Author : RED_dahLIA
Timeline : Musim panas di pertengahan 2007
Genre : Apaan ya? Ga tau ah…
Disclaimer : Semua karakter punya WB, begitu juga dgn setting. Kalo ide crita sepenuhnya punya saya.
Suatu pagi yang cerah di Smallville, kota kecil berpenduduk kurang dari dua ratus jiwa. Angin berhembus sepoi-sepoi dan langit biru cerah. Sudah pasti ini adalah hari yang sangat bagus untuk pergi memancing. Sementara itu di kejauhan nampak sebuah Impala berwarna gelap meluncur, menyusuri jalan kecil yang membelah hamparan persawahan di kanan-kirinya. Dua orang penumpangnya terlihat sedang asyik berdebat.
“Tak ada yang istimewa di sini,” seloroh pemuda yang lebih tua, Dean Winchester, mencengkram kemudi sembari menoleh ke kanan-kiri. “Hanya sawah, ternak, sawah, ternak, sawah lagi. Memangnya apa yang sedang kita cari Sam?”
“Kota ini memang terlihat tidak istimewa. Hanya saja ada banyak keanehan yang terjadi di sini. Aku tak tahu apakah ini ada kaitannya dengan kemunculan Demon, tapi kota ini pernah terkena hujan meteor sebanyak dua kali berturut-turut selang waktu beberapa belas tahun. Aneh, kan?” balas Sam, saudara Dean, sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, raut wajahnya kesal. “Dan di sini tidak ada wi-fi! Payah!”
“Jangan pikir ini Metropolis, Sammy. Nah, sekarang beritahu aku dimana kita harus berhenti untuk penyelidikan awal.”
“Kita bisa mulai di sana,” kata Sam, menuding sebuah area ladang luas jauh di depan sana. “Milik keluarga Kent. Salah satu tempat yang pernah kejatuhan meteor dulu.”
Impala itu pun terus meluncur dengan kecepatan sedang, menuju ke tempat yang ditunjukkan Sam tadi. Ladang itu tak banyak beda dengan kebanyakan ladang lain yang mereka lihat di sepanjang jalan. Hanya saja terlihat cukup lengang dan sedikit tidak terawat. Dean memarkir mobilnya tepat di depan pagar utama dan segera keluar tanpa banyak tanya lagi. Sam mengikuti di belakangnya.
Sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, Sam mencermati apa saja yang ada di sekeliling mereka. Diambilnya sejumput tanah dan beberapa batang rumput, bahkan beberapa butir kerikil yang mungkin saja terlihat aneh, namun tak ada sesuatu yang cukup mencurigakan. Tak seberapa lama dia menghampiri Dean yang sedang berdiri mengamati areal ladang itu.
“Bagaimana? Apa yang kau dapat?” tanya Sam.
“Udaranya segar tanpa polusi dan pemandangannya bagus. Hawa di sini agak panas. Aku jadi ingin pergi memancing,” balas Dean, menghela nafas panjang.
“Maksudku apa yang kau dapat? Kau liat ada yang aneh?” kata Sam, nyengir gemas. Kenapa sih Dean kadang suka engga nyambung?
Dean mengedikkan bahu dan berujar, “Tak ada yang aneh. Tapi kalau itu bisa dibilang aneh, mungkin saja iya. Mana ada sapi segemuk itu? Diberi makan apa ya?”
“Maaf, ada yang bisa kubantu?”
Terdengar suara seseorang dari arah belakang Sam dan Dean. Seorang pemuda berbadan tegap besar, postur khas atlet American Football, menghampiri mereka dengan senyum ramah, wajahnya terlihat agak curiga.
“Oh, hai! Kami hanya ingin melihat-lihat,” sahut Dean cepat. Pemuda berambut coklat terang dan bermata biru itu terus menatapnya dengan sorot menyelidik. “Aku Dean, Dean Winchester. Dia adikku, Sam.”
“Clark Kent,” balas pemuda itu, mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Dean. “Aku yang bertanggung jawab di sini.”
“Baguslah! Jadi kami bisa menanyaimu banyak hal,” kata Sam, antusias. Clark mengangkat sebelah alisnya, masih tetap curiga.
Dean melirik Sam, agak kaget. Biasanya mereka tidak langsung to the point begini. Banyak basa-basi dan sedikit penyamaran akan lebih membantu.
“Kau tahu apakah belakangan ini banyak orang bertingkah aneh? Bertingkah di luar kewajaran, maksudku. Seperti misalnya punya keanehan dalam diri mereka atau semacamnya begitu…” Sam mengerling Dean, minta bantuan menjelaskan.
“Atau berbuat di luar kebiasaan mereka seolah mereka orang lain,” timpal Dean. Sam mengangguk.
Ekspresi Clark mendadak berubah aneh. Dia paham, tapi memilih untuk menutupi sesuatu. Dengan nada ramah dia berkata, “Well, aku belum pernah dengar hal semacam itu…”
“Itu terjadi setelah hujan meteor!” tukas Sam, agak tak sabar. “Kota ini pernah diserbu hujan meteor berkali-kali, kan? Apakah itu tidak aneh menurutmu?”
“Aku tidak tahu, sungguh. Aku bukan astronom,” jawab Clark tenang. “Mungkin saja karena letak geografis kota ini atau apa, aku tak tahu. Wartawati yang datang kemarin juga bertanya tentang hal ini, tapi aku tak banyak…”
“Wartawati?” Sela Dean, tersentak kaget. “Seperti apa dia?”
“Berambut coklat, langsing, tinggi kurang dari enam kaki dan logatnya cukup aneh, seperti bukan orang Amerika…” jelas Clark, berusaha mengingat-ingat.
“Bella!” kata Dean dan Sam kompak.
“Maaf?”
“Boleh aku tahu apa saja yang dia tanyakan?” desak Dean. Clark menanggapinya dengan raut muram.
“Aku tidak memberitahunya sama banyaknya dengan kalian. Lebih baik kalian pergi ke Luthor Corp. Mungkin saja Lex Luthor punya jawaban atas semua ini. Kalau boleh aku permisi sekarang.”
Setelah mengatakan ini, Clark berbalik dan meninggalkan Sam dan Dean yang masih bengong. Sam terlihat sama sekali tak puas dengan keterangan Clark ini.
“Kalau Bella ada di sini, sudah pasti ada yang tidak beres,” seloroh Dean yakin. “Mungkin memang ada hal-hal supranatural yang sedang terjadi.”
“Atau mungkin ada barang sangat berharga yang sedang dipamerkan di sini,” timpal Sam. “Aku sendiri mulai percaya ada pengaruh Demon yang sedang berkembang…”
“Satu-satunya Demon di sini adalah aku!”
Sam dan Dean terkesiap. Mendadak di samping mereka muncul seorang gadis cantik berambut pirang, Rubby.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dean, shock.
“Memangnya aku tidak boleh berlibur?” Rubby balas bertanya, galak. “Seharusnya kalian bisa berkoordinasi dengan baik. Lagipula di sini memang tidak ada Demon.”
“Dari mana kau tahu?” tantang Sam.
“Aku baca Koran Daily Planet. Headlinesnya tentang pencemaran sungai yang berfungsi sebagai sumber air minum di kota ini. Kabarnya banyak orang yang mengkonsumsinya mendadak berubah drastis. Lupa segalanya, tidak mau makan sama sekali dan terkadang histeris. Pada akhirnya akan terjadi bunuh diri massal dengan cara-cara mengerikan. Gara-gara ini banyak restoran tutup. Termasuk Taloon, café anak muda di kota ini,” terang Rubby, berkacak pinggang. “Tapi percayalah tidak ada Demon di sini. Selain aku tentunya”
“Lalu Bella…?”
“Well, aku tak tahu pasti. Tapi dalam beberapa hari lagi Lex Luthor dari Luthor Corp akan melaunching Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air. Kudengar sumber tenaga penggerak utamanya selain aliran air adalah batu meteorite. Ini hanya gosip saja kukira. Berita remeh berukuran dua kali dua inchi yang ditulis jurnalis bernama Chloe Sullivan di lembar paling belakang. Di tempat yang sering dijatuhi hujan meteor, pasti batu meteorite bukan hal yang aneh.”
“Tetap saja aneh bagiku,” tukas Dean semangat. “Ayo Sam! Kita pergi ke Luthor Corp. Tadi Clark juga berkata kalau jawabannya ada di sana.”
Rubby hanya mengangkat kedua bahunya, merasa sama sekali diacuhkan. Tapi Impala yang membawa dua bersaudara itu sudah meluncur pergi, meninggalkan debu beterbangan di jalanan.
***
Sementara itu, di antara mesin-mesin raksasa yang berputar-putar, mengaduk dan menggiling sesuatu, seorang gadis tampak menyelinap hati-hati sambil mengawasi keadaan di sekitarnya. Telinganya bisa saja tuli gara-gara suara bising yang timbul akibat proses kerja mesin di dalam ruangan itu, tapi dia terus saja nekat. Dia harus mendapatkan batu meteorite itu, harus!
“Hai, Bella!”
Gadis itu berjengit, terlonjak kaget bukan main saat mendapati dua orang pemuda sedang menatapnya dengan sorot mata tidak senang di ujung lorong.
“Oh, hallo Dean, Sam,” balas Bella angkuh. “Senang bisa bertemu kalian lagi.”
“Tapi kami tidak senang,” sahut Dean galak.
“Berhentilah melakukan perbuatan kriminal seperti ini! Kau tahu sesuatu tentang batu meteorite itu, kan? Lalu kau bermaksud mencurinya,” tuduh Sam tanpa basa-basi. Bella tampak terkejut. Tapi tak lama ekspresinya kembali dingin seperti biasa.
“Kalian sendiri juga kriminal kalau begitu, menyusup masuk ke sebuah pabrik tanpa alasan jelas. Atau mungkin kalian ingin menyabotase Luthor Corp? Siapa tahu saja.”
“Satu-satunya orang yang ingin kami sabotase adalah kau!” kata Dean, geram.
“Huh, coba saja!” kata Bella tenang. Tangannya menekan sebuah tombol di dinding tepat di sampingnya. Mendadak muncul sebuah pintu besi yang memblokir jalan Dean dan Sam.
***
“Sudah kubilang seharusnya kita masuk dulu ke ruang mesin. Tapi kau tak sabaran. Kenapa harus buru-buru menyergap Bella sih? Lebih baik kalau kita menangkapnya dari belakang diam-diam!” kata Sam, jengkel.
Sekarang dia dan Dean sedang sibuk mencari jalan keluar melalui lorong yang mereka lewati tadi. Agak sulit tentu, karena lorong itu sambung menyambung, berbelok-belok tak jelas dan terkadang ada beberapa pekerja lewat, ini membuat Dean dan Sam harus berkali-kali main petak umpet supaya tidak ketahuan.
“Kupikir ruang tempat Turbin itu disimpan ada di sana,” kata Dean, sok tahu. Sam melengos. Dia tahu kalau Dean hanya berusaha mengalihkan perhatiannya agar tidak terus-terusan diomeli.
“Bukan. Turbin itu ada di sini!” sahut suara lain dari belakang mereka.
“Clark? Rubby?” kata Sam begitu menyadari siapa orang-orang yang muncul tiba-tiba itu. “Sedang apa kalian di sini?”
“Berusaha menghentikan Lex,” balas Clark. “Kalian?”
“Berusaha menghentikan Bella,” jawab Dean. “Rubby?”
“Berusaha menghentikan kekonyolan kalian seperti biasa,” kata Rubby enteng.
“Oh, sudahlah! Cepat kita pergi ke ruangan tempat Turbin itu sebelum terlambat!” Sam mengingatkan.
***
Gemuruh suara mesin besar menderu-deru memenuhi seisi ruangan seluas lapangan dua kali tennis. Sebuah baling-baling raksasa nampak berputar kencang dengan kekuatan luar biasa. Di beberapa sisi mesin terlihat banyak sekali tombol menyala kelap-kelip. Monitor yang terpasang di sana menunjukkan grafik meningkat secara signifikan. Sementara itu beberapa orang teknisi sedang berdiskusi dengan seorang pria berkepala botak yang terus menatap Turbin dengan rona kepuasan di wajahnya.
“…uji coba berjalan dengan baik, Mr.Luthor. Kendalanya ada pada kualitas air dari sungai yang digunakan sebagai lokasi uji coba. Ada kabar kalau sungai itu tidak lagi bisa dikonsumsi warga karena serangan sindrom aneh…”
“…batu meteorite itu bisa jadi penyebabnya, Mr.Luthor…”
“…kami tidak yakin, tapi sepertinya penggunaan batu meteorite itu harus dihentikan…”
“Kalian diamlah!” kata Lex Luthor, tegas. “Aku tak akan menghentikan proyek ini. Kalian tahu berapa banyak keuntungan yang akan didapat perusahaanku dengan adanya mesin ini? Dengan Turbin ini, kita tak perlu lagi tergantung kepada supply listrik dari pemerintah. Kita bisa swadaya dan ini akan jauh lebih menguntungkan karena batu meteorite ini membuat mesin bisa bekerja berkali-kali lipat lebih efektif. Kita bisa memaksimalkan energi yang dihasilkan Turbin ini tanpa harus memikirkan resiko kehabisan energi. Ini baik sekali! Produksi kita akan terus berjalan lancar tanpa hambatan meski kondisi sekarang sedang krisis.”
Para teknisi itu terdiam. Lex Luthor mencermati batu meteorite hijau yang terpasang di Turbin miliknya. Ekspresi tamak Lex terlihat begitu jelas. Dia tak peduli berapa orang yang akan dikorbankan demi keuntungan pribadinya. Selama dia masih untung, kerugian beberapa gelintir orang bukan masalah besar untuknya.
“Sampai di sini saja. Matikan mesinnya!” perintah Lex. Setelah Turbin berhenti bekerja, dia mencomot batu meteorite itu dan memasukkan batu itu ke dalam saku jasnya. “Batu berharga ini akan kusimpan. Ya, lebih baik begitu saja…” ujar Lex sebelum melangkah mantap meninggalkan ruangan itu, tak peduli dengan para teknisinya yang sedang kebingungan.
Sambil berjalan menyusuri lorong demi lorong sempit, Lex tersenyum kecil, membayangkan apa jadinya setelah Turbin hebat miliknya ini dioperasikan penuh. Krisis energi memang sudah begitu parah. Kalau penduduk kota sudah terlihat kesulitan mendapat pasokan listrik, mungkin dia bisa mengkomersialkan Turbin itu. Ya, padahal para penduduk tidak tahu apa dampak negatif dari Turbin milik Luthor Corp itu. Tidak, mereka tidak boleh tahu.
Lex menggenggam batu meteorite dari balik saku jasnya. Masih aman, pikirnya tenang. Tapi perasaan tenang Lex tidak bertahan lama begitu dia merasakan sebuah hantaman keras dan sangat menyakitkan tepat di kepalanya. Seseorang telah memukul Lex dari belakang.
“Batu itu jadi milikku sekarang…”
Meski terkapar di lantai dalam kondisi setengah sadar, sayup-sayup Lex masih bisa mendengar suara seorang gadis. Dia bahkan bisa merasakan seseorang meraba-raba saku jasnya dan mengambil alih batu meteorite itu. Perlahan-lahan keadaan menjadi semakin buram sebelum akhirnya gelap total. Lex pingsan.
***
Dengan langkah tergesa, Bella berjalan melewati sebuah jembatan penghubung yang melintang di antara ruang mesin. Tepat di bawah jembatan itu, terdapat beberapa tangki berukuran besar berisi cairan panas mengepul menggelegak dan generator maupun alat-alat berat lainnya. Tak terbayang kalau misalnya ada benda yang terjatuh dari sana. Pasti akan langsung dilumat oleh mesin-mesin atau malah lumer jadi bubur mengingat cairan kimia di dalam semua tangki itu sedang mendidih.
“Berhenti, Bella!!” teriak seseorang.
Bella mencelos. Lagi-lagi gangguan, batinnya kesal. Dean dan Sam terlihat sudah berdiri menghadang jalannya.
“Aku tidak akan menyerahkan batu ini kepada siapapun,” tantang Bella, melambai-lambaikan batu itu, mengejek Dean dan Sam.
“Tapi kau harus menyerahkannya, nona!” pinta seseorang dari arah lain. Tampak Clark Kent dan Rubby berdiri di ujung jembatan satunya. Kini Bella terkepung di dua sisi jembatan. Dia tak bisa lari lagi.
“Oh, yang benar saja!” kata Bella setengah gusar. “Batu ini akan laku ratusan dolar di rumah lelang di London. Batu meteorite yang punya kekuatan besar dan bersifat kekal. Aku tak mau menyerah begitu saja.”
“Tapi kau harus menyerah, b****!” kata Dean tak sabar lagi. “Karena kau tak bisa kabur dari sini.”
Bella menoleh sisi kanan-kiri jembatan. Sepertinya jembatan ini tidak terlalu tinggi dari lantai dasar. Paling tidak ada sekitar dua meter. Dia pasti akan baik-baik saja kalau berhasil melompat dari sini.
“Kau tak bermaksud ingin lompat, kan?” tanya Rubby dingin. “Kupikir kau tidak sebodoh itu…”
Ucapan Rubby terpotong. Bella memutuskan untuk melompat. Dia gagal. Tubuhnya melayang di antara tangki-tangki besar. Gadis itu akan segera tercebur ke dalam tangki berisi cairan panas dan terpanggang hidup-hidup di dalamnya.
“Bella!!” teriak Sam panik.
***
Seleret warna biru-merah melesat secepat angin, membelah jalur-jalur sempit di antara tangki-tangki dan menangkap tubuh Bella yang lemas tak berdaya.
“Clark?” desah Dean tak percaya. Bagaimana mungkin? Bukankah tadi Clark sedang bersama mereka? Lalu kenapa dia tiba-tiba bisa berada di bawah sana dalam hitungan detik saja?
Clark tak ada waktu untuk menjelaskan. Tubuhnya langsung ikut melemas setelah berhasil menangkap Bella. Tanpa dikomando, Rubby, Sam dan Dean segera berlarian menuruni tangga. Mereka ingin melihat kondisi Clark dan Bella di bawah sana.
“Ada apa, Clark?” tuntut Dean mengamati Clark yang sedang menggelepar-gelepar di lantai. Wajah Clark pucat sekali dan tampak seolah sedang sekarat. Sedangkan Bella pingsan, tapi terlihat baik-baik saja, tak terluka sedikitpun.
“Batu itu… Kryptonite… “ desis Clark, tersengal-sengal.
Tanpa pikir panjang Ruby memungut batu hijau menyala itu dan menghanguskan Kryptonite itu dengan kekuatan Demonnya. Seketika itu keadaan Clark berangsur-angsur pulih. Dia mulai bisa duduk dan berdiri lagi.
“Well, sepertinya akan ada banyak penjelasan dari Clark,” seloroh Rubby tenang sekali. “Manusia normal tidak mungkin bisa berlari secepat the Flash begitu.”
“Akan ada banyak penjelasan dari Rubby juga,” sindir Dean, nyengir dan menirukan kata-kata Rubby. “Manusia biasa tidak mungkin bisa menghanguskan batu meteorite semudah itu.”
“Paling tidak semua masalah sudah selesai, kan?” kata Sam, tersenyum senang. “Proyek Lex Luthor tak bisa berjalan tanpa batu Kryptonite itu. Bella juga tak jadi untung besar.”
“Dia juga tak bisa tidur di pabrik ini ataupun ikut kita, Sam. Kebetulan aku ingin pergi mancing dan tak punya rencana mengajak Bella. Tapi mungkin Rubby bisa ikut kalau mau,” kata Dean mengerling Rubby. Rubby membelalakkan bola matanya, tapi tak terlihat keberatan. “Clark, bagaimana menurutmu? Kami ingin liburan di Smallville tanpa gangguan lagi.”
Clark menatap Dean, terkejut. Tak lama dia menyahut dengan tampang menyerah, “Oh, baiklah. Aku saja yang akan mengurus gadis ini dan juga Lex…. Mereka akan segera sadar sebentar lagi, kukira…”
Rabu, 28 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar