudian, seorang laki-laki yang berbadan tegap dan agak gundul berdehem lalu menghampiri mereka berdua. Suara deheman lelaki itu mengalihkan pandangan Dean.
“Hmm, halo...” sapa Sam kaku.
“Hai, rambutmu keren juga!” kata Dean dengan cengiran khasnya sambil mengulurkan tangan ke arah lelaki yang menghampiri mereka.
“Aku John, John Abruzzi. Bos mafia Chicago sekaligus orang yang paling disegani di sini,” katanya sambil membalas uluran tangan Dean dengan cara mencengkeram.
“Hm, John. Kau tahu Joseph Metcalfe?” tanya Sam dengan mimik muka serius.
“Joseph Metcalfe? Dia tahanan di sel sebelah. Memangnya ada apa?” tanyanya sambil mengambil posisi di antara Dean dan Sam.
“Um, sebenarnya kami hanya ingin bertanya saja karena berita kematiannya sangat menghebohkan massa,” ujar Dean sambil menatap John dengan tatapan harap-harap cemas.
“Apa pembunuhnya sudah tertangkap?” tanya Sam sambil menatap Dean.
“Ada apa dengan kalian? Kalian terlihat antusias sekali menanyakan berita tentang bajingan itu. Oke,oke. Aku akan menceritakannya pada kalian,” ujarnya sambil mengambil posisi yang nyaman. Dean dan Sam sudah nampak bersiap-siap menyimak apa yang akan dibicarakan oleh John.
“Josh, ditahan di sini karena menghabisi kekasih yang sudah hampir menjadi istrinya. Suatu hari, dia mengajak kekasihnya menginap di sebuah hotel. Namun ketika mereka berdua sudah masuk kekamar hotel, kekasihnya tersebut enggan menerima ajakan Josh untuk berhubungan intim. Mungkin karena pengaruh alkohol, dia jadi kalap dan mengambil vas yang akhirnya dipukulkannya ke arah sang kekasih. Setelah kekasihnya meninggal,dia menyetubuhi mayat gadis itu. Hal itu terungkap keesokan harinya setelah seorang petugas kebersihan tak sengaja masuk dan melihat Josh memotong-motong tubuh kekasihnya untuk dimasukkan koper dan dibuang,” jelas John panjang lebar.
“Wow, berhubungan intim dengan mayat, ya. Aku belum pernah mencobanya sekalipun,” kata Dean sambil membelalakkan matanya, yang mungkin bisa diasumsikan sebagai ekspresi kagum. Sam mempertunjukkan muka kesal pada Dean, Dean pun mengerti dan memutuskan untuk tidak meneruskan ucapannya.
“Lalu, setelah melakukannya apa yang terjadi pada Josh?” tanya Sam lagi. Kali ini pembicaraan mereka bertiga menarik perhatian seluruh penghuni sel itu. Mereka pun turut mendengarkan cerita John, kecuali pria botak yang sempat menarik perhatian Dean.
“Selama di sel, dia seperti orang depresi. Sejak pertama dia masuk sampai akhirnya tewas terbunuh. Sepertinya dia menyesal telah membunuh kekasihnya,” jawab tahanan lain yang duduk di sebelah Sam, Fernando Surce.
“Hmm, ada yang tahu kronologi kejadian pembunuhan itu?” kini Dean yang bertanya dengan tampang yang lebih serius daripada tadi.
“Aku juga tak tahu pasti. Yang jelas, dia terbunuh saat semua tahanan melakukan kerja bakti harian seperti biasa,” ujar John. Dean dan Sam mengangguk-angguk.
“Lalu, apa saja barang bukti yang ada di TKP? Lagipula, apa kejadian itu tak terekam oleh kamera?” Sam bertanya dengan tampang antusias seperti biasa.
“Aku adalah orang pertama di sel ini yang datang ke TKP setelah mendengar ribut-ribut. Dia tergeletak dengan darah di mana-mana dan tanpa tangan serta kepalanya. Konon diduga pembunuhnya adalah Theodore Bagwell, mantan teman satu satu sel kami yang lebih dikenal dengan nama T-Bag. Hanya dialah yang memiliki kesempatan besar membunuh Josh karena selain memiliki latar belakang psikopat, dia juga berada di tempat yang paling dekat dengan TKP dan memiliki sejuta kesempatan untuk melakukannya. Mengenai kamera, sayang sekali saat pembunuhan itu gambar di kamera nampak kabur dan hampir tak terlihat, tiba-tiba yang terlihat hanya tubuh Josh yang sudah tak utuh dan berlumuran darah,” ujar Fernando disertai anggukan tahanan lain yang ikut duduk mendengarkan pembicaraan.
“Tapi, untuk apa T-Bag membunuhnya mengingat dia dan Josh jarang berbicara satu sama lain? Aku agak meragukan ini semua,” ujar seorang tahanan lain.
“Aku rasa, seorang psikopat membunuh hanya untuk kepuasan. Tak peduli korban dekat atau tidak dengannya,” John berargumen.
“Aku juga setuju denganmu,” ungkap Fernando pada John.
“Um... apa kalian tak punya pikiran kalau yang membunuh Josh makhluk halus, misalnya?” ujar Dean ragu-ragu. Perkataannya membuat lelaki yang biasa duduk di pojok ruangan menoleh, semua tak menyadarinya. Sam menyenggol lengan Dean, pertanda bahwa tak seharusnya si sulung Winchester itu mengatakannya.
“Makhluk halus katamu? Jangan bercanda, Nak,” cibir John disertai dengan deraian tawa semua penghuni sel.
*****************************
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah menuju sel tempat dimana Sam dan Dean ditahan. Suara itu membuat percakapan antar penghuni sel berakhir.
“Waktunya makan !” teriak sesosok laki-laki bertubuh gempal dan berkumis tebal ala Hitler sambil membuka pintu sel itu. Seluruh tahanan diharuskan pergi ke tempat makan yang ada di dalam penjara.
“Pelayanan di penjara ini sungguh tak menyenangkan,” umpat Dean setelah mendengar teriakan keras nan tak ramah dari penjaga sel.
“Kalau pelayanannya menyenangkan, tindakan kriminal akan terjadi di mana-mana,” kata Sam sambil beranjak menuju tempat makan. Dean pun mengikuti langkah adiknya itu.
Tak berapa lama semua tahanan sudah berkumpul di ruang makan. Dean duduk di sebelah laki-laki yang sering duduk di pojok sel. Tampak makanan hari itu hanya nasi dan sepotong daging sapi yang dikecapi.
“Yaiks,” ujar Dean tampak jijik dengan makanan yang ada di hadapannya sekarang, ditelannya ludahnya secara perlahan. Sam yang duduk di depan Dean tampak geleng-geleng kepala melihat tingkah kakak semata wayangnya itu.
Tiba-tiba pria yang suka duduk di pojok sel mengulurkan tangannya pada Dean. Dean yang sedang berkutat dengan makanannya pun segera menoleh ke arah pria semiplontos itu sembari membalas uluran tangannya.
“Aku Mike, Michael Scofield,” kata pria itu.
“Hm, tadi kita belum berkenalan di sel ya? Aku Dean Winchester dan yang ada di depanku adalah adikku, Sam,” kata Dean sambil memperkenalkan pula Sam kepada Michael.
“Oh ya, kau dipenjara karena apa?” tanya Dean yang heran kenapa orang yang terlihat tak berdosa seperti Michael bisa masuk penjara.
“Nanti saja kita bercerita di sel. Di sini kita tak bisa leluasa bercerita,” ujar Michael sambil menyantap makanannya. Dean hanya mengangguk dan meneruskan makannya. Sementara Sam tampak tak bernafsu sekali dengan apa yang dihadapinya di meja makan.
Beberapa menit kemudian, para tahanan diharuskan untuk masuk ke sel masing-masing karena hari ini bukan jadwal untuk kerja bakti. Mereka masuk ke sel dengan dikawal penjaga masing-masing. Dean dan Sam sudah mengganti pakaian mereka dengan pakaian tahanan berwarna biru muda berlengan panjang. Walau begitu Sam tetap menyimpan sesuatu di dalam sakunya.
Setelah masuk ke sel, Dean mengambil posisi duduk di dekat Michael begitu pula Sam. Mereka tampaknya akan membicarakan sesuatu. Tahanan lain tampak tak tertarik mendengarkan perbincangan mereka bertiga.
“Tadi aku dengar, kau bicara tentang makhluk halus. Apa hubungannya dengan penjara ini?” pertanyaan itu terlontar dari bibir Michael dan pastinya ditujukan untuk Dean.
“Hm, ti...tidak. Aku hanya asal bicara saja,” ujar Dean agak kelabakan menjawab pertanyaan Michael. Dia menoleh ke arah Sam yang terdiam dan kemudian mengangkat bahunya tanda tak tahu harus berbuat apa.
“Sebenarnya siapa kalian? Aku yakin Dean serius dengan ucapannya tadi. kalian tak mungkin tanpa sengaja terdampar di sini. Ya, kan?” kata Michael lirih.
“Sam, sebaiknya kita jelaskan padanya,” bisik Dean pada Sam. Sam hanya mengangguk kecil.
Dijelaskannya secara hati-hati pada Michael bahwa kedua Winchester bersaudara itu adalah pemburu hantu. Dean juga menjelaskan alasan mereka berdua datang ke Fox River. Semula Sam dan Dean mengira bahwa Michaeal tak percaya dan akan menganggap mereka berdua gila, namun sebaliknya.
“Hm, kalian tak gila karena aku yakin bahwa makhluk seperti itu memang ada, meskipun aku sama sekali belum pernah melihatnya. Tapi, pembunuh Josh kan sudah diketahui, meskipun aku juga agak ragu,” kata Michael.
Dean dan Sam mengeryitkan dahi mereka ketika mengetahui bahwa Michael sama sekali tak kaget mendengar kata "hantu", ekspresi yang tak biasa bagi orang awam. Sepertinya dia telah mengalami sesuatu yang lebih menakutkan daripada "hantu".
Sam menatap mata Michael. Mata biru yang tampak teduh, mata yang terlihat begitu damai. Namun, dia bisa melihat mata teduh yang memancarkan kedamaian itu tampak menyimpan sejuta misteri.
Mutilafisier, makhluk berwujud seorang pria dengan membawa celurit berlumuran darah yang disampirkannya ke punggungnya. Berjubah hitam dengan wajah yang tak terlihat. Setidaknya itulah gambaran tentang sosok makhluk yang dihadapi Dean dan Sam saat ini. Jika sasarannya adalah seorang pembunuh orang yang disayanginya, maka cara yang tepat untuk mengundangnya adalah dengan menyediakan darah orang yang telah mengorbankan segalanya bagi seorang yang disayanginya. Dean memang mungkin bisa melakukannya, akan tetapi darah seorang yang masih suci adalah yang paling tepat. Kelemahan makluk itu adalah pada jantungnya. Setidaknya itulah yang bisa mereka ceritakan pada Michael.
Sangat sulit memang mendapatkan darah orang yang masih suci di sini.
“Sam, apa kita bisa mendapatkannya? Well, aku sedikit tak yakin bisa mendapatkan darah itu di sini,” ujar Dean setengah putus asa.
Di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba Michael menawarkan diri untuk diambil darahnya. Sam dan Dean terkejut, apa sebenarnya yang telah dikorbankan Michael dan untuk siapa pengorbanan itu
*********************
Michael menceritakan semuanya pada Winchester bersaudara itu. Sebelum mendekam di sana, dia adalah seorang insinyur. Semenjak kakaknya terlibat sebuah konspirasi, didedikasikannya seluruh hidup dan karir yang yang telah dibangunnya hanya untuk menyelamatkan kakaknya dari hukuman kursi listrik. Tato di tubuhnya merupakan gambaran denah penjara dan rencana-rencananya untuk membebaskan kakaknya karena kegagalannya tempo hari. Ditanya soal "kesucian", Michael memang belum pernah melakukannya dengan seorang gadis karena terlalu sibuk mengejar karir dan memikirkan kakaknya, mungkin.
Malam pun tiba, suara jangkrik yang saling bersahutan hanya satu-satunya pemecah kesunyian penjara Fox River. Dean menutup matanya, begitu pula tahanan lainnya. Kecuali Sam dan Michael yang duduk di ujung sel.
“Kau tak menyesal kehilangan karir yang telah kaubangun selama ini?" tanya Sam pada Michael yang sedang menerawang keluar sel.
“Aku akan lebih menyesal jika membiarkan orang yang tak bersalah harus dihukum, apalagi dia adalah kakakku sendiri. Meskipun kami berasal dari ibu yang berbeda,” tutur Michael sambil tetap mengatur volume suaranya agar tak mengganggu tahanan lain yang tengah terlelap.
Sam terbelalak mendengar pengakuan Michael, bahwa dia dan kakaknya berasal dari ibu yang berbeda. Setitik penyesalan terselip dalam dada Sam. Mengingat bahwa tak ada yang bisa dilakukannya untuk kakak kandungnya. Sedangkan Michael, dia rela meninggalkan karirnya sebagai insinyur hanya untuk menyelamatkan kakaknya, sekalipun bukan kakak kandungnya.
Sam teringat betapa egoisnya dia ketika memutuskan untuk tetap melanjutkan kuliahnya daripada menerima ajakan Dean berburu iblis. Dia juga teringat masa kecilnya yang sering merepotkan Dean. Dean rela mengorbankan masa kecilnya yang begitu berharga hanya untuk melindungi Sam, sedangkan dirinya belum pernah melakukan apapun untuk kakaknya. Umur Dean tak lama lagi dan semua itu karena dia terlampau sayang pada Sam. Sam menatap Dean yang sedang tertidur pulas lekat-lekat. Tak bisa dibayangkan oleh Sam bahwa suatu hari Dean takkan bangun dari tidurnya lagi.
“Kau baik-baik saja, Sam?” tanya Michael yang sedari tadi memperhatikan Sam tak melepaskan pandangannya dari Dean.
“Ya, aku tak apa,” jawab Sam singkat dan mengalihkan pandangannya dari kakaknya.
“Aku akan menjadi pendengar yang baik, jika kau mengijinkan,” kata Michael sambil menatap Sam. Tampaknya dia bisa membaca ekspresi Sam.
“Aku merasa iri padamu, kau bisa meninggalkan semuanya hanya untuk menyelamatkan saudaramu, sekalipun kalian berasal dari rahim yang berbeda. Sedangkan aku? Aku tak pernah bisa membalas semua pengorbanan Dean padaku. Dan aku tak pernah bisa membalas kasih sayang yang telah diberikannya padaku selama ini,” ujar Sam pada Michael yang tengah mendengarkan ocehannya secara seksama.
“Bung, kasih sayang itu tak bisa diukur dengan apapun. Sekalipun dengan berapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan. Aku yakin, tanpa kau buktikan Dean pasti mengerti bagaimana perasaanmu terhadapnya. Yang terpenting adalah disini,” tutur Michael sambil menepuk dada Sam yang bidang.
Sam tercengang mendengar ucapan Michael. Dean memang tak pernah menuntut apapun darinya. Tapi, niat Sam untuk menunjukkan rasa sayang pada kakaknya bukanlah hal yang salah. Mungkin waktu saja yang belum mengizinkannya. Sam menghela nafas panjang, ditatapnya kakaknya yang tengah tertidur itu.
“Kau benar, Mike.”
****************
Keesokan harinya, semua tahanan dibangunkan untuk melakukan kerja bakti. Nah, saat yang tepat bagi Dean dan Sam untuk melakukan aksinya. Didampingi Michael, tentunya. Setelah diijinkan keluar, mereka bertiga mengambil mangkuk di ruang makan dan bergegas menuju ke gudang. Tempat di mana mereka bertiga akan melakukan ritual pemanggilan roh.
Gudang merupakan bagian paling belakang di penjara Fox River,sekalipun lokasinya masih menyatu dengan bangunan di depannya. Mereka dengan gampang dapat menerobos masuk ke dalam gudang berkat Dean yang telah terampil dalam hal itu. Perlahan Dean memasuki ruangan gelap itu, kemudian disusul oleh Michael dan Sam. Mereka memang sengaja tak menyalakan lampu. Dean mengangguk pada Michael, pertanda sebuah isyarat. Ya, isyarat agar Michael mengiris kulit tangannya dan membiarkan beberapa tetes darahnya mengisi mangkok kecil yang telah disediakan sebelumnya.
Kedua Winchester itu mulai menggambar sesuatu dengan kapur yang ada didalam gudang, Michael tak tahu menahu soal itu. Yang jelas dia berpikir bahwa gambar-gambar itu akan mengundang makhluk itu datang kemari.
Setelah selesai, Dean meletakkan mangkok yang berisi darah Michael ke sebuah lingkaran dengan simbol-simbol tertentu. Dean membaca mantera dalam bahasa asing tanpa henti, sementara Sam sudah siap siaga dengan pisau lipat ditangannya dan sebotol kecil air suci.
Angin berhembus kencang dalam ruangan itu, benda-benda yang tergantung di dinding pun berjatuhan. Kertas-kertas berhamburan membuat seisi gudang berantakan. Dean masih tetap membaca mantera dengan berbekal catatan yang dibawanya. Michael berdiri tepat di belakang Sam. Sam memberi isyarat pada Michael agar berhati-hati karena situasi kian mencekam
Di saat keadaan mencekam seperti itu, sesosok mahluk yang tingginya di bawah Dean muncul dengan jubah hitam dan celurit yang terdapat di punggungnya. Mahluk itu adalah Mutilafisier, incaran Dean dan Sam kali ini. Dia mengambil darah Michael yang diletakkan di dalam mangkok kecil, Sam sudah bersiap-siap menikamnya dari belakang setelah mendapat instruksi dari Dean.
Namun sial, makluk itu tampaknya bisa merasakan kedatangan Sam. Dia pun menghilang. Sam menoleh ke seluruh ruangan yang gelap, mencari keberadaan makhluk berjubah itu sekarang. Tiba-tiba suara teriakan Michael yang melengking membuat Dean dan Sam menoleh, makhluk itu memegang Michael kuat-kuat. Dia menginginkan darah Michael.
Dibenturkannya tubuh Michael ke tembok dengan keras hingga jatuh tersungkur. Kemudian dilumpuhkannya pergerakan pria itu dengan kedua tangannya. Dengan sangat bernafsu, makhluk itu menghunuskan celurit yang semula disampirkan di punggungnya. Sam menghampiri makhluk yang tengah asyik berkutat dengan Michael. Dihunusksnnya pisau lipatnya, namun makhluk itu sadar dan dengan kekuatannya dia mendorong tubuh Sam jauh-jauh hingga jatuh terpental. Kemudian, makhluk itu kembali berkutat dengan Michael yang masih berdiri dengan ekspresi ketakutan. Dielusnya wajah pria berambut botak itu dengan ujung celuritnya yang tajam. Ujung celuritnya menyusuri pipi Michael sehingga darah mengucur dari bagian-bagian tertentu.
Dean yang sedari tadi mencoba berpikir, akhirnya melemparkan botol yang berisi air suci pada Michael yang sedang menghadapi makhluk itu sendirian. Setelah mendapat umpan dari Dean dengan sigap dia mendorong tubuh makhluk mengerikan itu, disiramkannya air suci pada sang mutilator atau yang dikenal dengan nama Mutilafisier. Air suci itu bisa membuat pergerakan Mutilafisier lemah. Di saat yang bersamaan, Sam menusukkan pisau lipatnya kep unggung makhluk tersebut yang pasti akan menerobos jantungnya. Teriakan keras terdengar dari makhluk yang tengah kesakitan itu kemudian berubah menjadi asap hitam pekat yang berarak menjauh.
Misi selesai, Mutilafisier berhasil dilumpuhkan. Keadaan di gudang tampak kembali normal dan berantakan, tentunya. Dean menatap ke arah Michael yang kesakitan dengan beberapa luka gores yang terdapat di sekitar pipinya. Dean tersenyum sambil mengacungkan jempolnya pada Michael yang terlihat agak syok seraya melangkah keluar gudang dan kembali ke sel mereka.
Kerja bakti ternyata belum selesai. Ketiga pemuda itu pun turut berbaur dengan tahanan lain yang sedang melakukan kerja bakti, seolah tak terjadi apa-apa. Tampang merea bertiga juga tampak lelah. Apalagi Michael, wajahnya memancarkan bemacam-macam ekspresi.
“Tenang, Mike, semuanya sudah berakhir. Mahluk itu takkan mengincarmu lagi,” ujar Sam sambil menepuk bahu Michael disertai dengan anggukan Dean.
“Makanya, sekali-kali kau harus melakukannya bersama gadis-gadis. Agar kelak darahmu tak jadi incaran makhluk ini lagi,” goda Dean sambil memainkan bola matanya.
“Dean !” gertak Sam dengan muka tak senang.
“Kalian ini... tetap bisa kompak walau memiliki pribadi yang hampir bertolak belakang,” kata Michael tersenyum manis sambil mengelus pipinya yang terluka.
Beberapa saat kemudian, semua tahanan diijinkan masuk ke dalam sel lagi. Hari-hari di penjara itu sangat membosankan. Dean duduk sambil menghela nafas lega karena dapat menyelesaikan misi kali ini, begitu pula Michael dan Sam, sekalipun tampang syok masih agak menghiasi wajah Michael yang di beberapa bagiannya terdapat bekas luka sayatan akibat kejadian tadi.
Tiba-tiba suara derap langkah terdengar lagi, suara derap penjaga sel yang membuat seluruh tahanan merasa bosan. Dia menghampiri sel di mana Dean dan Sam sekarang mendekam. Tanpa membuka jeruji besi itu, diserahkannya sebuah lampiran pada Sam, lalu dia beranjak pergi. Dean dan para tahanan lain mendekat ke arah Sam yang sedang tengah membaca isi lampiran itu. Dia membelalakkan matanya dan membuat Dean semakin penasaran, kemudian merebut lampiran itu dari tangan adiknya.
Dean membaca isi lampiran itu, di sana tertulis bahwa besok mereka akan bebas. Dia bingung, apa yang membuatnya bebas. Ingin rasanya dia menanyakan hal itu pada adiknya yang ahli dalam bidang hukum, namun diurungkannya niat itu. Walau tak dibebaskan sekalipun, Winchester bersaudara kan sudah berkali-kali masuk-melarikan diri dari penjara.
“Jadi, besok kalian sudah boleh keluar ya ?” tanya John.
“Ya, begitulah,” ujar Dean sambil berjalan ke arah adiknya yang sedang duduk di samping Michael, tampaknya mereka berdua sedang membicarakan sesuatu.
Dean duduk di dekat Sam. Dia tampak ingin menanyakan apa yang sedang dibicarakannya dengan Michael. Namun, sebelum niat itu terlaksana Sam sudah membuka pembicaraan terlebih dahulu. Dijelaskannya pada kakaknya itu bahwa setelah bebas besok mereka akan membantu kesuksesan pelarian Michael dan Lincoln, kakaknya.
Rencana Michael adalah besok dibebaskannya Lincoln dari penjara. Kemudian Dean dan Sam akan menunggu mereka di tempat yang telah direncanakan sebelumnya. Rupanya Michael telah merancang rencana pembebasan Lincoln sejak pertama kali ia datang ke Fox River. Tinggal menunggu bantuan seseorang yang tepat saja untuk membantu melancarkan aksinya. Agaknya, Dean dan Sam menjadi pilihan yang tepat baginya untuk membantu pelariannya. Winchester bersaudara setuju dengan rencana Michael tersebut.
********************
Keesokan harinya, Dean dan Sam benar-benar sudah menjadi alumni tahanan Fox River karena mereka berdua telah dibebaskan, walau Dean sendiri tak tahu apa alasannya. Pukul 8 pagi, polisi menggiring mereka untuk berganti baju semula. Diantarkannya kedua bersaudara itu ke depan pintu gerbang penjara dan kemudian melepas kepergian Dean dan Sam. Mereka berdua berjalan menuju tempat dititipkannya Impala Dean. Perjalanannya tak begitu jauh, mungkin hanya sekitar 5 km dan memakan waktu sekitar setengah jam.
Setengah jam lebih sepersekian detik, Dean dan Sam berhasil sampai di tempat penitipan mobil. Dean kemudian segera memberikan nomor urutnya dan memacu Impalanya keluar dari penitipan itu, namun sebelumnya mereka memberikan sejumlah tip kepada penjaga penitipan. Setelah sudah menuju halaman penitipan, Dean memacu mobilnya menuju ladang jagung yang letaknya amat jauh dari sana. Di sanalah tempat yang sudah direncanakan oleh Michael dan mereka berdua.
Sementara itu di Fox River, Michael telah berhasil mengeluarkan Lincoln dan kini mereka sudah berada di depan penjara. Mereka berlari dengan kencangnya agar para polisi tak sempat mengetahuinya. Namun sial, di belakang mereka terdapat beberapa mobil polisi yang mengincar kedua bersaudara itu. Michael yang menyadari hal itu langsung berniat merubah jalur pelarian mereka. Lincoln yang percaya pada Michael langsung menurut saja dengan apa yang dilakukan adiknya.
Mereka berdua berlari menembus lebatnya ilalang. Beberapa polisi sudah berada di belakang mereka sambil menembakkan peluru ke arah Michael yang membawa lari tahanan paling dicari, Lincoln Burrows karena Lincoln diduga telah membunuh saudara orang penting dalam negara. Berondongan peluru itu makin deras menghujani mereka berdua. Namun, "menyerah" tak ada dalam kamus Michael untuk menyelamatkan kakaknya, sehingga terus berlari adalah satu-satunya jalan keluar saat ini. Lincoln yang berada di belakang Michael tampak terengah-engah dan berniat mengambil nafas sejenak, kemudian meneruskan untuk berlari lebih kencang lagi.
Tiba-tiba teriakan keras Lincoln membuat Michael menoleh. Rupanya sebuah peluru bersemayam di kaki kiri Lincoln sehingga dapat memperlambat pergerakannya. Lincoln jatuh tersungkur, nampak gurat putus asa menghiasi wajah sangarnya. Namun, Michael takkan menyerah sampai di situ. Dibopongnya tubuh Lincoln untuk bersembunyi di balik lebatnya ilalang. Polisi-polisi itu mengamati keadaan sekitar. Namun, Michael telah mencari tempat persembunyian yang diyakininya tak dapat terlihat dari mereka, hanya untuk beberapa saat tentunya.
Para polisi terlihat mengurungkan niat untuk menyibak lebatnya ilalang, sehingga mereka memutuskan mencari para buronannya ke tempat lain. Michael yang sedari tadi mengintip, mulai bernafas lega melihat para polisi yang mengejar mereka berbalik arah. Setelah dirasa aman, dia segera membawa kakaknya menjauh dari tempat itu untuk beranjak menuju ladang jagung yang telah disepakatinya bersama Winchester besaudara.
“Bersabarlah, Linc, kita akan segera sampai dan mengamankanmu,” ujar Michael sambil membopong kakaknya yang tengah terluka untuk segera menuju ladang jagung.
*********************
Di ladang jagung, Dean dan Sam sudah menunggu Michael dan Lincoln dengan perasaan harap-harap cemas. Dean tampak duduk di bagian depan mobilnya, sedangkan Sam duduk di dalam. Lebih tepatnya di sebelah kursi pengemudi yang kosong.
Tak berapa lama kemudian, datanglah dua orang lelaki berpakaian tahanan. Satu di antara mereka sedang membopong yang lainnya. Itulah Michael Scofield yang sedang membopong Lincoln Burrows. Keringat mulai bercucuran di wajah mereka berdua. Darah yang keluar dari kaki kiri Lincoln tampak membasahi dan menembus celana panjangnya. Mereka pun mendekat kearah Dean dan Sam yang sedari tadi menanti kedatangan mereka.
“Michael!” teriak Sam dari dalam mobil sambil keluar menghampiri Michael.
“Ayo cepat kita masuk ke mobil,” ujar Dean sambil membantu Michael membopong Lincoln untuk masuk ke dalam mobil. Semuanya masuk ke dalam mobil. Dean segera memacu kendaraannya menjauhi tempat itu.
“Linc, apa kita tak mengobati kakimu dulu?” ujar Sam tampak khawatir melihat Lincoln yang merintih kesakitan.
“Yang seperti ini takkan membuatku mati,” ujar Lincoln cuek.
“Terserah kaulah,” kata Sam sambil memandang lurus ke depan.
Impala hitam keluaran tahun 1967 berjalan menjauhi kota Fox River sambil membawa 2 orang buronan penting. Kini, kota tujuan berikutnya adalah Illinois. Kedua Winchester itu hanya membantu Michael dan Lincoln untuk melarikan diri saja, selebihnya bukan urusan mereka.
Michael mendapat pengalaman baru dari Dean dan Sam, begitu pula sebaliknya. Mereka masing-masing tak menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini. Setelah beberapa jam, mobil itu sampai juga di pusat kota Illinois. Dean mencari motel yang aman bagi para buronan itu. Akhirnya mereka sampai di motel yang menurut Michael letaknya aman. Dean menurunkan mereka bedua tepat di depan motel itu.
“Terimakasih, kami takkan pernah melupakan jasa kalian,” tutur Lincoln setelah turun dari Impala Dean.
“Sam, Dean, kalian harus segera pergi dari tempat ini sebelum keterlibatan kalian diketahui oleh mereka,” ujar Michael disertai anggukan Dean dan Sam dari dalam mobil.
“Aku takkan lupakan hari ini dan juga kemarin,” kata Sam.
Anggukan perlahan Michael mengakhiri perjumpaan mereka. Dean segera memacu mobilnya untuk kembali lagi ke Kansas. Hari yang melelahkan bagi kedua Winchester itu.
“Michael sungguh beruntung bisa menyelamatkan saudaranya," kata Sam memecah kesunyian.
“Tapi dia harus mengorbankan semuanya untuk hal itu, dan aku yakin bahwa peerjuangan mereka belum akan berhenti sampai disini," Dean menimpali ucapan Sam.
“Seandainya aku bisa melakukan hal yang sama seperti Michael...” ujar Sam sambil memandang Dean.
“What?” Dean mengeryitkan dahinya pertanda tak mengerti dengan apa yang telah diucapkan Sam.
“Seandainya aku bisa menyelamatkanmu dari perjanjian itu sama seperti Michael menyelamatkan Lincoln dari hukuman kursi listrik,” jawab Sam lirih.
“Dengar, Sam, jangan pernah berbicara seperti itu lagi. Aku tak pernah menuntut apapun darimu,” jawab Dean.
“Tapi...” belum sempat Sam melanjutkan omongannya, Dean sudah menyetel musik keras-keras. Musik rock lawasfavoritnya.
Impala itu menyusuri kota Illinois yang penuh dengan hiruk pikuk masyarakat. Di dalam mobil itu tak ada parcakapan sama sekali diantara penumpang dan pengendara. Yang terdengar hanyalah alunan musik cadas. Mungkin itu memang lebih baik daripada suara teriakan mereka yang sedang memperdebatkan sesuatu. Misi hari itu memang selesai, tapi misi lain masih menunggu untuk diselesaikan.
************************
END
Rabu, 04 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar