Author : RED_dahLIA
Pairing : Dean/Bella
Genre : Angst (?)
Rating : T
Disclaimer : Tokoh-tokohnya pinjem dari Mr.Eric n WB.
Timeline : Sekitar season 3 sebelum Bela mencuri colt, tapi biar aman anggap saja AU.
A/N: Ada kemungkinan OOC dan kurang detil karena ditulis saat mood sedang naik-turun
Tak banyak yang diharapkan Dean saat perburuan malam itu. Pada awalnya dia hanya berharap semua akan berjalan semudah yang ia kira. Dia dan Sam hanya akan datang ke sebuah situs kuno di tengah perkebunan tak terawat, lalu mereka hanya perlu mengambil sebuah patung perunggu berukuran sekitar tiga puluh senti di sana dan memusnahkannya. Simpel dan tak akan banyak menghabiskan tenaga. Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Pekerjaan mereka yang satu ini tidak semudah yang ia bayangkan. Apalagi saat Sam mendadak tak sadarkan diri selang beberapa langkah setelah mereka meninggalkan bangunan itu dengan patung perunggu terkutuk di tangan. Belum lagi reda kepanikan Dean, masalah tampaknya akan bertambah semakin rumit saja saat seseorang yang sama sekali tidak diduga (dan juga tidak diinginkan) menemukan mereka di tempat keramat itu. Seseorang itu adalah Bela.
***
“Dia hanya tertidur, Dean,” kata wanita berambut gelap itu enteng setelah Dean membaringkan Sam di atas ranjang.
Sekarang mereka sudah berada di dalam kamar motel. Sementara patung perunggu pembawa masalah itu sudah tersimpan aman di dalam sebuah tas plastik dengan dibungkus kertas koran rapat-rapat.
“Dia tertidur tidak wajar,” balas Dean setengah geram. Tersirat pemikiran di benak Dean kalau sebenarnya Bela tidak begitu peduli dengan nasib Sam. Wanita itu berada di teritorial kami dengan maksud tertentu, begitu batin Dean. Maka tidak heran kalau Dean langsung memasang sikap waspada dari menit-menit awal pertemuan tak terduga mereka tadi.
Bela dan Dean sempat bertatapan selama beberapa detik sebelum Bela mengedikkan bahunya. Dean masih mengawasi lekat-lekat tingkah Bela, penasaran dengan apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Namun ternyata Bela hanya duduk di kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya.
”Kalau begitu, beritahu aku apa yang kau tahu!” tuntut Bela dengan nada bosan tersamar dalam suaranya.
”Maaf?” kata Dean, berpura-pura tidak mendengar dengan baik. “Jika memberimu informasi ini berarti kami harus bongkar kartu tentang pekerjaan kami, sepertinya pertanyaanmu salah sasaran, Bela.”
“Kau sungguh keras kepala, Dean. Tapi ini membuatmu menarik, kau tahu?” kata Bela setengah menggoda. ”Maksudku baik. Aku pikir aku bisa membantu. Itu saja.”
Melihat ekspresi kaku di wajah Dean dan reaksi pria itu yang menutup mulutnya rapat-rapat, Bela segera bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ke meja kecil yang terletak di sebelah ranjang Sam, tempat di mana Dean meletakkan tas plastik berisi patung perunggu itu dengan agak sembarangan (karena dia tak peduli patung itu kini terguling di dalam wadahnya).
”Apa yang kau lakukan?!”
Dean buru-buru menghadang langkah Bela. Sekarang mereka saling berhadapan, sama-sama pasang badan dan terlihat saling menantang. Bela sendiri tampak tidak takut menghadapi Dean yang dengan postur tubuhnya yang sedemikian rupa bisa saja membanting Bela dalam sekejap.
”Aku perlu melihat benda itu, Dean! Benda yang membuat Sam jadi seperti ini!” sahut Bela dengan nada menekan dalam-dalam karena jengkel.
”Tidak!” balas Dean tegas. ”Aku hanya bisa percaya pada Bobby. Bukan kepadamu. Aku tidak sudi dibodohi…”
“Oh ya? Kalau begitu seharusnya kau segera menelpon Bobby kan? Tunggu apa lagi?”
Dean menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Hampir saja dia lupa menghubungi Bobby kalau saja Bela tidak mengingatkannya dengan cara yang tidak mengenakkan begini. Tapi wanita itu juga yang sudah membuatnya hampir melupakan Bobby, karenanya hal ini tidak akan membuat ‘bantuan kecil’ Bela tadi terasa lebih baik bagi Dean. Kepalanya penuh dan pikirannya kusut. Di sisi lain dia sangat-sangat mengkhawatirkan Sam, tapi di sisi lain dia juga menaruh kecurigaan besar kepada Bela.
Dengan gugup dan terburu-buru Dean meraih telpon genggamnya, hendak menghubungi nomer telpon rumah Bobby. Kegugupannya makin parah saat menyadari tidak ada sinyal dan ini membuat telpon genggam Dean tidak akan banyak berguna untuk saat ini karena dia tidak bisa menghubungi siapa-siapa.
”Apa yang kau lakukan?” tuntut Dean pada Bela. Ujung telinganya serta merta berdiri tegak saat mendengar tawa kecil wanita itu.
”Tidak ada,” Bela mengulum senyum kemenangan dan membuat Dean makin sebal.
Senyum kemenangan itu melebar saat Dean menghujani Bela dengan sorot menghakimi, seolah karena ada Bela di dekatnyalah yang membuat semua sinyal di handphonenya menghilang.
“Well, coba pikir baik-baik, Tuan Jenius. Di tempat seperti ini, di daerah dataran tinggi yang didominasi perkebunan luas dan cukup terpencil dari peradaban, kau pikir bisa menghubungi siapapun dengan mudah?” terang Bela agak meledek. “Coba lihat sekelilingmu, setidaknya aku berada dalam radius yang terjangkau.”
Dean memilih untuk mengenyakkan diri di sofa butut yang ada di pojok ruangan, membenamkan pantatnya dan punggungnya sedalam mungkin di sana. Dia mencoba untuk berpikir sejernih yang ia bisa di dalam situasi seperti ini, sementara Bela duduk menunggu sambil ongkang-ongkang kaki di kursi kayu yang berada di seberang ruangan.
Kepala yang penuh pikiran macam-macam dan kecemasan yang berlebihan membuat batin Dean berkecamuk. Saat dia mengangkat kepalanya dan memandangi ekspresi Sam yang sedang tertidur nyenyak secara misterius di ranjang yang berada tepat di depannya, perasaan Dean tidak malah membaik. Dia tidak tahu banyak hal tentang apa yang sedang menimpa adiknya. Bahkan dia sebenarnya tidak terlalu paham tentang kasus yang sedang mereka tangani. Pada mulanya ia dan juga Sam hanya menganggap kasus ini kasus remeh. Lagipula mereka datang jauh-jauh kemari bukan untuk kasus ini sebagai misi utama mereka. Ibaratnya mereka hanya numpang singgah di kota yang terpencil ini, meski kini kenyataan berkata lain.
”Awalnya Sam membaca lembaran-lembaran koran lama yang dia temukan di pom bensin waktu kami sedang mengisi bahan bakar di kota ini. Tanggalnya sekitar semingguan yang lalu...” Dean mulai membuka mulutnya untuk bercerita. Dia berusaha untuk tidak tampak putus asa, namun apa boleh buat, hanya Bela yang tampaknya bisa membantunya kali ini. ”...lalu dia menemukan sebuah artikel yang tidak terlalu penting karena diselipkan di bagian yang agak tersembunyi, di antara iklan-iklan jasa sedot tinja dan berita duka kalau aku tidak salah ingat.”
Dean merasakan Bela memperhatikannya penuh tanpa terbagi saat mereka bertatapan untuk sekian kali. Ekspresi wanita itu masih tampak angkuh, tapi kini ia juga terlihat sangat ingin tahu.
”Lalu?” tuntut Bela, menyipitkan kedua matanya.
”Artikel itu menyebutkan kalau ada sebuah bangunan kuno yang baru saja ditemukan di suatu areal perkebunan yang sudah lama terbengkalai oleh dua orang remaja yang tadinya berniat pacaran di sana. Err... sebenarnya sampai sejauh itu berita itu belum terlalu menarik. Namun saat kami menyadari apa berita utamanya di halaman depan, barulah terasa ada keanehan.”
”Keanehan seperti...?”
”Salah satu dari remaja yang menemukan bangunan kuno itu, Jeniffer Gibbs, mendadak saja memenangkan lotere sebesar lima puluh ribu dolar. Lalu kami mendapat secuil kabar dari penjaga pom bensin itu kalau Gibbs baru saja terbangun dari tidur panjangnya selama tiga hari selang beberapa saat sebelum dia diumumkan memenangkan lotere.”
Kening Bela berkerut, tapi dia hanya berkomentar pendek. “Gadis itu beruntung sekali.”
“Di kolom yang berbeda dari koran itu, ada kabar yang menyebutkan kalau pacar dari Gibbs, Nelson Smith juga mengalami hal yang sama, tertidur terus-menerus selama beberapa hari dan dokter belum mengetahui apa penyekitnya. Namun berbeda dari Gibbs yang bangun setelah tiga hari penuh tertidur, Smith belum juga bangun dari tidurnya sampai kemarin waktu kami menengoknya di rumah sakit. Dengan begini Smith sudah tertidur hampir seminggu lamanya.”
Dean berhenti untuk menarik nafas dan menemukan air muka Bela yang semakin tertarik kepada ceritanya. Diam-diam Dean agak risih dengan reaksi Bela ini. Dia merasakan ada pertanda yang tidak baik.
“Jadi, selanjutnya kalian pasti menyamar menjadi agen FBI dan melakukan serangkaian tipu muslihat untuk mengorek keterangan kan?” sindir Bela seraya tersenyum simpul.
Rahang Dean mengeras dan hanya memberi jawaban kaku, “Ya.”
“Kurasa aku sudah mulai bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi pada Gibbs, Smith, dan juga Sam.”
“Tebak saja!” tukas Dean tajam, mulai sebal dengan senyum maut di bibir Bela dan tampaknya bersedia memberi apa saja asalkan Bela bersedia menghapus senyum menyebalkan itu dari wajahnya.
“Yeah, tentu aku akan menebaknya, Dean,” sahut Bela, mengangkat kedua tangannya santai sambil masih ongkang-ongkang kaki. “Tebakanku begini, malam di mana Gibbs dan Smith menemukan bangunan kuno itu adalah malam di saat mereka berdua juga menemukan sesuatu yang saat ini sedang kau geletakkan begitu saja di meja sana. Pada waktu itu mungkin Gibbs tak sengaja menyentuhnya dan kurang lebih sama seperti yang terjadi pada Sam, Gibbs segera jatuh tertidur. Smith yang ponik, sama sepertimu, segera membawa pacarnya sejauh-jauhnya dari situs kuno itu dan juga melaporkan bangunan itu kepada dinas purbakala setempat yang kalau boleh kuduga tidak terlalu menanggapi serius entah kenapa. Mungkin karena laporan Smith yang terdengar meracau atau karena SDM di kota terpencil begini tidak bagus. Penemuan situs kuno hanya menempati pojok tak penting di koran? Keterlaluan!”
“Tebakan yang boleh juga,” cibir Dean setengah menantang. “Coba saja lanjutkan.”
“Tiga hari kemudian Gibbs terbangun dari tidurnya dan tentu dia sudah mengalami sesuatu yang sangat aneh selama tertidur sampai bisa menyimpulkan kalau keberuntungannya memenangkan lotere adalah karena sesuatu yang telah membuatnya tertidur itu. Karena Gibbs dan Smith adalah orang awam, maka mereka ingin membuktikan dugaan ini dengan didorong rasa ingin tahu yang begitu besar. Jadi sekali lagi mereka mendatangi bangunan kuno tersebut dan kali ini giliran Smith yang menyentuhnya. Entah karena panik atau ketakutan melihat dugaan mereka memang terbukti benar dan pacarnya yang tidak juga terbangun sampai sekarang, Gibbs memilih untuk menyembunyikan fakta ini dari siapa pun sampai kalian datang sebagai agen FBI gadungan untuk mengoreknya.”
Kali ini Dean yang ganti menatap Bela dengan tatapan menyelidik. Tebakan seakurat itu terkesan agak mustahil kalau hanya didapat dari mendengarkan cerita Dean barusan tadi.
”Kenapa? Kau curiga?” sahut Bela tenang dan membalas tatapan Dean dengan sorot yang tak kalah tajam. ”Aku hanya mencocokkan ceritamu dengan apa yang aku lihat malam ini. Aku melihatmu malam-malam menyeret Sam ke Impala tuamu. Lalu ada bungkusan koran aneh itu di tangan Sam...”
”Dan juga berada di tengah areal perkebunan terlantar yang jauh dari pemukiman!” tukas Dean, nadanya tidak senang tapi seakan dia baru saja menemukan sesuatu. ”Kau sendiri bagaimana? Tak mungkin kebetulan kami bertemu denganmu di tempat seperti itu tanpa ada hal mencurigakan. Kutebak kau tidak sedang berdarmawisata di sana kan?”
”Jika ini berarti aku harus bongkar kartu tentang pekerjaanku, sepertinya pertanyaanmu ini salah sasaran, Dean,” ujar Bela menirukan perkataan Dean tadi. Dean menerimanya dengan menggelengkan kepala sambil menggumamkan ”curang” dari sudut bibirnya.
***
”Sampai kapan kau akan seperti ini terus?” tanya Bela yang sedang sibuk menata piring-piring di atas meja. Sebelumnya dia menarik dua buah kursi hingga posisinya saling berhadapan mengapit meja itu. Jadilah meja makan sederhana. ”Dean, Sam hanya tertidur, sama seperti yang dialami Gibbs dan Smith. Nantinya dia pasti akan terbangun dengan sendirinya.”
Dean mengibaskan tangannya malas-malasan. Dia sudah bosan mendengar kalimat terakhir dari Bela ini yang sepertinya terlontar sebanyak jutaan kali sepanjang malam. Sekarang sudah lewat tengah malam, sudah sekitar empat jam Sam tertidur tanpa banyak gerak ataupun suara, dan Dean bisa saja menghabiskan malam dengan terus memeriksa denyut nadi Sam, warna pupil mata, hembusan nafas, dan lain sebagainya untuk memastikan kondisi Sam tetap baik-baik saja.
”Kau sama sekali tidak membantu...” geram Dean yang masih betah mempelototi lekat-lekat ekspresi tidur Sam yang terlihat damai.
”Aku tidak bisa membantu dengan perut kosong,” balas Bela enteng dan keluar ruangan, menuju ke mobilnya sendiri yang katanya menyimpan persediaan makan malam.
Tak seberapa lama wanita itu kembali ke kamar sambil membawa beberapa buah tupperware, entah apa isinya. Dean mendiamkan gumaman Bela yang menyebutkan kalau ia ingin menghangatkan makanan kalau saja dia diperbolehkan memakai kompor gas di kamar itu. Untuk saat ini Dean tak peduli lagi soal makanan. Yang dia inginkan hanya bagaimana agar Sam segera terbangun. Membayangkan Sam bernasib seperti Smith yang tertidur selama hampir seminggu membuatnya ngeri. Bagaimana kalau Sam kebablasan dan tidak terbangun lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa di dalam tidurnya? Dan banyak lagi pertanyaan memenuhi benak Dean sampai dia pusing sendiri dan menggenggam erat tangan kanan adiknya sambil harap-harap cemas.
Perhatian Dean yang tercurah semuanya untuk Sam mendadak disadarkan oleh bunyi perutnya yang keroncongan. Mau tak mau dia berpaling ke arah Bela yang menyambutnya dengan seulas senyum dan makanan yang sudah siap di meja.
”Hanya ada ini, Dean. Tapi kupikir akan cukup kalau kita berbagi,” kata Bela sambil menunjukkan sepiring omelet yang dipotong jadi dua bagian, sepiring daging domba kukus dingin dengan kacang polong dan juga beberapa iris roti panggang. ”Aku tidak punya anggur, tapi punya jus jeruk... oh ya ampun! Ini bukan candle light dinner, Dean. Tak perlu malu-malu begitu.”
Airmuka Dean sudah berubah-ubah warna saat dia memaksakan pantatnya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan Bela. Malu-malu? Sori saja! Justru dia cukup gengsi untuk makan semeja dengan Bela, mengabaikan prediksinya sendiri kalau dia bisa mati kelaparan pagi ini. Lagipula dia harus menjaga jarak kan? Mengingat berdekatan dengan Bela, apalagi bersentuhan walau hanya hitungan detik bisa membuat barang-barang berharga berpindah tangan. Dean tetap waspada.
“Jadi, kau masih belum mau makan?” tanya Bela yang sudah mulai mengiris daging dombanya, lalu mengunyahnya dengan gaya seanggun mungkin (sengaja mengesankan kepada Dean kalau daging itu nikmat sekali dan ini membuat Dean kesal).
“Makanan ini dibeli dengan uang haram, benar?” tukas Dean kaku dan sinis, padahal lambungnya sudah terasa memanas minta segera diisi.
Bela terkikik pelan. Sambil memamerkan sebaris giginya yang putih dan rapi dia berkata, “Kau mulai lagi denganku, Dean.”
“Lalu apakah kau sudah sempat membubuhi piring dan gelasku dengan racun?”
“Kau ini memang sungguh manis,” Bela balas menyindir, masih asyik makan dengan gaya yang mengiming-imingi Dean. “Aku ingin sekali melakukannya. Tapi sayang aku sedang tidak membawa racun.”
“Baiklah aku akan makan. Itu kalau kau memaksa...”
Perkataan konyol ini membuat senyum Bela terkembang lagi dan Dean ingin sekali untuk tidak salah tingkah pada saat begini.
Dengan jari gemetar karena gugup didorong oleh rasa gengsinya yang masih saja tinggi, Dean meraih beberapa iris roti dan mengunyahnya perlahan sambil menghindari kontak mata dengan Bela. Entah apakah ini justru membuatnya terlihat abnormal, tapi di sudut hatinya Dean merasakan ada sesuatu yang aneh saat ini. Sudah lumayan aneh kalau dia bisa makan berdua dengan Bela, apalagi didukung dengan suasana kamar yang agak remang karena penerangan yang payah.
”Lalu bagaimana kau akan membantu kami?” tanya Dean sambil mengunyah roti panggangnya. Dia sudah penasaran karena dari tadi Bela belum banyak menunjukkan sesuatu yang bisa disebut sebagai bantuan. ”Aku tak bisa tenang sampai aku tahu betul apa yang sedang menimpa Sam. Rasanya aku hampir gila...”
”Ya, aku bisa melihatnya,” balas Bela tenang. ”Tapi tak sopan makan sambil ngobrol.”
”Kau hanya mengulur waktu saja!” Dean makin tidak sabar dan ini ditunjukkannya lewat gaya sadisnya waktu mengiris potongan kaki domba.
Bela memilih untuk tidak terlalu menggubrisnya. Untuk beberapa menit kemudian hanya suara denting piring, pisau dan garpu beradu mengisi keheningan kamar. Suasana semakin terasa tidak enak saja. Dingin dan kaku. Lebih dingin dari suasana kuburan malah.
***
”Kau sudah bisa membantu sekarang,” kata Dean tajam. Dia masih bertahan di kursinya sambil mengawasi punggung Bela yang saat ini sedang mencuci peralatan makan. Sesekali Dean melempar pandangannya ke arah Sam yang belum juga menampakkan tanda-tanda kalau ia akan segera terbangun dan juga ke arah tas plastik berisi patung perunggu pembawa masalah itu.
”Setelah kau memberitahuku apa hipotesismu dulu,” sahut Bela seraya berbalik menghadap Dean dan mengelap kedua tangannya yang basah dengan sebuah handuk kecil di dekat wastafel.
”Kau...? Kau benar-benar ingin kami bongkar kartu begitu?!”
”Seorang dokter saja butuh keterangan sejelas-jelasnya untuk bisa menolong pasiennya, bukan? Jadi anggap saja dalam hal ini posisi kita seperti itu.”
Bela kembali menempati kursinya dan duduk berhadap-hadapan dengan Dean seperti posisi saat mereka makan tadi.
”Kita buat hal ini mudah, Dean. Bisa kan?” kata Bela lembut dengan nada merayu yang cukup tersamar.
Dean menatap lekat kedua mata Bela, menghela nafas panjang untuk meredakan kejengkelan, dan membuka bibirnya yang terasa berat.
”Kami pikir benda ini adalah sejenis benda pemujaan untuk dewa Pagan. Benda yang sangat berbahaya kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak berdosa ataupun orang tidak bertanggung jawab,” Dean sengaja menekankan pada kata-kata ’orang tidak bertanggung jawab’ dan mendapati Bela hanya mengangkat sebelah alisnya begitu mendengarnya.
”Mantan pemilik perkebunan itu pasti dulunya adalah bekas pengikut aliran tertentu dan dia mengorbankan orang-orang yang tak berdosa sebagai tumbal. Dari arsip-arsip lapuk yang kami selidiki di kantor administrasi lokal memang ada catatan segelintir orang yang pernah mengalami hal semacam ini. Seorang di antaranya bahkan tertidur sampai akhir hidupnya. Dua korban lainnya sempat terbangun dan mati secara tidak wajar kemudian. Hal ini terjadi sekitar enam puluh tahun lalu sehingga wajar kalau warga kota sudah melupakannya.”
”Hipotesis yang menarik...” Bela mengangkat dagunya. Sudut bibirnya berkedut membentuk gurat mencemooh. “Tapi patung perunggu itu bukan bentuk persembahan dewa Pagan.”
Kali ini giliran kedua alis Dean yang terangkat. Ekspresi wajahnya menunjukkan kalo sekarang ia sudah paham.
”Kau tahu, aku bahkan tidak pernah menyebutkan patung perunggu. Lalu tiba-tiba saja kau bisa tahu.”
Bela tergagap. Namun selang beberapa menit kemudian ia menyadari kalau dia tidak bisa lagi berpura-pura, wanita itu tersenyum tipis. Ia menyerah dan mengangkat kedua tangannya, berseloroh, ”Okelah kalau begitu...”
”Sejak awal kau sudah tahu tentang patung itu kan?! Kau memang mengincarnya! Sudah kuduga sejak awal,” desak Dean menahan geram. Terselip pikiran kalau sekarang bungkusan koran di tas plastik itu sudah berpindah tangan di saat dia lengah tadi. Tas plastik yang ada di atas meja di sana pastilah bukan tas yang sama dengan yang semula. Bisa jadi Bela telah menukarnya diam-diam entah sejak kapan sewaktu Dean sedang lengah tadi.
“Jauh sebelum kau menemukan kabar basi di koran lawas itu, para kolektor sudah meributkan patung perunggu dewa Hypnos yang sekarang ini berada di kamar kalian. Yang jelas, patung itu adalah semacam jimat, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai sebuah bentuk sarana untuk mendapatkan jasa wisata alam bawah sadar dari dewa Hypnos. Kau tahu Hypnos? Dia adalah dewa yang menguasai alam mimpi dalam mitologi Yunani. Perlu kutegaskan kepadamu bahwa benda itu sama sekali bukan benda yang berbahaya seperti apa yang kalian pikirkan.”
Dean melirik Sam yang masih saja pulas di atas ranjang sebelum kembali memusatkan perhatiannya ke Bela.
“Jasa wisata alam bawah sadar? Maksudmu seperti...?”
”Setiap manusia pasti punya mimpi, Dean. Mimpi, cita-cita, harapan atau apalah itu. Hypnos memberikan manusia kesenangan lewat patung perunggu itu. Bermain-main sampai puas di alam mimpi dan mengalami mimpinya seolah-olah seperti kenyataan yang sangat indah sampai akhirnya terbangun dan mendapati mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Gibbs sangat beruntung bisa bermimpi menang lotere dan memenangkannya sungguhan saat terbangun. Sedangkan Smith, kupikir dia punya harapan terlalu banyak atau dia termasuk tipe manusia yang tidak pernah puas. Bisa jadi dia akan terbangun beberapa bulan yang akan datang dan mungkin sebagian mimpinya akan terwujud nanti. Pendeknya, jimat itu membawa kesenangan di alam mimpi dan keberuntungan di alam nyata.”
”Tetap saja benda itu membawa pengaruh tidak baik dalam hidup seseorang. Kau pikir bagus tertidur berlama-lama dan seketika saja mendapatkan semua keinginannya tanpa berusaha? Apalagi sampai tertidur berbulan-bulan...”
”Aku tidak pernah menyediakan layanan purna jual, maka itu bukan urusanku sama sekali. Ada permintaan maka ada barang. Itu saja,” tukas Bela sambil buru-buru bangkit dari kursinya.
Dean yang lebih sigap segera mencengkram tangan Bela dan membekuknya. Bela menghadiahinya rasa sakit yang lumayan saat sengaja menendang lutut Dean sekeras mungkin. Terjadi sedikit pergulatan dan berakhir dengan Dean yang berhasil menyudutkan Bela ke dinding sambil memegangi erat-erat kedua bahu wanita itu.
”Kembalikan patung itu, Bela!”
”Terlambat. Kurirku sudah berangkat di saat yang bersamaan dengan saat kita makan tadi. Aku punya antrian pembeli yang bersedia menawar dengan harga tertinggi, Dean. Asal kau tahu saja…”
Bela menjerit kecil ketika Dean semakin menekannya ke dinding. Kini Dean paham kenapa Bela terkesan mengulur-ulur waktu dan berusaha membuatnya lengah.
”Kau... ti-tidak akan membutuhkan benda itu, kujamin!” desah Bela agak terbata. ”Memusnahkannya tidak akan berpengaruh kepada Sam. Dia sudah berada dalam kesenangan yang diberikan Hypnos sekarang...”
”Kalau begitu beritahu aku bagaimana cara untuk membangunkan Sam!” bentak Dean mulai frustrasi.
”Dia akan terbangun dengan sendirinya. Berkali-kali kukatakan ini! Semua tergantung berapa banyak harapan yang dia punya.”
Mendadak Dean merasakan genggaman tangannya pada bahu Bela mengendur. Kepalanya mulai pening dan pandangannya berkunang-kunang. Detik berikutnya dia terhuyung mundur. Dean menggelengkan kepalanya beberapa kali. Namun yang didapatnya justru rasa sakit seperti habis dihantam benda keras di bagian belakang kepalanya. Tak lama kemudian tubuh Dean melemas dan jatuh dengan kedua lutut membentur lantai. Di saat pria itu merasakan punggung dan lehernya begitu berat ketika ia terbaring terlentang tanpa daya, samar-samar ia mendengar suara Bela.
”Maaf, Dean. Tapi obat tidur butuh waktu untuk bekerja dan aku harus memastikan itu,” bisikan Bela terdengar semakin lirih, namun Dean masih sempat merasakan sentuhan lembut di bibirnya saat mendengar wanita itu berkata, ”Kau memang terlihat sangat manis saat tertidur...”
Bela menciumnya dan Dean menyambutnya dengan makian lemah “B*tch” dari sudut bibirnya yang bergetar.
***
“Dean!” suara Sam segera menyambut begitu Dean membuka kedua matanya. Saat ini dia sedang terbaring di atas ranjang dan masih merasakan kepalanya berat sekali, seolah tengkoraknya sedang menyangga beton. Pandangan Dean pun masih berkunang-kunang saat ia berusaha untuk duduk di tepi ranjang.
”Hei, kenapa kau bisa tertidur di lantai semalam? Kau bisa masuk angin,” kata Sam nyengir geli.
Dean menatap Sam dengan tatapan kau-ini-tahu-apa-sih sebelum menjawabnya lirih, ”Bela. Jalang itu mencoba memperdayaiku semalam.”
”Bela? Ada Bela semalam?”
Sambil mengangguk perlahan, Dean mengurut keningnya dengan jari-jarinya. Sebenarnya dia malas jika harus menerangkan kembali apa yang sudah terjadi semalam itu. Apalagi dia belum seratus persen lepas dari pengaruh obat tidur. Karena itulah dia memilih untuk rebahan lagi.
“Dean…” panggil Sam setengah berbisik. “…patung itu hilang… Kukira Bela yang menukarnya…”
Agak malas, Dean memincingkan salah satu matanya dan melihat apa yang sedang diacungkan oleh Sam yang rupanya adalah benda yang menggantikan posisi patung perunggu Hypnos di dalam tas plastik tadi.
“Ah, selamat, Sam! Kau baru saja memenangkan sebuah payung cantik..”
“Ini tidak lucu! Bela telah menukar patung kita dengan… payung nenek-nenek?” gerutu Sam, mengamati payung lipat pink bermotif bunga-bunga putih di tangannya.
“Kau boleh menyimpannya, Samantha. Cocok dipakai di hari yang panas, kukira,” sahut Dean, tersenyum nakal. “Lagipula, satu-satunya milik kita yang hilang hanyalah senter berbentuk Mickey Mouse, souvenir dari taman bermain berhantu waktu itu.”
Sam mengerjapkan matanya, masih agak cemberut, “Benarkah? Lalu patung perunggu kecil itu di mana?”
“Di suatu tempat di dalam laci dashboard. Lumayan sulit membungkus senter dengan koran sambil menyetir dan membongkar laci dashboard yang berantakan di saat bersamaan. Tapi kupikir tak ada salahnya menukar isi tas plastik kita sebelum Bela yang melakukannya. Terbukti antisipasiku itu benar.”
Sam memaksakan seulas senyum paham, namun Dean menangkap gelagat yang agak aneh dari Sam. Dean merasakannya dari sinar mata adiknya itu, ada secercah kebahagiaan sekaligus juga kekecewaan. Mendadak Dean teringat sesuatu, Sam belum menceritakan apa mimpinya semalam.
”Ada apa, Sam?” tanya Dean, serta merta bangkit dari ranjangnya meski kepalanya serasa dihantam besi lagi.
Sambil menghela nafas dan tertunduk lesu, Sam mulai membuka mulut, ”Tidak... Hanya saja semalam aku bermimpi bisa menemukan Lilith, memaksa iblis kecil itu untuk membatalkan kontrakmu... Mimpi yang cukup membingungkanku. Karena kau tahu, terjadi persis seperti apa yang selama ini kuharapkan selama setahun terakhir ini...”
”Lalu?” suara Dean seolah tercekat di kerongkongan.
”Lalu tiba-tiba aku terbangun dan menemukanmu tidur di lantai, itu saja,” ujar Sam. ”Aku bahkan tidak tahu apa ending dari mimpiku sendiri...”
Dean tertegun selama beberapa menit. Mendengar semua penjelasan Bela semalam membuat Dean cukup mengerti apa arti mimpi Sam ini. Jika mimpi Gibbs punya ending indah untuk diwujudkan Hypnos saat terbangun, ending mimpi Sam tidak demikian. Mungkinkah itu yang membuat Hypnos membangunkan Sam sebelum mimpinya berakhir? Karena Hypnos tidak akan bisa mengabulkan mimpi Sam? Ini semakin mempertegas keyakinan Dean, sekaligus membuat batinnya juga tertoreh semakin dalam, bahwa memang tidak ada seorangpun yang bisa membantunya membatalkan kontrak.
”Mimpi hanya kembangnya tidur, Sammy,” tegas Dean, berusaha memasang tampang sewajar mungkin. ”Kita beli burger yuk! Sudah waktunya sarapan nih! Kurasa cacing-cacing di perutku sudah mulai main keroncong!”
EL EXTREMO
Rabu, 28 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar