Rabu, 25 November 2009

Fic: The Runaway

Author : Lady_mannequin aka Keane
Genre : Action
Setting : Cavanaugh Park, California
Timeline : Season 2
Warning: Self Insert.
Title reference: This fan fiction title refers to a song by Andrew McMahon with Something Corporate

  
“Ring me up on my cellullar phone so I know I’m not alone in the world full of vampires,” senandungku riang. Lagu Cellular Phone dari Jack’s Mannequin ini tengah menemaniku yang sedang asyik berjogging di Taman Cavanaugh. Saking asyiknya mendengar lagu, sampai-sampai aku lupa melihat kanan kiri dan seketika saja... Brukkkkk… menabrak seorang cowok yang juga sedang berlari-lari. Kami berdua pun jatuh seketika.

“Awww... sakiiiiiiiittttt ....” jeritku kesakitan.

“Maaf… Maaf... saya sedang buru-buru," kata cowok tampan bermata hijau dan bertubuh atletis yang menabrakku dengan cukup keras sampai badan mungilku terasa sakit.

“Nggak apa-apa kok, aku juga yang salah karena jogging sambil keasyikan dengerin musik, jadinya sekarang nabrak kamu deh,” sambungku sambil berpikir sepertinya aku pernah lihat dengan orang yang kutabrak ini sebelumnya.


Sambil memegang bahuku yang masih berdenyut-denyut kesakitan karena tabrakan tadi, aku tiba-tiba tersadar bahwa cowok yang menabrakku tadi ternyata adalah Dean Winchester.

Belum sempat aku berkenalan dengan Dean, ternyata Dean sudah menghilang dari hadapanku. Aku melihat sekeliling dan menemukan bahwa Dean sudah berlari lagi. Tanpa berpikir panjang, aku pun ikut lari mengejar Dean.

”DEAN, TUNGGU! AKU INI NGEFANS BANGET SAMA KAMU. JANGAN LARI DULU, AKU PINGIN FOTO BARENG DAN MINTA TANDA TANGAN KAMU!” aku berteriak kencang.

Ternyata Dean berlari sangat cepat dan aku mulai menyadari bahwa dia sudah tidak berada di hadapanku lagi. Nafasku pun mulai terengah-engah sambil memegang dadaku yang berdebar cukup kencang. Aku pun mengambil nafas sejenak sambil mengamati sekeliling namun aku tak dapat menemukan Dean di mana pun sejauh mataku memandang.

Ya ampun, Dean larinya kencang banget sih. Pupus sudah harapan bisa foto bareng dan minta tanda tangan Dean deh, batinku lirih.

Kakiku yang terasa sangat pegal memaksaku untuk beristirahat di balik rimbunnya semak-semak di pojok taman. Ketika aku baru saja duduk, aku merasa ada seseorang menarikku ke belakang. Aku hampir saja berteriak bila tangan orang yang menarikku tidak membekap mulutku. Aku meronta-ronta sampai aku melihat wajah orang tersebut.

”Oh, Dean,” kataku setelah ia melepaskan tangannya dari mulutku.

”Ssssssttt... Kamu jangan kencang-kencang bicara. Aku lagi dikejar-kejar FBI nih. Aku lelah seharian berlari dari kejaran FBI. Aku lagi pingin istirahat dulu nih,” ujar Dean dengan nafasnya yang masih tersengal-sengal.

”FBI yang mana sih? Perasaan dari tadi aku jogging di taman ini aku nggak lihat ada bapak-bapak berseragam FBI deh, Dean,” sambungku.

”Siapa bilang FBI yang mengejarku itu Bapak-Bapak? By the way, dari mana kamu tau namaku Dean?” tanya Dean lagi.

”Ya, siapa juga yang nggak tau kamu, Dean. Kamu itu kan cowok paling populer seantero forum, malah ngalahin ketenaran adik kamu Sammy. Oh ya, kenalin, namaku Keane,” aku berujar lagi.

”Forum? Aku kira kamu kenalin aku dari poster 'wanted' yang ditempel hampir d iseluruh penjuru kota. Yah, maklum saja, aku kan buronan paling dicari saat ini, Keane.”

”Ya ampun, jadi sekarang aku lagi ngobrol sama buronan nih.” Aku pun berpura-pura ketakutan untuk menarik simpati Dean walaupun aku tau bahwa Dean tidak akan menyakitiku.

”Kamu tenang aja, aku nggak akan menyakiti kamu. Masa kamu percaya sih tampang sekeren aku ini seorang penjahat. Coba kamu lihat mataku dalam-dalam dan kamu pasti akan tau kalau aku tidak bersalah,” pinta Dean padaku.

Seketika aku pun menatap mata Dean yang berwarna hijau jernih itu. Sumpah, mata Dean itu bagus banget, aku begitu terpesona melihat matanya.

”Gawat, agen FBI itu mulai mendekati tempat ini,” seru Dean tiba-tiba sehingga membuyarkan lamunanku.

”Agen FBI yang mana sih?” tanyaku sambil ikut mengintip dari semak-semak.

”Kamu lihat kan cewek cantik berwajah oriental berambut hitam yang sedang berjalan ke arah sini. Dia itu agen FBI,” sahut Dean. Kecemasan terdengar dari suaranya yang merdu.

”Iya, aku lihat, Dean. Masa sih cewek secantik itu agen FBI?” tanyaku heran.

”Agen itu bernama Juichi. Aku menemukan kartu identitas dan lencana FBI-nya yang tidak sengaja terjatuh ketika aku sedang kencan dengannya kemarin.”

”Itu sih salah kamu sendiri. Makanya Dean, kamu kencan sama cewek nggak liat-liat latar belakangnya dulu sih. Sekarang kamu udah terlanjur ketauan sama FBI, gimana coba?”

”Aku rasa FBI sudah tau kelemahan terbesarku adalah Sammy dan para cewek cantik. Memang aku salah dan aku minta maaf telah melibatkan kamu ke dalam masalahku ini, Keane.”

”Oh, Dean, kamu tau kan aku tak pernah menyesal bertemu denganmu walau di saat genting seperti ini. Aku bersedia membantu kamu.”

”Aku berterima kasih banyak atas pengertianmu, Keane. Dan aku rasa, kamu telah memberiku inspirasi menyusun strategi meloloskan diri dari masalah ini bersamamu, Keane.”

“Dean, aku rasa Juichi itu tidak sendirian. Kamu liat kan cewek manis yang berada di arah jam 9 yang sedang membawa pistol? Sepertinya dia itu juga agen FBI.”

“Oh, Keane. Aku rasa masalah ini tambah gawat. Cewek di arah jam 9 itu bernama Nenok. Dia itu kencan bersamaku dua hari yang lalu. Aku benar-benar tidak menyangka dua cewek secantik mereka itu ternyata FBI,” kata Dean cemas.

“Tapi kamu tenang saja, Keane. Kita pasti akan lolos dari mereka. Aku punya rencana, namun aku butuh bantuanmu.”

”Katakan saja, Dean. Aku pasti akan membantumu.”

”Mobil Impalaku diparkir di Dark Blue Road, sekitar 500 meter dari Taman Cavanaugh ini. Tugas kamu adalah menarik perhatian Juichi dan Nenok supaya mereka tidak melihatku berjalan menuju Impala. Ketika aku berhasil mencapai Impala, kamu harus berjalan menuju patung perunggu di sebaleh utara taman dan aku akan menjemputmu di sana dan kita akan menuju ke tempat yang aman.”

”Tapi aku tidak melihat Impala kesayanganmu yang berwarna hitam itu, Dean.”

”Oh ya Keane, aku hampir lupa. Aku telah mengubah Impalaku yang tadinya bercat hitam, jadi merah.”

”Dean, kamu nggak salah tuh. Impala kesayanganmu itu dicat merah?”

”Iya, tadinya aku nggak pernah berniat seperti itu sampai aku bertemu dengan seorang wanita anggun yang mengenakan gaun taffeta merahnya yang bergemerisik sekitar 3 hari yang lalu. Aku benar-benar terpesona dengannya. Setelah kencan dengannya, kemudian aku mengantarnya pulang dengan Impala. Aku menanyakan namanya ketika ia turun dari mobil namun ia hanya berkata ’Panggil saja aku Red’.”

”Red pun berjalan menuju pintu rumahnya. Namun baru beberapa langkah, ia berjalan kembali ke mobilku dan berkata bahwa Impala ini akan lebih keren bila warna cat hitam diganti seluruhnya dengan warna merah.”

”Aku tak tau demon apa yang memasuki pikiranku, namun tanpa berpikir panjang aku langsung ke bengkel dan meminta montir di sana mengecat Impalaku dengan warna merah,” lanjut Dean panjang lebar.

”Dean, aku rasa Red itu semacam Trickster yang dapat menghipnotis pikiranmu.”

”Sudahlah Keane, kita bahas hal tersebut nanti saja. Kamu lihat kan kalau Juichi dan Nenok makin mendekati kita.”

”Oke, Dean. Aku akan menarik perhatian mereka sekarang. Kamu juga harus berhati-hati Dean, mungkin di sekitar sini FBI tidak hanya mereka berdua saja.”

Tiba-tiba dalam pikiranku terbersit sebuah ide dan aku pun langsung mengatakannya pada Dean,”Aku rasa kita harus punya plan B, Dean. Kalau kamu tidak berhasil mencapai Impala, lebih baik kamu langsung berbalik arah ke rumah temanku yang bernama Ucha. Rumahnya sekitar 200 meter dari Taman Cavanaugh ini. Rumah Ucha yang ada air mancurnya dan di tiang air mancur ada hiasan Crystal Ball. Ucha itu juga fans kamu jadi dia pasti bersedia membantu kita.”

“Rencana yang bagus, Keane,” kata Dean sambil tersenyum padaku.

“Kita pasti berhasil dengan strategi ini,” lanjut Dean.

”Sebentar Dean, apa kamu yakin dengan rencana ini?” tanyaku ragu.

“Setelah aku pikir-pikir lagi, plan A dan B yang kita rencanakan tadi terlalu riskan. Bagaimana kalau tiba-tiba kamu ketahuan? Lagipula kita kan tidak tau persis rencana FBI terhadap kamu. Jangan-jangan Juichi dan Nenok hanya sebagai umpan. Aku tidak ingin kamu berakhir seperti Jason Voorhees di film Jason Goes To Hell,” aku menjelaskan dengan panjang lebar.

Dean berpikir sejenak dan setelah itu dia berbisik padaku. Aku tersenyum pada Dean. Kemudian Dean meraih ponselnya dan mulai menghubungi seseorang. ”Nenok sayang, sedang apa kamu sekarang?” sapa Dean pada orang yang ditelponnya

”Aku kangen banget sama kamu, Nenok,” lanjut Dean dengan nada yang sangat mesra. Aku sampai cemburu mendengarnya.

”Aku baru ingat kalau kamu suka nonton film. Benar kan, Nok?”

”Iya, aku mau ajak kamu nonton film Star Dust. Film itu direkomendasikan sama teman aku yang udah nonton. Katanya sih filmnya seru banget. Kamu nggak bakalan nyesel deh.”

Dari balik semak-semak aku melihat Nenok sedang berbicara melalui ponselnya dengan wajah tersipu-sipu gembira. Pipi Nenok yang bersemu kemerahan terlihat dari kejauhan.

”Aku jemput kamu setengah jam lagi ya, Nenok sayang.”

Dean menutup telponnya dan kami melanjutkan pengamatan terhadap Juichi dan Nenok. Dari jauh terlihat bahwa Nenok menghampiri partnernya, Juichi dan bercakap-cakap dengannya. Kemudian mereka berdua pergi dan diikuti dengan seorang pria yang nampaknya juga agen FBI.

”Wah, sepertinya rencana kamu berhasil, Dean. Kelihatannya Nenok percaya sama rayuan kamu dan mengajak Juichi serta bodyguard-nya pergi dari Taman Cavanaugh ini,” sahutku senang.

Aku dan Dean memperhatikan sekeliling Taman Cavanaugh dengan seksama selama beberapa menit.

“Sepertinya keadaan sudah aman nih. Yuk kita jalan ke Impalamu. Aku pingin cepat-cepat pergi dari sini,” ujarku lekas-lekas.

”Kita harus tetap waspada, Keane. Lebih baik kamu menuju patung perunggu di sebelah utara taman ini. Aku sendiri menuju Impala dan tunggu aku di sana, aku akan menjemputmu,” tutur Dean.

Aku terlebih dahulu bangkit perlahan dari semak-semak dan berjalan ke arah utara. Setelah aku berhasil mencapai patung perunggu, Dean juga keluar perlahan-lahan dari tempat persembunyian dan mulai berjalan menuju mobil Impala tercintanya.

Namun tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

”POLISI! JANGAN BERGERAK!”

Ternyata masih ada beberapa polisi yang mengintai Taman Cavanaugh ini dan mereka langsung mengetahui keberadaan Dean. Dean pun lari sekencang-kencangnya. Aku semakin takut ketika mendengar suara tembak-menembak dari kejauhan.

Aku berjalan dengan cepat ke tempat lain yang aman karena takut polisi akan mengenaliku sebagai gadis yang membantu Dean. Tanganku mulai berkeringat dingin, jantungku berdebar keras dan kakiku gemetaran hebat. Sampai-sampai aku hampir tak kuat berjalan. Kemudian aku teringat plan B yang aku rencanakan tadi. Aku terus memaksakan diri untuk berjalan sampai aku tiba di sebuah kompleks perumahan yang terletak didekat Taman Cavanaugh. Aku langsung berlari menuju rumah Ucha.

“Ucha …Ucha …” kataku sambil mengetuk pintu ketika sampai di rumah Ucha.

Tapi tak ada jawaban. Kembali aku mengetuk pintu rumahnya dengan agak kencang namun tetap tak ada jawaban.

“Aduh, Ucha kemana sih? Jangan-jangan dia lagi tidur di kamarnya,” kataku dengan nafas yang masih terengah-engah.

Aku langsung saja mengitari rumah Ucha yang tidak berpagar itu dan menuju ke jendela kamar tidurnya. Aku mulai memicingkan mata melihat kedalam kamar Ucha lewat jendela yang bertiraikan satin semi transparan berwarna biru. Namun lagi-lagi aku harus menggigit jari karena ternyata Ucha sedang tidak berada di kamarnya. Tanpa sengaja aku memegang kaca jendela kamar Ucha dan tiba-tiba saja daun jendela itu bergeser. Ternyata Ucha lupa mengunci jendelanya. Syukurlah, setidaknya aku bisa beristirahat didalam kamar Ucha. Kalau dia tiba-tiba datang, aku akan bilang padanya kalau aku sudah menunggu lama dan kecapaian. Pasti Ucha akan memakluminya.

Ketika aku berusaha unuk membuka dan memasuki jendela kamar Ucha, tiba-tiba saja aku mendengar suara memanggil namaku dengan nafasnya yang terengah-engah.

”Dean, syukurlah kamu selamat,” kataku begitu mengetahui Dean ada di sampingku tanpa kurang suatu apa pun.

”Keane, beberapa polisi masih mengejarku. Kita harus bersembunyi secepatnya,” kata Dean cemas.

”Ayo cepat masuk lewat jendela ini, Dean. Kamu tenang saja, ini kamar temanku bernama Ucha yang aku ceritakan tadi,” sambungku lagi.

”Kamu masuk duluan, Keane,” kata Dean sambil membantuku memanjat jendela kamar Ucha. Setelah aku berhasil masuk, Dean mengikutiku memasuki kamar Ucha.

”Dean, aku takut sekali. Aku sempat mendengar suara tembak-menembak di Taman Cavanaugh tadi,” ujarku cemas.

Lalu Dean berkata sambil memegang tanganku yang dingin dan gemetaran, ”Sudahlah, Keane. Yang penting kan kita saat ini sudah berada di tempat aman. Kamu tenang dulu ya,”

”Sssssst... Dean, kamu dengar sesuatu tidak? Seperti suara seseorang membuka pintu.”

“Jangan-jangan temanmu si Ucha itu datang, Keane?”

“Kamu boleh tenang, Dean. Ucha itu teman baikku dan dia juga ngefans berat sama kamu. Jadi dia pasti akan membantu kita.”

“Kamu yakin, Keane ?” tanya Dean pelan.

Aku mengangguk dan tersenyum untuk meyakinkan Dean. Aku dan Dean mendengar suara langkah kaki mendekati ruangan tempat kami berada. Dalam hitungan menit, orang tersebut membuka pintu kamarnya dari arah luar.

”Keane, sedang apa kamu dalam kamarku?” tanya Ucha dengan heran ketika ia menemukan aku sedang berada dalam kamarnya.

”Ucha, maaf banget kalau aku masuk kamar kamu nggak bilang-bilang dulu. Aku udah dari tadi nungguin kamu di luar tapi kamu lagi nggak ada di rumah. Terus aku iseng-iseng ke kamar kamu. Tanpa sengaja aku menemukan jendelamu nggak terkunci. Jadi aku langsung masuk aja soalnya aku capek banget seharian ini, Cha,” kataku panjang lebar pada Ucha.

”Trus aku pingin mengenalkanmu pada seseorang, Cha,” sambungku lagi.

Dean pun muncul dari tempat persembunyiannya di balik pintu dan menuju ke tempat dimana aku dan Ucha sedang bercakap-cakap.

”Ya Tuhan, apa aku nggak salah lihat nih? Kamu beneran Dean Winchester ya? Keane, kamu bisa ketemu Dean di mana? Kok, kamu baru kenalin sama aku sekarang sih?“ Ucha langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

’’Tenang ... tenang ... Ucha, kamu nggak usah histeris gitu dong. Iya, aku ini beneran Dean Winchester,“ Kata Dean menenangkan Ucha.

”Whoaaa! Dean, aku senang banget bisa ketemu sama kamu,” kata Ucha dengan riang.

”Aku juga senang, Ucha,” sambung Dean.

”Ah, saking senangnya, aku jadi haus nih. By the way, kalian berdua mau minum apa? Oh ya, aku baru ingat, tadi aku baru beli cheeseburger yang enak banget. Kayaknya aku tadi dapat firasat bakal ketemu kamu, Dean,” ujar Ucha.

”Nggak usah repot-repot, Cha. Aku sih minuman soda dingin aja deh. Kalau kamu sendiri mau minum apa, Dean?” kataku.

”Sama seperti Keane, Cha,” kata Dean kepada Ucha.

”Oke, kalian tunggu di sini ya. Aku segera kembali,” sambung Ucha.

Ucha pun segera menutup pintu kamarnya. Tak lama kemudian, Ucha memanggilku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka pintu kamar dan menuju ke ruang makan. Aku begitu kaget melihat Ucha sedang membawa borgol yang terbuka.

”Ucha, aku nggak mengerti maksud kamu,” kataku dengan suara yang bergetar.

Seketika itu juga, Ucha melakukan gerakan secepat kilat dengan meraih kedua tanganku dan memborgolnya di belakang punggung. Setelah itu, Ucha menodongkan pistolnya di ke tubuhku.

”Ayo, Keane. Jalan ke kamar dan jangan macam-macam sama aku,” ancam Ucha dengan nada suara yang dingin.

”Ucha, kamu kenapa sih? Aku salah apa sama kamu? Apa karena aku masuk kamar kamu diam-diam?” kataku pada Ucha dengan cemas.

Namun Ucha tidak menjawab pertanyaanku dan mendorongku menuju kamar tempat Dean berada. Ucha memasuki kamar dan membawaku dalam ancaman pistol yang dipegangnya.

Ucha berkata pada Dean dengan nada mengancam,”Dean, menyerahlah. Tak ada gunanya lagi kamu terus lari dari kejaran FBI!”

”Dean, aku takut,” kataku dengan gemetar.

Dean terpana. Roman mukanya berubah seketika ketika melihatku telah dijadikan sandera oleh Ucha.

"Whoa...whoa... tenang... Cha," Dean angkat bicara seraya berjalan menghampiriku dan Ucha.

"Stop!" teriak Ucha dengan suara melengking.

"Angkat kedua tanganmu dan tetap berada di tempatmu berada sekarang. Jangan coba-coba mendekat apalagi bertindak macam-macam. Kamu pasti tidak mau kan kalau Keane, cewek barumu yang cantik ini mati sia-sia karena kesalahanmu," lanjut Ucha dengan nada sinis dan penuh ancaman.

"Ucha, please ... jangan sakiti Keane. Lepaskan dia karena dia tidak ada sangkut pautnya dengan kasusku. Aku baru bertemu dengannya hari ini," pinta Dean memelas.

"Kamu melakukan kesalahan besar dengan menggunakan Keane sebagai sanderamu, Cha," lanjut Dean. Suaranya terdengar parau karena emosi.

Imbauan Dean tidak digubris oleh Ucha. Tiba-tiba aku merasakan Ucha melingkarkan lengan kirinya yang kekar dan mencengkeram bahu dan leherku. Lalu Ucha menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkannya ke pelipisku.

"Oh." Aku ingin menjerit namun teriakanku seakan tertahan di kerongkongan. Bulu kudukku berdiri seketika. Tenggorokanku tercekik perasaan panik. Sekonyong-konyong aku merasa seakan-akan tidak bisa bernafas. Seakan-akan jantungku berhenti berdetak. Aku belum pernah merasa secemas ini sepanjang hidupku. Kini aku telah menjadi tawanan tak berdaya.

Dean menatapku sesaat sebelum menatap tajam pada Ucha dan berseru, "Aku benar-benar mengakui kecerdikanmu, Cha. Pertama, kamu berpura-pura menjadi fansku lalu setelah aku dan Keane mempercayaimu, kamu langsung beraksi."

"Hahaha... jangan salah sangka Dean. Sejujurnya, aku memang fans kamu. Mungkin kamu tidak tau kalau FBI menawarkan hadiah uang tunai $ 1 juta dan tiket serta akomodasi gratis  untuk jalan-jalan ke Paris bagi agen yang berhasil menangkap kamu dan Sam hidup-hidup. Tentu saja hadiah tersebut terlalu menggiurkan untuk aku lewatkan," balas Ucha seraya melemparkan tawa.

"Tapi kamu kan belum mendapatkan Sam, Cha," balas Dean sambil menyeringai.

Ucha mengangguk kemudian ia tersenyum sinis pada Dean dan melanjutkan komentarnya, "Tak lama lagi aku pasti mendapatkan Sam karena ..."

Kalimat Ucha terpotong ketika kami bertiga dikagetkan oleh suara berdebam tanda pintu dibuka dengan paksa. Lalu aku mendengar suara-suara derap kaki bergema dan diikuti dengan suara pelatuk senjata yang ditarik, menandakan bahwa kesulitanku dan Dean semakin bertambah. Rasa panik semakin mencengkeramku.

Aku menggigil. Seluruh tubuhku kini bermandikan keringat dingin. Aku berusaha melawan perasaan putus asa yang menyelubungiku.

Kemudian terjadi sesuatu yang lebih gawat lagi. Aku mendengar dengan sangat jelas suara beberapa pria dan wanita meneriakkan FBI. Dalam sekejap mata para agen FBI tersebut telah memasuki ruangan kamar tempat aku, Dean dan Ucha berada. Mereka semua bersenjata dan mengepung kami. Aku dapat melihat semua laras senjata diarahkan ke kepala Dean. Dan dalam hitungan detik salah seorang agen FBI mengeluarkan borgol dari dalam sakunya dan memasangkannya ke pergelangan tangan Dean.

Rona wajah Dean berubah menjadi pucat seketika. Aku merasa telah mengenal beberapa wajah agen FBI. Ya, tiga diantaranya adalah Juichi, Nenok dan seorang pria berseragam FBI. Mereka bertiga adalah agen yang mengejar Dean di Taman Cavanaugh tadi.

Pria itu lalu berseru kepada Ucha, "Kamu tidak apa-apa kan, Cha? Saya dan tim langsung bergegas kemari begitu menerima pesanmu bahwa buronan FBI yang paling berbahaya sedang berada di rumahmu. Untunglah kami semua tepat waktu."

“Saya sedang dalam kondisi terbaik saya, Pak Charmed,” tegas Ucha sambil terus menodongkan pistolnya di pelipis kananku. Lalu pria yang dipanggil Pak Charmed oleh Ucha tersebut maju merapat hingga hidungnya hampir menempel dengan hidung Dean. Matanya yang gelap menyorot dingin. Mulutnya tampak menyeringai kemudian ia melemparkan tawa kering. "Kamu tidak akan bisa lolos lagi, Dean!" hardik Charmed dengan nada yang sangat dingin pada Dean

"Apa yang akan kaulakukan padaku?" tanya Dean lirih.

Namun belum sempat Charmed menjawab pertanyaan Dean, tiba-tiba terdengar suara wuzz...

Aku dan semua yang sedang berada di ruangan tersebut tersentak kaget. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku ketika gorden yang terpasang di jendela kamar Ucha tiba-tiba terbuka. Aneh, pikirku. Namun keanehan itu semakin bertambah ketika semua pistol dan senjata laras panjang yang sedang digenggam Ucha dan para agen FBI di ruangan tersebut dalam sekejap mata telah lepas dari tangan mereka dan mengambang di udara hampir mendekati langit-langit kamar. Wajah para agen FBI termasuk Ucha langsung berubah panik dan tanpa sadar mereka langsung mendongakkan kepalanya ke atas dengan tatapan tak percaya. Ucha pun tanpa sadar melepaskan lengannya yang sejak tadi melingkar di pundak dan leherku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur ketika Ucha dan para agen FBI lain sedang lengah. Dean juga menyadarinya dan menjauhkan tubuhnya dari mereka. Raut wajahnya mengisyaratkan agar aku langsung mengambil posisi di belakang tubuh Dean. Belum sempat Ucha dan rekan-rekannya menyadari gerakan kami, muncullah sosok seorang wanita anggun yang mengenakan gaun taffeta merah. Tanpa senyum, tanpa ekspresi, hanya berdiri dengan dingin.

"Red," Dean berbisik perlahan dengan nada tak percaya ke telingaku.

Kemudian Red tersenyum bak anggur yang paling pahit. Snap! Ia menjentikkan jarinya.

Dalam seketika bed cover dan selimut yang menutupi ranjang Ucha tersingkap ke udara dan dalam hitungan sepersekian detik, kain tersebut telah terurai menjadi benang-benang panjang yang tak terhitung jumlahnya. Kemudian benang-benang panjang tersebut berkelompok membentuk ratusan tali yang melayang-layang di udara. Dalam sekejap mata, ratusan tali-tali tersebut langsung membelit tubuh bagian atas, lengan, kaki dan leher Ucha, Nenok, Juichi dan Charmed dan 3 orang agen FBI lainnya dan menyeret mereka semua ke atas ranjang Ucha. Ketika Ucha dan rekan-rekannya membuka mulut mereka dan bermaksud untuk berteriak, aku melihat ratusan benang-benang bergulung menuju mulut mereka. Dalam sekejap, aku melihat bibir-bibir mereka telah terbelit oleh gulungan benang tersebut sehingga mereka tak sanggup untuk berteriak.

Namun pertunjukan masih belum selesai, tali-temali merayap di atas ketujuh tubuh tak berdaya itu kemudian melingkari kepala mereka sehingga seluruh mata dan dahi tertutup oleh tali.

Aku dan Dean seperti terpana melihat kejadian yang sangat tak masuk akal tersebut.

”Tunggu, Red!” seru Dean tiba-tiba sambil mendekati Red.

"Siapa sebenarnya dirimu?" tanya Dean.

Red dengan wajah tetap tanpa ekspresi, mengerling dingin pada Dean.

"I'm just a girl who saved your ass," jawab Red singkat.

Red kemudian berlalu dengan cepat melewati pintu kamar. Dean berlari mengejar Red namun sayangnya ia telah lenyap dan Dean hanya menemukan segumpal asap merah yang perlahan-lahan menghilang.

Aku menarik nafas panjang. Jantungku masih berdentum-dentum bak genderang . Tapi perasaanku sudah lebih enak sekarang.  Lalu aku berjalan menghampiri Dean.

"Keane, ayo lekas pergi dari sini!" seru Dean.

"Tapi bagaimana dengan Ucha dan rekan-rekan FBI-nya? Lagipula lengan kita kan masih terborgol," sahutku.

"Aku akan menelpon 911 setelah kita berhasil pergi dari tempat ini,"  Dean bergumam sambil berusaha meraih sesuatu di kantong belakang celana jeansnya. Ia akhirnya berhasil mengambil sebuah paper clip dan mencoba untuk membuka borgol yang membelenggu pergelangan tangannya.

"Ah," Dean menarik nafas lega setelah berhasil membuka borgol itu kemudian ia menghampiriku dan membukakan borgol di pergelangan tanganku.

"Sam ada di mana ya, Dean?" tanyaku pada Dean.

Dean menatapku namun tak menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba ia mengambil ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang.

"Sammy, di mana kamu? Aku sedang dalam kesulitan besar, kamu malah menghilang," Dean berkata dengan nada tinggi. Ternyata ia menelpon Sam.

"Oh, kamu sudah di Taman Cavanaugh. Iya, Impalaku diparkir di Dark Blue Road. Ayo, cepat jemput aku di dekat rumah yang ada air mancurnya, sekitar 200 meter dari taman," lanjut Dean. Tak lama kemudian ia menutup ponselnya.

Dean menatapku dengan mata hijaunya yang cerah dan berkomentar, "Keane, kamu benar-benar hebat. Aku akui bahwa memang Red yang menyelamatkanku, tapi bila tanpa keberanianmu menghadapi kejadian tadi, mungkin aku tidak akan selamat."

Aku meraih tangan Dean dan menuliskan nomor Cellular Phone-ku di telapak tangan Dean dengan spidol. "Ring me up on my Cellular Phone so I know I'm not alone in the world full of vampires," ujarku sambil tersenyum pada Dean.

"And Demons," lanjutku lagi.

"And FBI agents, hahaha," balas Dean sambil tertawa renyah.

"Hahahaha..." aku pun ikut tertawa.

Setelah itu, kami saling berpandangan lalu Dean berkata," Keane, I'll see you soon."

"See ya, Dean," sahutku.

Aku melangkah pulang menuju rumahku. Baru 300 meter aku berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara mobil. Aku pun menoleh. Ternyata Impala merah kesayangan Dean yang dikendarai oleh Sam telah datang. Tanpa banyak basa-basi, Dean langsung memasuki Impala dan mengambil posisi di depan stir.

***

2 MINGGU KEMUDIAN

Ting ... tong... ting ... tong ... bel di pintu rumahku berbunyi.

"Sebentar... sebentar..." kataku sambil melangkah menuju pintu.

Aku membuka pintu namun aku tak menemukan seorang pun. Aku tersentak ketika menemukan sebuah amplop kecil berwarna coklat dan bertuliskan "this is a story" di atasnya yang ditaruh persis di bawah pintu rumahku. Aku membuka amplop tersebut dan ternyata isinya adalah sebuah kaset yang dilampirkan secarik kertas bertuliskan :

This is my mixed tape for you.
It's like I wrote every note with my own fingers.

Always,
Dean

Tidak ada komentar:

Posting Komentar