tag:blogger.com,1999:blog-70793674624130256802023-06-21T11:39:41.241+07:00Kompilasi Fanfiction Supernatural IndonesiaKoleksi fanfiction Supernatural karya fans Indonesia. Silahkan membaca semua koleksi fanfic di sini, mengomentari,ataupun menyumbangkan fanfic melalui email ke administrator.Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.comBlogger79125tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-83354040383194336372012-11-18T10:48:00.002+07:002012-11-18T10:48:51.165+07:00Surat Elektronik dari PenerbitTeman-teman sesama penulis sekalian, tadi pagi saya mendapat kiriman surel (<i>email</i>) dari penerbit yang isinya saya kutip penuh sebagai berikut:<br />
<blockquote class="tr_bq">
Dear Oryn,<br /><br />kami penerbitan yang bergerak di digital books (ebooks) publishing. Dengan tetap menghormati etika fanfic yang free to download / read, kami ingin mengkonversi fanfic dari http://supernaturalfanficindonesia.blogspot.com/ ke dalam format epub3, dan nanti tetap saja free to download / read. Bila berminat, silakan hubungi kami lagi agar kita bisa bicarakan lebih detail.<br /><br /><br />salam,<br />Jentera Pustaka<br /><br />Ardian</blockquote>
<br />
Saya ingin mengetahui pendapat teman-teman sekalian, apakah mengizinkan fanfic karya kalian untuk dikonversi atau tidak, mengingat saya di sini hanya sebagai kolektor/admin dan tidak berwenang memberi izin atas karya teman-teman. Mohon jawabannya segera ke alamat surel saya di oryn_luv@yahoo.com.<br />
<br />
Terima kasih. Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-53356172697443337762010-12-22T17:00:00.001+07:002010-12-22T17:02:01.829+07:00Fic: What Makes A DadAuthor: Sopraness<br />
Genre: Family<br />
Rating: K<br />
<br />
<br />
"Dad."<br />
<br />
Satu frasa itu tidak mau lepas dari pikiran Adam. Setiap kali kata itu muncul dalam pikirannya, sebuah senyuman akan merekah di bibirnya. Adam membisikkan kata itu, sebelum akhirnya ia terlelap.<br />
<br />
Hari yang ia nanti-nantikan akhirnya tiba; hari dimana ia bertemu dengan ayahnya. Pria itu muncul begitu saja di suatu pagi di kediaman Milligan, tempat ia dan Kate, ibunya tinggal. Adam melakukan kontak pertamanya dengan pria yang kini ia sebut 'ayah' itu di ruang makan, saat ia bersiap untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Tidak butuh waktu lama bagi Adam untuk mengenali siapa pria itu. Ia sekonyong-konyong tahu bahwa pria itu adalah ayahnya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sungguh, Adam berharap bus sekolah akan datang terlambat untuk menjemputnya. John Winchester—begitulah pria itu tadi memperkenalkan dirinya—baru bertanya sedikit mengenai dirinya, dan Adam masih sangat bersemangat untuk menjawab apapun yang ditanyakan padanya dan menanyakan segala sesuatu yang ingin ia ketahui tentang pria itu. Namun bus itu bahkan datang lebih cepat dari jadwal sehingga ia harus meninggalkan sesi tanya-jawab itu dengan berat hati. Tapi pria itu berjanji, bahwa mereka akan segera bertemu lagi. Adam berpegang pada janji itu, berharap akan ada pertemuan lain diantara mereka.<br />
<br />
Dan John Winchester menepati janjinya.<br />
<br />
29 September 2003<br />
<br />
Adam duduk dengan canggung di bangku penumpang sedan hitam klasik itu. Yang ia ingat, John memperkenalkan mobil itu sebagai Impala. John berada di sampingnya, mengemudi tanpa melepaskan pandangan dari jalanan.<br />
<br />
"Jadi, Nak," John melirik sekilas pada Adam, "selamat ulang tahun ke-13."<br />
<br />
Adam tersenyum canggung. "Trims, uh," Ia berhenti sebentar, menelan ludah sebelum mengucapkan kata-kata yang terus berputar di kepalanya akhir-akhir ini, "Dad."<br />
<br />
John tersenyum mendengar kata-kata Adam. Namun dalam semburat senyum itu tergurat pula kepedihan. Kepedihan yang tidak dimengerti Adam.<br />
<br />
29 September 2004<br />
<br />
Impala itu berhenti di depan rumah tempat Adam dan ibunya tinggal. Sebelum keluar dari mobil, Adam berpaling pada John.<br />
<br />
"Pertandingan yang seru, Dad. Terima kasih sudah membawaku untuk menonton baseball lagi. Kado yang menyenangkan untuk ulang tahun ke-14."<br />
<br />
John mengangguk sekilas, "Aku senang bisa menghabiskan hari bersamamu, Nak. Mungkin menonton pertandingan bola bisa kita jadikan ritual-hari-ulang-tahunmu," katanya sambil tersenyum. Dan Adam melihat guratan kepedihan itu lagi dalam senyuman itu. Kepedihan yang sama yang ia lihat di hari yang sama setahun lalu.<br />
<br />
Adam beringsut keluar dari mobil. Dalam satu ayunan pelan, ia menutup pintu sedan hitam John lalu melambaikan tangan ketika mobil itu menjauh. Adam menghela napas. Ia mengingatkan diri sendiri untuk menanyakan makna senyuman itu pada ayahnya di pertemuan berikutnya.<br />
<br />
April 2005<br />
<br />
Kate tengah bersiap untuk berangkat ke rumah sakit—satu lagi shift malam di Unit Gawat Darurat—ketika Adam tiba di rumah.<br />
<br />
"Bagaimana harimu dengan John?" tanya Kate sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.<br />
<br />
"Cukup menyenangkan," Adam menjawab seadanya sambil merebahkan diri di sofa. "Kami bermain billiard. bercakap-cakap dan bermain poker, Dad bahkan mengajariku beberapa trik poker."<br />
<br />
"Well. Kulihat kau cukup akrab dengan John," Kate menanggapi. "Itu hal yang bagus bukan?"<br />
<br />
Adam tidak menjawab.<br />
<br />
Kate menghela napas. "Baiklah, masih ada seloyang pizza yang bisa kau hangatkan untuk sarapan besok. Bye Adam," kata Kate sambil mengecup dahi Adam sebelum pergi.<br />
<br />
Adam bergeming. Ia hanya teralihkan oleh jawaban John saat ia bertanya mengenai guratan yang selalu menyertai setiap senyuman John.<br />
<br />
"Kau mengingatkanku pada orang-orang yang kusayangi," jawab John. "Aku berharap bisa mempertemukanmu dengan mereka. Tapi lebih baik tidak."<br />
<br />
Adam merasa John menyembunyikan sesuatu. Dan itu mengusiknya.<br />
<br />
29 September 2005<br />
<br />
Adam memberikan tatapan tidak percaya pada John. Pria itu baru saja menggeser segelas penuh bir ke arahnya. Sambil mengangkat gelasnya, John menyuruh Adam untuk meminum birnya.<br />
<br />
"Bersulang untuk ulang tahun Adam ke-15," kata John sebelum menyesap isi gelasnya. "Oh, dan untuk keberhasilannya mengemudikan Impala mengelilingi Windom dengan selamat."<br />
<br />
Adam tergelak, mengingat pengalamannya belajar mengendarai mobil dengan sedan hitam yang super keren itu. Adam belum menjadi pengemudi yang handal memang. Tapi les mengemudi singkat tadi cukup menyenangkan buatnya.<br />
<br />
"Bersulang untuk ayah yang hebat," kata Adam pada akhirnya, lalu menyesap bir pertamanya. Ia berjengat karena sengatan rasa minuman itu.<br />
<br />
John tersenyum karena ucapan Adam. Lagi-lagi senyum yang sama, dengan guratan kepedihan diantara lengkungan bibir itu. Pria itu meletakkan gelas birnya. Setelah satu helaan napas ia berkata, "i'm just some guy who took you to a baseball game once a year. Mengajakmu pergi menonton pertandingan baseball tiap tahun tidak menjadikanku seorang ayah, Nak," katanya lirih.<br />
<br />
Adam tidak tahu harus berkata apa.<br />
<br />
"Baiklah," kata John tiba-tibam sambil berdiri dari duduknya, "siapa yang mau bermain billiard?"<br />
<br />
Adam mengendikkan bahu, lalu mengekor ayahnya menuju meja billiard di ujung bar, berharap bola-sodok dapat mengalihkan perhatiannya dari ucapan ayahnya barusan.<br />
<br />
April 2010<br />
<br />
Adam berusaha membuat semua kejadian ini masuk akal. Ia pernah mati. Ghoul memakannya dan ibunya hidup-hidup. Ia ingat itu. Ia pernah berada di nirwana, dimana ia memiliki malam Prom yang luarbiasa dengan Kristin McGee. Tiba-tiba saja malaikat-malaikat—atau paling tidak begitulah mereka memperkenalkan dirinya—datang dan mengumumkan sesuatu tentang Michael dan kebangkitannya.<br />
<br />
Lalu inilah yang terjadi; ia bangun di rumah yang tidak ia kenal, dengan orang-orang yang tidak ia kenal, memperdebatkan keberadaannya dan tugasnya sebagai Pedang Michael yang telah ia setujui. Bukan apa-apa, tapi para malaikat itu berjanji akan mempertemukan ia dengan ibunya, satu-satunya orang penting dalam hidupnya. Bagaimana mungkin Adam menolak tawaran yang berhubungan dengan ibu yang sangat ia sayangi?<br />
<br />
Dean dan Sam Winchester, kedua kakak tirinya terus memaksanya untuk lebih percaya pada mereka dari pada janji-janji malaikat di surga. Pria setengah baya bernama Bobby bahkan ikut mengungkit nama John Winchester, pria yang pernah ia sebut ayah, yang tidak pernah menemuinya lagi sejak ulang tahunnya yang ke-15.<br />
<br />
"No, John Winchester was some guy who took me to a baseball game once a year. I don't have a dad," kata Adam lantang. Ia terus melanjutkan ucapan defensifnya terhadap serangan Sam dan Bobby. Namun, sesaat setelah ia selesai dengan perkataannya, ia terdiam. Baris awal ucapannya adalah kata-kata yang pernah diucapkan John di bar pada ulang tahunnya yang ke-15 beberapa tahun lalu.<br />
<br />
Sam meninggalkan Adam sendirian di dapur dengan sebotol bir dingin. Sam baru saja menjelaskan situasi John yang sebenarnya pada Adam; bagaimana selama ini John berusaha melindungi Adam dari dunia kelam John, dunia yang juga menjadi milik Dean dan Sam.<br />
<br />
Ia menyesap birnya. Sensasi sengatan bir itu mengingatkannya pada bir pertamanya, yang ia minum bersama John di bar. Kini semuanya masuk akal bagi Adam. Bukan perkara kebangkitannya kembali—ia masih tidak yakin akan ucapan Zachariah maupun Sam—tetapi akan kenangan-kenangan yang ia dapat dari John; guratan kepedihan dan ucapannya di bar. Untuk sesaat, ada rasa rindu mengalir saat mengenang sosok John Winchester.<br />
<br />
Adam menghela napas. Kepalanya terasa berat karena semua hal ini. Dibaringkannya dirinya di ceruk dekat jendela, sambil memejamkan mata ia menggumammkan frasa yang sudah sejak lama tidak pernah lagi mampir di kepalanya.<br />
<br />
"Dad."<br />
<br />
END<br />
<br />
Review, kritik dan komentar sangat diharapkan :) thanks for readingOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-48939073569974931232010-10-13T07:00:00.002+07:002010-12-22T17:16:28.040+07:00Fic: The Very Winchester Ramadhan<span style="font-weight: bold;">Author : Deanloves</span><br />
<b>Genre: Family</b><br />
<b>Rating: K</b><br />
<br />
'Klutak - klutik – klutak - klutik'<br />
<br />
Samar-samar Dean Winchester mendengar suara piring dan sendok beradu dari arah luar kamar, ditengah tidur malamnya yang lelap. Insting pemburu Dean langsung terbangun. Diraihnya pisau belati yang tersimpan siaga di bawah bantalnya dengan memasang telinga tajam-tajam. Diliriknya jam di tangannya. Masih pukul 3:30 pagi. Ditengoknya tempat tidur di sampingnya yang seharusnya ada adiknya tidur di sana. Tapi tidak ada. Sam tidak ada di tempat tidurnya.<br />
<br />
Dean langsung bangkit dan mengendap-endap tanpa suara keluar dari kamar. Ruang tengah terlihat terang benderang, dan semakin jelas bunyi piring dan sendok beradu. Dean harus tertegun melihat sosok Sam sedang duduk di meja makan menikmati sarapan subuhnya.<br />
<br />
"Sammy?" Dean terheran.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sam mendongak dan tersenyum.<br />
<br />
"Ngapain kamu, subuh-subuh makan?" Dean seraya memasukkan belati kesayangannya ke dalam saku celananya.<br />
<br />
"Sahur, Dean, hari ini, hari pertama puasa," Sam menyahut dengan ringannya.<br />
<br />
Dean sempat tertegun. Sahur? Puasa? Dan teringat, 'Eh, iya, hari ini ramadhan hari pertama.'<br />
<br />
"Kamu mau puasa hari ini?"<br />
<br />
Sam hanya mengangguk.<br />
<br />
"Nggak takut laper?"<br />
<br />
"Kan udah sahur, jadi nggak laper nanti."<br />
<br />
Dean terdiam sesaat, dan mengangguk.<br />
<br />
"Mau puasa juga, Dean? aku sisain kentang goreng sama telur mata sapi satu lagi, kalau kamu mau puasa juga."<br />
<br />
Dean tersenyum jengah. "Oh, gampang, aku nggak perlu sahur kalau mau puasa."<br />
<br />
Sam terdiam melihat abangnya. "Sahur itu sunah lho, satu paket sama puasanya sendiri."<br />
<br />
Dean hanya tersenyum tipis, semakin jengah.<br />
<br />
"Aku tidur lagi, ya...," seraya berbalik kembali ke kamar.<br />
<br />
"Puasa nggak, Dean?"<br />
<br />
"Insya Allah!" seru Dean kembali ke tempat tidur. Pikirannya kembali pada Sam, adik satu-satunya yang amat disayanginya. Ada perasaan bangga di sana. Umurnya baru 10 tahun, tapi dia sudah menyadari kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Sementara Dean sendiri, di umur yang sudah 14 tahun, entah baru berapa kali ia puasa di bulan Ramadhan. Shalat aja, jarang-jarang apalagi puasa. Tapi adiknya memang beda. Entah dipaksa oleh siapa, tapi Sam sudah mulai shalat dari umur 7 tahun dan beelajar puasa ramadhan secara penuh. Dengan pekerjaan ayahnya yang seorang pemburu hantu dan sering bersinggungan dengan hal gaib, ayahnya memang sering membekalinya dengan nilai-nilai agama, tidak hanya Sam tapi Dean juga. Hanya saja, yang bisa menempel cuma pada Sam. Dean masih menganggap shalat dan puasa hanyalah ritual biasa, yang akan dimaklumi meski tidak menjalankannya. Toh, dia tidak berbuat jahat pada orang lain, itu sudah jadi pahala buat Dean.<br />
<br />
Dan sekarang hati pertama puasa ramadhan, Dean sama sekali tidak ingat, dan tidak terlalu mempedulikannnya, meski ia ingat tadi malam, Sam merengek-rengek minta ditemani ke mushala terdekat buat shalat tarawih. Dengan hidup mereka yang berpindah dari satu kota ke kota lain, dan menginap di rumah kontrakan, membuat mereka tidak selalu kenal dengan daerahnya. Tapi sepertinya untuk kali ini, mereka akan menginap di daerah ini cukup lama, karena ayahnya sudah mendaftarkan mereka ke sekolah setempat untuk satu semester. Dan saat ini ayah mereka sedang memenuhi panggilan kasus dari warga di tempat yang lumayan jauh dari tempat mereka tinggal sekarang. Dean tak tahu berapa lama ayahnya akan pergi, tapi ia sudah sangat terbiasa ditinggalkan berdua dengan Sam hingga berhari-hari demi menyelesaikan sebuah kasus.<br />
<br />
Dean menarik nafas dalam-dalam, memikirkan Sam cukup membuatnya kenyang, dan yakin cukup untuk ikut puasa satu hari ini, kalaupun harus batal karena tidak kuat, paling tidak dia sudah niat. Niatpun sudah dapat nilai, itu yang Dean tahu.<br />
<br />
SPNSPN<br />
<br />
"Dean, kamu puasa?" Sam memastikan abangnya saat mereka pulang sekolah bareng dan terlihat Dean menyeret kakinya buat bisa berjalan. Badannya loyo.<br />
<br />
Dean hanya mengangguk lemas. "Iya dong..." Sumpah, demi adiknya, Dean mencoba untuk puasa juga. Tapi tanpa diawali sahur, dan memang belum terbiasa buat sahur, Dean lemasna setengah mati. Badannya seperti tak bertenaga. Perutnya menjerit-jerit minta diisi, tapi Dean berusaha bertahan. Dia tidak mau kalah dengan Sam, terlebih di hari pertama puasa.<br />
<br />
"Pantesan lemes, orang nggak sahur."<br />
<br />
Dean memasang muka protes, "Nggak, aku nggak lemes... siapa bilang aku lemes?"<br />
<br />
Sam tersenyum senang, "Kalu gitu, kita lari yok, aku harus ke perpus bentar, perpusnya udah mu tutup."<br />
<br />
"Hah, Sam?"<br />
<br />
Terlambat, Sam sudah berlari menuju perpus. Dean hanya menghela nafas, dan langsung berlari menyusul adiknya.<br />
<br />
Dean terengah-engah begitu sampai di perpustakaan. Tenaganya seperti terkuras abis, ditambah kerongkongannya terasa seperti tercekik karena kering sekali. Matanya menangkap air mancur kolam di halaman depan perpustakaannya. Terasa air yangg dingin itu menyegarkan kerongkongannya yang 'Ya, Allah, segar banget tuh air, ya ...' Dean ngences. 'DEAN, PUASA!' Dean langsung tersadar dengan teriakan di kepalanya, dan langsung menyusul Sam ke dalam perpustakaan.<br />
<br />
Di dalam perpustakaan terasa dingin dan sejuk. Dan sunyi sekali, meski banyak pengunjung yang berkutat dengan buku-buku mereka. Dean heran, ada yang bisa tenggelam di antara buku-buku itu sampe berjam-jam. Eit, bukannya Sam termasuk dalam orang-orang aneh ini? Sam bisa berjam-jam berkutat dengan buku-bukunya. Kalau dia, lihat buku saja sudah mual. Belum kalau harus buka buka dan sampe baca tuh buku, bisa bersin-bersin plus muntah-muntah. Heran mereka bisa bersaudara.<br />
<br />
"Dean, sini!" seruan Sam langsung menyadarkannya dan melihat adiknya sudah duduk di sebuah meja dengan buku-buku di mejanya. Dean menyusul ke sana dan menghempaskan pantatnya di kursi.<br />
<br />
"Mau ngerjain apa sih...?"<br />
<br />
"Paper buat besok," sahut Sam santai.<br />
<br />
Dean hanya ber 'o', dan menempelkan kepalanya di meja, alih-alih memperhatikan adiknya yang sibuk mencari bahan buat papernya.<br />
<br />
"Dean..., Dean...bangun..., dah selesai nih."<br />
<br />
"Huh?" Dean membuka mata dengan berat. "Ayam goreng sudah dateng?" tanyanya lansung setengah sadar.<br />
<br />
"Hih, ayam goreng dari mana? Ini aku dah selesai, pulang yuk."<br />
<br />
Dean mengangkat kepalanya dari meja dengan lemas , "emang kita di mana?" melihat sekelilingnya.<br />
<br />
"Perpus. Dah yuk, pulang, " ia harus menahan tawa geli dengan abang satunya ini. Tapi siapa yang tidak melihat Dean tertidur dengan mulut sedikit menganga di atas meja. Diminta temenin belajar, malah tidur. Sam sampai hilang konsetrasi dengan wujud Dean di sampingnya. Akhirnya ditutupi muka Dean dengan sapu tangannya.<br />
<br />
"Terus ayam gorengnya?" Dean masih setengah sadar.<br />
<br />
Sam memutar matanya. "Ntar di rumah, kalu dah buka."<br />
<br />
Dean langsung ingat, dia sedang puasa. Saat itu juga ia merasakan kembali 80% tenaga tubuhnya hilang dari badannya.<br />
<br />
"Sam, gendong."<br />
<br />
Sam mengerutkan alisnya, "Gendong, nggak salah? Aku seret ya," seraya menarik lengan kakaknya yang besar, untuk pulang.<br />
<br />
Setengah semangat, Dean menyeret kakinya pulang.<br />
<br />
Sampai di rumah, Sam melihat jam sudah mendekati waktu maghrib, ia langsung menyiapkan untuk berbuka. Sam melihat Dean terduduk lemas di sofa tengah hingga kembali melanjutkan tidur lagi di sana, tapi ada perasaan bangga di sana. Abangnya masih belum bocor puasanya. Bukannya sok tua, karena dia pun masih mencoba untuk bisa puasa satu bulan penuh, setelah ramadhan kemarin Sam bocor 10 hari karena sakit flu dan godaan-godaan lainnya. Ia tahu, abangnya masih jarang puasa tapi itu tidak menurunkan sosok Dean sebagai kakak nomer satu di dunia. Dan sebagai rasa bangganya Dean belum bocor di puasa hari pertamanya, Sam dengan ikhlas lillahita'ala menyiapakan makanan buka untuk mereka berdua.<br />
<br />
Hingga akhirnya terdengar suara adzan berkumandang.<br />
<br />
"ADZAN!" pekik Dean langsung bangkit dari sofanya dan belari menuju meja makan teringat dia belum membuat makanan buka buat adiknya. "Sam maaf..._ " dengan paniknya, tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, dia sudah tertegun dengan meja makan yang sudah tersaji ala kadarnya dengan makanan buka puasa. dua gelas teh manis, dan membuat pancake kesukaan Dean. Tak lupa menggoreng kentang dan nugget beku yang tersimpan di kulkas.<br />
<br />
"Selamat buka, Dean," Sam tersenyum manis dan duduk siap di meja makan.<br />
<br />
"Kamu, Sam?"<br />
<br />
Sam mengangguk dengan tersenyum.<br />
<br />
Dean tidak dapat berucap. "Maaf, Sam...?" ada rasa bersalah di sana, dia yang seharusnya menyiapkan semuanya.<br />
<br />
Tapi Sam hanya menyerigai ringan, "Nggak pa-pa, anggap aja, hadiah, buat puasamu yang nggak bocor hari ini."<br />
<br />
Dean tertegun, tak sadar, ia sudah menyelesaikan hari pertama ramadhan dengan puasa penuh satu hari. Ada perasaan bangga juga, kerena memang awalnya dia tidak ada niat puasa, tapi akhirnya gol juga sehari penuh. Dean tersenyum kulum. "Baru hari pertama, Sam, pasti gol, aku," Dean percaya diri, malu dong, masak kalah sama Sam yang baru 10 tahun.<br />
<br />
"Dah buka, Dean, wajib hukumnya langsung batalin puasa begitu mendengar adzan...," ajak Sam<br />
<br />
"Iya," Dean menyahut dengan tersenyum dan duduk siap membuka puasanya.<br />
<br />
Sam tersenyum, dan mereka baca doa bersama sebelum membuka puasa.<br />
<br />
"Dean?"<br />
<br />
"Ya...,"<br />
<br />
"Temenin aku taraweh lagi, ya,"<br />
<br />
SPNSPNSPNSPNSPN<br />
<br />
Tak terasa sudah hari ke 15 di bulan ramadhan ini. Sudah setengah perjalanan menuju hari kemenangan. Kemenangan yang akan diraih Sam sebentar lagi, karena ia belum satu haripun bocor, dan dia juga sudah berusaha untuk menjaga amal dia, menjaga perbuatannya agar tidak tercoreng selama bulan ramadhan.<br />
<br />
Sementara Dean, dengan segala godaan kanan dan kiri, dan rapuhnya iman pertahanan diri, dari 15 hari puasa, Dean sudah bocor 8 hari. Ia sendiri lupa apa saja setan-setan apa saja yang dengan suksesnya menghancurkan iman dia. Tapi apa mau dikata. Bocor ya bocor. Tapi tetap dia berusaha menjadi kakak yang baik buat Sam. Menemani Sam sahur dengan niat puasa satu hari full. Meski akhirnya dia sering tidak sampai gol di akhir hari, Dean selalu menyiapkan Sam berbuka puasa. Dan menemani Sam Shalat Tarawih. Terkadang, Dean harus menutupi dengan mengatakan dia masih puasa, yang sebenarnya dia sudah batal sejak tengah hari. Dean malu kalau harus mengakui kekalahannya untuk yang kesekian kali pada Sam, kerena dia tahu Sam belum batal sekalipun. Dan ia ingin sekali memberi hadiah, kalau memang Sam bisa puasa penuh satu bulan tanpa bocor.<br />
<br />
"Heh, Sam, puasamu belum batal, kan?"<br />
<br />
Sam menggeleng denagn tersenyum, "Mudah-mudahan nggak bocor sampe nanti."<br />
<br />
"AMIN!" Dean berucap penuh doa.<br />
<br />
Sam hanya tersenyum senang.<br />
<br />
"Terus kamu pengen hadiah apa, kalu bisa full puasa?"<br />
<br />
Sam tercenung dengan pertanyaan abangnya,"Hadiah?<br />
<br />
"Iya, hadiah…" Dean penasaran, anak 10 tahun seperti Sam, pasti ada sesuatu yang diinginkan tersimpan di kepalanya.<br />
<br />
"Nggak, aku nggak mau apa-apa. Puasa kan wajib, bukan nyari hadiah. Kalaupun dapet hadiah, juga dari Allah."<br />
<br />
JEDAK! Dean seperti ditampar oleh anak umur 10 tahun.<br />
<br />
"Ya... maksudnya , hadiah dari Allah itu sudah pasti, Sam, cuma, pasti pengen ada hadiah lain, dari ayah atau aku, gitu.. baju baru kek..." Dean berusaha menutupi gugupnya, dengan pertanyaan bodohnya. Dia lupa, sam bukan anak umur 8 tahun yang menginginkan hadiah atas prestasi puasa penuhnya, dia sudah 10 tahun. Tapi kalau misalkan ada anak umur 10 tahun yang masih meminta hadiah seperti itu, pastinya bukan Sam. 'Ya ampun, bego sekali, kamu Dean.'<br />
<br />
"Aku nggak mau apa-apa," ucap Sam lirih. Tapi tangannya langsung memainkan kaosnya, seperti ingin mengutarakan sesuatu.<br />
<br />
Dean tersenyum menunggu; bagaimanapun juga, Sam tetap anak umur 10 tahun.<br />
<br />
"Aku cuma pengen ayah ada di rumah saat lebaran nanti, dan kita bisa Shalat Ied bareng bertiga".<br />
<br />
Dean terpaku dengan permintaan Sam. Ia tidak menyangka keberadaan ayahnya saat lebaran nanti sangatlah penting bagi Sam. Ia pun menyadari sudah tiga kali lebaran ayahnya absen saat shalat Ied. Entah kasus apa yang dihadapi ayahnya sampai harus melewatkan lebaran bersama dua putranya. Ia tahu Sam kecewa, tapi Dean sudah melakukan apapun untuk menghibur adiknya, dengan selalu ikut takbir bersama anak-anak yang takbiran keliling kampung, dan malamnya. Dean tertegun dan menarik nafas.<br />
<br />
"Jangan khawatir, Sam, ayah pasti di rumah. Aku janji, ayahnya akan shalat ied bareng kita nanti."<br />
<br />
"Janji."<br />
<br />
Dean mengangguk.<br />
<br />
"Jangan berjanji kalu tidak yakin bisa menempatinya."<br />
<br />
Dean terkatup, dan mengangguk, "Iya, Insya Allah...".<br />
<br />
Sam pun hanya tersenyum tipis.<br />
<br />
Dean benar-benar berdoa agar dia bisa menepati janjinya pada Sam. Iapun sudah mengatakannya pada ayahnya, dan ayahnya pun sudha berusaha untuk dapat menepatinya, dan sepertinya akan terkabulkan dengan dia tidak ada panggilan kasus hingga hari ke dua puluh sepulang dirinya dari kasus terakhir kemarin 10 hari yang lalu. John cukup bangga mendengar laporan Dean tentang Sam yang belum bocor puasanya, dan karena itu ia akan mengabulkan permohonan putra bungsunya yang amat disayanginya. Iapun merasa berdosa dan bersalah telah melewat tiga kali lebaran bersama dua putranya, dan ia ingin dapat menebusnya lebaran kali ini.<br />
<br />
Tapi harapan tinggal harapan. Tepat 5 hari menjelang hari kemenangan, secara tiba-tiba John mendapat panggilan kasus di kampung lain. Sam sudah pasrah dengan lebaran yang sama seperti tahu lalu, tanpa ayahnya. Tapi ternyata itu belum seberapa dengan John yang harus membawa Dean ikut serta. Makhluk yang akan dibasmi kali ini, cukup kuat, dan ia pasti membutuhkan Dean untuk membantunya. Dean sudah memcoba untuk meneolak ikut, tapi ayahnya sangat membutuhkannya, dan jika ayahnya mengatakan dia membutuhkannya, berarti itu sebuah perintah yang tidak dapat dibantah.<br />
<br />
Terbayang wajah kecewa Sam, yang akan ditinggal sendiri. Tapi lebih kecewa lagi Sam yakin ia tidak hanya akan merayakan lebaran tanpa ayhnya, tapi juga tanpa Dean. Itu yang paling berat. Ia selalu merayakan lebaran bersama Dean, tidak pernah Dean melewatkan satu lebaran pun tanpa Sam. Meski Dean terus meyakinkan Sam bahwa mereka akan pulang secepatnya bahkan sebelum hari terakhir puasa berakhir, mereka akan sudah sampai di rumah. Tapi Sam tidak ingin meyakininya. Dia lebih memilih untuk bersiap tidak bisa merayakan lebaran dengan kedua orang yang amat disayanginya, daripada harus kecewa dua kali lipat kalau ia yakin mereka berdua akan datang, tapi ternyata tidak datang.<br />
<br />
"Jangan khawatir, Sam, kita pasti sudah pulang sebelum shalat Ied, bahkan kita sudah ada di rumah sebelum kamu menyadari kepergiannya, kita," Dean tetap meyakinkan saat mereka bersiap untuk pergi. Sebuah peyakinan yang hanya dianggap peyakinan yang bodoh bagi Sam.<br />
<br />
Tapi Sam hanya mengangguk, dengan air mata yang menetes. Dia tidak mau ditinggal, dia tidak mau sendiri, dia tidak mau sendirian saat lebaran nanti.<br />
<br />
Tapi Dean tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memeluk erat tubuh kecil adiknya. Sam membalas pelukan Dean dengan lima kali lebih erat, seakan tidak ingin dilepasakan lagi.<br />
<br />
Dean sesak merasakannya. Sesak karena tercabik-cabik harus meninggalkan Sam, dan harus mengecewakan adiknya dua kali lipat.<br />
<br />
John memeluk erat putranya seakan meminta maaf, tapi sepertinya sudah tidak ada maaf buat ayahnya. Ia merasa ayanya sudah merenggut Dean untuk berlebaran bersamanya. Ia membenci ayahnya.<br />
<br />
Sam akhirnya hanya bisa melihat ayah dan abangnya pergi, entah untuk berapa lama, tapi ia yakin, akan lebih dari 5 hari seperti biasanya, yang pastinya tidak ada ada lebaran bersama. Sam hilang harapan.<br />
<br />
Dengan hilang harapan itu, Sam merasa tidak bersemangat untuk melanjutkan puasanya yang tinggal 5 hari lagi, 5 hari menuju kemenangan besar. Ia sudah tidak peduli lagi, yang ada hanyalah rasa benci. Benci pada ayahnya, benci pada Dean, benci a ditinggalin, benci buka puasa sendiri, dan yang paling besar, ia benci mengucapkan permohonannya sendiri. Tapi tetap ia berusaha untuk membatalkan puasanya apapun alasanya, terserah mau diterima atau tidak puasanya sama yang di atas. Yang ada<br />
<br />
Menjelang dua hari dari Hari Kemenangan, Sam semakin tidak bersamangat dengan hari lebaran. Sudah terbayang dia akan menghabiskan lebarannya sendirian. Dia tidak akan shalat ied. Tidak akan enak shalat ied sendirian, tidak enak shalat ied tanpa Dean.<br />
<br />
"Sam?"<br />
<br />
Sam mendongak dengan suara lembut yanga memanggil namanya. Sebuah nama tersebut tipis di bibirnya yang sedikit terpaku. "Amanda."<br />
<br />
Amanda adalah gadis manis yang sering melirik padanya malu-malu sejak hari pertama ia masuk di sekolah ini. Sam tidak tahu arti Amanda melirik dan tersenyum padanya, tapi yang pasti ia suka kalau Amanda tersenyum padanya.<br />
<br />
"Nanti sore mau buka puasa bareng di rumah? Mama bikin semur daging dan kolak plus es sekoteng,"<br />
<br />
Sam menelan ludah. Ini sudah yang ketiga kalinya Amanda mencoba mengajak Sam buka puasa bersama di rumahnya, tapi selalu ia tolak dengan halus, karena ia selalu ingin berbuka puasa hanya berdua dengan Dean. Tapi malam ini tidak ada Dean, dia nggak mau buka puasa sendirian, dia benci buka sendirian.<br />
<br />
Akhirnya Sam mengangguk dengan tersenyum menerima undangan teman baru nya ini<br />
<br />
SPN<br />
<br />
Sam berdiri ragu saat ia akan pergi kerumah Amanda. Ia bingung haruskah ia meninggalkan pesan untuk Dean di atas meja, berjaga-jaga siapa tahu mereka pulang cepat, agar Dean tidak khawatir bila tidak menemukan Sam di rumah. Ia tahu Dean bisa kena serangan jantung kalau tidak menemukan Sam saat pulang nanti. Tapi mungkinkah mereka pulang malam ini. Sam tidak yakin. Tapi ia pun tidak ingin membuat Dean cemas kalau memang ia tiba-tiba pulang nanti dan menemukan rumah dalam keadaan kosong.<br />
<br />
Sam menimbang-nimbang, dan akhirnya melangkah keluar rumah tanpa meninggalkan pesan apapun di atas meja.<br />
<br />
SPN<br />
<br />
"Yah, pokoknya aku pulang sekarang. Toh kerjaannya udah beres, kan?" Dean bersikukuh. Dia senang sekali mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka lebih cepat dari yang diperkirakan. Berarti dia bisa memenuhi janji Sam. Tapi betapa kagetnya Dean, begitu mendengarnya, urusan Ayahnya belum selesai semua, dan mereka belum bisa pulang cepat.<br />
<br />
"Iya, tapi ayah masih ada urusan bentar."<br />
<br />
"Itu urusan ayah, yang penting aku pulang dulu. Masalahnya aku sudah janji sama Sam, Yah...aku nggak mau mengkhianati janjiku. Aku bukan..." tapi langsung berhenti seakan tidak tega melanjutkannya.<br />
<br />
John terdiam, menangkap kelimat selanjutnya yang belum terucap. "Ya, kau bukan ayah, Dean," dengan sesal.<br />
<br />
Dean terdiam. "Maaf, Yah..."<br />
<br />
John mengangguk dan tersenyum. Ia menghela nafas, "Oke, Ayah antar kamu pulang, tapi ayah pergi lagi. Ayah usahin besok malam sudah pulang."<br />
<br />
"Tapi besok malam takbiran, Yah."<br />
<br />
"Makanya, Ayah usahain besok malam udah di rumah. Ayah juga nggak mau melanggar janji ayah. Sudah sering ayah mengecewakan adikmu."<br />
<br />
Dean terdiam.<br />
<br />
"Kali ini, Ayah tidak ingin mengingkarinya," tekad John pasti. "Ayah janji, Dean."<br />
<br />
Dean mengangguk dengan tersenyum bangga.<br />
<br />
"Yuk, Ayah antar kamu pulang."<br />
<br />
Dean semakin tersenyum dan menghela nafas panjang dan lega.<br />
<br />
Perjalanan satu setengah jam, serasa satu hari rasanya. Dean sudah tidak sabar untuk sampai di rumah dan melihat wajah binar Sam menyambut dirinya pulang.<br />
<br />
Hari mulai gelap saat mereka tiba di rumah, sudah waktunya berbuka. Dean memikirkan, Sam buka dengan apa, ya, hari ini? Apa simpanan makanan yang ditinggalkan mereka, cukup untuk Sam makan? Mudah-mudahan.<br />
<br />
Dan begitu si cantik impala melewati depan rumah kontrakan mereka, Dean langsung membuka pintu dan melompat keluar, bahkan mobilpun belum berhenti benar.<br />
<br />
"DEAN!" seru John kaget dengan aksi anaknya. Ia tahu Dean sudah sangat tidak sabar untuk dapat segera bertemu adiknya.<br />
<br />
"Aku nggak papa, Yah!" seru Dean riang,menjawab kekhawatiran ayahnya. Memang dia sempat akan jatuh, tapi dengan sigap, kakinya yang mulai kuat bisa menyimbangi tubuhnya, dan menahan dia tidak jatuh.<br />
<br />
"Udah, Yah, lanjut pergi sana!"<br />
<br />
John memastikan benar anaknya tidak apa-apa,dan mengangguk.<br />
<br />
"MAKASIH YAH!" seru Dean dengan tersenyum lebar melihat mobil ayahnya kembali melanjutkan perjalanannya.<br />
<br />
Dean tak dapat menahan senyum tak sabarnya melihat lampu menyala dari dalam rumah. Berarti Sammy ada di rumah. 'Sammy, aku pulang,' desisnya lega. Dan dengan penuh semangat ia berlari ke arah rumah, dan membuka kenop pintu, ia tertegun, pintu rumah dalam keadaan terkunci.<br />
<br />
"Sam?" panggil Dean seraya melongok ke arah dalam rumah melalui kaca jendela.<br />
<br />
Tapi tidak ada jawaban.<br />
<br />
"Sammy! Ini aku, aku pulang, SAM!" dengan menggedor pintu rumah.<br />
<br />
Tapi tetap tidak ada jawaban.<br />
<br />
Akhirnya diputuskan untuk memakai kunci serep yang dia punya.<br />
<br />
Dan keheningan langsung menyergap begitu pintu terbuka. SEPI.<br />
<br />
"SAMMY?" dean berlari ke kamar tidurnya, dan mendapati kamarnya kosong dengan dua tempat tidur yang super rapi.<br />
<br />
Dean lari keluar dan mengamati sekeliling ruang tengah. RAPI. Dean tertegun,Sam belum pulang?<br />
<br />
Jantungnya langsung berpacu kencang. Diliriknya jam tangannya sudah jam 18:30, seharusnya sam sudah pulang dan ada di rumah. Tapi dia belum pulang. Kemana, Sam? Diperiksanya sekelilingnya untuk mencari mungkin sam meninggalkan pesan untuknya. Tapi tidak ada. Sam tidak meninggalkan pesan. 'Sammy!' langsung pucat. Dadanya mulai sesak. Dan hampir berlanjut pada serangan asma kalau tidak tiba-tiba ingat ada pesan telepon Sam meninggalkan pesan di sana. Langsung ia mencoba memutar pesan suara dari telepon rumahnya.<br />
<br />
Tut...<br />
<br />
Dean menunggu dengan tidak sabar, 'Ayolah, Sam, tinggalkan pesan untukku,'<br />
<br />
Tuuutt..., "Ng... ini aku,"<br />
<br />
Dean tercekat penuh harapan dan lega dengan suara kecil adiknya akhirnya terdengar di mesin telepon. 'Sammy.'<br />
<br />
"Aku nggak tau, apa kalian sudah pulang atau belum, tapi buat jaga-jaga aku meninggalkan pesan ini. Aku sedang berada di rumah keluarga Howards, Amanda mengundangku untuk buka puasa bareng. Kalau kemalaman, mungkin aku menginap di sini. Ny. Howards sudah menawariku untuk menginap, dan aku pikir apa salahnya, toh aku bakalan buka puasa sendirian. Aku nggak suka suka sendirian.."<br />
<br />
Dean terkatup dengan pesan suara Sammy. Suaranya begitu kecil dan memelas. Perasaan bersalah kembali menyergap.<br />
<br />
"Jangan khawatir aku baik-baik saja selama kalian," lanjutan suara Sam. "Tapi kalau kalian sudah pulang, jemput aku langsung ke sini, alamatnya Jl. Taman Hijau 21. Jangan khawatir aku sudah membawa pakaian ganti, jadi mungkin aku akan langsung ke sekolah besok. ..." kembali terdiam. "Ng... oke, sampai nanti. Bye ." suara Sam berhenti setelah nada tut yang panjang.<br />
<br />
Dean menarik nafas dalam dalam, "Tunggu aku Sam, aku jemput kamu sekarang, Sam," tanpa pikir dua kali ia langsung lari keluar menuju alamat rumah keluar Howards.<br />
<br />
Tak butuh waktu lama dan sulit mencari alamat yang dimaksud Sam. Dan Dean sudah siap untuk mengetuk pintu dengan kalimat, 'Assalamualikum, saya Dean, kakak Sam, mau menjemput Sam pulang.' Tapi segera diurungkan niatnya, saat dari jendela ia melihat gambaran kelurga sempurna di dalam sana, dan Sammy ada di antara mereka.<br />
<br />
Dean memelihat Sam tersenyum renyah di meja makan menikmati makan besar setelah berbuka puasa. Seorang gadis manis duduk di sebelahnya, yang ia yakini bernama Amanda. Ny Howards terlihat senang dengan kehadiran Sam, karena ia berkali-kali mengusap kepala Sam penuh sayang saat melayaninya makan. Juga Tn. Howards yang terlihat santai dan senang. Tapi yang membuat Dean lebih tertegun adalah apa yang mereka lakukan setelah makan malam. Mereka melakukan shalat tarawih berjamaah dengan Tn Howards sebagai imam. Sam dengan senang hati berdiri di samping kanan imam sebagai makmum, dan Ny Howards bersama Amanda dan adiknya perempuannya yang Dean yakini masih berumur delapan tahun, menjadi makmum di belakangnya. Hati Dean terenyuh dengan pemandangan yang ia lihat jelas dari jendela ini. Dean tahu, keluarga seperti ini yang didambakan Sam. Keluarga yang lengkap dengan ayah dan ibu, serta adik. Keluarga yang memiliki rumah tinggal tetap tanpa harus berpindah-pindah tidak pasti. Keluarga yang memiliki ayah yang selalu ada di rumah, dan bukannya pergi meninggalkan dua anaknya untuk mengerjakan pekerjaan yang aneh, dan keluarga yang memiliki ayah yang siap menjadi imam saat mereka shalat berjamaah. Ini keluarga impian Sam. Air mata Dean mengalir perlahan, menyadari Sam tidak cukup beruntung untuk memiliki keluarga semacam ini. Sejak ibu mereka meninggal karena suatu hal yang gaib, ayah mereka menjadi terobsesi untuk mencari pembunuh ibu mereka, dan membuat mereka harus hidup dari satu kota ke kota lain, meninggalkan kehidupan keluarga yang normal. Memang tidak masuk akal, tapi begitulah kenyataan yang mereka terima. Dan Dean selalu berusaha untuk membuat keluarga aneh mereka senormal mungkin untuk Sam. HANYA UNTUK SAM. Dan kalau keluarga yang di dalam itu adalah keluarga idaman Sam, bolehlah Sam menikmatinya meski hanya satu hari. Mungkin tidak ada salahnya jika Dean mengizinkan Sam untuk menginap bersama keluarga normal itu satu malam. Hanya untuk dapat melihat Sam tersenyum. Dan senyum Sam tersimpul saat shalat tarawih itu selesai dan Sam dengan santun mencium tangan Tn Howards.<br />
<br />
Dean menarik nafas dalam-dalam dengan tersenyum seraya menyeka air matanya.<br />
<br />
"Sampai ketemu besok di sekolah, Sam," dan meninggalkan pekarangan rumah itu dengan pemandangan bagus di dalam.<br />
<br />
Keesokan harinya, Dean segera berangkat lebih pagi ke sekolah. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Sam, dan melihat wajah cerianya saat melihat dirinya. Dean sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Ia yakin, Sam akan datang bersama gadis cilik bernama Amanda itu. Tadi malam juga ayahnya meneleponnya, untuk memastikan kedua anaknya dalam keadaan baik-baik Dean mengatakan semua baik-baik saja, Sam sehat, karena tak perlu Dean menceritakan Sam menginap di rumah orang lain, meski hanya satu malam, atau Sam akan mendapatkan masalah besar. Tidak, ia tidak akan memberikan Sam masalah dengan ayahnya.<br />
<br />
Hingga akhrinya ia melihat tubuh kecil yang membawa tas besar hampir mengalahkan tubuhnya di pundaknya berjalan menuju gerbang. Ia datang bersama gadis kecil bernama Amanda Howards. Dean harus tersnyum kulum, penyakit magnit menggaet cewek yg menjadi kutukan keluarga Winchester secara turun temurun, sudah muncul dalam darah Sam. 'Itu baru seorang Winchester!' tak dapat menyembunyikan rasa bangganya.<br />
<br />
"Pagi cebol," Dean langsung menyapanya begitu Sam melewatinya.<br />
<br />
Sam mendongak dan terpaku dengan sosok tinggi di hadapannya. Matanya langsung berbinar dan mulai berkaca-kaca.<br />
<br />
"Dean!" dan tanpa malu Sam langsung memeluk erat tubuh kakaknya. "Kamu sudah pulang."<br />
<br />
Dean merasakan pelukan Samuel yang hampir membuat Dean sesak nafas, "Ya, cebol, sudah aku pulang. Seperti janjiku, kan."<br />
<br />
Sam mengangguk semakin memeluknya erat. Lama sekali Sam memeluk Dean dan sangat erat.<br />
<br />
"Sammy, nggak bisa nafas," Dean yakin dia bisa kehabisan nafas kalau Sam tidak segera melepaskan pelukannya. Heran juga ini anak cebol punya kekuatan dari mana bisa meluk badan sebesar Dean sampai kehabisan nafas.<br />
<br />
Sam langsung melepaskan pelukannya dan memandang takjub kakaknya. Pandangannya sepeti yang sudah tida bertemu bertahun-tahun, padahal baru juga empat hari.<br />
<br />
"Kapan pulang?"<br />
<br />
"Baru aja, langsung ke sini."<br />
<br />
Sam memberikan mata tidak percaya pada Dean.<br />
<br />
"Beneran, aku baru sampe. Kalau tidak percaya, tanya ayah, nanti."<br />
<br />
"Ayah sudah pulang?" dengan takjub<br />
<br />
"Ya sudah,dong, masak aku dibiarin pulang sendiri, gimana kamu."<br />
<br />
Sam tersenyum malu. Dean melihatnya dengan penuh kelegaan.<br />
<br />
"Eh, Siapa nih?" Dean tersenyum nakal.<br />
<br />
"Oh ya, ini, Amanda Howards, aku tad_," tapi langsung dihentikannya. "Dia teman baruku," dan segera menggantikannya.<br />
<br />
Dean hanya tersenyum mengangguk. Sam tidak mau cerita menginapnya terbongkar. Oke,deh Sammy, rahasiamu aman.'<br />
<br />
"Hai,aku Dean, kakaknya Sam, yang paling keren. Kau suka, Sam, ya?" Dean mengenalkan dirinya dengan percaya diri. "AW!" Dean memekik dengan tendangan kaki Sam yang tiba-tiba.<br />
<br />
SPN<br />
<br />
Tapi tetap, sebahagianya Sam dengan kedatangan Dean yang sesuai janjinya, Sam tak dapat menutupi kekecewaannya saat tahu ayahnya belum pulang, saat mereka pulang ke rumah.<br />
<br />
"Kamu bohong, Dean," sam merengut kecewa.<br />
<br />
"Ya maaf. Tapi ayah janji kok, dia mau pulang nanti malam," Dean meyakinkan adiknya yang kembali kecewa.<br />
<br />
"Tahun kemarin juga dia janji mau di rumah pas lebaran, tapi mana, dia lebih mentingin kerjaannya daripada kita."<br />
<br />
"Ya karena dia terpaksa,Sam. Tapi kali ini beda, Sam, aku pastikan ayah pulang malam ini, so kita besok bisa shalat bareng."<br />
<br />
Tapi Sam tetap merengutkan wajahnya, "Jangan bikin janji, karena bukan kamu yang akan menepatinya. Kamu nggak bisa mengatur ayah kapan mau pulang. Kamu bukan ayah, Dean."<br />
<br />
Dean terkatup takjub. 'Ni anak makin lama-makin pinter aja, ngomongnya. Mau jadi pengacara apa, ya nantinya?'<br />
<br />
"Ya, memang sih, tapi paling tidak aku tidak pesimis, kaku masih percaya sama ayah."<br />
<br />
Sam hanya mengankat bahu.<br />
<br />
"Ayolah, Sam, masak hari terakhir puasa, harus dinodai dengan rasa benci sama ayah."<br />
<br />
"Aku nggak benci, cuma melihat yang sudah-sudah saja."<br />
<br />
"Sama saja, Sam."<br />
<br />
"Ya, enggak," Sam bersikukuh.<br />
<br />
"Oke!" Dean mengalah, dia nggak akan menang kalau main beginian sama Sam.<br />
<br />
"Yu ah, bentar lagi buka puasa, ntar kita ikutan takbiran lagi. Oke."<br />
<br />
Sam mengangguk lirih. Bagaimanapun Dean lah yang terbaik, yang selalu menepati janjinya.<br />
<br />
Buka puasa hari terakhir disambut dengan penuh kemenangan oleh Sam. Dia akhrinya berhasil menuntaskan puasanya satu bulan penuh tanpa bocor satu haripun. Dean bersorak untuk kemenangan adiknya. Adiknya yang satu ini memang istimewa, dan selalu membuatnya bangga.<br />
<br />
Setelah selesai shalat isya, sesuai dengan janjinya, Dean menemani Sam untuk ikut takbiran bersama anak-anak lain keliling kampung. Sesaat Dean bisa melihat kekecewaan hati Sam hilang dari wajahnya, karena ia tersenyum dan penuh semangat mengumandangkan takbir, tapi ia tahu hatinya masih gelisah menunggu kepastian ayahnya akan pulang atau tidak.<br />
<br />
Dean penuh harap saat mereka pulang dan sampai di rumah, ayahnya sudah menunggu di rumah sesuai janjinya.<br />
<br />
Tapi harapan tinggal harapan, sesampainya mereka pulang ke rumah dari takbiran hingga pukul 11 malam, John Winchester belum juga sampai di rumah. Ayahnya belum pulang.<br />
<br />
"Dia tidak akan pulang. Dia akan melewatkannya lagi," ucap Sam lirih penuh kekecewaan. "Aku mau tidur duluan, besok harus bangun pagi buat shalat Ied," seraya melangkah gontai ke kamar.<br />
<br />
"Sammy...," Dean berusaha menenangkan Sam, tapi ia tahu, Sam sudah tak perlu lagi ditenangkan, dia sudah dikecewakan untu kesekian kalinya.<br />
<br />
Sumpah Dean marah besar dengan ayahnya kali ini, kalau sampai benar ayahnya tidak bisa pulang malam ini dan melewatkan lebaran bersama sekali lagi. Ayahnya akan mengecewakan Sam sekali lagi, dan sekali cukup untuk memperdalam kepedihan Sam. Entah Sammy bisa memaafkan ayahnya atau tidak.<br />
<br />
Tapi hingga Dean menunggu sampai pukul 2 pagi, tidak ada tanda-tanda ayahnya pulang. Dan sudah dipastikan lagi ayahnya tidak akan pulang. Dean hanya bisa menarik nafas pasrah, "You are so screwed up now, dad," dan pergi tidur.<br />
<br />
SPN<br />
<br />
Lamat-lamat Dean mendengar suara pintu dibuka perlahanhanya dua jam setelah Dean sampai di alam mimpi, bersamaan dengan suara adzan subuh. Insting pemburunya langsung bangkit dan meraih pisau di bawah bantalnya. Ia melihat tempat tidur Sam, dan menghela nafas lega melihat sosok kecil adiknya masih terlelap tidur di sana. Ada penyusup masuk ke rumah mereka.<br />
<br />
Perlahan Dean bangun dan menjingkat keluar kamar. Bayangan hitam besar terlihat melintas di kegelapan.<br />
<br />
Menunggu waktu yang tepat, Dean lansgung menyerang bayangan itu, tapi bayangan itu melawan dan bisa menjatuhkan Dean ke lantai<br />
<br />
"Dean, ini aku," setengah berbisik.<br />
<br />
"Ayah?" suara ayahnya begitu melegakan telinga Dean.<br />
<br />
"Iya"<br />
<br />
"Sudah pulang!"<br />
<br />
"Seperti janjiku, kan?" John menyeringai penuh kelegaan di tengah kegelapan. "Mana Sam?"<br />
<br />
"Masih tidur."<br />
<br />
"Bangunkan, shalat subuh. Terus mandi, suruh pakai baju koko ini sama sarung," seraya menyerahkan tas berisi pakaian baru. "Buatmu juga ada di situ. Ayahnya mandi dulu, kita shalat ied sama-sama."<br />
<br />
Dean takjub mendengarnya, dan harus tersenyum bahagia plus lega. Bukan karena ia juga mendapatkan baju lebaran baru, yang memang jarang terjadi, tapi karena ayanya sudah menepati janjinya pada Sam. "Terima kasih,Yah."<br />
<br />
Tapi John tidak mendengarnya karena terlanjur masuk ke kamar mandi.<br />
<br />
Dean langsung berlari ke kamar dan membangunkan Sam.<br />
<br />
"Sammy, bangun, Sam, shalat subuh,terus mandi, kita shalat ied hari ini."<br />
<br />
Mendengar shalat ied, Sam segera terbangun.<br />
<br />
"Dan sam liat ini, baju lebaranmu, ada baju kok sama sarung baru," seraya mengacungkan baju koko Sam dan sarung yang baru di hadapannya dengan tersenyum.<br />
<br />
Sam terapaku melihatnya, dan tidak percaya.<br />
<br />
"Siapa yang beli?"<br />
<br />
Dean semakin tersenyum simpul.<br />
<br />
"Ayah?"<br />
<br />
Dean mengangguk.<br />
<br />
Dean mengira Sam akan tersenyum semangat dan bahagia mendengar kata 'ayah', tapi justru kebalikannya, dia langsung memanyunkan wajahnya.<br />
<br />
"Nggak mau pake,"<br />
<br />
Dean tertegun.<br />
<br />
"Percuma ayah juga nggak ada, ngapain pake baju baru. Ayah nggak pulang kan, makanya dia ngirim baju baju buat minta maaf."<br />
<br />
Dean terakatup dengan ucapan Sam. "Sammy_"<br />
<br />
Belum sempat Dean melanjutkan kalimatnya, sudah terdengar suara tegas dari luar.<br />
<br />
"Ayo cepet bangun, shalat shubuh, terus mandi, nanti kita telat buat shalat iednya."<br />
<br />
Sumpah Dean bisa melihat wajah Sam yang terpaku kaget dan langsung berubah menjadi berbinar.<br />
<br />
Secepat kilat, Sam berlari keluar dan langsung menemukan ayahnya berbalut handuk di pinggangnya baru saja keluar dari kamar mandi.<br />
<br />
Sam terpana melihat sosok ayanya dan langsung menghambur ke pelukan ayahnya.<br />
<br />
"Ayah pulang!" ucapnya lirih tapi pasti dengan berusaha memeluk utuh tubuh ayahnya yang besar.<br />
<br />
John tersenyum lega,"Ayah menepati janji ayah kan?"<br />
<br />
Sam mengangguk di pelukan ayahnya,semakin mempererat pelukannya.<br />
<br />
John langsung menggendong tubuh kecil Sam dan memeluknya erat. "Maafkan ayah, nak, ayah terlalu sering mengecawakanmu."<br />
<br />
Tapi sam menggeleng, "Kita shalat bareng hari ini, sudah membayar hutang ayah."<br />
<br />
John hanya terkekeh kecil. "Oke, Terima kasih."<br />
<br />
"Terima kasih, ng... maafin Sammy, Yah," ucapnya tulus.<br />
<br />
"Maafkan ayah juga,"<br />
<br />
Sammy mengangguk.<br />
<br />
John tersenyum lega. "Nah sekarang mandi trus shalat subuh."<br />
<br />
Dean melihat mereka dengan tersenyum. Sekali lagi air matanya mengalir pelan penuh kebahagiaan.<br />
<br />
Tak ada yang lebih membahagiakan untuk Sam selain dapat melaksanakan shalat Ied bersama seluruh keluarganya. Ia merasa ramadhan tahun ini adalah yang terbaik, dengan merasakan penuh kemenangan. Bukan baju baru kokonya, tapi kehadiran ayahnya saat lebaran dan bisa melaksanakan shalat ied bersama, menjadikan Ramadhan kali ini begitu sempurna, meski tidak ada ketupat dan opor ayam. Sam tidak minta lebih lagi. Ini sudah cukup.<br />
<br />
Dan kesempurnaan itu diakhiri dengan kunjungan keluarga Howards yang datang membawakan ketupat opor ayam, rendang, dan sambel goreng hati untuk ketiga Winchester yang sudah berencana untuk sarapan di restauran cepat saji.<br />
<br />
Dean langsung menangkap merah pipi Sam dengan kedatangan mereka, tapi ia tahu Sam merasa bahagia dan cukup merasakan sebuah keluarga yang normal.<br />
<br />
"Aku tahu, keluarga kita tidak senormal keluarga Howards, Sam, tapi aku berusaha untuk membuatnya normal buat kamu," bisik Dean lirih, "Kita bisa seperti keluarga Howards, Sam, sama seperti saat satu malam kamu bersama keluarga itu kemarin."<br />
<br />
Sam tercekat dengan ucapan Dean, ia menoleh ke arah Dean, tapi Dean hanya tersenyum simpul tanpa kemarahan, membuat Sam harus tersenyum lega. <span style="font-style: italic;">'Terima kasih, Dean.'</span><br />
<br />
Taqabalallahu mina waminkum wasiamana wasiamakum ...<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">END</span>RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-19047954918400484102010-10-13T06:53:00.001+07:002010-12-22T17:10:13.453+07:00Fic: Precious (Chapter 3/3)<span style="font-weight: bold;">Author: clueless_psycho<br />
Fandom/Genre: AU/Drama/Slash <br />
Pairing(s): Dean/Castiel<br />
Rating: R<br />
Word Count: 20,304 <br />
Warnings: AU, deaths, but not the major one, war, gore </span><br />
<br />
<br />
The potatoes, carrots and parsnips were roasted with garlic and onions, seasoned only with salt and pepper in order to keep their natural flavors as much as possible, and there was a whole roasted chicken and more flatbread to go with them. Castiel also made banana cake for dessert and Dean wasn’t going to question where did the banana come from.<br />
<br />
As he was cleaning the kitchen later after lunch, Dean decided that he had to start paying attention to what he ate and he had to exercise again, because otherwise he would end up obese in that house. It was true that there were lots of things to do in the house, there were endless chores, however, it was not like a real exercise. He would ask Ash to spar with him tomorrow.<br />
<br />
That’s if Jake didn’t show up.<br />
<br />
He knew he shouldn’t feel pessimistic but he had the feeling Jake would never come back. Either he got sidetracked or he couldn’t find his way back here or their superior in the base camp didn’t think it was important to collect him and Ash. It was a scary thought but he knew that if they didn’t hear from Jake, the day after tomorrow he and Ash just had to risk it and leave the house to find their way back to the base camp.<br />
<br />
The thought of leaving Castiel alone in that house felt rather unbearable.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
He found a bottle of cooled cider and took it to the back porch with him. He sat down on the step, like he did yesterday, and drank the cider as he watched Castiel from afar. Castiel was collecting dry laundry: bed sheets, pillow cases and clothes, piling them in a large basket.<br />
<br />
Gulping half of the bottle content, Dean left it on the porch and was headed to Castiel. He pulled a dry bed sheet from the clothesline, folded it carelessly and put it on top of the pile in the basket. Castiel smiled at him.<br />
<br />
“Do you often have guests?” he asked Castiel.<br />
<br />
Castiel tilted his head, his expression flat. “Guests?”<br />
<br />
“Yes. Do you often have them?” Dean asked. “You know, travelers who got lost in this area, like us? Perhaps?”<br />
<br />
Castiel didn’t look at him when he said, “No.”<br />
<br />
“I saw stuff in the library and the weapon room,” Dean pushed his luck. “They have someone else’s names on them.”<br />
<br />
“I can’t remember everything.”<br />
<br />
“And the forest there,” Dean jerked his chin towards the cemetery, “how many people have you buried there?”<br />
<br />
Castiel didn’t answer. He was still avoiding Dean’s eyes.<br />
<br />
“Cas,” Dean pursed his lips. “Tell me something about you. And the house. Make me understand.”<br />
<br />
Castiel lowered his eyes. He took a deep breath, then he said, “But why should I tell you about myself and this house? You’re going to leave.”<br />
<br />
And then he walked away, leaving Dean with the laundry basket.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Castiel looked calmer when Dean saw him in the kitchen. He was reading a book. Dean put the basket on the table, and Castiel looked up from the book, asking, “What do you want for dinner?”<br />
<br />
Dean smiled. “What do you do when you have no one else in the house?” he asked back. “Do you cook too?”<br />
<br />
Castiel closed the book. The leather cover had “Recipes” written on it.<br />
<br />
“Let’s do something different,” Dean said. “Let’s do a barbecue outside. It looks to be a clear night. It’ll be perfect for barbecue.”<br />
<br />
Castiel looked out of the window. “I think you’re right,” he said quietly.<br />
<br />
“I’ll prepare the grill,” Dean said. “Will the patio be all right?”<br />
<br />
Castiel nodded, he looked happy.<br />
<br />
He went to get Ash so Ash could help Castiel with the food while he would work on making a grill. Ash had his nose buried deep in the books in the library.<br />
<br />
“The problem with these books is, they were mostly written in Sabean,” he tapped his fingers on the page he was reading. <br />
<br />
Dean tilted his head. “Sabean?”<br />
<br />
“Yes. It’s a very old language, like Hebrew and it was a language of power. Most wizards and witches use this language.”<br />
<br />
Dean chuckled. “So you really believed that this house was once owned by a wizard?”<br />
<br />
Ash snorted. “I really wish now that I studied Sabean instead of Latin and Hebrew, however, those languages seem more important than others and there isn’t actually anyone teaching Sabean. And this symbol, the symbol that’s drawn all over this house, I think it’s a binding symbol.”<br />
<br />
“Binding from what?” Dean asked.<br />
<br />
Ash shrugged. “I think it’s binding what,” he said.<br />
<br />
“Okay. Do you think you can take a break from trying to figure out what is what in those books?” Dean asked.<br />
<br />
Ash frowned at him. “Why?”<br />
<br />
“I told Castiel that maybe we can have a barbecue for dinner, for a change. I’m going to prepare a grill on the patio. Can you help Cas with the food? He might not have any idea what kind of marinades he would need for a certain meat.”<br />
<br />
Ash grinned from ear to ear. “Just leave it to me then,” he closed the book. “I’m the king of barbecue.”<br />
<br />
And he waltzed away from Dean.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Despite that there were only the three of them and there was a lack of beer or other alcoholic drinks, the barbecue was a blast. Ash made beef patties, salad, a big bowl of barbecue sauce, and iced lemon tea, and Castiel made more bread, real bread this time, not only flatbread. Dean grilled the beef patties non-stop and they also had fish and chicken. Ash said that if there was a guitar he would play it and sing. Dean was glad that there was no guitar. laughed at Ash’s non-stop jokes even at the ones that Dean thought weren’t funny at all. However, if Castiel was happy, then he was happy too and he felt he could live like that for the rest of his life.<br />
<br />
It was about midnight when they finally called it a night and left the patio in a mess. Dean went to his bedroom, took a bath, changed his clothes and found that Ash had made himself home in his bed again. He was sleeping with his hand clutching Bobby’s journal. Maybe he was about to read some to Dean but his eyes couldn’t hold on waiting for Dean to come out of the bedroom.<br />
<br />
Dean pulled the book from Ash’s hand. He didn’t mean to open it, but it flipped open anyway and he ended up reading the page.<br />
<br />
March fifteen. In the morning Victor told me that Bill’s knife is in the room holding the weapon collection. I mentioned to him it isn’t possible, we buried the knife with him. I told him that he could be seeing a similar thing. Victor insisted that it’s Bill knife, so we went to the room together so I can prove it with my own eyes. Indeed the knife is there and there’s no mistake that it’s Bill’s knife. It has Ellen & Bill 1970 craved at the base of the blade, it was Ellen’s gift to Bill when they got married last year. But how come something we have buried to resurface? Maybe there’s indeed some ghosts or spirits living in this house. Maybe Bill didn’t die peacefully, maybe his ghost still stayed to tell us something. We should’ve salted and burned Bill’s body and the knife so the soul won’t come back to haunt us.<br />
<br />
Dean dug his teeth into his lower lip, thinking. Could it be that the Jesus figurine and rosary were really Kubrick’s and they resurfaced although he had buried them with him?<br />
<br />
He closed the book and put it on the nightstand, then he went to Castiel’s bedroom.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
To his surprise, Castiel’s bedroom was much simpler than the bedrooms he and his friends stayed in. The bed wasn’t as big and it was without a canopy. The furniture wasn’t richly carved, they seemed to have been made of left-over planks and woods.<br />
<br />
“Why didn’t you take any of the bedrooms?” Dean asked as he climbed into the bed. He hoped the bed was sturdy enough to hold his and Castiel’s weight together.<br />
<br />
“Because I’m not supposed to,” Castiel answered. He carefully sat down on the bed, as if he was afraid it would fall off. “I’m only a servant.”<br />
<br />
“A servant to whom? There’s nobody else here,” Dean reached out for Castiel’s arm, hinting him to get closer.<br />
<br />
“There doesn’t need to be anyone else here,” Castiel answered. He lay next to Dean.<br />
<br />
“Then why didn’t you escape? Try to break free?” He stared into Castiel’s eyes, searching for the answers to the many questions written all over this house.<br />
<br />
“I’m not a slave, why should I try to break free?” Castiel asked back.<br />
<br />
Dean smiled, then he shifted closer. “Are you still going to tell me some bedtime stories?”<br />
<br />
Castiel’s eyes softened. “What do you want me to tell you about?”<br />
<br />
“The tower. The window.”<br />
<br />
“Mujahidin blew it off,” Castiel said solemnly. “Or maybe it was Gengis Khan’s soldiers. I don’t remember. It was a very long time ago.” Castiel rolled his eyes, amusement flickering inside the blueness, betraying his flat expression.<br />
<br />
“Liar,” Dean whispered, then he laughed.<br />
<br />
Castiel rolled around, giving him his back. Dean pressed his chest there, snaking his arms around Castiel’s shoulders. The bed wasn’t comfortable but this was how he wanted to sleep for the rest of his life.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean woke up before dawn and as much as he wanted to just stay in bed with Castiel, he forced himself to climb out of the bed and returned to his bedroom. Ash was still sleeping too, snoring loudly as usual, so Dean went to use the bathroom and changed his clothes into t-shirt and BDU pants and put on his boots. Then he went running.<br />
<br />
It was still dark outside but darkness had never bothered him at the slightest, not even now that he knew the small forest was a cemetery and Kubrick was among the dead buried there. He ran along the perimeter, carefully scanned the area with his eyes, making sure that if Jake’s dead body was there, he didn’t miss it. No dead body meant that Jake may survive until Badakshtan and soon he would come back to collect them.<br />
<br />
But if he didn’t come back tomorrow, either he or Ash had to go.<br />
<br />
Dean stopped himself from thinking about the latter, he really didn’t want to choose whether to stay or to leave, he didn’t want to have to make the decision, knowing either way, someone would get hurt. He circled the area once again, then he jogged towards the kitchen where Castiel was waiting with two mugs of warm milk.<br />
<br />
“You could’ve woken me up before leaving,” Castiel said. “I almost got a heart attack, thinking that you’re gone too like Jake.”<br />
<br />
“I will tell you if I’m really going to leave.”<br />
<br />
Castiel gave him a look of disbelief, then he went to the stove to start preparing breakfast.<br />
<br />
Dean went to the bedroom to take a shower. He was on his way back to the kitchen when he saw that the mess in the patio hadn’t been cleared. Typical Castiel, he must’ve expected him to clean it. He didn’t mind, after all, he was the one who came up with the barbecue idea.<br />
<br />
He started collecting dirty plates and glasses and put together left-overs in a bowl. He was picking up a spoon from the floor when he saw Jake’s water bottle leaning at the pond wall.<br />
<br />
Frowning, he picked up the bottle. The weight told him that it was still full. He didn’t remember seeing it there last night. Had Jake forgotten about the bottle after filling it up? If he had, how did he survive the desert?<br />
<br />
But the water bottle clarified one thing: Jake didn’t survive. Jake couldn’t survive without water.<br />
<br />
But he should realize that he had left the water bottle and he should’ve come back.<br />
<br />
Dean sat down on the edge of the wall, breathing slowly, eventually, trying not to think the worse.<br />
<br />
But it was very obvious: Jake’s dead. His water bottle was here. If he didn’t die from thirst, he would’ve been murdered by the Taliban from whom he might ask for water.<br />
<br />
It felt like the world had suddenly stopped moving and time froze and there was no air to breathe in.<br />
<br />
Dean closed his eyes and heard Ash shouting, “Dean! Dean! Where are you?”<br />
<br />
He opened his eyes just as Ash barged into the patio and Ash saw the water bottle. He gasped with his eyes widened, then he ran away.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
By the time Dean reached the bedroom, which was only a few second behind Ash, Ash had stuffed his belongings into his backpack.<br />
<br />
“You know what? I’ve enough of this. I’m leaving. I don’t care if you want to stay here. I don’t want to die here!” Ash blurted frantically.<br />
<br />
“Ash, listen to me,” Dean grabbed his shoulders, trying to stop him. “Listen to me!” Ash stopped and glared at him. “Just calm down for a while and we’ll talk about this, okay?”<br />
<br />
“I don’t see why I should talk about this. It’s obvious. People died here. It’s written in Bobby’s journal. His friends died. He probably died too. And they were all buried there!” Ash jerked his chin towards the window. “I don’t want to live in a house where there’s a cemetery nearby with probably five hundred dead people who all died here!”<br />
<br />
“Ash…” Dean took a deep breath, exercising patience.<br />
<br />
‘Dean, how could you be so blind? Cas must’ve bound us with a spell. This house is bound by a magic spell that no one can break. We will all die here and will be buried in the cemetery. Perhaps that’s the price Cas had to pay to live happily ever after. You know what? That makes me feel like Hanzel. He feeds us with good food because he’s going to slaughter us and give our blood and soul to whatever devil he’s worshipping in order to stay young and alive. I don’t want to be the one next on the chopping block.” Ash shook his shoulders, freeing himself from Dean’s strong grip. “And if I have to fight you or kill you to be able to get free, I’ll do it.”<br />
<br />
Dean let it go. “Ash, look, this is not wise.”<br />
<br />
“Yeah. But I don’t wanna be wise and dead. I’m going.” Ash zipped up the backpack and hauled it up his shoulders. “You see, I think Castiel is also a Wendigo, except that he uses magic to change his appearance.”<br />
<br />
“You can get caught by the Taliban out there!”<br />
<br />
“I. Don’t. Care. Good bye, Dean,” and Ash brushed past and exited the bedroom. “And good luck surviving.” He ran. Dean didn’t get to stop him, so he ran after Ash.<br />
<br />
But Ash was faster. They ran along the corridor and when they were descending the stairway, Dean took the chance and jumped up and they fell, rolling down the stairway to the floor.<br />
<br />
A book flopped from an unzipped pocket of the backpack. Dean quickly noticed that it wasn’t Bobby’s journal, but a book with strange characters on its leather cover.<br />
<br />
Ash pushed him away with all his might and grabbed the book. Clutching the book with his hand, he got up and escaped. He was as slippery as an eel.<br />
<br />
“Ash! Put the book back in the library!” Dean called out as he made to get up too.<br />
<br />
Ash took time to turn around and give him a mocking glare. “This is the book Bobby talked about in his journal. I’m taking it and I’m going to find out what is it all about!”<br />
<br />
“You can’t!”<br />
<br />
But Ash had walked out of the door. Dean sped up, trying to catch up with him. But when he reached the door, Ash had disappeared between the trees. He called out Ash’ name as he ran towards the gate.<br />
<br />
But Ash was nowhere to be seen.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Again, Dean went to check the house’s perimeter, looking for any signs of Ash. Or Jake. But he couldn’t find neither. No matter how fast Ash ran, he didn’t think Ash could be that far that he couldn’t see him at all from where he was standing at the gate.<br />
<br />
He leaned on the gate, suddenly not knowing what to do. He supposed he should step out and find Ash. But he couldn’t. What if he dropped dead like Kubrick? He found that he couldn’t even think of leaving the house, leaving Castiel, dead or not.<br />
<br />
The air hung heavily around him, making him feel suffocated and high up in the sky, the clouds were pregnant with rain. He decided that he just had to let it pass for the time being and hoped that Ash would survive.<br />
<br />
He went back to the house, ignoring the hollowness that the house suddenly felt now that there were only Castiel and himself inside.<br />
<br />
“Ash’s gone,” he informed Castiel as he sat down at the table in the kitchen. The air was thick with an aroma that suspiciously smelled like fried sausages. Castiel was still working at the stove and he didn’t turn his head when he heard it. It was almost as if he had expected it. “He took a book from the library with him. I found Jake’s water bottle in the patio.”<br />
<br />
Castiel put a plate in front of him and much to his surprise, it indeed consisted of scrambled eggs, fried sausages and toasts. All American breakfast minus bacon strips. Dean forced himself to smile. “Thanks for the effort,” he said. He felt nauseous, like his stomach flipped and churned. He didn’t really want to eat.<br />
<br />
“May not taste as good as what you usually have in your hometown,” Castiel commented as he poured a cup of coffee for Dean.<br />
<br />
“Jake’s dead, isn’t he?” he asked, ignoring the food.<br />
<br />
Castiel stiffened. “I don’t know.”<br />
<br />
“His water bottle’s back to this house. Just like Kubrick’s Jesus figurine and rosary.”<br />
<br />
Castiel set the coffee pot on the table and sat down.<br />
<br />
“Tell me about the house,” Dean said.<br />
<br />
“Maybe you should eat first,” Castiel said. “You must be hungry.”<br />
<br />
“I don’t want to eat not knowing what happens to Jake and Ash,” Dean steeled his heart. “You know, don’t you?”<br />
<br />
Castiel tilted his head, as if considering whether it was worth it to tell the story. Dean supposed that it shouldn’t matter anymore, whether or not he knew the story.<br />
<br />
Castiel’s voice floated in the air when he spoke again, “This house was owned by a wizard, a long, long time ago.”<br />
<br />
So what was written in Bobby’s journal was true. Dean wanted to comment but he held his tongue back.<br />
<br />
“He was strong and powerful and greedy and arrogant. He collected… things… from around the world, not only weapons. He loved his collection so much that he didn’t want anyone to take them away from him even after he died. So he put a spell all over the house, all over the whole land.”<br />
<br />
“The symbol on the bed’s ceiling?” Dean asked before he could stop himself.<br />
<br />
“You can’t take away anything from the house,” Castiel continued, ignoring Dean’s question. “You’ll die trying.”<br />
<br />
It was a little hard to swallow and he was glad he hadn’t started eating. “Kubrick didn’t steal anything, we didn’t find anything that belonged to this house amongst his possession,” Dean said. “Jake swapped the water. Ash took a book, but I haven’t found his dead body.”<br />
<br />
Castiel took a deep breath. “Aren’t you going to eat?” he asked, sounding helpless.<br />
<br />
Dean picked up his fork. “Where’s your food?”<br />
<br />
“I ate already.”<br />
<br />
“Liar.” Dean cut one sausage into three and stabbed one piece with his fork. “Open your mouth.”<br />
<br />
“No, please.”<br />
<br />
“Eat or I won’t.”<br />
<br />
Castiel opened his mouth and took the sausage inside, chewing it slowly. Dean ate the other two pieces. He felt that he wasn’t actually nauseous.<br />
<br />
“So why did Kubrick die?” he asked.<br />
<br />
“Kubrick stole the knife. The knife went back to the room by itself. So did the cigar. It’s part of the spell.” <br />
<br />
“And now the water also had made its way back to the house,’ Dean added.<br />
<br />
“The wizard… he was a greedy man. Anything belonged to the thief would be possessed by the house when the thief died.”<br />
<br />
Dean put his fork down. That explained a lot. The clothes Ash wore, Bill’s hunting knife, Bobby’s journal, Kubrick’s figurine and rosary. He drank his coffee. Putting the cup down, he talked again, “So you’re saying, if you steal something from this house, you’ll die. What if you don’t steal anything?”<br />
<br />
Castiel tilted his head, looking straight into Dean’s eyes. “But, can you not try to steal anything from this house?”<br />
<br />
* * * <br />
<br />
Dean supposed, Castiel was right. There were way too many temptations in the house. Even if you, say, didn’t like weapons, you have to admit the fact that the katana may worth two million dollars. THere were other things, jewels, art and the books. It was easy to just slide them into your backpack and walk away.<br />
<br />
The knife that had gone and resurfaced probably belonged to King Arthur, several lifetime ago.<br />
<br />
Even the water, people must have known that the water in the fountain healed wounds and illness. It was easy to fill a bottle with it, pocket it and leave.<br />
<br />
Except that no one ever made it and left alive. They all died. They ended up buried in the yard.<br />
<br />
Dean could see the reasons. Kubrick stole the knife and cigars because he was greedy and he loved luxury. He could sell the knife in the black market and net half amillion dollars and change retiring from the army to spend the rest of his life in the Bahamas. Jake stole the water because it healed and although originally he only needed something to get through to the nearest village, he could sell the water too for a fortune once he was back in the US.<br />
<br />
Ash stole the book because it was the root of all knowledge. Ash was like that.<br />
<br />
And they all didn’t make it to the next day.<br />
<br />
He wanted to believe that Jake and Ash survived but as he entered Jake’s bedroom and saw his back pack on the bed, he knew that it was an empty hope.<br />
<br />
Now he knew how Bobby felt at having to bury his friends. He hoped that Kubrick was the only one he had to bury.<br />
<br />
He sat down at the edge of the bed, breathing slowly as if every pull was precious to him.<br />
<br />
He supposed Castiel must’ve been alive because he figured that he should’ve just stayed in the house rather than stealing something and leave. Or maybe he didn’t dare to know whether he could make it alive if he left the house without stealing anything.<br />
<br />
Had Castiel buried his friends too? Was he like Bobby who came to this place on his own will or was he like him, bumping into this place accidentally? How long had he been here? Probably not long, he didn’t look much older than Dean.<br />
<br />
He shook his head to stop his train of thoughts. He was hungry but he didn’t want to eat. Not until he knew what happened to Ash.<br />
<br />
He wondered, if it took them twenty hours to find Kubrick dead at the gate and almost the same amount of time to know that Jake might not survive, how long would it take him to find out that Ash was dead?<br />
<br />
* * *<br />
<br />
He saw the book just as the Sun was setting down. It lay on footpath that led towards the gate, as if it had been walking slowly and was taking a break before it continued to the library. Dean practically ran out of the house. He picked up the book and ran to the gate.<br />
<br />
Dean couldn’t describe how it felt, to see Ash there, on the grass and he was as stiff as a candle. He crouched down and cradled Ash’s head, holding back tears, wishing he could still feel blood gushing inside his veins, under the skin. But there was nothing anymore, there was no life anymore, no breath, no blood current. Ash had died trying to leave the house, trying to steal something from the house. He didn’t even know whether he had to say something, but he knew that Ash couldn’t hear him anymore so he rocked for a while, which was more to calm himself down.<br />
<br />
Then he carried Ash into the house. Castiel met him in the foyer, he didn’t say anything, he just took Ash’ backpack and the book and set them aside. Dean carried him to the patio and laid him on the floorjust like Kubrick the day before. <br />
<br />
“It’s too late for the burial, isn’t it?” Castiel asked.<br />
<br />
Indeed it had gotten dark and they just had to go through the night with Ash’s corpse on the patio.<br />
<br />
“You can rest, I’ll take care of this,” Castiel said. “I’ve cooked dinner if you want to eat something.”<br />
<br />
“I’m not hungry.”<br />
<br />
Castiel looked at him for awhile, then he asked, “Could you get me some bedsheets and a water jug please?”<br />
<br />
Now Dean knew why there were so many bedsheets in the house. It was practical.<br />
<br />
Dean wanted to tell Castiel that he didn’t want to take any orders from Castiel anymore, he wanted to just stay there and mourn because Ash was his friend and Ash had been a good friend to him, weirdness aside, and Ash was young and should’ve had a great future, he wanted to start his own online game if he made it out alive from Afghanistan, but he didn’t and...<br />
<br />
But Dean Castiel was right. Perhaps it would be easier for him if he do something rather than staying here and at Ash’s rigid body, wishing that this was unreal. Maybe he didn’t have to know that Ash had gone, forever, and he wouldn’t be coming back, for eternity.<br />
<br />
He got up and went to find the bedsheets and the water jug for Castiel. He ignored the food Castiel had cooked for him. He didn’t want to eat anymore, knowing that there would be no Ash to share the food with.<br />
<br />
When he got back to the patio, Castiel had stripped Ash’ clothes. He asked Dean to fill the jug with water from the fountain and he did, like a robot. When Castiel wiped Ash’s body with the water, Dean wished, he wished that Ash came back to life because perhaps the water didn’t only heal wounds but also brought back lives.<br />
<br />
But Ash lay stiff and cold.<br />
<br />
He stayed still, watching Castiel work. It took sometime until he finally calmed down, that he didn’t have to make too much effort to hold back tears. He rubbed his face and took a deep breath.<br />
<br />
Castiel wrapped Ash tightly with the bed sheet and asked Dean to get a blanket to cover Ash for the night.<br />
<br />
Dean obeyed.<br />
<br />
When Castiel’s done, he said, “I think it’s better if you take a break. You’ll have a hard day tomorrow.”<br />
<br />
Dean looked up, staring at Castiel, not being able to talk.<br />
<br />
“You’re going to have to dig the grave for Ash,” Castiel said.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
He didn’t sleep that night, he stayed next to Ash with a candle to give some lights, while Castiel retreated to his bedroom. He tried not to think too much. He supposed he should pray, he still remembered some basic prayers, both in English and in Latin.<br />
<br />
But he also knew that Ash didn’t need any prayers. For him, everything had finished. If he prayed, it was for himself.<br />
<br />
When the morning broke, Dean went up to his bedroom to wash his face and brush his teeth, then he went to get a shovel from the kitchen. There was a glass of warm milk on the table and a basket of flatbread, fresh from the oven, or so it looked, although Dean believed now that Castiel didn’t need any oven or stove or even flour and eggs to make bread. He ignored them and walked out to the back yard.<br />
<br />
The Sun was still slowly rising at the horizon, there was a soft pink color at the base of the sky, if the sky had any base.<br />
<br />
He stood for countless minutes staring at the trees that marked the forest. Castiel had never said it was a cemetery. Ash made the assumption. He just had to believe it. Except that, he didn’t want to believe it.<br />
<br />
Absent-minded, he began exploring the small forest. He checked the trees one by one, not knowing what to look for, not ready to find anything. He knew that perhaps he should just try to dig, but then, if there were really dead bodies other than Kubrick’s there, it would be a disrespect to the dead.<br />
<br />
He finally stopped and went to where Kubrick was buried. He chose a patch of land and began digging, hoping that he didn’t dig up someone else’s grave. It was difficult to dig a grave all by himself, more difficult because he had a thousand emotions swirling inside him with sadness as the most overwhelming one of all.<br />
<br />
He was half-way through when his shovel hit something and he cleared the soil and pulled out a silver flask. He brought it closer to his eyes and read “Robert Steven Singer, 1965” engraved there.<br />
<br />
Dean sat on the ground. He didn’t know whether he wanted to laugh or shout in anger. It was like a joke to him. Everything that belonged to the dead people went back to the house. Except Bobby’s flask. Did Bobby die clutching the flask so tightly that even the spell couldn’t take it out of him?<br />
<br />
Whatever.<br />
<br />
But now he knew that Bobby was dead too.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
He helped Castiel carry Ash from the patio and once again, he descended into the grave to arrange Ash’s position while Castiel watched. Then he shoved soil to cover Ash completely, while Castiel chanted his strange prayers. He didn’t bury any of Ash’s possessions with him, he knew that they would just resurface the next day or so and he didn’t want to know that.<br />
<br />
“Why didn’t you mark the graves?” asked Dean as he jabbed a tree branch on to Ash’s grave. It felt like a millennium since he last spoke to Castiel, yet it was only last night.<br />
<br />
“Because it’s too hurtful to remember,” Castiel answered quietly.<br />
<br />
“Did you bury them all?” asked Dean.<br />
<br />
Castiel didn’t answer.<br />
<br />
“Will you bury me if I die here?” asked Dean.<br />
<br />
“I hope I don’t have to do that, but yes, I will.”<br />
<br />
Dean left Castiel in the cemetery. He went to the foyer to collect the book Ash tried to steal from the library. He left Ash’s backpack where Castiel left it. He didn’t know what to do with it. Castiel would know.<br />
<br />
He went up to the library to put the book back in the shelf, but he found himself sitting on the sofa there, breathing hard. It was surreal, the whole thing was surreal. He opened the book, flipped the pages open, unable to read the characters or understand the symbols. He wished he had internet. It was easy to find almost anything in the interest these days.<br />
<br />
A piece of paper fell from between the yellowish pages to Dean’s lap. It was almost as yellow as the book pages. Dean took it and recognized Bobby’s handwriting.<br />
<br />
Page 53<br />
<br />
I’m binding you here<br />
So you will live on even after I have left this world<br />
You will watch my prizes<br />
You will not be able to take my prizes away <br />
No one will be able to take my prizes away<br />
For my prizes are precious<br />
<br />
Bobby must have been trying to translate the book. He opened the book again, thumbed it until he found page fifty three and saw the same symbol with the one on his bedroom’s canopy with a row of characters next to it. That must be the spell. <br />
<br />
Dean took a deep breath. Immortality sounded a very long time. It must’ve been very lonely when you have to go through it without a company.<br />
<br />
He put the book on his lap and leaned back. He saw Bobby’s journal on the table, it was open.<br />
<br />
He supposed that there was no harm anymore in reading the journal now that he had known that Bobby was dead too. He took it and read the open page.<br />
<br />
March thirteen. We’re finally here, in the house. It sort of frightening because at one moment you don’t see anything but trees and the rocky mountain, another you see the house, standing tall in front of you like it erupts from the Earth. But the truth is, I didn’t feel any danger about the house. I know danger when I feel it. This isn’t like any of the haunted houses I’ve ever stepped into. I couldn’t feel any ghostly or evil presence. I’m sure what the old woman in the village told us about the cruel wizard is wrong. Besides, how come a wizard in this area bore the name: Shirley? It reminds me of Laverne and Shirley and I miss The Lucy Show now. And why did he choose to live this in the middle of nowhere in Afghanistan? Why did it have to be Afghanistan? Because he didn’t want to people to know? Because he didn’t want people to have access to his house? Because he had seen the future that Afghanistan would be a conflict area that it’s very difficult to get here? There was no turning back and we walked past the gate. The land is beautiful and serene and there’s a small farm at the left side. Bill went up to the door to knock on the heavy wooden panel. We were convinced that no one would listen. We have decided that if that was the case, we would just barge in. But indeed the door was opened from the inside and a man in a long robe and a cloak like an Afghanese held it open. Bill asked, “Are you Shirley?” He neither nodded nor shook his head, he had the expression of one who had seen the rise and fall of the Roman Empire and the Nazi. He said, “No, my name is Castiel.” He has the bluest eyes I’ve ever seen.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
He woke up hungry and found that he had fallen asleep on the sofa in the library. Outside the window, the sky was dark but he knew that it was still afternoon. He checked his watched. It was almost four pm.<br />
<br />
He took his watch off and set it on the table. He decided that he didn’t need it anymore.<br />
<br />
He got up and went to the kitchen. Castiel wasn’t there. There was no sign that he had cooked something. The flatbread and the milk were still on the table, they had become very cold. The kitchen smelled stale and felt very, very hollow.<br />
<br />
He ate a piece of the bread, found it taste like a cardboard, then he washed it down with the milk, which tasted like chalk. Then he began searching the house. But Castiel wasn’t anywhere, not even in his bedroom.<br />
<br />
He was about to give up and go back to his bedroom when he saw the door that led to the tower, at the end of the corridor of the third floor. Of course, Castiel could be there.<br />
<br />
He opened the door and began climbing the endless stairway.<br />
<br />
The stairway seemed to be longer than he remembered it, as he climbed it slowly, he felt like he could see faces of those who had sought fortune and died here. It wasn’t fair. He and his friends weren’t seeking fortune. They only needed a little help. Neither of his friends deserved this. They should be able to return to the base camp and enjoy their future.<br />
<br />
But then, what kind of future waited for them? Getting stabbed or shot by the Talibans? Safely going back to America and finding that life wasn’t what they had been looking forward to when they were in the war zone?<br />
<br />
An age seemed to have passed when he finally reached the top. However, seeing Castiel there, standing at the window, looking out at the snow top mountains, wiped away the exhaustion. He was wrapped in a goatskin cloak, the wind blowing from the outside made the string float and dance. <br />
<br />
Castiel didn’t turn around when he spoke, “It was the Mongol’s soldiers. They were like you, they were wounded and needed shelter and they came across this house. Then one of them decided to smuggle out a little gold statue. It was very very old, even by the standards of this house. But he died at the gate and the statue went back to the living room.” He paused, taking a deep breath. “His friends were scared and figured that they couldn’t walk out of the gate. So they came with the idea of stringing a rope from here to the tree there, just outside the gate. The problem was, there was only a tiny window here. So they blew it.” He stopped.<br />
<br />
“Did they succeed?” Dean asked.<br />
<br />
Castiel lowered his eyes. “Yes, they did. They used arrows and bows and they managed to slide out.”<br />
<br />
Dean remembered the bows in the weapon room<br />
<br />
“So they successfully escaped?”<br />
<br />
“They fell to the ground just as they passed the fence.”<br />
<br />
“How do you know it was the Mongol’s soldiers? Did they leave a note like Bobby’s journal?”<br />
<br />
“Because I was here.”<br />
<br />
Dean took a deep breath. <br />
<br />
“He bound me here to watch over his possessions. I was only five years old when I was brought here. He died when I had just reached adulthood. He was a greedy and arrogant wizard, but he was very powerful and people are scared of him. I couldn’t break the spell. I tried, I read those books. No one can either.<br />
<br />
"He had a sick sense of humour, there's one thing in the house, just one, that if taken past the threshold will break the spell, but the only clue he left was that it was the most Precious of all his belongings. I don't know what it is, i never did. So I didn't let people in, so I wouldn't have to bury them,” Castiel paused and lowered his eyes. “But sometimes, it gets very lonely without anyone to talk to when even the birds and insects avoid this place.”<br />
<br />
Dean let silence fall between them, then he said, “So you let people in.”<br />
<br />
“I shouldn’t have let you in,” Castiel said.<br />
<br />
Dean didn’t say anything. He went to stand behind Castiel. Castiel’s hair smelled of spices and sweat and a little musk and he felt a ting of sadness at the pit of his stomach, knowing that he had to eventually leave, like it or not.<br />
<br />
“But if I sent you away, you could be killed by the Taliban even if the house didn't kill you,” Castiel continued.<br />
<br />
So the choice was: got spellbound or got murdered? But it wasn’t a choice anymore for him.<br />
<br />
“I saw you and I couldn’t bear the thought of you getting killed,” Castiel said again. “or the thought of not being able to see you again.”<br />
<br />
For him it was when they came up here for the first time to see the full moon. He couldn’t imagine keeping on living without being able to see Castiel anymore.<br />
<br />
He felt bad because it wasn’t love at the first sight but if he could turn back time, he would make it right.<br />
<br />
“All I want is for someone to stay here, someone I can cook for,” he stopped again and Dean was tempted to continue: someone you can slave around the house, chopping woods, doing laundry, tending the farm. “Someone who can make me feel that I serve a purpose in this world other than a house guard.”<br />
<br />
Dean wanted to say that there were worse ways of living than becoming an immortal guard.<br />
<br />
“So, are you going to leave like the others?” he asked as he lifted up his chin and stared at the horizon.<br />
<br />
Dean remembered Kansas City and Sam and his parents and Las Vegas and the Afghani refuges, and how much he would miss the view of the snow topped rocky mountains, but he didn’t say anything. Instead, he snaked his arms around Castiel’s shoulders and wrapped himself with warmth radiating from Castiel’s body.<br />
<br />
Castiel was stiff for one second, but then he relaxed and leaned back on Dean’s chest.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
March eighteen. Bill kept on saying that the water is the most precious and we laughed at him. Victor said: but what could be more valuable than these weapon collection? Do you know how much this sword cost? I bet this came from the Heian era. People will pay as much as forty million dollars for this piece. What can you do with forty million dollars? I know what I will do with that much amount of money. Bill said: ah, but what if you’re rich but sick? This water is like the water of life. It heals. What is more valuable than health? Idjits. I didn’t say anything. I’m in the opinion that the books are the most precious of all.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">~end</span>RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-82115341591902484952010-10-13T06:49:00.003+07:002010-12-22T17:13:40.211+07:00Fic: Precious (Chapter 2/3)<span style="font-weight: bold;">Author: clueless_psycho<br />
Fandom/Genre: AU/Drama/Slash <br />
Pairing(s): Dean/Castiel<br />
Rating: R<br />
Word Count: 20,304 <br />
Warnings: AU, deaths, but not the major one, war, gore <br />
</span><br />
<br />
<br />
<br />
The following morning Dean woke up just before dawn. Without thinking he put his clothes and went out to chop some woods for the kitchen. Castiel didn’t show up to collect the wood but Dean could see him through the kitchen window, moving about to prepare breakfast. Dean smiled. He really needed to get out of this house. All he did was eat, sleep, bath and do house chores. He would get rusty that way. And pot bellied.<br />
<br />
He brought the woods to the kitchen and received a soft smile as a thank you. He could see marks of creased pillow case on Castiel’s cheeks and sleepiness hanging at his eyelashes. Dean wanted to touch the marks and feel the warmth of the skin. But instead he asked, “What’s for breakfast?”<br />
<br />
Before Castiel could answer, Ash came barging in, panting as he clearly had been running very, very fast, and he screamed in horror, “Kubrick’s dead!”<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
* * *<br />
<br />
Kubrick lay facedown near the gate of the house. At first Dean wasn’t sure that it was really Kubrick. The clothing suggested an Afghani: tunic, pants, even headscarf. Then he turned the body around and found that it was really Kubrick.<br />
<br />
Judging from his physical condition, Dean would say that he had been dead for at least twenty hours, which meant, he died not long after he had breakfast the previous day. Dean couldn’t really tell what caused the death except that Kubrick‘sheart stopped suddenly. There didn’t seem to be any injuries, internal or external, except when he fell and his face hit the tiny rocks between the grasses.<br />
<br />
Meanwhile Ash quickly rummaged into Kubrick’s clothes, the folds and pockets, and found nothing but a Jesus figurine and a rosary with a silver crucifix. Dean remembered that those two things were missing from Kubrick’s personal stuff in the bedroom. He could be leaving his wallet and gun and knife, but he never left the figurine and rosary.<br />
<br />
Which meant: Kubrick was really trying to leave. That was why he took his most precious belongings with him.<br />
<br />
Meanwhile, Ash looked disappointed to find that Kubrick indeed hadn’t stolen anything from the house.<br />
<br />
They carried Kubrick’s body into the house, to the patio so Castiel could prepare him for the burial. Naturally, no autopsy to determine the cause of the death could be done as no one had the skill. Besides, it didn’t seem important. Kubrick’s dead, that was the simple reality. Ash took Kubrick’s dogtag and pocketed it. Who knows if we’ll make it back to the base camp,” he said.<br />
<br />
“Where are we going to bury him?” asked Dean.<br />
<br />
“There,” Castiel pointed out at the small forest.<br />
<br />
Ash gave Dean a meaningful side-long glance.<br />
<br />
They got two shovels from the storeroom and went to the forest. Jake stayed to help Castiel prepare Kubrick for the burial.<br />
<br />
“We should be careful that we don’t dig someone else’s grave,” Ash said.<br />
<br />
Dean snickered. “I thought that’s what you want to do, to get some hard evidence that this area is really a cemetery. Maybe we can find Bill, Victor, and George’s bodies here. Or their bones.” They were the people in the journal.<br />
<br />
Ash gave him a face, then they settled on where to dig.<br />
<br />
“I can’t believe this,” Ash said. “We were in the house, doing things, going on with our lives, and Kubrick died not far from where we were, and it took us twenty hours to find him.”<br />
<br />
“We didn’t expect it,” Dean said. He didn’t remember if he checked the gate when he searched the yard yesterday.<br />
<br />
“Yeah, that’s the irony. And what killed him? He was a tough one to kill. He was strong, healthy and he took care of his body. He couldn’t just drop and die.”<br />
<br />
“It could happen.”<br />
<br />
“Dean, what happened to you? Why don’t you get suspicious? Aren’t you at least curious? Strange things happen here. Jake’s wound healed in a matter of hours. Kubrick died trying to leave the house. There’s hot water in the bathroom all the time while there’s no electricity or gas here. There’s someone else’s journal in the library talking about some kind of curse.”<br />
<br />
Dean didn’t know what to say. He just didn’t feel any danger in the house and if he didn’t feel that way, he didn’t know why he had to be so concerned with things. If anything, it was Castiel who should’ve been afraid of them. But he knew he had to understand Ash’ anxiety. ‘“Okay. Look, if you really want to, after we bury Kubrick, let’s leave. Let’s go back to the base camp, or at least try to.”<br />
<br />
Ash looked at him in shock. “Are you crazy? We could bump into some Taliban and get ourselves beheaded.”<br />
<br />
“So, what’s the better option? We don’t have any communication means here but our legs.”<br />
<br />
Ash stopped shovelling and dug his teeth into his lower lip. Castiel and Jake were coming, carrying Kubrick’s body, which was wrapped in a clean bedsheet.<br />
<br />
Jake fished something out from his shirt pocket. He had been very quiet. Dean knew he was in a big shock. He reached out to hand them toDean. “Here. Kubrick them with him.” was the crucifix and rosary.<br />
<br />
“You want me to bury them with him?” Dean asked.<br />
<br />
“I think that what he must’ve wanted. He never let anyone touched them. My personal Jesus, he always said.”<br />
<br />
Dean set the figurine and rosary next to Kubrick and then Ash hauled him up and they finished the burial. Castiel closed his eye with his hands pressed together under his chin, he was reciting something that didn’t sound like Arabic or Latin. Jake was praying too, his lips were trembling.<br />
<br />
Dean found a small branch of a tree and used it to mark Kubrick’s grave. He knew that it wouldn’t last long, but at least, for the time being, it would look like a normal grave.<br />
<br />
They went back to the house in silence. Dean wondered how many people were buried there and why. Were there also people from the villages around the house? Why did they even bother to take dead bodies that far to get buried? Were there more travelers who didn’t have their luck to find Castiel’s house before hunger and thirst beat them to death? Or were they like Bobby, Bill, Victor and George? What happened to them? Did they just drop dead in the yard like Kubrick? <br />
<br />
Dean wondered if he should read Bobby’s journal completely. He wasn’t comfortable with reading someone else’s journal. He wondered whether Bobby had died too like his friends. Maybe there was a reason he left the journal in the house, maybe he wanted people who had the luck to stumble into the house to learn something.<br />
<br />
“I’ll prepare something to eat,” Castiel said quietly, his voice as gloomy as his face. “I know it’s probably difficult,” he paused, swallowing hard, “but you didn’t have any breakfast and you did some hard works.”<br />
<br />
“Cas, we’re stationed in a war zone,” Dean said. “We see dead bodies everyday. If we let that affect our appetite, we would’ve been dead ourselves a long, long time ago.”<br />
<br />
Ash nodded although he didn’t seem to be as high-spirited as he used to be.<br />
<br />
“But you’re tired too, so please don’t trouble yourself with preparing food for us. We’ll do it when we feel like eating something,” Dean added, ignoring Ash’s face which suddenly looked annoyed.<br />
<br />
“It’s no trouble at all,” Castiel shook his head. “You’ve done a lot, all I can do is feed you.”<br />
<br />
“If you insist,” Ash quickly said before Dean managed to say something saintly again.<br />
<br />
Castiel looked terribly happy now. “Okay.” And he went to the kitchen.<br />
<br />
Dean decided that if cooking made Castiel happy, then he shouldn’t get in the way. In the meantime, he would just take a bath because he reeked of sweat and soil. To stay in the kitchen and later in while he was still dirty like that looked like a dishonor to Castiel’s meals.<br />
<br />
As usual, he felt better after taking a long hot bath. He wondered if there was something in the water that could lift people’s mood and energy. He put on a clean shirt and BDU pants, but he chose a pair of slippers instead of his military boots. He didn’t see Bobby’s journal on the night stand anymore so he assumed that Ash had put it back wherever he took it from.<br />
<br />
As he was passing the weapon room to go back to the kitchen, Dean found himself allured to the weapon room. He didn’t know why, he just felt that he needed to take a look at the weapons.<br />
<br />
And he found that the empty holder wasn’t empty anymore. A beautiful silver knife rested there, shiny and gleaming as if it had just been polished.<br />
<br />
Dean stared at the weapon, stunned and amazed. It was one beautiful knife. Simple but very well made. And he knew that Ash was right, one didn’t use such weapon to slaughter a goose. <br />
<br />
Then, if Castiel didn’t use it to slaughter an animal, where had it been previously?<br />
<br />
Dean touched the knife very with lightly with his fingertips, feeling the cold metal warm under his skin like a cat curling when someone stroked his neck.<br />
<br />
Dean supposed he really shouldn’t be bothered too much.<br />
<br />
He resumed his trip to the kitchen. When he passed the living room, he steeled himself in order not to poke his head inside to see if the cigar box was there.<br />
<br />
Ash and Jake were already in the kitchen when he arrived. Castiel made a huge pot of beef stew and flat bread and Ash and Jake had started to eat without waiting for him. Dean sat down and Castiel put a bowl of the steaming stew in front of him. Then he sat down, keeping his distance from Dean, although he too had a bowl of stew in front of him.<br />
<br />
They ate in silence, Jake and Ash seemed to bethinking, although one could tell that they had different concerns. He tried not to think too much, he was still pretty shocked at Kubrick’s death but he wouldn’t show it to his friends. They would get even more anxious. Instead, he watched Castiel eat and found that it made him happy. <br />
<br />
It was Jake who spoke first after he washed his lunch with a glass of ginger ale down the throat. “You see, because I’m good now, I think we should leave. We have disturbed you enough.”<br />
<br />
Castiel stiffened In his seat. I... I don’t mind,” he said. He sounded hurt. “I rarely have guests. You are all nice people.”<br />
<br />
Jake took a deep breath. “Please don’t get me wrong. If it’s up to me, I would love to stay here for the rest of my life. You’re a terrific host, even if we can’t do anything to repay your kindness. But we have duties and we should go back.” He paused. “We have to report Kubrick’s death.”<br />
<br />
“They might think that we all are dead already,” Ash snickered. “We’ve been missing for … I don’t know… four days?”<br />
<br />
Dean nodded.<br />
<br />
“Well, they’ll be in for a big surprise,” Jake said. <br />
<br />
“Are you really up to walk back to the base-camp?” asked Dean.<br />
<br />
Jake nodded confidently. “Yes, I’m sure I can do that.”<br />
<br />
“Just because the wound has closed doesn’t mean that you had completely healed,” said Castiel. “You could get an infection, or... or the healing flesh breaks...”<br />
<br />
“I’ll be fine,” Jake held his ground. He could be stubborn when he wanted too. “I just can’t let people think that we’re all dead while we’re not.”<br />
<br />
Ash laughed. “You sound like you’ll make it out alive from this country.”<br />
<br />
“Why not?” Jake shrugged. “I tell you what. Why don’t I go alone, back to the base-camp? It’s easier to move when I’m alone. I can disguise myself as local, like Kubrick did. Maybe I can get a horse, or a mule, or a jeep and I’ll get to the basecamp faster. Then I’ll come back here with an adequate vehicle, a helicopter perhaps, to pick you all up.”<br />
<br />
Ash curled up his nose.<br />
<br />
“Why don’t you wait for another day?” Castiel asked carefully. “We’re all shocked by Kubrick’s death, we might not be thinking clearly right now, no offense. Why don’t you take a rest and tomorrow when you’re much better, you can go. It’ll be much easier for you.”<br />
<br />
“Sounds like a better idea to me,” Ash said.<br />
<br />
Jake gave up and agreed.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Although a nap sounded terrific after spending all morning digging and backfilling, Dean felt restless. He cleaned the kitchen, noticing that Castiel slipped away as soon as he began washing the dishes and that made him laugh under his breath. He was pretty sure that the main reason why Castiel wanted them to stay was so that he could use them to do house chores.<br />
<br />
He found that he didn’t mind IN the slightest.<br />
<br />
With the kitchen clean and shiny, he decided that he could chop some wood or tend to the farm to while away the time and also forget about Kubrick. It was tragic, but he wasn’t going to muse over it for the rest of this life. People died. Life went on.<br />
<br />
Half way towards the chopping wood place, Dean caught a glimpse of Castiel and turned around to get a better look of him. Castiel was on the patio, Dean just realized that he could see the patio very clearly from where he was standing. Castiel was filling a jug with the water from the fountain. Dean tilted his head, wondering why Castiel used the water from the fountain to fill the jug. Why didn’t he use the water in the kitchen? He decided that he would ask Castiel later. He kept on watching until Castiel finish filling the jug and took it inside. He picked up the axe, chose some wood to put on the chopping blocks and began the hard work.<br />
<br />
At some point he again caught a glimpse of Castiel at one of the windows on the second floor. He remembered it to be Jake’s bedroom. What did Castiel do in Jake’s bedroom? Wasn’t Jake napping?<br />
<br />
Ash showed up, stopping his train of thoughts. From the dirt staining his jeans, Dean could tell Ash had been tending the farm again. Dean put the axe down.<br />
<br />
“Did you put the journal back in the library?” Ash asked. “Because I didn’t see it in your room or in the library.”<br />
<br />
Dean frowned. “I thought you put it back in the library.”<br />
<br />
“Nope,” Ash shrugged. “I’ll look in the library again.”<br />
<br />
“I think you should leave it there. You shouldn’t read someone else’s diary,” Dean said.<br />
<br />
“He’s dead. Bobby.”<br />
<br />
“We don’t know yet.”<br />
<br />
“If he weren’t, he would be very old and probably suffering Alzheimers. Most likely, he didn't sound too sane, all that talk of curses.”<br />
<br />
“Ash,” Dean pursed his lips.<br />
<br />
Ash gave him a look, then said, “Okay.” He slipped his hands into his pocket, then he furrowed his eyebrows. “Oh I forgot.” He fished into his shirt pocket, and pulled out two cigars. “I took them from the living room. Here, have one. Relax a bit.” He handed one to Dean. “Now we know that Kubrick didn’t steal anything.” He grinned.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean wasn’t very much into smoking, but he made exceptions for good cigars like the one Ash gave him. He took it to the porch and sat down on the step. He wished he had a beer. He’d kill for a can of very cold Heineken. But he lit it anyway. He took a deep drag and tried not to grin at the rich taste of the tobacco leaves.<br />
<br />
“Thanks for chopping some more wood,” he heard Castiel speak. Castiel sat next to him and he had a mug in his hand. “Here, I’m sure you need this.”<br />
<br />
Dean laughed and took the mug. It was cold. It had some gold colored liquid inside that looked suspiciously like beer. “Beer?” he asked, hopeful.<br />
<br />
“Apple cider,” Castiel answered.<br />
<br />
He laughed again and drank it. It was good. Still didn’t beat very cold beer though, but he could live with it.<br />
<br />
He set the mug on the step and took another deep drag of the cigar. “I saw you in Jake’s room,” he said before he could stop it.<br />
<br />
Castiel gave him a side-long glance. “I saw Ash in your room,” he said.<br />
<br />
Dean smiled. “I explained.”<br />
<br />
Castiel shifted his head and stared into the horizon. “Do you want me to explain?” he asked.<br />
<br />
Dean laughed. He decided that it was the tobacco that made him feel light and easy to laugh. He leaned his head closer to Castiel and whispered in deep, deep voice, “Are you like… jealous?” Castiel smelled of spice and ash and a little sweat and cotton and musky and lavenderish, and it made Dean feel heady.<br />
<br />
Castiel stiffened but he didn’t say anything.<br />
<br />
Dean sipped his cider again and continued smoking.<br />
<br />
“Jake will be ready to travel tomorrow,” Castiel said.<br />
<br />
“Nice to know that.”<br />
<br />
Castiel got up. “I’m going to start cooking for dinner.”<br />
<br />
Dean caught his hand, stopping him. “No, please, don’t worry about it. Just sit down with me.”<br />
<br />
“You’ll get hungry soon.”<br />
<br />
“I’ve starved before. It won’t kill me. Please, just sit down.”<br />
<br />
Castiel looked at him, flustered, but he sat back down again.<br />
<br />
Over the horizon, the Sun had begun to set.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Naturally, Ash complained at the lack of proper dinner and at the sandwiches Dean prepared from flatbread, cold smoked beef, some lettuces and sliced tomatoes. Castiel looked devastated, but Dean gave him a threatening glare every time he tried to get up from his chair. Meanwhile, Jake looked much, much better than earlier, in fact, Dean had never seen him better before even when they were going through tests to enter Special Force. Jake went about topping up their empty mugs with more ginger ale or cider and slicing tomatoes. Dean was convinced that Castiel would want him to stay here. Jake looked to be the right person to repair the roof and the attics.<br />
<br />
At the end, Dean gave up. Castiel got up, saying, “I’m going to make something for Jake to take up tomorrow.”<br />
<br />
Ash’s face lit up right away. “I’ll help.” <br />
<br />
Dean knew that Castiel would end up having to cook double. He got up too. “I’m going to call this a night,” he said.<br />
<br />
Castiel smiled. “Thanks, for everything.”<br />
<br />
“No worries,” Dean smiled back.<br />
<br />
Jake stayed in the kitchen, and Dean had the idea that Castiel would get him to scrub the giant cooking pot that had seen better days.<br />
<br />
He went straight to his bedroom, took a bath – he felt like he had grown an addiction to the hot water – and put on a tunic and a pair of loose pants from the wardrobe. He found that they were very comfortable. Maybe they were well-washed before. Well-used too. He only shrugged and went to the window.<br />
<br />
The full moon had changed into half-moon, sort of, although Dean believed that it was more the clouds that hid half of the moon behind it. He could see the rocky mountains from where he was standing, but he couldn’t see the snow topped peaks.<br />
<br />
He suddenly wanted to go up the tower to have a good look of the mountains. He was so going to miss the mountains. He missed them already. However, he wondered if Castiel would allow him to go up there himself. There seemed to be some secrets etched along the walls of the corridors that led to the tower.<br />
<br />
He was about to leave the window and go to the bed when he saw a silhouette of someone entering the patio. He thought at first that it was Castiel, judging from the gamis the person was wearing, after all it was too dark in the patio to see things clearly. Besides, his bedroom was pretty far from the patio. But he stared until he could see that it was Jake and Jake was filling his water bottle with the water from the fountain.<br />
<br />
“Anything interesting?” again, Castiel’s voice behind him surprised him. Dean turned around, smiling sheepishly like a little boy getting caught with his hand in a cookie jar. “No. Just Jake. He’s filling his water bottle with the water from the fountain.”<br />
<br />
Somehow that surprised Castiel. “No, he can’t do that. He shouldn’t do that.”<br />
<br />
Dean frowned. “Why? You gave him water from the fountain,” he pointed out.<br />
<br />
“Yes, but...”<br />
<br />
“Am I disturbing?” Dean heard Ash ask. He turned his head to see his friend standing at the door.<br />
<br />
“No, no, we’re just talking,” he said. Castiel didn’t look too happy to see Ash.<br />
<br />
“I can come back later,” Ash mentioned and that made Dean want to laugh.<br />
<br />
“Why?” he said as he casually took Castiel’s hand and led him to the bed. “Why don’t you just sleep in your bedroom?”<br />
<br />
Ash looked shocked. “Are you kidding?”<br />
<br />
Dean furrowed his eyebrows. “Are you scared, Ash?”<br />
<br />
“Dean, we have just buried Kubrick today,” Ash blurted.<br />
<br />
Dean nodded. “So you’re scared.”<br />
<br />
Ash sighed but he definitely wouldn’t admit that he was scared.<br />
<br />
“Okay,” Dean shrugged, then looked at Castiel. <br />
<br />
“I… I’ll go back to my room,” Castiel pulled his hand from Dean’s.<br />
<br />
Dean smiled gently. “There’s plenty of space in the bed.”<br />
<br />
“Yeah, right,” Ash quickly padded towards the bed and climbed up. “You can sleep in the middle.”<br />
<br />
“I can read you a bedtime story,” Dean added.<br />
<br />
Castiel smiled. “If you wish.”<br />
<br />
Ash groaned. “But not that scary story about the Wendigo again,” he said as he slid under the blanket.<br />
<br />
“What about the Wendigo?” Castiel asked as he climbed up the bed and settled between Ash and Dean.<br />
<br />
“Ah, we were young and we were stupid,” Dean started.<br />
<br />
“Yeah, damn right. You and Sam. Stupidest people on earth.”<br />
<br />
“But we survived,” Dean insisted.<br />
<br />
“What’s a Wendigo?” asked Castiel.<br />
<br />
“A Wendigo is a human who turns into a monster because it consumes human’s flesh in order to stay alive,” Ash said before Dean could beat him into it. “And indeed they live forever.”<br />
<br />
“Oh,” Castiel chuckled. <br />
<br />
“But that’s not even the scary part,” Ash added.<br />
<br />
“Are you going to tell him or are you going to let me tell him?” Dean cut in.<br />
<br />
“Yeah, okay, right. You’re there, you can say things accurately. I’m still in the opinion that you and Sam are the stupidest people in the world,” Ash said as he pulled the blanket up his head. “I’m going to sleep now.”<br />
<br />
“Good,” Dean mocked him.<br />
<br />
Castiel looked to want to laugh but he didn’t. Dean shifted closer to him.<br />
<br />
“So what’s the story?” asked Castiel.<br />
<br />
“Well, like I have just told you, we were young and we were stupid,” Dean pulled up the blanket to cover his and Castiel’s heads and when he heard Ash moan, he threw his leg over Castiel’s and kicked Ash’s leg.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
He must’ve been sleeping for only a couple of hours when he woke up. His watch told him that it was a little before midnight. Castiel slept soundly next to him, he looked peaceful and terribly happy. He wasn’t disturbed at the slightest by Ash’ loud snoring.<br />
<br />
Dean got out the bed, putting on the slippers and walked out of the bedroom. He went to Jake’s. The door to Jake’s bedroom was slightly ajar, so Dean took a peek and saw that Jake wasn’t sleeping. He was reading.<br />
<br />
He knocked on the door gently and announced his name and Jake told him to come in.<br />
<br />
“Why aren’t you sleeping?” Dean asked.<br />
<br />
“I couldn’t,” Jake shook his head. He had put his book aside and Dean could see that it was a Tom Clancy novel, not anything from the library. “I tried. I couldn’t. I feel like a five year old getting too excited at the thought of going on a camp tomorrow.”<br />
<br />
“But you will need the energy,” Dean pointed.<br />
<br />
Jake shook his head again. “I feel very strong. I’ve never felt this healthy before.”<br />
<br />
“That’s good, but I’m still in the opinion of...”<br />
<br />
“I’m fine, Dean. I know it’s the water that heals me. Castiel cleaned my wound using the water from the fountain. It has a thorough effect in the body. Imagine if I drink it.”<br />
<br />
“Oh yeah, about the water. I saw you filling your bottle with the water from the fountain.”<br />
<br />
“Yeah.”<br />
<br />
“You shouldn’t.”<br />
<br />
“Who told you that?”<br />
<br />
“Castiel.”<br />
<br />
“And why shouldn’t I?”<br />
<br />
“I don’t know. He said you should’ve taken the water from the kitchen.”<br />
<br />
Jake frowned. “What’s the difference?”<br />
<br />
“I don’t know, but he’s our host and we have to respect him.”<br />
<br />
“It’s only water and I only took a bottle. There's plenty more in the fountain, it’s like a spring, it doesn’t stop. I’m going to need the water to survive the desert.”<br />
<br />
“Can you put the water back in the fountain and refill your bottle with the stuff from the kitchen? Please?”<br />
<br />
Jake looked at him like he was out of his mind, but he said,”Okay. If that worries you so much.” He climbed out of the bed and took his water bottle.<br />
<br />
Dean wanted to follow him to the kitchen and make sure that he swapped the water, but he decided that he should trust Jake.<br />
<br />
He went back to his bedroom and snuggled next Castiel, breathing the scent of his body as he slowly drifted back to dreamland.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Castiel woke him up. Judging from the dark sky outside the window, it wasn’t even dawn yet.<br />
<br />
“Jake’s gone,” Castiel whispered.<br />
<br />
“What?” Dean jumped out of the bed. At the other side of the bed, Ash rolled over, muttering something incoherent in his sleep.<br />
<br />
“Jake’s gone,” Castiel repeated as if Dean was too dumb for words. “He’s not in his bedroom. I checked.” He stopped. “He took the water with him.” <br />
<br />
Dean looked up. “He had swapped the water with the one from the fountain,” he said.<br />
<br />
Castiel frowned. “Did you see it with your own eyes?” he asked.<br />
<br />
That stabbed like a Swiss army knife to his guts.<br />
<br />
“He should’ve taken the water from the kitchen, not the fountain,” Castiel said.<br />
<br />
“What’s with the water from the fountain anyway? Anything I should’ve known?” Dean snapped. “He’s going to brave the desert, he needs water to survive, I don’t see the difference between the water from the fountain or the kitchen.”<br />
<br />
“The water is…,” Castiel started again, but Ash interrupted him, “Look, if you want to have some lovey dovey fight, do it somewhere else. I’m trying to sleep here.”<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean took time to take a leak in the bathroom, wash his face and brush his teeth. When he exited the bathroom, Castiel was standing rigid by the door. Dean took his hand, closed it around his fingers to soothe him and led him out of the bedroom.<br />
<br />
Jake had taken his stuff with him, there was nothing left, as if he didn’t plan to come back. Dean didn’t blame him. He sat down at the edge of the bed, thinking.<br />
<br />
“If you’re so worried about the water, I can go after him and take the water back,” he said.<br />
<br />
Now Castiel looked at him with horror in his face. “You’re leaving too?”<br />
<br />
Dean got up. “If I have to.”<br />
<br />
“No, actually, the water isn’t so important.”<br />
<br />
“You don’t seem to think so,” Dean teased him.<br />
<br />
Castiel’s face flushed deeply. He turned around, giving Dean his back. “I’ll go prepare breakfast.”<br />
<br />
Dean let him go. He watched as Castiel glided away, then he took a deep breath.<br />
<br />
He searched Jake’s bedroom once again, making sure that he didn’t miss anything, then he left, closing the door tightly behind him. The room next to Jake’s was Kubrick’s former bedroom. The door was ajar.<br />
<br />
Without thinking, Dean entered the bedroom. It was still as it was when he searched the room the day before. They hadn’t decided what to do with Kubrick’s stuff. Dean supposed if they left it there, there should be no problem. Except, well, Castiel might not like to keep a dead man’s stuff.<br />
<br />
He was already at the door when he felt something familiar. He turned around and saw the Jesus figurine and rosary with silver crucifix on the nightstand.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean didn’t go to the kitchen right away. He decided to check the yard, the gate and the whole perimeter. He didn’t find Jake’s dead body at the gate like Kubrick, but that didn’t make him feel relieved. They didn’t know about Kubrick until after twenty hours, although he had searched the entire estate.<br />
<br />
He stood, staring at the cemetery, wondering if he should go after Jake. He didn’t really want to go. He felt... happy there. He had never felt like that before, although he had grown up in a perfect American family. But there was something about Castiel, he seemed lonely and could use some company, and he didn’t mind doing that.<br />
<br />
He supposed he could send Ash to go after Jake, but that would be selfish, like plunging Ash into a pool of crocodiles. He didn’t doubt Ash’s combat skill, it was just that if it was his idea to go after Jake, he was the one to do it.<br />
<br />
He would come back here to collect Ash. He just needed to make sure that Jake was all right. And maybe he could talk Castiel to go with him to Kansas City. That would be perfect.<br />
<br />
He went to the kitchen.<br />
<br />
Castiel cooked enough for a party of fifty. He seemed to be very distraught that he used cooking to calm down. He didn’t even seem to notice that Dean had arrived in the kitchen and sit at the table until he turned around and almost squeaked in surprise.<br />
<br />
“I didn’t see you coming,” he said.<br />
<br />
“You were busy,” Dean smiled. “What do we have to do with these?” he jerked his chin at the food on the table.<br />
<br />
“Eat them?” Castiel offered an opinion.<br />
<br />
Dean laughed. Castiel took the coffee pot and poured a cup for him. “Anyway,” Dean said as he entertained himself with the intoxicating aroma of the steaming coffee, “I’ll go to make sure that Jake is all right.”<br />
<br />
Castiel put the coffee pot on the table, his fingers were trembling.<br />
<br />
“I’ll come back,” Dean tried to sound convincing.<br />
<br />
“And just how are you going to find Jake?” asked Ash who showed up in the kicthen like a Jack in the box. <br />
<br />
Dean shrugged.<br />
<br />
“I drew Jake a map last night,” Castiel said. “If he follows the map, he’ll be in Badakshtan around mid-day today.”<br />
<br />
“Maybe the cell phones work outside this area,” Dean said. “We have a sattelite uplinked ones.”<br />
<br />
“Then maybe I should go,” Ash offered. “I missed my cell phones.”<br />
<br />
“Worth bumping into some Taliban?” Dean mocked him.<br />
<br />
Ash shrugged.<br />
<br />
“I’m sure Jake will be fine,” Castiel said as he sat down at the table.<br />
<br />
“Let’s wait for a couple of days. If help doesn’t arrive, one of us should go find Jake,” Ash said.<br />
<br />
“Fair enough,” Dean nodded.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Ash mentioned that he didn’t want to work in the farm again, so Dean volunteered. He noticed that some crops were ready to harvest: potatoes, carrots and parsnips. He was becoming a big fan of food made from freshly cut crops like that. Just thinking about baked potatoes with melted cheese on top made his stomach grumble although he had just had a huge breakfast.<br />
<br />
He was about to carry the basket full of crops to the kitchen when Ash showed up. He was waving Bobby’s journal. “I found it,” he said.<br />
<br />
“Where is it?” asked Dean.<br />
<br />
“In the library,” Ash answered, shrugging. “I didn’t remember putting it back there.”<br />
<br />
“Maybe Cas did. After all, you’re stealing his books.”<br />
<br />
Ash looked offended. “I’m only borrowing them, okay?” He saw down on a rock and began thumbing the pages of the journal. <br />
<br />
Dean said. “I gotta take this to the kitchen. You don’t really need an audience for your reading session, do you?”<br />
<br />
Ash stared at the book. “I’ll read it later then.”<br />
<br />
Dean laughed. “Why is it so important that I should listen to your reading? Why don’t you just read it and give it to me later to read?”<br />
<br />
“It’s not fun that way,” Ash closed the journal and slipped it into the back pocket of the jeans.<br />
<br />
“Whatever,” Dean shrugged. “I gotta take a bath after this. You can meet me in the bedroom if you want.”<br />
<br />
“Okay.”<br />
<br />
Dean was half-way towards the kitchen when Ash called his name out. “What?” he yelled back, turning around.<br />
<br />
“Do you think Cas is also Christian?” Ash asked as he jogged towards Dean.<br />
<br />
“I don’t know. Why does it matter now?”<br />
<br />
“Because, I found a Jesus figurine and a rosary in the library, just like the ones Kubrick had.”<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean thought that he shouldn’t do it, it was like doubting Castiel. He still thought that as guests, they really shouldn’t stick their noses where they shouldn’t. But he couldn’t hold himself back. He took a bath after delivering the crops to Castiel, then he went to the library.<br />
<br />
Like Ash said, the Jesus figurine and rosary sat on a small table and they looked exacly like Kubrick’s. The more he examined them, the longer he stared at them, the more he was convinced that they were Kubrick’s. But how could they be Kubrick’s? He put them next to Kubrick’s body before filling the hole with soil. He buried them with Kubrick. How on Earth did they find their way back to the library? Did Castiel dig them out of the grave? He didn’t think so.<br />
<br />
Even from the library, he could smell the aroma of lunch being cooked. He smiled. It was always a pleasure to try to guess what Castiel cooked. Castiel never seemed to run out of ideas or ingredients. He wouldn’t be surprised if one day Castiel served them sardines or salmons.<br />
<br />
He walked slowly towards the kitchen, entertaining himself with the aroma. They said anticipation was already half the fun, and he took his sweet time for that. Still, hunger didn’t stop him from visiting the weapon room again. After all, it was next to the library.<br />
<br />
There was nothing unordinary about the weapon room. Dean had reached the point where he had memorized everything, not only the kind of weapons but also where they were placed.<br />
<br />
He started examining them one by one, not sure what he was looking for. The weapons seemed to have come from various era, different timelines. He stopped at what looked like a hunting knife, also made of silver. It wasn’t like the knife that was thought to be missing the other day, it was a different kind of knife. It was big and bulky and Dean could imagine it was used to hunt big bears like kodak or grizzly. The handle was covered by leather and he noticed a small engraving at the base of the blade.<br />
<br />
He lifted it up and tried to read it. It said: Ellen & Bill, 1970.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Continued at <a href="http://supernaturalfanficindonesia.blogspot.com/2010/10/precious-part-3.html">part three</a>RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-62933358182527238732010-10-13T06:44:00.003+07:002010-12-22T17:12:10.191+07:00Fic: Precious (Chapter 1/3)<span style="font-weight: bold;">Title: Precious <br />
Author: clueless_psycho<br />
Fandom/Genre: AU/Drama/Slash <br />
Pairing(s): Dean/Castiel<br />
Rating: R<br />
Word Count: 20,304 <br />
Warnings: AU, deaths, but not the major one, war, gore <br />
</span><br />
<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Summary:</span> Dean, Kubrick, Jake and Ash were US Special Force members stationed in Afghanistan. An attack got them separated from the basecamp and lost in the mountainous area. They came across a house, kept by Castiel who fed them, let them stay the night and tended Jake’s wound. Nothing seemed to be out of the ordinary until Kubrick was found dead upon leaving the house.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Alpha and beta readers: seraphim_grace and randrews25<br />
Special thanks to my unofficial cheerleader: singerofdark <br />
</span><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
So take my hand <br />
I’m a stranger in the strangest land <br />
I’ll return the favour <br />
Slide into my heart <br />
We’ll hide there in the dark<br />
<br />
Strangest Land – Tom McRae<br />
<br />
<br />
<br />
“It’s a full moon,” Castiel spoke quietly, his voice floating in the air like smoke.<br />
<br />
Dean shifted his head to the window so he could see the sky outside and it was indeed a full moon, the soft beam brightened the sky and it reminded him of colorful lights in Las Vegas.<br />
<br />
“I’ll show you something,” Castiel said again as he handed Dean the last plate to dry.<br />
<br />
They were in the kitchen, washing the dirty plates and glasses and spoons and forks. Castiel had told Dean that he didn’t need to help him, but Dean insisted because Castiel had been very kind to feed him and his friends and give them a place to stay the night, this was the least he could do to express his gratitude.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Although, dish-washing turned to be a little hard to do as the plates were made of very fine porcelain, the glasses crystal and the spoons and forks and knives silver, they could have come from Louis XIII’s palace if Dean may say so about them, and Dean was used more to handling guns and hunting knives than silver eating utensils, and there was no electric dishwasher. Still Dean enjoyed it, he enjoyed being around Castiel, who wore a gamis, a robe made of kaftan, like an Afghan woman, and moved so gracefully as if his feet didn’t touch the ground at all and the correct term should be “glide”.<br />
<br />
Castiel took a candle in its candlestick and Dean did the same and he followed Castiel. They walked toward the stairway, passing doors that led to rooms. They passed the living room where Kubrick was smoking a cigar and drinking wine while playing solitaire chess, using a set made of ivory. They passed the library and Dean saw Ash was browsing leather bound books, as thick and big as pillows, yapping about the lack of electricity that prevented him from booting up his self-made laptop and accessing the net. They went up to the second floor and Dean could hear Jake’s heavy breathing from behind the nearest door from the stairs and he was glad to know that Jake was getting better so fast after Castiel tended to the wound caused by a knife in his left thigh.<br />
<br />
They walked up to the third floor- which turned out to be a maze of corridors and Dean was convinced that if Castiel suddenly disappeared while they were there, he would never find his way back to the living room; Or he would, but not until another century had passed and if he was still alive by then, and the house would be exactly the same.<br />
<br />
Castiel finally stopped in front of a huge wooden door with a rusted handle and hinges. It wasn’t locked but Castiel had to make a real effort to make the door budge a little, so Dean helped and decided that the door weighed at least a tonne.<br />
<br />
“This leads to the tower,” Castiel said after Dean had pushed the door enough to make a gap for them to slide through. There was a stairway behind the door, made of river stones, but Dean didn’t remember having seen a tower attached to the house. Naturally he was wrong and he decided that he had to stop guessing or making any assumptions about the house because the house was clearly not average.<br />
<br />
They began climbing the stairs, Castiel didn’t make any sound at all except for his even breathing while the soft whisper of Dean’s military issued boots shushed against the hollow cylinder stone walls and followed by the noises of his panting after several tenth of steps.<br />
<br />
“You okay?” asked Castiel without pausing or looking back at him.<br />
<br />
“Yeah, peachy keen,” Dean answered, trying to sound cheerful and brave, although he wished that at the top of this seemingly endless stairway, there was his mom’s awesome roast beef sandwiches that he missed so much.<br />
<br />
“We can stop here and go back if you want,” Castiel offered although he didn’t show any intention to stop.<br />
<br />
Dean wanted to tell him that he had gone through worse when he went through tests to join the Special Forces. Two weeks in Hell seemed to be more appropriate. But he stayed quiet and followed on.<br />
<br />
When he finally saw the door at the end of the stairwell, Dean felt like his lungs were going to burst. He stopped and took a deep breath while Castiel opened the door. Dean had stopped counting Castiel’s strangeness, so he held his tongue back and went after Castiel’s heels.<br />
<br />
They entered an empty room, dark except for the candle light and moonbeam flowing through the huge hole in one of the walls. Dean took it as a window, although it looked more like a King Kong smashed a hole with one hand.<br />
<br />
“Come here,” said Castiel, jerking his head toward the make-shift window. “You can see things best here.”<br />
<br />
“What things?” Dean asked, approaching Castiel.<br />
<br />
Then, as the whole scenery outside the window came into view, Dean forgot to breathe or even close his mouth for a minute. He couldn’t even get his brain to think of the right word. Fantastic. Magnificent. Beautiful. Awesome. Other. <br />
<br />
Heaven.<br />
<br />
The rocky mountains of Afghanistan stretched from one end to another, some with their tops covered in snow and the darkness made it look like a black and white photo and the moonlight made the snow shine. Leafless trees added to the eeriness of the picture and once, for one split second, Dean believed in God as the creator of this.<br />
<br />
Too bad his cell phone was out of battery that he couldn't take pictures of what he saw in front of him, to show people back in the basecamp and back home what he decided instantly to be the most beautiful scenery on Earth.<br />
<br />
Dean stood still, taking in every detail, etching them in his memory, hoping that he would remember it for the rest of his life.<br />
<br />
“Wow,” he said after he could find his voice. “That’s amazing.” And the more he stared at it, the more he didn’t want to leave. He wondered how it looked during daylight with the Sun shining upon them. “What lies at the other side?”<br />
<br />
“Mongolia. China. Tibet”<br />
<br />
“Okay,” Dean nodded. That gave him some sorts of direction because really, the reason he and his teammates were here was because Ash kick-ass compass broke after a Taliban knifed it and they roamed in the mountains, running away from the Taliban, aimlessly. “Have you been there?” (Taliban is the same in plural)<br />
<br />
He turned his head to see Castiel was staring afar, the the horizon, and he looked oblivious of his surroundings and probably he didn’t even hear Dean’s question.<br />
<br />
Dean let several seconds passed before repeating, “Have you been there?”<br />
<br />
Castiel slowly turned his head, and said, “No” with his blue, blue eyes boring into his. They were gleaming like they were the moon, and the same colour as it's corona.<br />
<br />
“No?” Dean furrowed his eyebrows. “Never?”<br />
<br />
“Never.”<br />
<br />
“It seems close.”<br />
<br />
“Yes, it does.”<br />
<br />
“So why? Why haven’t you gone there? I’m sure you don’t even need a passport.”<br />
<br />
“I’ve never been anywhere.”<br />
<br />
* * *<br />
<br />
The bath was luxurious in a room which must have been built during the stone age, just like the rest of the house. The water was hot and Dean didn’t have any idea where it came from because there was no electricity that made installation of water heater possible and he couldn’t see any kind of stove like what he saw in an ofuro in this bathroom.<br />
<br />
There were clothes in the wardrobe, there were even underwear -, but Dean preferred his spare clothes from the backpack. He put on a wife-beater and his BDU pants and climbed onto the bed.<br />
<br />
The bed was huge, four poster with canopy and drapes made of heavy brocade. The mattress was soft like clouds and the sheets were the finest woven flax linen. Dean slid under the blanket, it was cold and the thought of snow over the mountain tops made him shiver. There was a fire place but there was no wood and Dean didn’t think it’s appropriate to ask Castiel for that in this ungodly hour. It was a little after midnight.<br />
<br />
He lay wide-eyed, staring at the canopy above him, trying to understand the patterns carved there. At first he thought it was some sort of calligraphy, either Arabic or Indian or even hieroglyph, but it didn’t look like that. He had learned a little Arabic during his stay in Afghanistan. He supposed he had better be sleeping, he was exhausted, but he couldn’t. <br />
<br />
He was about to start counting imaginary goats in the hope that would make him bored enough to sleep, when Ash came barging in and hopping into the bed. Ash wore a tunic and loose pants and looked right at home.<br />
<br />
“Dean, Dean,” Ash whispered in his ear. Ash too smelled of shampoo and soap which seemed like a good sign. Normally Ash smelled like dust and radiation. “There’s something about this house. It doesn't feel right.”<br />
<br />
Dean sat up and stared at Ash. Ash was a good soldier but he was also a geek, a bad one, and sometimes, half of his words were not understandable by normal standard. “What do you mean?” Dean frowned. It was only an act. He knew there was something about the house, and Castiel.<br />
<br />
“You know, the books I went through in the library, most of them are about magic.”<br />
<br />
“What magic? Criss Angel’s magic or Harry Potter’s magic?”<br />
<br />
“What? No. Criss Angel is a douche, it’s not magic at all. It’s illusion and if you ask me, it’s not even that spectacular; and Harry Potter is rip-off. I know better books. But the ones in the library are more like Merlin’s magic. Ancient spells.” Ash stopped and looked up. “There are lots of symbols like that.” He pointed up. “All over those books.”<br />
<br />
Dean looked up too. “Isn’t it some kind of artwork? It might be a sutra."<br />
<br />
“No!” Ash blurted. “But I will find out what it is. Castiel isn’t telling us the whole truth.” <br />
<br />
Dean laughed. “Ash, he’s the owner of this house and we... we’re only beggars, staying here under his mercy because we need food and a roof while Jake needs medical treatment. He doesn’t need to tell us anything.” <br />
<br />
Ash snorted. “Oh yeah? And what about a room full of weapons? I mean: ancient weapons. Swords, spears, javelins, sabers… axes. I swear that one of the swords there once belonged to Minamoto Musashi.”<br />
<br />
“Isn’t he fictional?”<br />
<br />
“No! You should’ve read more history. He was real. And his sword was in this house. And the chess Kubrick’s been playing since after dinner, I bet that came from Shah Jehan’s collection.”<br />
<br />
Dean shook his head. “You shouldn’t peek where you shouldn’t.”<br />
<br />
Ash shifted away and sat down. “Damn, I wish I can get the laptop to work. I’m sure I’ve seen that symbol somewhere.”<br />
<br />
“Ash, just try to sleep, okay? You’re exhausted. You’ll need the energy tomorrow.”<br />
<br />
Ash took a deep breath. Ash had the ability of going on for days without sleeping. His record was seven days. Dean kept him company for the first three days before passing out for one and a half. If Ash hadn't suddenly fainted in the middle of gathering a refugee’s goats, he might’ve nailed a better record.<br />
<br />
He shrugged at the suggestion. “You’re right,” he said. Then he crawled into the vacant space next to Dean.<br />
<br />
“You have your own room,” Dean reminded him.<br />
<br />
“Yeah, but I’m scared, man. You don’t seem like you will be able to sleep, you may as well watch me,” said Ash before yawning and putting his head on the pillow.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Ash snored like Dean's brother, Sam. Dean wondered whether it was a geek thing. Sam went to law school in Stanford. He would soon graduate, however he also had a passion for computers and the net that he wouldn’t be surprised if Sam ended up as a software programmer rather than working as a justice enforcer just like he always wanted to do.<br />
<br />
At three am, Dean gave up on sleep. He climbed out of the bed, put his jacket and boots on and got out of the bedroom. He walked along the corridors, wondering whether he too should check the rooms for any surprises, like Ash did, but he shrugged it off. It was impolite. Castiel had been kind enough to take them in and take care of them, he really shouldn’t peek on what he kept behind closed doors.<br />
<br />
He went out of the house through the kitchen. It was colder outside, and from where he was standing at the backyard, he could see the mountains, tall, huge and intimidating. Moonlight still shone brightly upon them. Dean slipped his hands into his jacket pocket and saw a chopping block with an axe lying on the grass and a pile of wood logs next to it. He laughed.<br />
<br />
He padded to the chopping block and picked up the axe, testing its weight. There was no way Castiel could lift the axe, he thought as he tried to swing it. He had no problem doing it, he had the experience of swinging something heavier.<br />
<br />
But then, if Castiel didn’t chop his own woods, how could he make fire to cook and keep the house warm as there was no gas in addition to the non-existence of electricity? Maybe someone delivered them on a regular basis or came over to chop the woods for him?<br />
<br />
Deciding that the latter must be the case, Dean put one log on the chopping block and began axing it into smaller pieces. Maybe if he exhausted himself more by chopping logs, he would be able to sleep.<br />
<br />
He was half-way through the woodpile when the kitchen door was opened and Castiel showed up.<br />
<br />
“You’re up early,” Castiel said as he leaned on the door sill. He was still wearing the gamis, but this time with a cloak draped on his shoulder and at this point, Dean wanted to know if he wore anything else underneath.<br />
<br />
“I couldn’t sleep,” Dean answered, avoiding Castiel’s eyes. He put another log on the block.<br />
<br />
“Is the room not comfortable?” Castiel’s face darkened. “The mattress too hard, too soft?”<br />
<br />
“No, no, no. Everything’s fine. Perfect. It’s just me.”<br />
<br />
“You should’ve told me. I can bring you warm milk.”<br />
<br />
Dean lowered his axe in maximum force and split the log into smaller pieces. “That won’t be necessary. I didn’t want to trouble you.”<br />
<br />
Castiel finally peeled himself from the door sill and walked towards him. “I’ll bake some bread for you then,” he said. “May I take some of the wood?”<br />
<br />
Dean smiled at him. “By all means, it’s all yours.”<br />
<br />
Castiel took an armful and Dean watched him go back to the kitchen. Then he took an armful of logs too and followed Castiel to the kitchen. Behind him, the sun had begun to claim the day back from the moon.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Much to Dean’s surprise, Castiel made bread for breakfast. Granted it was only flatbread, which was very simple to make, but it was still bread nonetheless and the thought of putting a piece of warm bread, fresh from the pan, on to his tastebuds, made Dean’s mouth water and his stomach grumble. He helped crack the eggs, measuring flours and sugar and mixing butter. He also did the cleaning constantly while Castiel focused on bringing the bread into perfection.<br />
<br />
And while he was in the kitchen he found a big sack of Moroccan coffee beans, another big surprise. Dean happily ground them and brewed them. Even Dean’s lack of skill in making coffee didn’t ruin it, it still came out tasting like Heaven, which was a very exciting change from the basecamp supply.<br />
<br />
By the time Castiel finished baking the last bread and the coffee was ready, the kitchen smelled pleasantly like a bakery.<br />
<br />
Even before Castiel got to set up the dining table for breakfast, Kubrick and Ash had showed up in the kitchen, both with matching grins. They helped themselves with coffee while Dean cleared up the table to make room for the bread baskets.<br />
<br />
Jake joined them just as Castiel was preparing a tray to take to the bedroom for him and it was good to see color had returned to Jake’s face. Jake was a good soldier, skillful and well-trained with strength above average. However, sometimes, it was all about luck and it was only a bad day for him when a Taliban managed to dig a knife into his thigh and tear the flesh before Kubrick shot him point blank. Jake lost so much blood although Ash had given him first aid, using a tourniquet before bandaging the wound to keep the flesh intact and the bleeding stopped, and Dean had to carry him and if they didn’t find this house, Jake could’ve been dead already.<br />
<br />
“How’s your leg?” asked Kubrick.<br />
<br />
“Good,” Jake said. “The wound has closed.”<br />
<br />
Kubrick looked up at Castiel. “What kind of drug did you give to him?”<br />
<br />
“Jake is a strong young man,” Castiel answered. “His body still has the ability of self-healing.”<br />
<br />
Ash laughed. “Even so, it usually takes a normal body two or three days.”<br />
<br />
“Some people heal quicker,” Castiel insisted. “It’s a blessing.”<br />
<br />
Dean cut in. “I guess what matters now is that Jake is all right,” <br />
<br />
That ended the discussion. Besides, no one seemed to want to let their coffee and bread too cold to enjoy.<br />
<br />
They ate like they hadn’t been eating for the last month and Castiel refilled their coffee cups again and again. No one declined, although ahalf a cup of the coffee tasted as strong as double espresso and Dean suspected that Castiel must’ve added more sugar to make it really sweet. No one but Dean noticed that the basket didn’t seem to run out of bread. Dean didn’t say anything because he had his mouth full and he was taught the military way: eat as much as you can while you can because you never know when you’ll be able to eat again.<br />
<br />
After finishing three cups of coffee and uncounted number of bread, Kubrick got up and spoke, patting his full belly,”I’m going to take a look around. If you don’t mind.”<br />
<br />
“Oh no, not at all,” Castiel shook his head.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
With breakfast done, Kubrick and Jake left the kitchen. Jake said that he wanted to go back to sleep, as he still felt very weak. Kubrick didn’t say anything. Dean and Ash stayed to help Castiel clean the kitchen, then Ash announced that he would go back to the library.<br />
<br />
Kitchen clean and shiny, Dean went back to the bedroom, however when he passed a patio and saw Jake sitting at the edge of a fountain there, he changed his direction.<br />
<br />
“I thought you were going to rest?”<br />
<br />
Jake nodded. He looked disturbed. “Don’t you think it’s strange?” he asked quietly as if he was scared that the fountain and the plants and the walls had ears and could hear what he said.<br />
<br />
“What’s strange?” Dean sat down next to him.<br />
<br />
“This whole thing. My wound. Yesterday I had a wound that practically tore my leg open. Now what’s left is a fresh scar. No more pain, no more blood.”<br />
<br />
“I guess you should be grateful. Some people have that kind of body.”<br />
<br />
“I know, but this is extreme. Normally you have to put some kind of medicine. Like what they do for footballers. But Castiel - he didn’t do anything.”<br />
<br />
Dean frowned. “Didn’t he? I saw him cleaning the wound.”<br />
<br />
“Yes. And that was all he did. And he used the same water you and Ash used to wash me up, after you tore off my clothes.”<br />
<br />
“Didn’t he bandage it?”<br />
<br />
“Yes, but only to stop the blood from spilling out. And you know what? I took off the bandage this morning and it wasn’t stained at all.”<br />
<br />
Dean nodded, making a mmm sound.<br />
<br />
“I gotta get out of here,” Jake got up, and left the patio. "This place gives me the creeps."<br />
<br />
Dean stayed there for a while, watching the water, feeling amused to see little fish the surface. They were swimming happily among some tiny water plants and they seemed to love to play with the splashing water.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean took a bath again as it seemed stupid not to take advantage of the free-flow hot water. He gathered his dirty clothes, put them in a wooden bucket and took them out. There was a small well near where he chopped the woods and he assumed that he could wash the clothes there. He wasn’t very fond of house chores but in the army, you take care of your own things. Besides, there isn’t really much things to do in the house. Jake had gone back to sleep, he was very weak although the wound had almost completely healed, he was still weak from losing too much blood. Reading could be a good choice of whiling away the time, but the library had been taken over by Ash, who was still determined to find the meaning of the symbol carved on the canopy ceiling.<br />
<br />
He found Castiel near the well, with a pile of dirty laundry at his feet. Dean could see his friend’s clothes. He felt embarrassed at his friends’ attitude.<br />
<br />
“I’ll do it,” he said as he put the bucket down.<br />
<br />
“It’s difficult,” Castiel said. He bent to pick up Jake’s shirt. “This is blood.”<br />
<br />
Dean wanted to tell him that probably it was easier to just burn the clothes anyway, but what came out of his mouth was, “I’ll take care of it.”<br />
<br />
“Are you sure?” Castiel smiled softly at him.<br />
<br />
Dean smiled back at him. “I’m sure.”<br />
<br />
“I’ll help you hang them later.”<br />
<br />
“No worries.”<br />
<br />
Then Castiel walked away and Dean had just realized that Castiel had changed his gamis into tunic and pants.<br />
<br />
He also realized that the laundry pile was quite a big one. He sighed, then he rolled up his pants to his knees, lowered his ass to a low wooden stool next to the pile and he began working.<br />
<br />
In addition to the military issued clothes that belonged to him and his friends, there were also Castiel’s clothes, which were the least of his problems because they were made of linen, and there were bed sheets and pillow cases and blankets and Dean wondered why he didn’t see them before and whether Castiel took the advantage of having some visitors to do his annual linen laundry. Still he tried not to complain, and just kept on working.<br />
<br />
He also found that blood stain was difficult to get rid of. Period. But he wouldn’t want to admit that to Castiel and made the real effort to eliminate it.<br />
<br />
He was half way through the laundry and suffering a stiff back when Ash showed up, asking, “Dean, have you seen Kubrick?”<br />
<br />
Dean tilted his head, then raised an eyebrow. “No, I don’t. Have you checked the living room? He’s probably playing chess there.”<br />
<br />
“I did. He’s not there. The cigar box had also disappeared.”<br />
<br />
“Maybe he went smoking somewhere.”<br />
<br />
“I’ll check his bedroom.”<br />
<br />
Dean only nodded and thought Ash should’ve done that before asking him. He resumed the laundry duty.<br />
<br />
It didn’t take long for Ash to come back, this time he ran.<br />
<br />
“I still couldn’t find Kubrick,” he said. <br />
<br />
Dean squinted his eyes. “Ash, this is a very big land. He could be going for a walk to the mountain. He could be going to that forest over there.” Dean jerked his head toward a group of trees.<br />
<br />
Ash furrowed his eyebrows at the trees. He was quiet for a moment then he said, “One of the knives is missing from the Armory as well.” <br />
<br />
Dean sighed.<br />
<br />
“I know!” Ash blurted again. “I counted the weapons, and you know I have a photographic memory. It’s a knife, a silver knife.”<br />
<br />
Dean said quietly. “Maybe Castiel took it, maybe he needs it to do something,” he said quietly. “Slaughter a goose perhaps?”<br />
<br />
Ash looked shocked and hurt. “Dean, you don’t use a knife like that to slaughter a goose.”He took one step back. <br />
<br />
“So you think Kubrick stole it, along with the cigars?”<br />
<br />
Ash only shrugged and turned around and jogged back to the house.<br />
<br />
Dean watched Ash for a while, then he resumed the washing, he didn’t understand why Ash was so concerned about the missing soldier, the cigars suggested that he had just gone somewhere to be alone and smoke, and he could take care of himself. <br />
<br />
The sun was at its highest position in the sky and despite the fact that the house was in a mountainous area, it still got very hot. Dean was perspiring through his t-shirt and he could feel sweatdrops sliding on his skin. He wanted a glass of lemonade.<br />
<br />
Castiel showed up again just as he was hand-spinning the last piece of clothing. “Done,” he said, proud and relieved.<br />
<br />
“Thank you,” Castiel smiled. “I’ll hang them. Then we can have lunch.”<br />
<br />
Dean managed not to offer his help anymore, he was stiff and sore from scrubbing the clothes, getting water from the well and what not. He stood up, straightened his back, stretched, then he bent down again to lift one to the buckets to the rows of clotheslines nearby. Castiel carried another one.<br />
<br />
Castiel started to hang the clothes in silence, he seemed to be carried away by the rhythm of picking on clothes, tossing it over the clothesline and keeping it secure with some wooden pins. Dean found himself staring at Castiel, at how he bent down and straightened up and at how the hem of his tunic floated with the breeze.<br />
<br />
“Ash told me that one of the knives from the Armory disappeared.”<br />
<br />
Castiel stopped mid-air from throwing a shirt over the clothesline. His back stiffened and he looked disturbed. <br />
<br />
“Sorry that he had been peeking into the room,” Dean felt suddenly very bad. “He shouldn’t do that. But he noticed that one silver knife had disappeared.”<br />
<br />
Castiel tidied the shirt on the clothesline and secured it with pins. “No, really. It’s okay if Ash wants to look. I never pay any attention to the room, I have no interest there. But I’ll check. I can’t remember all of them.”<br />
<br />
“Okay.”<br />
<br />
“Can you get another one?” Castiel asked, jerking his chin toward the empty bucket.<br />
<br />
“Sure.”<br />
<br />
“Thank you.”<br />
<br />
Dean went back to the well and took another bucket. Except that he didn’t see Castiel anymore at the clothes line area. He scanned his surroundings with his eyes, hoping to see Castiel between the wind-blown bedsheets, but Castiel wasn’t anywhere nearby. He snorted then laughed then decided that it must be Castiel’s trick to get him to hang the laundry. No, he wasn’t going to get fooled again. He had chopped the woods, washed the dishes, cleaned the kitchen and did the laundry, he wasn’t going to hang them as well. If Castiel didn’t want to do it, so be it.<br />
<br />
He turned around and headed for the kitchen door. He was only a few steps away from the kitchen, when, through the door, he saw Castiel inside, and Castiel looked to be trying to save something from the giant oven. He probably tried to save their lunch.<br />
<br />
Dean gave up and went back to the clotheslines.<br />
<br />
By the time he finished with hanging the laundry, Dean decided that he had had enough of household chores for the rest of his life. All he wanted to do now was lie on the bed with his face buried in the pillow and dream that he was somewhere else but here. <br />
<br />
He entered the kitchen to the burning smell of meat. He scrunched up his nose and saw Castiel staring at what suspiciously looked like a big bird in a metal plate on the kitchen table. Castiel looked up. “I burned the goose,” he said.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Luckily, after carving it carefully, Dean managed to save more than half of the overtly-roasted wild goose for lunch. Castiel had baked some potatoes and wild mushrooms to go with the goose, which made it perfect. Ash came to the kitchen to join them for lunch, informing them that Jake was still sleeping and he still couldn’t find Kubrick, and despite the fact that he still had some suspicions on Castiel, he ate heartily. To Dean’s surprise, Castiel sat down with them at the kitchen table and ate.<br />
<br />
Kubrick didn’t show up even after they finished their lunch so Castiel said that he would save some for Kubrick and prepare some to take up upstairs for Jake.<br />
<br />
He also served some rice pudding he had made for dessert.<br />
<br />
“This is real good,” Ash commented, again with his mouth full with rice pudding. “You could become the best chef the world has ever had.”<br />
<br />
“Thank you,” Castiel said.<br />
<br />
“You could even try Top Chef,” Ash continued. “You could be famous and very, very rich.”<br />
<br />
“You want me to take it up to Jake?” Dean asked Castiel.<br />
<br />
Castiel turned to look at him. “No, it’s okay, I’ll do it. Why don’t you just rest? You’ve been working very hard today.” Dean swore he saw a tint of sadness in Castiel’s eyes.<br />
<br />
“Okay,” Dean shrugged.<br />
<br />
“I’ll clean the kitchen,” Ash offered as he reached for the second cup of rice pudding.<br />
<br />
“Thank you,” Castiel smiled.<br />
<br />
“I’ll see if I can find Kubrick,” Dean said.<br />
<br />
But first, he went to Kubrick’s bedroom. He didn’t know why but he wanted to check on Kubrick’s stuff. It wasn’t a good thing to do, he didn’t have the habit to rummage into someone else’s belongings even someone as suspicious as Kubrick, but he felt like he needed to make sure that everything was all right. Kubrick’s stuff was there, his backpack, his canteen, his boots, his clothes. He checked Kubrick’s backpack, opened the wardrobe, pulled out the drawers, feeling that there was something missing there but he couldn’t remember what.<br />
<br />
Finished with Kubrick’s bedroom, he headed for the front door to check the yard. He was passing a door when he decided to stop and take a look inside. It was the Armory. Again, without being able to hold back, Dean stepped inside and couldn’t hide his amazement.<br />
<br />
Ash was right. It was a stunning collection of ancient weapons. There were swords and knives and sabers and axes and spears and javelins and there were more which Dean didn’t even know the names of. They were neatly fastened on the walls or lined on the tables with metal rings. There was nothing to protect them from getting stolen, no alarm system, no bomb-proof glass, they lay there naked and vulnerable.<br />
<br />
Dean noticed that there was a vacant place. He fingered the holder, wondering what the knife looked like. It must be something really precious, like the rest of the weapons. He wondered if it was really Castiel who took it and used it to slaughter a goose that they had just eaten, or if Kubrick stole it.<br />
<br />
He really hoped to hear from Kubrick soon.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean slowly combed the yard, looking for any signs of Kubrick. He felt that it was a wasteful effort, Kubrick could be in a village nearby or on one of the mountains, but he did it anyway. He must’ve walked along half the area when he saw a patch of land that served as a little farm of vegetables and potatoes. And Ash was working there - pulling out weeds, checking the soil and stuff. He didn’t look too happy. Dean laughed to himself. He wanted to know how Castiel talked him into tending the farm. <br />
<br />
But something was off about Ash. Ash was wearing a pair of very old jeans and a checkered shirt, the sleeves had been ripped off. Back home in the United States, Ash dressed up like that when he wasn’t wearing the military uniform. He came from a hippy family whose idea of perfect clothing was stuck in the 1970's. They hadn't been proud of their boy joining the military.<br />
<br />
Dean went to approach Ash. Up-close, Ash looked miserable covered in soil and swearing but that didn’t stop Dean from teasing him, “You look pretty much in your element.”<br />
<br />
“I swear,” Ash gritted his teeth. “I’m sure that the reason why my parents chose to live in a caravan was so that we didn’t have to deal with this.” He tossed the cultivator away.<br />
<br />
“Where did you get those clothes?” Dean asked, straight to business.<br />
<br />
Ash looked down. “They’re in the wardrobe in my bedroom. And they fit.” He shrugged. “Although, yeah, funny to think that Cas keeps clothes like this. But I guess deep in his heart, he has some passion. You know…”<br />
<br />
Dean nodded. “Yeah, I know.”<br />
<br />
Ash washed his hand in a bucket of water. “Come, I’ll show you something,” he said as he wiped his hands on the jeans.<br />
<br />
They walked further away from the house until they reached the small forest at the other side of the land.<br />
<br />
“You see the trees and grass are better here than in other parts of the land,” Ash said as he looked up. Dean had to agree that the trees looked very healthy. And the grass covered the ground like a thick carpet.<br />
<br />
“Yeah,” Dean nodded.<br />
<br />
“Do you know why?”<br />
<br />
Dean tilted his head. He didn’t like trivia.<br />
<br />
“I bet this area is a fucking cemetery,” Ash answered his own question.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dean wanted to ask Ash what made him think that there were dead bodies buried under the ground, other than the sign of big, beautiful trees standing on that ground. It wasn’t that he was scared. He had seen dead bodies, he had dealt with dead bodies more than he wanted to for the rest of his life. He had seen people die in front of him - friends and foes; In a war zone it was inevitable.<br />
<br />
He supposed Ash should give him hard evidence, but he respected the dead, as much as the living, so he supposed it wasn’t a good idea to start digging to find bones, or decaying bodies.<br />
<br />
He wondered who they were, were they Castiel’s ancestors? Had there been a war, a fight on this land and people died and in the lack of proper funeral, they were buried all in the same big hole like plague dead?<br />
<br />
He shook his head and told Ash that he would go back to the house.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Castiel was surprisingly not in the kitchen, cooking, as usual. He was in the library, putting books back into the shelves. Apparently, Ash had made a mess.<br />
<br />
The library, Dean found that he liked it there. Granted that it reeked of leather and old papers and dust, but it was serene and quiet and somewhat soothing there as if people could always rely on the room to find solitude and tranquility. <br />
<br />
“You know, some people think books are their most precious belongings,” Castiel said without even turning his head to see who was coming.<br />
<br />
Dean knew. Dean knew that Sam and Ash’s love for books was as much as his love for roast beef sandwich, which he missed very much now like Ash missed his laptop and the internet, Dean liked stories but books weren't worth it. He let the silence pass for a few seconds, before he asked, “Cas, why do you speak English? Why don’t you speak Persiani? Or Pashto perhaps?”<br />
<br />
Castiel gave him a side-long glance. “Would you understand it if I speak Persian?”<br />
<br />
“I’ve been here long enough to understand some, yes.”<br />
<br />
Castiel shifted his eyes back to the books. “There are probably ten thousand books here,” he said instead of answering Dean’s question.<br />
<br />
Dean took a deep breath. He gave up. “Have you read them all?” he asked as he walked towards Castiel.<br />
<br />
“Only a few. I don’t have time.”<br />
<br />
Dean pulled one leatherbound book carefully out of the shelf. <br />
<br />
“Herodotus’s Histories,” Castiel said.<br />
<br />
Dean tilted his head.<br />
<br />
“The original version,” Castiel added, as if to convince Dean.<br />
<br />
Dean laughed, but Castiel took the book from his hand. He didn’t put it back into the shelf, he opened it, thumbed the yellow pages and stopped somewhere and began reading, in English, “Now the manners and customs of the Getae, who believe in their immortality, I have already spoken of. The Trausi in all else resemble the other Thracians, but have customs at births and deaths which I will now describe. When a child is born all its kindred sit round about it in a circle and weep for the woes it will have to undergo now that it is come into the world, making mention of every ill that falls to the lot of humankind; when, on the other hand, a man has died, they bury him with laughter and rejoicings, and say that now he is free from a host of sufferings, and enjoys the completest happiness.”<br />
<br />
Castiel’s voice floated in the air, soft and sweet like cotton candy and Dean knew that if Castiel read him a whole telephone book, he would listen to it.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Jake joined them for dinner, but there was still no sign of Kubrick, although Ash had stopped asking about him. There was no point in trying to find him, even if Kubrick had left, he was a big boy, he could take care of himself. Besides, the farm job seemed to make him too exhausted to even speak.<br />
<br />
Dean only hoped that if Kubrick did leave the house, he remembered to come back to help them. Jake looked concerned.<br />
<br />
Castiel didn’t let him help with the dirty dishes and Dean decided it was only fair. He had chopped the wood and did the laundry, he could use a good rest. Jake looked to have healed completely so perhaps they could try to go back to the base camp.<br />
<br />
Maybe he should try to talk Castiel into coming with them. Maybe he could take Castiel back to America, to Kansas City.<br />
<br />
Maybe…<br />
<br />
He was changing his clothes when Ash came barging in again.<br />
<br />
“Look what I found!” he exclaimed as he deliberately bounced into the bed. He had a small book in his hand.<br />
<br />
Dean furrowed his eyebrows. “Did you steal something?”<br />
<br />
“No!” Ash blurted. “I only borrowed this.”<br />
<br />
“What did you borrow?” Dean asked. He had decided to put on some of the spare clothes from the wardrobe – loose pants and tunic. He joined Ash in the bed. “Where did you get this from?”<br />
<br />
Ash held up the book for him to see. It looked like a note book, the kind people liked to use to write things.<br />
<br />
“The library,” Ash gave him a shocked look. “It’s a diary.” He slid under the blanket. Dean lay next him so he could have a good look. “See this. This is someone’s handwriting.”<br />
<br />
“Yes, I can see that.” It said: Bobby Singer, March 1971.<br />
<br />
Ash flipped the book open. “I don’t know why someone’s diary could be in this house. This looks like a journal. A travel journal. Starting on March second, nineteen seventy one. Read this. We’re finally off to Afghanistan. I can’t believe this. I don’t even know what to expect there except rocky mountains and militant Moslems.”<br />
<br />
“Mujahidin,” Dean said. <br />
<br />
“Yeah, whatever.” Ash flipped further. “Yeah, he seemed to be traveling with two or three friends.” He stopped. “March five. I’m done with riding a donkey for the rest of my life. Idjits. I do hope this is worth it. Lucky the inn we stay in, if it can be called an inn, serves decent food. I hope it isn’t the donkey we had just ridden on. Poor guy. But the meat is just too juicy to be an overworked donkey. I hope it’s a goat.” Ash stopped, frowned. “Idjits?” He read on. “I was smoking alone in the yard inn when an old woman approached me and asked where we are going. I told her that we’re going to the house. She told me it isn’t wise to do that. The whole house was spellbound by a very powerful wizard and guarded by a powerful djinn. She said whoever gets in never comes out, and lots of people had tried. I told her that we know the house was haunted, and that’s exactly why we’re here. She told me to just turn around and go back to where we came from. I told her that we’ve gotten this far, so we’re not coming back without anything. She looked sad and wished that may God be with us forever. “<br />
<br />
He stopped because the door was pushed open and Castiel showed up with a pile of clean clothes, neatly pressed and folded and Castiel stopped at the door when he saw Ash in Dean’s bed. He looked surprised for one split second, then his eyes darkened.<br />
<br />
“I’m sorry, am I disturbing you?” he murmured.<br />
<br />
“No, no, no,” Dean got out of the bed. “It’s okay.”<br />
<br />
“Yeah, I’m just reading him some bed time stories,” Ash said casually.<br />
<br />
That didn’t seem to convince Castiel. Dean practically jogged towards Castiel. He smiled. Castiel smiled back at him. “You don’t have to do this,” he said as he accepted the clothes. “I can do it tomorrow.”<br />
<br />
Castiel only said, “See you tomorrow, then.”<br />
<br />
“You don’t wanna come in and listen to Ash’ stories?” Dean teased.<br />
<br />
“No,” Castiel shook his head, then he turned around and walked away and Dean felt his heart fell to his knees.<br />
<br />
He put the clothes on the table, then he exited the bedroom to chase after Castiel. Castiel was gliding along the corridors, and he called him out, “Cas!”<br />
<br />
Castiel stopped and slowly turned around.<br />
<br />
Dean balled his fists. His stomach churned violently. He had never had something like that since the first time he saw Lisa Braeden, the most beatiful girl in high school. Dean toughened himself up. “Look, it isn’t what you think.”<br />
<br />
Castiel tilted his head. He didn’t show any facial expression at all. “I’m not thinking of anything,” he said.<br />
<br />
Dean took one step forward, aware of his fast-beating heart, hoping that Castiel didn’t hear it. “Ash… Ash is like that. He does things… without thinking whether…” He stopped. He didn’t even know why he had to explain.<br />
<br />
Castiel only nodded. “I understand.”<br />
<br />
Suddenly, Dean couldn’t stop himself from grinning. He was standing very close to Castiel now and he wanted to lift his hands and put Castiel’s face in his palms. “You can read me bedtime stories some other times,” he teased again.<br />
<br />
Castiel laughed. “You’ll fall asleep before I even read five words. I’m boring.”<br />
<br />
“No harm in trying.”<br />
<br />
Castiel smiled, then he said, “Good night.” Then he turned around and walked away.<br />
<br />
Ash had fallen asleep when he got back, the journal was open in his hand. Dean took the journal, intending to put it away, but he found himself reading the open page.<br />
<br />
March twenty three. This is insane. I don’t even know what to do. They had all died. I don’t know what happened to them. I don’t like having to bury them. I don’t want to stay here any longer. I’ve been to haunted houses, I’ve hunted ghosts. But this is different. There’s some kind of power here I can’t understand, a magic spell, so strong, there’s no way to break it or go around it. I should’ve listened to the old woman from the village. Anyway, I’m going tomorrow. And I’m going to take the book with me. I’m sure the book is the answer toeverything.<br />
<br />
That seemed to be the end of the journal because there was no other entry as Dean thumbed it mindlessly.<br />
<br />
There were probably ten thousand books in the library, Dean wondered which one Bobby mentioned as “the book”.<br />
<br />
He decided not to be bothered. He put the book on the nightstand and climbed up the bed to lie next to Ash and sleep.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Continued in <a href="http://supernaturalfanficindonesia.blogspot.com/2010/10/precious-part-2.html">part two</a>RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-53743298331279215182010-10-09T14:15:00.000+07:002010-10-09T14:15:53.835+07:00Fic: Duct TapeDisclaimer: heck, I still don't own Supernatural and the Winchester brothers. They're the properties of WB and Kripke.Chapters: 1. Word count: 4.418.<br />
Timeline: sekitar season 1.<br />
Summary: di mata Dean Winchester, benda itu prioritasnya di bawah kertas toilet dan cuma sedikit di atas kopi.<br />
Translation: in Dean Winchester's scale of priorities, duct tape is listed below toilet paper and just a little above coffee.<br />
Author's note: simple story with duct tape as a metaphor for Dean. Berbagai kisah tentang penggunaan lakban secara kreatif aku peroleh dari ducktapeclub.com. Inspired partially by 4.18. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">"Lakban."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawaban satu kata atas pertanyaan "kamu butuh apa lagi, Dean, mumpung aku mau keluar belanja" yang barusan dilemparkan Sam itu cukup melenceng dari maksud si penanya. Sam yang tengah menyortir pakaian habis dicuci menjadi dua tumpukan berdasarkan pemiliknya mengangkat dan memalingkan kepala ke arah kakaknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Lakban?" Sam membeo.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean mengangguk.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Cuma itu?"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Satu anggukan lagi dari Dean.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam menarik sebelah sudut bibirnya ke dalam. "Maksudku, apa kamu mau makanan yang lain? Agar-agar, sup dengan merek berbeda atau apa?"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean mengedikkan bahu. Terserah kamu saja, itu tersampaikan dengan jelas. Lagipula, untuk apa beli beraneka ragam dan bentuk makanan? Toh, semua itu sama saja rasanya buat dia. Sama-sama pahit di mulutnya dan mengiris kerongkongannya yang sensitif.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Puding coklat?" tawar Sam, masih belum menyerah.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Terdengar menggiurkan, pikir Dean. Tentu saja kalau dia sedang sehat. Sebetulnya dia ingin sekali makan pai, tetapi dia juga tak mau santapan favoritnya itu nanti terasosiasikan dengan trauma sensasi menyakitkan jika dia mencoba menelan kulit pai yang kering dalam kondisinya sekarang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean menggeleng. Ekspresinya berubah komikal sewaktu dia buru-buru meraih ke samping, menjambret sehelai tisu dan membersit hidung kuat-kuat, menimbulkan suara yang mengingatkan Sam pada teriakan gajah. Dengan murah hati Sam mendekatkan tempat sampah ke bawah ranjang Dean, tisu itu mendarat di sana dalam bentuk gumpalan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean mendehem beberapa kali, seperti orang hendak mencoba mikrofon, dalam hal ini dia mengetes pita suaranya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Pokoknya lakban," dia berucap, suaranya kasar seperti amplas dan turun beberapa oktaf.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam mengingat-ingat. "Bukannya kita masih punya satu gulung?" sanggahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Setengah," tukas Dean, menelan ludah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Itu cukup, kan?"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Tidak," balas Dean, terdengar sengau kini dan dia mencabut sebuah <i>inhaler</i> dari sakunya, menempatkan benda itu di depan satu lubang hidungnya dan menghirupnya dalam-dalam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Lakban, kan tidak mendesak, Dean," Sam berucap, memindahkan masing-masing tumpukan pakaian ke dalam dua buah ransel.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Uh-huh," gelengan kepala Dean dibarengi goyangan telunjuknya. "Kau tahu, di buku manual NASA..."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Iya, iya," potong Sam, sudah hafal benar ke mana argumen kakaknya akan menuju. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean biasanya mengoceh bahwa dalam lakban disebut secara khusus dalam buku manual astronot NASA. Sam bakal menimpali dengan penggunaan lakban dalam buku itu bertujuan untuk mengikat astronot yang tiba-tiba mengalami gangguan jiwa dan perlu dikendalikan. Dean kemudian membalas dengan menyebutkan beberapa kasus kerusakan pesawat NASA di mana lakban memegang peran vital dalam mengatasinya dan Sam akan tersenyum memperturutkan kalau sudah sampai di sana. Kali ini Sam tidak tega membiarkan debat lawas itu berjalan pada saat Dean mestinya mengistirahatkan tenggorokannya. Hasilnya juga senantiasa sama saja, kenapa harus berdebat kalau begitu?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Oke, akan kubelikan nanti," putus Sam yang disambut seringai setuju Dean. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam lalu merapikan meja yang memisahkan tempat tidur mereka. Di sana berjajar botol-botol obat segala rupa dan merek, termasuk obat gosok, gelas dan botol air, termometer, baskom bekas kompres, sekotak tisu dan pengendali jarak jauh pesawat televisi. Tinggal ditambah bel pemanggil suster, batin Sam, jadilah dia meja yang lazim dijumpai di rumah sakit. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dia berdiri, memeriksa saku celana guna memastikan dompetnya sudah bersarang di sana, meraih kunci Impala dan bertanya, "Apa kamu tidak apa-apa kalau kutinggal?"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean memutar bola mata. Pesannya jelas: berhentilah memperlakukan aku seolah aku ini invalid atau masih berusia lima tahun. Sam tak juga beranjak dari tempatnya, alih-alih dia memandangi sosok kakaknya dengan bimbang. Penampilan Dean yang kacau, bermuka sepucat seprai, hanya diwarnai lingkaran kehitaman di bawah matanya dan ujung hidungnya yang merah macam hidung badut, plus gemetar yang sesekali meruyak di tubuhnya membuat Sam enggan pergi dari sisi kakaknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean membaca tatapan iba dan khawatir adiknya, dia sama sekali tidak menyukai itu. Dia berupaya memasukkan semua nada penuh keyakinan dalam suaranya yang serak dan berkata, "Aku akan baik-baik saja."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Serangan batuk yang datang tiba-tiba tepat ketika dia selesai bicara mengontradiksi kata-katanya barusan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yeah benar, pikir Sam, menahan keinginan untuk duduk di samping kakaknya dan mengusap-usap punggungnya. Dia hanya mengulurkan segelas air pada Dean yang mengusap air di sudut matanya saking dahsyatnya dia terbatuk-batuk. Dean menerima gelas yang disodorkan adiknya dan menyeruput isinya. Sesudahnya, dia melambaikan tangan dengan gerakan mengusir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam mengembalikan gelas separuh kosong itu ke meja dan mengirimkan tatapan kalkulatif ke arah kakaknya. Tidak terlampau puas dengan apa yang dilihatnya, tapi Sam akhirnya melangkah ke pintu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Kalau nanti..."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalimatnya dipotong oleh acungan satu jempol dari Dean, yang terlihat kocak lantaran tangannya yang lain sedang menancapkan ujung <i>inhaler</i> ke lubang hidungnya. Sam tersenyum karenanya, terlebih setelah itu Dean dengan demonstratif menyalakan televisi, mengeraskan volume suaranya dan pasang tampang sok tertarik pada acara omong kosong yang ditayangkan di sana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tanpa mengobral kata lebih banyak, Sam pun keluar dari kamar motel mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Motel yang mereka inapi terletak agak di luar kota sehingga butuh waktu sedikitnya dua puluh menit bagi Sam untuk mencapai pusat kota, tempat dia hendak berbelanja. Sam mendapatkan tempat parkir untuk Impala di depan deretan pertokoan dan masuk ke sebuah toserba.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sama seperti Dean, Sam adalah pembelanja yang terfokus. Tujuan dia ke sana utamanya adalah menambah persediaan pangan mereka dan itulah yang dilakukannya. Langsung dia menuju bagian toko di mana terdapat deretan rak yang memajang makanan segala rupa. Daftar barang yang mau dibeli sudah tercetak di otaknya, sehingga Sam tidak perlu menimbang-nimbang lama dalam mengisi keranjang belanjanya. Beberapa kaleng sup, sebungkus oat ukuran sedang, biskuit, susu untuk memasak oat dan sebagai pencelup biskuit, satu pak agar-agar masuk dalam keranjang belanja Sam. Semua itu untuk Dean. Buat dirinya sendiri Sam mengambil roti lapis bikinan toko, menambah dengan sekian kerat roti manis yang kelihatannya bertekstur lembut, siapa tahu Dean mau. Sam lalu mengambil sebotol madu, sedikit jeruk nipis dan teh celup. Konon kombinasi ketiganya bagus untuk orang sakit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setibanya di rak sereal, otomatis Sam mengulurkan tangan buat meraih sekotak besar Lucky Charms. Dia baru beranjak selangkah dari situ sewaktu dia berpikir bahwa tidak ada untungnya bikin sirik Dean dengan mengunyah sereal di hadapannya, sementara Dean terpaksa makan yang serba lunak. Solider, Sam mengembalikan kotak sereal itu, memutuskan untuk membeli buah kering guna menambah cita rasa jika dia harus ikutan sarapan pakai bubur oat juga. Sam sempat pula mencomot satu kaleng permen pastiles, mungkin rasa pedas mint-nya bisa menolong pernafasan Dean dan memberi rasa enak di tenggorokannya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kelar dengan urusan belanja makanan, Sam beralih ke kebutuhan dasar seperti krim cukur, perlengkapan mandi-cuci dan garam. Di tengah acara menyusuri rak sabun, sekonyong-konyong timbul ide untuk membelikan Dean tahu. Makanan itu lembut dan berprotein tinggi. Jika dicemplungkan dalam sup hangat pasti tersamarkan, pikir Sam. Lagipula indera pencecap Dean sedang dalam kondisi kurang fit. Kapan lagi bisa melihat Dean Winchester makan tahu. Sam lalu memutuskan akan pergi ke Pecinan yang terletak beberapa blok dari toko tempatnya sekarang, sekalian ke apotek menambah stok isi kotak obat mereka. Tiga hari jalan empat hari sudah Dean terkapar lantaran terjangkit paket komplit flu berat: pilek, sakit tenggorokan, meriang, batuk dan sakit kepala. Itu cukup signifikan pengaruhnya terhadap persediaan obat Winchester bersaudara.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Langkah Sam terhenti di depan rak majalah. Sebetulnya barang itu tidak ada dalam rencananya, tetapi dia pikir tidak ada salahnya mencarikan Dean bahan bacaan, sebelum kakaknya itu menembak pesawat televisi karena bosan atau frustrasi atau keduanya. Sam langsung mencoret National Geographic dari dalam daftar kemungkinan majalah yang menarik buat Dean saat ini. Matanya tertumbuk pada majalah tentang senjata api dan mobil klasik, dijejalkannya dua eksemplar ke keranjang. Tergoda juga dia untuk membelikan satu edisi Busty Asian Beauties, tapi tampang wanita pramuniaga paruh baya yang kebetulan berada di dekatnya membuat Sam menarik tangannya yang sudah siap mengambil majalah lucah itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Logo sebuah merek yang terpampang di sampul sebuah majalah membangkitkan ingatan Sam bahwa <i>aftershave lotion</i> miliknya sudah berada dalam kondisi kritis dan dia kembali ke rak tempat segala tetek-bengek khas pria berada. Sam dengan cepat memindai deretan botol-botol yang ada di sana, mencari <i>aftershave lotion</i> yang biasa dia pakai. Dia setengah berharap akan mendengar celetukan kelakar Dean, mengomentari kebiasaan adiknya menggunakan <i>aftershave lotion</i> seusai bercukur. Dean biasa mengejek Sam utamanya lantaran dia sendiri tidak pernah repot-repot dengan itu. Kala suara yang ditunggu tidak juga muncul, Sam hampir saja menoleh kalau dia tidak langsung ingat bahwa Dean kali ini tidak ikut berbelanja, melainkan tergeletak sakit di ranjang motel mereka. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam tersenyum tipis, telah terbiasa ada Dean mengorbit di sekitarnya. Acara menyusuri toko tidak pernah sama dengan seperti jika Dean ada. Belanja dengan kakaknya itu banyak seninya. Mulai dari perdebatan rutin soal hal-hal remeh tiap kali masuk toko sampai upaya Dean mempersuasi adiknya guna membeli barang-barang yang di mata Sam aneh demi kesenangannya dan justifikasinya bila usaha yang disebut tadi tak berhasil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tidak ingin berlarut-larut dalam nostalgia, Sam mengarahkan kaki ke area di mana dia kira akan terdapat lakban. Seulas senyum terbentuk di bibirnya. Dean kerap mengolok-olok dia, mengatakan bahwa adiknya itu mengidap gangguan obsesif-kompulsif, padahal sejatinya Dean nyaris bersikap seperti itu jika sudah menyangkut lakban. Pita perekat itu sudah menjadi semacam piranti wajib buat Dean. Dalam skala prioritas si sulung Winchester, lakban menduduki posisi masih di atas kopi, tapi cuma sedikit di bawah kertas toilet.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam menemukan dirinya menghadapi bertumpuk-tumpuk gulungan lakban berbagai warna dan jenis di depannya. Diraihnya satu dari spesies yang standar dan benda itu bergabung dengan belanjaan lainnya. Sam menelengkan kepala, berpikir dua kali kemudian mengambil sebuah lagi. Siapa tahu ada gunanya, alasan Sam. Menilik pengalaman yang sudah-sudah, sedia lakban memang tidak pernah ada ruginya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keping-keping memori tentang peran lakban dalam kehidupan keluarga Winchester satu per satu menyeruak di benak Sam. Bagaikan rembesan air pada bak yang bocor, tidak dapat benar-benar terbendung meski keluarnya setitik demi setitik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terkenang oleh Sam pelbagai kesempatan di mana lakban menyelamatkan situasi dan memperbaiki keadaan, dengan Dean sebagai penggagas utama pemakaiannya. Sam dulu pernah berpikir jangan-jangan kakaknya itu punya kredo: di mana ada lakban di situ ada jalan, saking seringnya Dean mengaplikasikan penggunaan lakban dengan kreatif dan nonkonvensional. Hebatnya, itu dilakukan dengan tingkat kegagalan yang relatif rendah. Benda itu benar-benar jempolan, terutama di tangan Dean.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sudah tak terhitung lagi oleh Sam berapa kali lakban dimanfaatkan sebagai alat pertolongan pertama untuk mengatasi luka-luka yang dialami oleh ketiga anggota keluarga Winchester. Berduet dengan kapas atau kain seadanya, lakban menjadi perban alternatif yang cukup andal. Jika dikombinasikan penggunaannya dengan tongkat kayu atau ranting, jadilah dia pembelat tulang patah, lumayan untuk menahan sampai si penderita memperoleh penanganan medis yang patut. Sam ingat benar bagaimana Dean dulu menempatkan sebatang kayu lurus paralel dengan kaki Sam yang tulang keringnya patah dan baru saja dibetulkan letaknya oleh Dean, lakban direkatkan melingkar sehingga tercipta pembelat darurat. Melepaskan lengketnya lakban pasti tak kalah menyakitkan dengan cedera aslinya, tetapi untunglah Sam waktu itu sudah tidak cukup sadar untuk mengalami penderitaan ekstra itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam soal perbaikan rumah dan peralatan rumah tangga, lakban tak terkalahkan. Pipa bermasalah, sofa yang permukaannya sudah kurang kohesif, pintu merekah, kebocoran wadah plastik penyimpan makanan, dudukan toilet retak, tenda berlubang, papan lemari merenggang, tas bolong, jas hujan robek, sebut apa saja ketidakberesan yang mungkin terjadi di rumah dan di luar rumah. Semua itu sukses diatasi cuma dengan bermodal beberapa gulung lakban. Dean dan John jarang mau repot-repot membeli barang yang baru kalau tidak kepepet sekali soalnya. Dua orang itu sepakat dengan pemikiran lebih baik memperbaiki, syukur-syukur bisa bertahan sampai mereka meninggalkan tempat itu, ketimbang beli. Sam tidak bisa tidak tertular semangat yang mirip, kendati dalam level yang lebih rendah. Sewaktu Sam melakban buku teks bekas yang jilidannya sudah lepas dan menambal saku jaket dengan pita perekat itu, Dean menyeringai seakan dia berhasil mewariskan suatu falsafah hidup pada adiknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Impala jelas memperoleh perhatian yang lebih dari Dean dan John dibandingkan rumah atau apartemen atau kamar motel manapun yang pernah mereka tinggali. Namun, tetap saja dalam mengatasi sejumlah kerusakan onderdil, lakban memegang peran krusial. Pernah kaca belakang Impala hancur dihantam monster Hidebehind yang mengamuk dan John menutupnya dengan terpal yang dilekatkan pakai lakban. Beberapa pipa dan selang di mesin mobil, Sam tidak benar-benar tahu apa namanya, apalagi fungsinya, juga pernah mengalami ditambal dengan lakban sampai mereka tiba di kota yang ada bengkelnya. Koleksi senjata anak beranak Winchester juga cukup banyak yang pernah mencicipi lengketnya lakban. Popor senapan, busur dan gagang pisau berburu adalah salah tiga di antaranya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam tersenyum-senyum sendiri kala terbersit di benaknya kenangan akan penggunaan lakban sebagai jebakan ular. Waktu itu ayah mereka sedang keluar dan Sam, baru enam tahun umurnya, menemukan seekor ular lumayan panjang melata di lantai apartemen. Dean yang dapat laporan dari adiknya bertindak tangkas dengan menutupkan sehelai permadani usang di atas ular kesasar itu dan melakban keempat tepi permadani ke lantai, dengan efektif memerangkap hewan berdarah dingin itu di dalamnya sampai John kembali beberapa jam kemudian. Sam ingat senyum bangga ayahnya yang tertuju pada Dean, tangannya yang mengacak rambut Dean lembut dan meski Dean bersikap seolah itu bukan masalah besar, tak urung ada kilatan bahagia di matanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kasir toserba yang dihadapi Sam menyebutkan dengan nada bosan berapa jumlah yang harus dibayar dan mengulanginya sampai dua kali ketika pemuda itu cuma memberinya senyum menerawang, alih-alih buka dompet. Sam cepat tersadar, menggumamkan maaf sewaktu membayar tunai dan angkat kaki dengan sebuah kantung kertas penuh belanjaan dan dompet yang lebih ringan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Winchester termuda itu menaruh belanjaannya di dalam Impala, duduk di balik kemudinya dan mengarahkan mobil itu menuju apotek waralaba yang, dia tahu dari pengalaman, menyediakan obat-obatan lengkap dengan harga sesuai kocek keluarga Winchester. Tidak berapa lama dia keluar dengan kantung plastik penuh obat dan peralatan pertolongan pertama. Dia lantas melangkah ke sebuah toko bahan pangan yang papan namanya menggunakan aksara Cina yang mencolok dengan huruf Latin kecil saja di bawahnya. Di sana Sam memperoleh beberapa potong tahu, asal saja dia beli tanpa mendengarkan ocehan pak tua penjualnya tentang jenis-jenis tahu. Namun, sewaktu pria gaek itu berceloteh mengenai jamur dan beberapa bahan makanan lain yang namanya asing, tapi lunak dan berkhasiat meningkatkan stamina, Sam mau tak mau terbujuk untuk membelinya juga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Misi telah berhasil dilaksanakan, Sam mendapati pikirannya kembali melayang ke berbagai hal sepanjang perjalanan pulang ke motel. Ujung-ujungnya senantiasa berbelok ke soal lakban.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Masih segar di ingatan Sam sewaktu dia hendak menghadiri acara wisuda SMA-nya. Momen yang amat penting dan menentukan saat itu. Sam lulus dengan predikat siswa terbaik di angkatannya, dia ditunjuk untuk berpidato mewakili rekan-rekan sekelas, John tengah ada di kota dan tidak punya rencana berburu sehingga untuk satu kesempatan yang langka dapat datang ke acara sekolah putranya. Tak perlu dijelaskan lagi betapa gembiranya Sam, meski dia tahu kesenangan itu tidak akan bertahan lama. Benar saja, ketika hendak berangkat menuju sekolah, toga wisuda Sam tersangkut dan kelimannya yang memang sudah kurang beres itu terlepas. Tak punya waktu untuk menjahitnya, tapi tak kurang akal, Dean mengacungkan segulung lakban dan beraksi menyelamatkan penampilan adiknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika mau ditarik agak jauh, kolaborasi antara lakban dengan barang-barang yang dikenakan oleh Winchester bersaudara sudah terjadi sejak lama. Sam menggelengkan kepala tatkala sebuah imaji tentang sepatu berwarna kelabu keperakan meluncur ke otaknya. Waktu itu dia masih duduk di sekolah dasar dan sepatu kets yang dipakainya adalah lungsuran dari Dean. Benda uzur yang tampangnya menunjukkan usianya. Suatu hari Sam pulang dengan sol sepatu menganga, Dean tidak punya cukup uang guna menjahitkannya ke tukang sepatu. Walhasil dia rekatkan sol itu dengan lakban. Menghadapi protes Sam bahwa sepatunya terlihat aneh, Dean berimprovisasi. Dengan rapi dia selubungi keseluruhan sepatu dengan lakban. Tak capek-capek dia meyakinkan adiknya bahwa sepatu Sam akan terlihat keren dengan warna metalik macam itu. Satu-satunya sepatu seperti itu di sekolah, katanya. Tentu saja, dumal Sam. Ajaibnya, belakangan sepatu warna perak jadi tren.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Daya kreatif Dean berkaitan dengan lakban tidak terbatas pada kisaran memperbaiki berbagai macam barang. Ada satu kejadian yang tak lekang dari memori Sam sampai kini dan bila mengenang itu, dia tidak tahu harus merasa geli atau ngeri. Peristiwa itu bermula dari kegandrungan Sam kecil pada komik Spiderman dan suatu hari liburan musim panas yang menjenuhkan. Entah dapat ilham dari mana, Dean memutuskan buat menghibur adiknya dengan cara bermain menirukan cerita di komik bertokoh manusia laba-laba itu. Dean, sembilan tahunan umurnya waktu itu, melilitkan lakban melingkar secara terbalik di telapak tangan dan lututnya, bagian berperekat ada di sisi luar. Dengan persiapan amatiran macam itu, dia merambati dinding rumah sewaan mereka, memanjat naik persis cicak dengan Sam memandang kagum dari bawah, bertepuk tangan girang, berseru bahwa setelah ini dia juga mau jadi Spiderman. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Enam kaki vertikal sempat dilalui Dean sebelum John tiba dan kaget bukan buatan demi menyaksikan apa yang dilakukan putranya. John menurunkan paksa Dean dan setengah menyeretnya ke kamarnya. Sam tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam, tetapi Dean yang keluar dari kamar terlihat merah padam wajahnya dan John menampakkan ekspresi yang tak dapat dipahami Sam saat itu. Setelah dipikir ulang bertahun-tahun kemudian, Sam jadi bertanya-tanya apa ketakutankah nama mimik muka ayahnya ketika itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Barangkali tendensi menggunakan lakban di pelbagai kesempatan, terutama situasi darurat, adalah sesuatu yang bersifat genetis, duga Sam. Apalagi sebuah kisah yang pernah dituturkan Dean tampaknya mendukung sangkaan itu. Syahdan, pada saat hal ini terjadi, Sam baru berumur kurang dari setahun, masih bayi cilik yang memakai popok, tapi sudah ikut dibawa-bawa oleh ayahnya ke seantero negeri. Pada suatu ketika John lupa mengisi stok popok sekali pakai dan popok terakhir tengah dipakai Sam, siap dibuang lantaran sudah menguarkan aroma mengerikan. Berhubung kota terdekat masih beberapa puluh mil dan baik John maupun Dean sudah pusing dengan polusi udara dan suara (yang terakhir ini berupa pekik-tangis bayi Sam), John pun mesti putar otak. Akhirnya diperoleh solusi jitu. John menggunakan lembaran kantung plastik, melapisi sisi dalamnya dengan gulungan tisu toilet dan kapas. Benda itu lalu dipakaikan pada Sam dan coba tebak apa yang dipakai buat merekatkan kedua sisinya melingkari pinggang Sam. Yeah. Lakban tentunya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam mulanya agak sangsi dengan kesahihan cerita itu. Namun, konfirmasi John membuat dia mau tak mau percaya dan kisah popok dari plastik dan lakban itu menjadi humor keluarga atau bahan buat memeras Sam, tergantung dari sisi mana melihatnya. Sam meyakini ada banyak lagi cerita tentang ayah mereka dan lakban, tetapi John tak pernah mengisahkannya dan kedua putranya tidak bertanya, cuma mengikuti teladannya, terutama Dean.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bunyi klakson tak sabar di belakangnya membuat Sam menghela nafas. Dia menatap lurus ke depan, tak habis pikir bagaimana bisa terjadi kemacetan di kota yang tak begitu besar seperti ini. Barangkali ada kecelakaan atau mobil mogok, duganya. Atau mungkin ada orang gila yang mencangkung di tengah jalan. Bodi Impala yang bongsor tak memungkinkan dia pindah jalur, jadi Sam tidak dapat berbuat selain menanti kendaraan di depannya bergerak, yang tampaknya takkan terjadi dalam waktu dekat. Sempat dia terpikir untuk menelepon kakaknya, tapi niat itu diurungkan. Tidak usah mengusik macan sakit gigi yang sedang tidur, begitulah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terjebak di tengah kemacetan memberi seseorang banyak waktu untuk kontemplasi, setelah jemu menggerutu tentunya, dan itulah yang diperbuat Sam. Kadang pemikiran acak yang muncul dari situasi semacam itu cukup mengagetkan, absurd dan tak terduga, seperti potongan ide yang sekonyong-konyong menyusup ke benak Sam berikut ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean sejatinya berbagi beberapa sifat yang mirip dengan lakban.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam mengerutkan kening, dari bagian otaknya yang sebelah mana kesimpulan aneh macam itu datang? Dia menyeringai, menyamakan kakaknya dengan segulung pita perekat, jangan-jangan dia sudah mendekati edan. Namun, detik berikutnya Sam buru-buru meralat pemikirannya barusan sebab kalau mau ditelisik lebih dalam, hal itu ada juga unsur benarnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang paling jelas, Dean dan lakban sama-sama memiliki kualitas melekatkan pada diri masing-masing, pikir Sam. Bila yang disebut terakhir itu lazim digunakan buat sebagai penempel aneka macam barang, Dean mempunyai daya untuk merekatkan keluarganya, dialah sebenarnya lem yang menjadikan keluarga Winchester, atau sisa-sisanya, kurang-lebih utuh selama bertahun-tahun. Hal itu tidak gampang, renung Sam. Tidak sama sekali. Di antara ayahnya dan Sam, Dean lebih sering berakhir sebagai wasit yang frustrasi. Kedua orang yang sama-sama disayangi Dean itu kalau tidak ribut bertengkar, ya berada dalam situasi gencatan senjata tentatif, dengan ranjau-ranjau emosi yang siap meledak bila tak sengaja terpijak. Namun, Dean tetap berusaha keras agar mereka bertiga tak tercerai-berai sebab cuma itu satu-satunya yang dia punyai. Sam tersenyum getir. Kenyataan bahwa John dan Sam tidak berakhir dengan saling bunuh itu sebagian besar lantaran jerih payah Dean "menjinakkan" mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Persamaan sifat berikutnya antara Dean dan lakban masih berhubungan erat dengan kualitas merekatkan di atas, yakni kemampuan memperbaiki hampir segala macam kerusakan yang ada. Jika lakban digunakan buat membikin betul (atau terpakai) beragam barang kebutuhan sehari-hari, Dean dengan upaya-upaya diplomasi yang acap tidak diplomatis senantiasa berupaya meredakan konflik antara adik dan ayahnya, menautkan kerenggangan dua manusia yang bak magnet dari kutub yang sama itu, membuat suasana di rumah temporer mereka menjadi lebih tertahankan. Dean tak pernah lelah mencoba memperbaiki setiap celah dan retak sisa benturan yang terjadi di antara mereka, terkadang sampai mengabaikan diri dan perasaannya. Kalau dulu Sam menilai itu sebagai tanda ketergantungan Dean yang tak sehat, kini dia mulai mampu melihat bahwa itu bisa jadi merupakan bukti pengabdian dan cinta tanpa syarat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun, nasib Dean juga tidak jauh-jauh dari lakban di satu sisi. Bila semua sedang beres, dia tak terlalu diacuhkan. John menganggapnya sudah dapat mandiri dan Sam sibuk dengan dirinya sendiri. Keberadaannya baru signifikan bila ada problem terjadi dan Dean dibutuhkan. Selain itu, Dean biasanya ada di tepi ring, mengamati suasana seraya berharap tak terjadi lagi pertikaian, tetapi dia tahu bahwa akan selalu ada cekcok babak berikutnya dan dia mesti turun tangan. Ya, seperti lakban yang saat tiada kerusakan disimpan di lemari dan baru dicari, dikeluarkan jika perlu. Persis pita perekat itu pula, sepanjang pengetahuan Sam, Dean tidak pernah protes dengan posisinya yang demikian. Dia menerima saja dengan kalem, berfungsi tanpa mengharapkan banyak, apalagi menuntut pamrih.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ringkasan memori akan berbagai macam kegunaan lakban dalam reparasi segala barang hadir kembali di kepala Sam dan kali ini dia berpikir bahwa Dean juga seperti itu: multifungsi. Bagi John, dia adalah putra sulung yang dapat diandalkan, wakil komandan dalam pasukan kecil Winchester, pengurus logistik nan mahir, penghiburan bagi John saban kali dia pulang dari berburu. Bagi Sam, yah... Dean adalah representasi hampir semua peran dalam keluarga. Dean adalah kakak yang secara praktis merangkap ibu dan sesekali ambil posisi sebagai pengganti ayah juga. Dia saudara, sahabat, lawan latih-tanding, musuh bebuyutan dalam beraneka perkara, pendidik sekaligus perusak Sam. Dean menjalankan peran-peran itu secara otomatis, beralih dari satu fungsi ke yang lain semulus transmisi mobil baru.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam tengah mengetuk-ngetukkan jemari di lingkaran kemudi Impala sewaktu satu lagi persamaan antara Dean dan lakban terpikirkan olehnya. Dia ingat samar-samar mengenai beberapa buah kotak kardus yang tersuruk di bagasi Impala, di bagian yang jarang terkena sinar matahari, semuanya tersegel rapi oleh lakban. Sekarang kotak-kotak itu sudah tiada lagi di sana, entah dikemanakan. Sam hanya ingat, sepanjang masa kecilnya yang berpindah-pindah, tak sekali pun kotak itu dibuka ataupun dikeluarkan dari tempatnya. Sam tidak tahu pasti apa isinya, John tak pernah mengatakan apapun tentang itu, melarang membuka pun tidak. Namun, dari ekspresi kakak dan ayahnya tiap kali mata mereka menemukan kotak-kotak itu, Sam paham bahwa apa yang ada di dalam adalah hidup mereka yang terdahulu. Masa lalu yang dikemas dan ditutup rapat. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean pun begitu, Sam membatin. Dia seperti lakban yang dipakai untuk merapatkan celah kotak masa lalu, agar kotak itu dapat dipendam di suatu tempat tanpa ada yang mengutak-atik isinya. Orang yang tidak mengenal dekat Winchester bersaudara akan menilai bahwa Sam adalah tukang menyimpan segalanya dalam hati. Mereka tidak tahu bahwa Dean sesungguhnya yang demikian. Paling tidak, Sam mau diajak bicara. Kalau Dean, dia cenderung mengunci hal-hal lampau dan segenap persoalannya dalam hati, bersikap seolah tidak ada yang salah dan biasanya galak bila ada yang nekat mengorek, hal mana yang kerap membikin Sam frustrasi. Memancing keterangan dari Dean sama dengan membuka kardus berlakban tanpa boleh merobekkan kardusnya: mesti hati-hati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ya, simpul Sam di tengah kemacetan lalu lintas sore itu, Dean seperti lakban dalam beberapa sisi. Barangkali karena persamaan sifat itulah makanya Dean lekat dengan benda itu, mengandalkannya buat menyelesaikan sebagian problemnya. Sebagian saja, karena kadang-kadang meski telah berupaya dengan inventif, tetap ada yang tak dapat diperbaiki hanya dengan lakban. Namun, untuk mayoritas masalah, lakban biasanya cukup. Dean seperti itu pula, batin Sam. Dia memang tak sanggup mengatasi semuanya sampai betul-betul beres, tetapi usaha dan keberadaannya biasanya telah memadai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lolongan tuter yang tiba-tiba terdengar lagi dari belakang menyentakkan Sam dari renungannya. Dilihatnya dari balik kaca depan bahwa mobil di depannya telah berjarak sepuluh kaki dari ujung muka Impala. Sam buru-buru memasukkan gigi dan menekan gas perlahan-lahan, membawa Impala mengikuti simpul kemacetan yang kini mulai terurai sedikit demi sedikit. Agak lega juga dia lantaran akhirnya ada prospek nyata untuk bisa kembali kepada kakaknya di motel sebelum hari gelap. Konsentrasi sepenuhnya dicurahkan pada laju merambat mobilnya, sehingga pemikiran tentang Dean dan lakban untuk sementara disisihkan di salah satu kompartemen otaknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kata "lakban" dan semua yang muncul karenanya baru mulai merayapi ruang di benak Sam pada penghujung hari. Saat itu Sam tengah mencuci piranti yang baru dipakai masak dan makan, tangannya terbenam dalam air sabun di bak cuci piring sampai ke siku. Dia telah menjalani satu hari melelahkan lagi sebagai perawat, pelayan merangkap dayang bagi kakaknya. Menyiapkan hidangan makan malam, membujuk Dean agar mau menyantapnya dan sedikit mengancam ketika Dean membandel. Memunguti tisu bekas yang bergelimpangan di sekitar tempat sampah, menafsirkan bahasa tarzan Dean yang suaranya raib total dan secara umum meladeni apa mau kakaknya yang bosan kuadrat sepanjang itu bukan hal yang kelewat sinting.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rampung dengan panci, piring dan mangkuknya, Sam berbalik dan menuju ke meja di antara tempat tidur. Dia memungut termometer dari sana dan menepuk bahu Dean yang terbaring mengantuk dikerumuni bantal-bantal dan selubung selimut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Hei, Dean. Buka mulutmu, aku mau ukur suhu," Sam meminta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tanpa membuka mata, Dean membiarkan Sam menyematkan termometer itu di mulutnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sembari menunggu, Sam membuka sejumlah botol obat dan mengeluarkan isinya tanpa perlu membaca label yang tertulis di luarnya. Dituangnya air ke dalam sebuah gelas, pil beragam warna tergenggam di telapak tangannya. Setelah lima menit, Sam mencabut si termometer dan menghela nafas lega menilik angka yang tertera di sana. Dean sudah tidak begitu panas sehingga Sam memulangkan pil yang berkhasiat menurunkan suhu tubuh ke wadahnya semula.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Waktunya minum obat," Sam sengaja melagukan kata-katanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dean mengulurkan tangan dari balik selimut dan Sam meletakkan pil-pilnya di sana. Keping-keping kecil itu segera berpindah ke kerongkongan Dean dan Sam membantunya meneguk air. Dean jatuh tertidur tak lama kemudian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sam memandangi sosok lelap kakaknya untuk beberapa saat. Ya, batinnya, pemikiran tentang lakban kembali ke otaknya dengan kekuatan penuh, Dean telah menjadi "lakban" bagi keluarga mereka. Tanggung jawab untuk merekatkan, menyelesaikan masalah dan menjaga keluarga senantiasa tersandang di bahunya. Dean tidak pernah mengeluh tentang itu. Namun, bila dia tengah rapuh atau lemah, siapa yang akan merawatnya?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sorot mata Sam melembut oleh rasa sayang dan penuh tekad sekaligus sewaktu dia membenahi letak selimut Dean yang merosot. Kau punya aku, Dean, Sam berikrar tanpa suara, biarkan aku yang menjadi "lakban" bagimu. Bagaimana?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kasur Sam berderit ketika pemuda itu merebahkan tubuh di atasnya. Sam menarik selimutnya, mencari posisi paling nyaman dengan jatah bantal minim dan sekali lagi melayangkan pandang ke ranjang di seberangnya, di mana seseorang yang paling berharga buatnya berada.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Malam, Kak."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Senyum tipis masih membayang di bibirnya tatkala Sam mematikan lampu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">~*~</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">SELESAI</div>Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-84794610263603031412010-07-02T09:16:00.002+07:002010-10-09T14:06:03.898+07:00Fic: One Day at Thursday Night<b>One Day at Thursday Night<br />
<br />
Disclaimer : Not own Supernatural. <br />
<br />
Rating : K+<br />
<br />
Genre : Humor<br />
<br />
A/N : Parahnya karena WorldCup, aku jadi tidur pagi (jam 5) dan selalu bangun siang (kisaran jam 11) jadi nggak bisa ngumpulin ide dan ngetik di komputer. So, aku selalu maksa dapet ide yang selalu muncul tepat 00.00 dengan kondisi males nulis di kertas. Jadinya kagak pernah ngeluarin FF sama sekali. Dan FF ini baru saja di tulis dengan tingkat kemalasan tertinggi, pada hari kamis 1 Juli 2010 pada pukul 00:04 WIB semalam. <br />
Jadi maap kalo agak aneh dan nggak lucu.<br />
hehehehe.. maklum mata masih ngantuk.. o.o<br />
PS: Hahahahaha.. Yang dihadapin sama Dean alias sindrom malas melakukan apa - apa terjadi padaku tadi malam. wkwkwkwkkwk ^.^ </b><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dean duduk malas di sebuah kursi kayu di motelnya dengan dua botol Jack Danniel's di atas meja kayu di depannya. Diiringi dengan beberapa gelas kecil nan kosong di atas meja. <br />
<br />
"Dean, kau yakin kau baik - baik saja?"<br />
<br />
"Entahlah. Aku sedang bosan." kata Dean sambil memutar - mutar gelas yang terisi seperempatnya saja itu.<br />
<br />
Sam tertawa renyah, serenyah kerupuk udang.<br />
<br />
"Baru kali ini aku mendengar kau bosan, dude."<br />
<br />
"Aku serius."<br />
<br />
"Aku juga." timpal Sam kemudian sedikit terkekeh. <br />
<br />
Dean menoleh kepada Sam yang ada di belakangnya dan melotot pada adiknya itu. Dean sebal.<br />
<br />
"Ada apa?" tanya Sam tanpa wajah bersalah dan tanpa nada bersalah.<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Kau terlihat benar - benar bad mood, Dean." sahut Sam.<br />
<br />
"Aku memang sedang tidak mood melakukan apa - apa. Malas bergerak." kata Dean.<br />
<br />
Hah! Pernyataan bodoh! Pikir Sam.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
"Masa?" goda Sam.<br />
<br />
"Benar." kata Dean sedikit sebal sambil mengangguk pasti.<br />
<br />
"Tidak tertarik untuk makan?"<br />
<br />
"Tidak." jawab Dean hambar tanpa garam.<br />
<br />
"Padahal aku mau pesan super combo bacon cheeseburger, pai apel dan pai ayam, calamari dan terakhir kentang wedges serta diet coke."<br />
<br />
Dean hanya menggeleng.<br />
<br />
"Sudah malam, tidak ingin makan."<br />
<br />
Sam melonjak kaget dari tempatnya duduk. Sejak kapan Dean Winchester menolak makan? Apalagi untuk si bacon cheeseburger. Bahkan kalau ada antrian GRATIS bacon cheeseburger sepanjang antrian minyak tanah di Indonesia, Sam yakin Dean akan tetap mengantri demi sebongkah bacon cheeseburger itu.<br />
<br />
"Kau yakin?" tanya Sam dengan nada tidak percaya.<br />
<br />
"Aku yakin Sammy." kata Dean lagi sambil memberi anggukan yang meyakinkan.<br />
<br />
"Hmm... okay, tidak selera makan. Bagaimana kalau kita ke bar saja? Ocean Blues Night menampilkan tarian striptease malam ini."<br />
<br />
"Tidak." jawab Dean tanpa nada.<br />
<br />
"Apa??!!!" tanya Sam lebih terlihat kaget daripada bertanya.<br />
<br />
"Kenapa?" tanya Dean santai.<br />
<br />
"Kau tidak tertarik pada Cameron? Malam ini dia yang akan menari."<br />
<br />
"Tidak." jawab Dean lagi.<br />
<br />
Sam segera berjalan ke arah Dean yang asik memainkan gelas kecil itu sambil memutar - mutarnya. Sam mengambil kursi kayu lain, kemudian duduk di samping Dean. <br />
<br />
"Apa?" tanya Dean. Dia sedikit kaget dengan kehadiran Sam yang nyaris tanpa suara itu.<br />
<br />
Sam tidak menghiraukan Dean. Dia malah mengulurkan lengannya dan meletakkan telapak tangannya ke kening Dean. Satu hal, Dean tidak sedang demam. Apa dia terkena gangguan otak?<br />
<br />
"Aku tidak sakit bodoh." kata Dean sambil menampis tangan Sam yang masih di keningnya itu.<br />
<br />
"Kalau kau tidak menolak Cameron tadi, mungkin aku berpikir kau masih sehat, dude. Tapi kau menolak Cameron. Cewek dengan rambut gelap OBN yang seksi dengan dada super besar itu? Yang benar saja! Minggu lalu saja kau sempat tidak pulang selama dua hari karena mengencani gadis itu!"<br />
<br />
Dean memutar bola matanya.<br />
<br />
"Memangnya kenapa? Aku sekarang dalam fase-malas-untuk-melakukan-seks." kata Dean sambil mendiktekan setiap suku kata kalimatnya kepada Sam.<br />
<br />
"Hah! Fase-malas-untuk-melakukan-seks? Mana ada yang seperti itu?? Tapi kau Dean Winchester! Dan kakakku yang kukenal, seumur hidupnya tidak pernah menolak yang namanya perempuan!"<br />
<br />
"Berarti aku harus masuk Guiness Book."<br />
<br />
"Dean!"<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Aku tidak bercanda!"<br />
<br />
"Aku juga Sammy."<br />
<br />
Sam hanya diam, hatinya dongkol.<br />
<br />
"Memangnya tidak ada perburuan kah hari ini?"<br />
<br />
"Tidak ada Dean." jawab Sam malas.<br />
<br />
"Phhfft.. Pantas hari ini membosankan."<br />
<br />
"Lagipula, ini kan jam 11 malam, Dean."<br />
<br />
"Setan kan tidak punya jam dinding Sammy." kata Dean.<br />
<br />
Sam hanya bisa mengerucutkan bibir. Apa kakaknya terlalu mabuk?<br />
<br />
"Aaaaahh.. bosan." kata Dean kemudian menguap.<br />
<br />
"Hmm.. bagaimana kalau berkeliling kota dengan Impala? Kau bisa menyalakan Metallica, AC/DC, Zepps, atau apalah itu sekeras mungkin."<br />
<br />
"Nah, tidak aa minat. Sudah malam. Boros bensin dan aki saja."<br />
<br />
"Kau yakin?"<br />
<br />
"Ya."<br />
<br />
"Bagaimana kalau.."<br />
<br />
Belum sempat Sam selesai bicara, Dean menyodorkan setengah gelas kecil yang berisi Jack Danniel's tadi.<br />
<br />
"Diam dan minumlah ini." kata Dean lebih mirip perintah.<br />
<br />
"Tapi.." <br />
<br />
"Minumlah, atau kau kupanggil grannie Sammy karena terlalu cerewet!"<br />
<br />
Sam memutar bola matanya, kemudian menenggak minuman itu, dan menggebrakkan gelasnya ke meja.<br />
<br />
"Sudah selesai, grandpa Dean?" tanya Sam kesal. Kalau aku grannie Sammy, maka kau adalah grandpa Dean. Umpatnya kesal.<br />
<br />
"Bagaimana rasanya Sam?"<br />
<br />
"Kau aneh Dude."<br />
<br />
"Aku tidak."<br />
<br />
"Omong kosong! Bagaimana kalau kau tidur saja?"<br />
<br />
"Aku sedang tidak ingin melakukan apa - apa Sammy."<br />
<br />
"Tidak mengantuk?"<br />
<br />
Dean menoleh. Matanya memang sayu. "Aku tidak bisa tidur, sammy." kata Dean lirih. Hampir memelas dalam konteks ini.<br />
<br />
"Aku tahu."<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Akan kubuatkan kau sesuatu."<br />
<br />
"Jangan buatku penasaran Bitchy Sammy."<br />
<br />
"Ikut aku." kata Sam sambil menarik tangan Dean. Mau tak mau, Dean juga beranjak dari kursinya. Dia tidak mau diseret - seret Sam, memangnya dia kambing sembelihan.<br />
<br />
Sam mendorong tubuh Dean ke atas tempat tidur Dean dan kemudian menggerakkan kedua tangannya tepat di samping kanan dan kiri Dean.<br />
<br />
"Woa! Dude, aku masih normal!!" teriak Dean.<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Kau tidak ingin memperkosaku kan?"<br />
<br />
"Bodoh! Aku hanya menyuruhmu berbaring. AKu baru saja akan menarik selimutmu, tolol." kata Sam kemudian menyelimuti tubuh Dean dengan kain afghan.<br />
<br />
"Untuk apa?"<br />
<br />
"Diam disini. Aku akan segera kembali."<br />
<br />
Sepuluh kemudian, Sam kembali dengan sebuah gelas berwarna pink bergambar panda.<br />
<br />
Dean memutar bola matanya.<br />
<br />
"Panda??" Dean menatap Sam.<br />
<br />
Sam hanya menatap si panda di gelas itu.<br />
<br />
"Hah! Kau terlalu banyak drama Sammy."<br />
<br />
"Minumlah." kata Sam sambil menyerahkan gelas itu kepada Dean.<br />
<br />
Dean mencoba menerka apa isi gelas itu. Cahaya kamar mereka yang remang - remang mengacaukan penglihatan terhadap barang berwarna gelap nan cair di dalam gelas itu.<br />
<br />
"Susu coklat?"<br />
<br />
"Kok tahu?"<br />
<br />
"Dari baunya saja kentara."<br />
<br />
"Minumlah."<br />
<br />
"Dude!! AKu sudah 30 tahun! Dan kau menyuruhku minum susu coklat penghantar tidur?"<br />
<br />
"Tapi, waktu kau kecil, susu coklat selalu membantumu untuk tidur."<br />
<br />
"Bohong!"<br />
<br />
"Aku serius. Saat aku kecil, sudah terhitung 5 kali," Sam menunjukkan kelima jarinya kepada Dean, "aku melihatmu minum susu coklat malam - malam. Ketika itu, aku mau pipis saat tengah malam, dan aku melihatmu sedang membuat susu coklat di dapur."<br />
<br />
Dean memutar bola matanya.<br />
<br />
"Saat itu aku kan belum akil balig!"<br />
<br />
"Hah, kau akil balig saat usiamu 13 tahun."<br />
<br />
"Sammy! Tidak usah membahas masalah akil balig-ku."<br />
<br />
"Baiklah, minumlah."<br />
<br />
"Tidak akan berhasil."<br />
<br />
"Siapa tahu, kau hanya malu mengakuinya."<br />
<br />
"Lihat dan Perhatikan!" sahut Dean kesal. Dan akhirnya dia menenggak susu coklat hangat itu di depan Sam.<br />
<br />
"Bagaimana?"<br />
<br />
"Tidak ada reaksi."<br />
<br />
"Kita tunggu saja." kata Sam sedikit bangga.<br />
<br />
<br />
<br />
"Bagaimana?"<br />
<br />
"Sama saja."<br />
<br />
"Bohong! Aku sudah melihatmu menguap empat kali. Matamu saja sudah berair."<br />
<br />
"Oh shit! Baiklah." kata Dean tertunduk.<br />
<br />
"Baiklah, selamat tidur Dean." kata Sammy sambil tersenyum penuh makna kemudian berjalan ke arah tempat tidurnya sendiri dan siap mematikan lampu tidur itu.<br />
<br />
"Sam?"<br />
<br />
"Ya?"<br />
<br />
"Thanks." <br />
<br />
"Untuk?"<br />
<br />
"Menyelamatkan aku dari malas melakukan apa - apa."<br />
<br />
"Tidak papa."<br />
<br />
"Dan untuk susu coklat hangat itu."<br />
<br />
"It's okay Dude."<br />
<br />
"Thanks sammy. Malam."<br />
<br />
Dan kemudian dengkuran keras dari Dean mulai terdengar. Menemani malam Sam yang masih tetap terjaga sambil tertawa simpul. Aku sayang kamu Dean. kata Sam dalam hati.<br />
<br />
<br />
=END=RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-89756550577762682512010-04-29T06:09:00.004+07:002010-10-09T14:04:47.803+07:00Fic: Papa BearJudul : Papa Bear<br />
Rating : T (mungkin)<br />
Genre : Family – Komedi (mungkin)<br />
Disclaimer : Winchester Brother jelas bukan punyaku. Kalo punyaku mungkin udah aku ajak poliandri *dipentung Mr.Eric* Judul ff ini diinspirasi dari film kartun “Brother Bear” yang sedikit banyak juga ikut menyumbang ide cerita.<br />
A/N : Semoga FF ini bisa diterima dengan baik karena keterbatasan waktu, alurnya aku percepat. Maap juga kalo deskripnya kurang detail dan ada salah-salah dalam menjabarkan gejala kehamilan.<br />
<br />
<br />
<br />
Pagi yang berkabut, udara yang lembab dan jalanan yang berubah dari jalan beraspal menjadi jalan tanah berbatu menyambut kedatangan Sam dan Dean di sebuah kota kecil. Sementara bahan bakar mulai menipis dan Dean sedikit gelisah karenanya, Sam lebih memilih untuk mengamati pemandangan khas kota kecil yang terpampang di kanan-kirinya. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan memiliki detail yang sangat khas, menegaskan diri sebagai bangunan kuno. Atapnya menjulang, jendela-jendela oval dan tinggi, ditopang pilar-pilar kayu dan memiliki halaman yang sangat luas, sehingga jarak antar satu rumah ke rumah satunya berjauhan. Pepohonan dan semak-semak rimbun seolah tumbuh di mana-mana hingga pemandangan didominasi warna hijau-hijau menyegarkan mata.<br />
<br />
“Kita berhenti di sini saja, bro,” kata Dean setelah menemukan pom bensin kecil dan ada sebuah toserba di seberangnya. ”Kau tahu apa yang harus kau lakukan di toserba itu, kan? My baby ini butuh dimanjakan sebentar di sini. Dia sangat kehausan dan aku juga butuh makan.”<br />
<br />
Sam segera mengerti apa maksud perkataan Dean ini. Lagipula dia memang sudah mulai lapar dan persediaan makanan mereka sudah habis. Dean bisa sangat kelaparan di waktu malam. Entah kenapa sepertinya dia terlahir dengan napsu makan yang meluap-luap. Maka Sam melangkahkan kakinya ke dalam toserba dan mengedarkan pandangan, mencari-cari makanan atau snack apa yang biasa mereka konsumsi selama ini.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tak ada yang spesial dari toserba itu selain rak-raknya agak berdebu dan penjaganya seorang wanita tua yang berusia lebih dari separuh abad. Penjaga toserba itu tampak lebih asyik bergosip dengan seorang pengunjung wanita paruh baya daripada mengawasi dagangannya. <br />
<br />
Sam menghela nafas panjang. Agak cemas juga kalau seumpama makanan kemasan yang tersusun di semua rak-rak itu sudah kadaluarsa. Meski pikirannya sudah mulai macam-macam, Sam mulai sibuk memilah dan meneliti tanggal kadaluarsa beberapa kotak biskuit. Di sela-sela kesibukannya ini tanpa sengaja dia mendengar percakapan antara penjaga toserba dan pengunjung wanita tadi. Pembicaraan kedua wanita itu sangat seru sehingga sulit untuk berpura-pura tidak mendengarkan, mau tak mau.<br />
<br />
”...orang-orang akan terus membicarakan hal ini selama berabad-abad, menurutku...”<br />
<br />
”...jelas-jelas sangat aneh. Bayangkan saja! Janin dalam kandungan bisa menghilang!”<br />
<br />
Wanita tua penjaga toserba itu mengibaskan tangannya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat bersemangat saat berkata, ”Seharusnya bayi itu sudah lahir bulan ini, kan?”<br />
<br />
”Tapi apa kau pernah berpikir, Rose...? Kalau ini hanya akal-akalan saja. Bisa saja gadis itu melakukan aborsi,” sambung lawan bicaranya dengan bertopang dagu.<br />
<br />
“Entahlah, Emily. Aku tidak terlalu yakin dan sebenarnya tidak ingin terlalu banyak tahu,” balas Rose, penjaga toserba itu, meskipun jelas sekali dia berbohong kalau berkata dia tidak ingin banyak tahu. Malah tampaknya justru dia ini sumber informasi yang bisa diandalkan.<br />
<br />
Seketika itu Sam merasakan perasaan tidak nyaman, seperti rasa penasaran yang menggebu-gebu dan menuntut dituntaskan. Kepalanya mulai berpikir dan berpikir tentang ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini, bahwa dia harus menyelidikinya bersama Dean dan menolong gadis malang yang (kalau apa yang didengarnya ini benar) telah kehilangan janin yang dikandungnya.<br />
<br />
”Maaf...” kata Sam, menyodorkan keranjang belanjaannya yang baru terisi separuh kepada Rose dan berusaha memasang wajah senormal mungkin. ”Apa itu benar? Maksudku...”<br />
<br />
”Benar!” sahut Rose dan Emily kompak, tak ada sorot curiga di mata mereka.<br />
<br />
“Kau pasti orang asing di sini. Jadi wajar kalau belum tahu banyak. Kabar ini sudah menyebar ke pelosok kota. Kota ini kecil, nak. Rahasia pribadi seseorang bisa menjadi rahasia umum di sini...” cerocos Rose.<br />
<br />
Mungkin kedua orang wanita biang gosip itu menganggap Sam sebagai orang asing yang tak akan berlama-lama di kota mereka sehingga tanpa ragu mereka menceritakan kabar menghebohkan tadi secara sahut-menyahut. Hanya butuh waktu sebentar saja bagi Sam untuk mengantungi informasi yang ia perlukan. Rose dan Emily tampaknya memang penggosip yang sudah ahli. Kabar yang semestinya bisa berdurasi lima menit bisa jadi berjam-jam kalau Sam tidak buru-buru berpamitan dan segera membayar belanjaannya. Di pom bensin Sam menemukan Dean sedang berkacak pinggang menunggunya.<br />
<br />
”Kukira kau sedang ketiduran di dalam sana,” sindir Dean sambil memeriksa isi kantung belanjaan Sam.<br />
<br />
”Tidak juga. Kupikir malah aku menemukan kasus menarik dari wanita penjaga toserba itu. Kasus aneh dan unik yang belum pernah ku...”<br />
<br />
”Apa dia cantik?” potong Dean, dan segera menyambungnya saat melihat ekspresi kebingungan Sam. ”Wanita penjaga toko itu. Apa dia cantik?”<br />
<br />
”Dia cantik, tentu saja. Mungkin di masa mudanya, sekitar 20-30 tahun yang lalu. Masih berniat kencan dengannya?” jawab Sam, nyengir saat Dean tersenyum kecut mendengar jawabannya ini.<br />
<br />
“Ah Sudahlah! Ceritakan saja apa kasus menarikmu itu, Sam!” sahut Dean setengah mengomel.<br />
<br />
***<br />
<br />
Gadis malang itu bernama Hanna. Seorang gadis keturunan indian yang hidup bersama neneknya di sebuah mobil caravan tua di pinggiran kota. Posisi caravan yang dekat dengan kawasan hutan mengesankan kalau mereka memang sengaja mengucilkan diri dari masyarakat sekitar. Tapi Indian itu adalah suku yang sangat menghormati arwah leluhurnya dan begitu memuja alam. Itulah yang pernah Sam baca dari sebuah buku.<br />
<br />
Caravan milik Hanna dan neneknya itu berukuran cukup besar dan berdiri di sebuah tanah lapang. Ada sebuah kandang ayam di dekatnya, juga pot-pot bunga beraneka ukuran. Benar-benar lingkungan yang sederhana untuk ditinggali pikir Sam saat dia dan Dean tiba di sana.<br />
<br />
Hanna sendiri adalah gadis yang berpenampilan jauh berbeda dari caravannya dan bayangan Sam tentang gadis keturunan Indian segera buyar begitu gadis cantik itu membuka pintu caravannya segera setelah Dean mengetuknya. Pakaian yang dikenakan Hanna hampir sama dengan yang dikenakan gadis kota modern pada umumnya. Rambutnya yang hitam sepinggang terurai rapi dan berkilau tertimpa cahaya matahari. Dia juga memakai make up tipis. Namun selebihnya, gadis itu terlihat murung dan pelit tersenyum.<br />
<br />
”Siapa kalian?” tanya Hanna agak ketus, mengangkat dagunya perlahan dan mengamati Sam dan Dean lekat-lekat dari bawah sampai atas.<br />
<br />
Sam yang merasakan tatapan menyelidik dari bola mata coklat tua Hanna buka suara, ”Kami berdua ini mahasiswa yang sedang dalam penelitian tentang keturunan masyarakat Indian modern, karenanya...”<br />
<br />
”Omong kosong!” potong Hanna kasar. “Penampilan kalian tidak seperti mahasiswa…” sambungnya, melirik Dean tajam. ”...kalian pasti dikirim oleh orang-orang bermulut besar itu, kan? Yang senang sekali berkata macam-macam tentang musibah yang sedang menimpaku!”<br />
<br />
“Tunggu dulu, nona!” sergah Dean saat Hanna hendak menutup pintu caravan. ”Kami datang untuk menolongmu. Percayalah walaupun itu sulit, tapi kami punya keahlian di bidang seperti ini...”<br />
<br />
Perkataan Dean justru membuat Hanna semakin berang.<br />
<br />
“Jadi kalian ini datang untuk menolong atau meneliti? Kalian ini mahasiswa atau paranormal? Kalau berbohong yang kompak dong!” ujarnya sambil membanting pintu tepat di depan muka Dean.<br />
<br />
Dean terpana, sebelum berkata dengan ekspresi marah yang dibuat-buat, menirukan ekspresi Hanna tadi, ”Kalau berbohong yang kompak dong, Sam! Yeah, dia benar juga sih...”<br />
<br />
Sam tersenyum serba salah. Paling tidak dengan sambutan yang mereka terima ini sudah membuktikan kalau kabar itu bisa jadi ada benarnya. Gadis itu sedang tertimpa kesusahan. Masih saja terasa aneh kalau janin yang ada di rahim bisa lenyap begitu saja tanpa bekas, namun untuk ukuran orang waras seperti Hanna, mengalami kejadian mengerikan dan menjadi bahan pembicaraan seisi kota seperti itu membuatnya wajar untuk merasa curiga kepada setiap orang asing yang datang. Belum lagi nada tertekan dan menahan tangis di sela-sela kemarahan Hanna yang sempat Sam dengar tadi membuatnya mengira kalau saat ini gadis itu memendam depresi.<br />
<br />
”Jadi sekarang bagaimana ini?” tanya Dean. ”Kalau saja tadi kita menyamar jadi agen FBI atau peneliti dari NASA, mungkin saja kita bisa memaksanya buka mulut. Kita kan bisa menciptakan alasan konyol kalau pemerintah curiga kota ini jadi teritori alien dan janinnya hilang diculik alien, mungkin. Alasan konyol yang aku sendiri tidak percaya bisa menyarankan ini.”<br />
<br />
”Entahlah, Dean. Kupikir FBI, NASA atau sesuatu yang berbau seperti itu tidak terlalu disukai warga Indian keturunan. Selama ini kan mereka jarang diperhatikan pemerintah, jadi bisa saja Hanna malah akan menolak sama sekali untuk membukakan pintu.”<br />
<br />
”Kalau kita tidak bisa mengorek keterangan darinya, bagaimana kalau dari neneknya?” kata Dean, menunjuk seorang wanita tua berambut putih yang sedang terseok-seok berjalan mendekati caravan.<br />
<br />
Berbeda dengan cucunya yang sudah tampil modern, nenek Hanna ini masih punya ciri khas keturunan Indian. Tampak dari kalung-kalung dari serat tumbuhan dengan bandul rangkaian taring binatang buas, batu-batu alam dan lain-lain yang menghiasi lehernya yang keriput. Wanita berhidung bengkok dan sepertinya sudah berumur delapan puluh tahunan itu langsung terperangah saat melihat kehadiran dua orang asing di depan caravannya. Namun sebelum Sam dan Dean sempat berkata-kata, nenek itu sudah membuka mulutnya.<br />
<br />
”Kami...”<br />
<br />
”Kalian datang dari jauh, sangat jauh...” potong nenek Hanna setengah berbisik sembari memejamkan mata rapat-rapat. Sam dan Dean beradu pandang sejenak sebelum kompak mengangguk. ”...kalian orang baik, aku bisa melihatnya dan begitu pula yang dikatakan roh-roh hutan kepadaku. Mereka mengatakannya bersamaan dengan hembusan angin.”<br />
<br />
Dean berhasil menyembunyikan suara dengusnya menjadi batuk kecil. Dia hampir saja tersedak di tengah usahanya untuk menahan tawa. Terlebih lagi saat nenek Hanna itu membelai-belai udara kosong di sekitarnya seolah-olah ia sedang dikelilingi makhluk-makhluk berwujud.<br />
<br />
”Dan kau,” tunjuk nenek Hanna kepada Dean. Dean berdehem, mencoba tetap terlihat tenang. “Suara angin memberitahukan banyak hal tentangmu. Tentang bagaimana dirimu sebagai seorang manusia.”<br />
<br />
Sam sudah mulai gugup saat Dean berbisik dari sudut bibirnya, “Hey, Sammy. Kau tahu apa maksud racauan ini?”<br />
<br />
Pada awalnya Sam mengira penilaian nenek Hanna (atau penilaian roh hutan) tentang Dean sama saja seperti orang kebanyakan. Sudah tak terhitung berapa kali Dean dinilai sebagai seorang playboy, culas, penipu ulung, dan pandangan negatif lainnya. Hal yang menurut Sam ada kalanya benar meski dia benci untuk mengakuinya, namun tetap saja Dean adalah kakak terbaik di dunia baginya dan orang-orang tak mengenal Dean sebaik Sam mengenalnya. Lagipula ada beberapa sisi dalam diri Dean yang kadang begitu protektif kepada apa saja yang bisa melukai adiknya. Hal-hal semacam itulah yang hanya bisa dilihat oleh Sam seorang.<br />
<br />
“Kau adalah manusia yang penuh rasa cinta dan kasih sayang. Seorang petarung yang tangguh dan tak ragu untuk berjuang demi orang-orang yang kau cintai,” ujar nenek Hanna mantap, mengusap pipi Dean sambil terus memejamkan kedua matanya.<br />
<br />
“Ah, itu benar sekali,” sahut Dean bangga. Keterkejutan Sam berubah menjadi gemas saat melihat hidung Dean kembang-kempis. Sam hanya bisa memutar bola matanya, berharap supaya semua pujian ini segera dihentikan sebelum kepala Dean membesar sebesar labu ukuran jumbo.<br />
<br />
“Karenanya kau cocok dengan totem ini, nak,” sambung nenek Hanna sambil mengangsurkan kalung berbandul kayu, seukuran ruas jari telunjuk orang dewasa dan berukir bentuk hewan buas. “Beruang. Lambang cinta dan sang pelindung.”<br />
<br />
“Oh, terima kasih…” kata Dean agak terbata saat nenek Hanna serta merta mengalungkan benda itu ke lehernya. ”Terima kasih, nyonya...”<br />
<br />
”Moegli. Panggil saja aku dengan nama yang diberikan arwah leluhurku itu. Panggil aku Moegli,” balas wanita itu.<br />
<br />
”Memang mirip beruang,” kata Sam saat Dean menunjukkan ukiran indah di bandul kalungnya dengan senyum lebar di wajahnya. ”Porsi makan dan durasi tidurmu, maksudku.” Senyum lebar di wajah Dean pun berganti senyum sebal.<br />
<br />
Moegli mengajak Sam dan Dean duduk di kursi kayu memanjang yang berada di dekat kandang ayam. Mengesampingkan gaya bicara wanita itu yang puitis dan seolah penuh filosofis, sebenarnya Moegli adalah wanita yang baik dan ramah. Dia cukup terbuka mengenai cucunya dan aktif berbicara sampai pada hal-hal yang dianggap Sam keluar topik, seperti bagaimana cara merebus akar-akaran di hari hujan menurut nenek moyangnya dan pertanda yang akan muncul di malam hari saat suara burung hantu di hutan terdengar lain dari biasanya.<br />
<br />
”Itu sudah terjadi sejak tiga hari lalu,” ungkap Moegli setelah Sam berhasil membelokkan pembicaraan mengenai ramuan jamu yang tepat untuk mencegah kutil di kaki. ”Hari kelahiran tinggal menghitung hari saat mendadak perutnya mengempis. Dokter di kota tidak terlalu pintar untuk bisa tahu apa penyebabnya. Mereka mengira Hanna sudah jauh-jauh hari meminum obat peluntur kandungan atau apalah itu sebutan mereka. Maka dari itu aku membawa Hanna ke dukun kami di pinggiran lain dari kota ini.”<br />
<br />
”Jadi ada keturunan Indian lain di kota ini?” tanya Dean.<br />
<br />
”Ada, cukup banyak. Sebenarnya kami semua biasa hidup berkelompok. Namun aku lebih memilih untuk menjaga tanah ini karena ayah Hanna mewariskannya sebelum ia meninggal. Rupanya ia ingin kami menjaga makam putriku yang meninggal saat melahirkan Hanna. Makam putriku itu masih berada di dalam lahan ini, berbatasan dengan hutan. Ayah Hanna itu orang kulit putih yang sangat baik,” jawab Moegli dengan tatapan menerawang. ”Suatu hari yang berawan di musim panas saat putriku membawa pria itu ke kamp kami...”<br />
<br />
”Jadi, apa yang dilakukan dukun kalian terhadap Hanna?” potong Sam sebelum Moegli sempat berpanjang-lebar menceritakan silsilah keluarganya.<br />
<br />
”Dukun kami tak bisa berbuat banyak. Hanya banyak mantra dan beberapa ramuan jamu yang mengepulkan asap kelabu. Kata beliau, ini semua adalah pekerjaan roh-roh putih dan tak ada yang bisa dilakukan selain diam menunggu.”<br />
<br />
Sontak saja Sam dan Dean saling berpandangan saat mendengar kata ’roh-roh’. Berarti benar dugaan mereka kalau semua ini masih berhubungan dengan dunia supranatural. Namun kali ini mereka sedang berhadapan dengan roh-roh yang berasal dari bangsa Indian. Apakah ada mantra latin yang akan mempan dengan roh semacam ini?<br />
<br />
“Lalu, siapa sebenarnya ayah dari calon bayi itu?” tanya Dean hati-hati.<br />
<br />
Moegli menatap Dean selama beberapa menit sebelum menjawab, “Seorang pemuda kulit putih yang baik, sama seperti kalian dan juga ayah Hanna. Hanya saja dia sudah meninggal sebelum Hanna sempat memberitahukan kehamilannya…”<br />
<br />
”Kami ikut menyesal mendengarnya,” kata Sam lirih.<br />
<br />
”Dia meninggal karena sakit keras, penyakit sama yang juga telah membunuh ayah Hanna sepuluh tahun lalu. Tak perlu waktu lama bagi keluarganya untuk menuduh Hanna sebagai pembawa kesialan. Mereka menuduh Hanna melakukan guna-guna atau semacamnya untuk memikat pemuda itu. Padahal itu sangat tidak mungkin. Penyebab kebencian mereka yang paling masuk akal adalah karena kami keturunan Indian. Kuharap roh-roh hutan menghukum mereka suatu hari nanti!”<br />
<br />
Suasana sunyi untuk beberapa saat sebelum Moegli kembali berkata dengan suara bergetar dan kedua mata berair.<br />
<br />
”Sejak janin Hanna menghilang, keadaan semakin memburuk. Bahkan di kalangan kami sendiri, keturunan Indian, menganggap kejadian yang menimpa Hanna ini adalah sebuah kutukan. Mereka percaya tanah warisan ayah Hanna ini adalah tanah terlarang dan roh-roh hutan melaknat tanah ini, karena sebenarnya seluruh tanah di kota ini adalah milik para leluhur kami sebelum orang-orang kulit putih merampoknya dari mereka. Hanya ada beberapa kerabat dekat yang percaya kalau ini adalah campur tangan dari roh putih dan itu cukup membuat kami bertahan untuk terus percaya akan ada keajaiban.”<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
”Wanita tua yang sinting tapi jujur,” pendapat Dean saat mereka tiba di motel malam harinya. “Kalau dukun sakti mereka sendiri saja tidak mampu menolong Hanna, apalagi kita, Sam.”<br />
<br />
”Entahlah, Dean. Tapi aku merasa kasihan kepada gadis itu dan Moegli. Hidup mereka menjadi jauh lebih buruk setelah roh putih mengambil janin di rahim Hanna itu.”<br />
<br />
”Dan apa roh putih, roh hutan atau roh-roh semacam itu bisa ditumpas dengan mantra-mantra latin?” desak Dean agak pesimis, sambil melepas sepatunya dan langsung melompat ke atas ranjang. ”Atau minimal peluru garam bisa menyikat habis mereka semua?”<br />
<br />
”Kita tak tahu sebelum mencobanya,” balas Sam datar, duduk di ranjangnya sambil menatap Dean dengan sorot minta tolong. Dia sedang menunggu saran yang cemerlang dalam situasi membingungkan begini. “Yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk bisa memanggil roh-roh itu.”<br />
<br />
“Kita bisa menari mengelilingi tiang totem, mungkin,” saran Dean, nyengir. ”Selain roh-roh, sekalian bisa mendatangkan hujan kalau ampuh.”<br />
<br />
”Yeah, kau yang harus melakukannya kalau begitu!” sahut Sam mulai kesal dan menyambungnya sebelum Dean memprotes. ”Karena kau kan sang beruang pelindung yang penuh cinta kasih.”<br />
<br />
”Kalau aku yang melakukannya, mungkin yang datang hanya roh-roh yang cantik dan berpakaian minim,” ujar Dean santai, tersenyum jahil. ”Papa bear yang penuh cinta menari dalam hujan. Roh siapa yang bisa menolak coba?”<br />
<br />
Namun ternyata Sam lebih memilih untuk pura-pura tidur daripada harus berdebat konyol dengan kakaknya malam ini. Sementara itu, kalung dengan bandul kayu berbentuk beruang pemberian Moegli masih melingkari leher Dean sepanjang malam.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Pagi itu seharusnya Winchester bersaudara pergi menemui dukun Indian yang menangani kasus Hanna untuk menggali lebih banyak informasi. Setidaknya itulah rencana mereka, sebelum Sam menemukan Dean dalam kondisi yang aneh. Sekitar lima belas menit lalu Sam memang meninggalkan motel untuk membeli pizza sebagai sarapan dan ketika itu Dean masih tertidur pulas. Namun saat kembali, Dean sudah terbangun. Dia hanya duduk di atas ranjangnya dengan ekspresi kaku dan wajah yang lebih pucat dari biasanya. Hal ini membuat Sam jadi cemas.<br />
<br />
”Kau kenapa, Dean?” tanya Sam sambil mengamati wajah kakaknya itu.<br />
<br />
”Entahlah. Aku terbangun dan tiba-tiba pusing sekali,” sahut Dean, memegangi kepalanya. ”Rasanya juga perutku bergejolak. Agak mual.”<br />
<br />
”Mungkin kau lapar.”<br />
<br />
Sam menyodorkan kotak pizza yang dibawanya. Dean menatapnya sekilas dan rona wajahnya berubah warna segera setelah Sam membuka kotak pizza itu. Detik berikutnya, sambil menutupi mulutnya, Dean tunggang-langgang kabur ke toilet. Sam mendengar suara muntah-muntah dari dalam sana dan rona wajah Dean menjadi jauh lebih pucat dari yang tadi saat kembali.<br />
<br />
”Apa pizza itu ada kejunya?” tanya Dean lirih, menyeka mulutnya dengan pergelangan tangannya.<br />
<br />
”Well, yeah. Aku belum pernah lihat ada pizza tanpa keju,” sahut Sam tanpa pikir panjang. ”Kau sedikit aneh hari ini...”<br />
<br />
”Hari ini aku tidak ingin memakan sesuatu yang ada kejunya,” tukas Dean.<br />
<br />
Sam mendengus. Tidak biasanya Dean jadi pilih-pilih makanan begini. Dia selalu makan apapun yang ada di hadapannya. Dean itu pemakan segala.<br />
<br />
”Kenapa memangnya?” tanya Sam sabar.<br />
<br />
”Sudah lama aku makan sampah semacam itu. Aku ingin memperbaiki kualitas makananku...”<br />
<br />
”Ah sudahlah! Katakan saja apa yang ingin kau makan untuk sarapan?”<br />
<br />
”Aku ingin cheeseburger.”<br />
<br />
Sam melongo. Apanya yang junk food ? Apanya yang keju kalau begini?<br />
<br />
”Cheeseburger tanpa keju, tentunya. Kalau kau keluar, jangan lupa belikan aku obat. Kepalaku pusing dan mual pagi ini. Bau keju dari pizza itu memperparahnya!” omel Dean sambil kembali bergulung di atas ranjangnya.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Pusing, mual begitu mencium bau makanan dan nafsu makan turun. Maka Sam tidak bisa menyalahkan apoteker yang mengira ada yang sedang hamil saat ia menceritakan keluhan Dean tadi. Sampai akhirnya dengan wajah tidak begitu yakin, apoteker tadi menyarankan Sam untuk memberi Dean obat flu.<br />
<br />
Dalam perjalanan kembali ke motel Sam masih saja merasa tingkah Dean sangat aneh. Dean bukanlah orang yang mudah mengeluh di saat sedang sakit ringan seperti flu dan juga bukan orang yang bisa menolak makanan yang ada di hadapannya. Tapi Dean yang satu ini berubah jadi rewel dan sangat sensitif. Bukan hanya itu saja rupanya, karena Dean mulai suka merepotkan. Sam terpaksa harus bolak-balik ke restoran cepat saji hanya karena kakaknya itu meminta cheeseburger tanpa keju, tanpa pinggiran roti yang garing, dengan dua iris acar di kedua sisinya, saus tiga kali semprot dan daging yang dipanggang selama satu setengah menit. Dean menolak untuk makan sama sekali jika burgernya tidak seperti apa yang ia inginkan dan celakanya dia tidak bisa dibohongi.<br />
<br />
Mood Dean yang berubah naik-turun seperti rollercoaster membuat rencana yang telah mereka susun untuk hari itu jadi berantakan. Seharian itu mereka malah menghabiskan waktu di dalam kamar untuk mengubah posisi tempat tidur Dean yang dianggap Dean punya tingkat kenyamanan sama seperti tidur di dalam peti jenazah. Sam harus memutar tempat tidur itu berulang-ulang kali dan sampai membentuk posisi 270 derajat dari posisi awal hanya karena Dean ngotot kalau arah utara (arah yang benar) sebagai arah barat daya, dan dia ingin tidur menghadap ke timur. Beberapa jam kemudian Sam baru menyadari dengan sia-sia kalau posisi tempat tidur Dean malah jadi kembali ke posisinya semula setelah seharian diputar-putar dan Dean tampak puas sekali dengan posisi ’baru’ ini. <br />
<br />
Semakin lama semakin Sam menyadari kalau memang ada keanehan dalam diri Dean. Dean yang sekarang hanya makan coklat M&M warna hijau dan menyisihkan coklat berwarna selain hijau. Dean ketagihan mengulum permen nanas setiap sepuluh menit sekali dan permen stroberi sepuluh menit berikutnya. Dean yang dulunya terobsesi memanjakan Impalanya secara berlebihan sekarang jadi benci mencium bau oli. Yang paling mengesalkan, tentu saja nafsu makan Dean yang turun drastis, tapi mendadak dia bisa berubah selera dan ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya dalam hitungan detik. Dia seolah tak peduli kalau Sam harus berkeliling kota untuk mencari sushi dan beberapa menit berikutnya Dean justru berkata kalau saat ini dia lebih menginginkan steak daging unta daripada sushi. Ini membuat Sam hampir gila!<br />
<br />
”Dean,” panggil Sam setengah frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi kepadamu? Kita sudah menghabiskan dua hari di kota ini tanpa kemajuan berarti untuk menolong Hanna.”<br />
<br />
Dean yang baru saja keluar dari toilet setelah muntah begitu mencium bau bawang putih malah bertanya, “Sammy, menurutmu apa aku bertambah gendut akhir-akhir ini?”<br />
<br />
“Tidak juga,” Sam segera meralat ucapannya saat Dean menyingkap kaosnya dan memperlihatkan perutnya yang agak buncit. “Oooh… Yep, sepertinya begitu.”<br />
<br />
“Kau tahu kan kalau nafsu makanku tidak sebesar biasanya. Beberapa hari terakhir ini makanku juga sedikit,” Dean mulai mengeluh, tapi kali ini Sam sudah mulai kebal. ”Butuh seumur hidupku untuk mengembalikannya jadi six packs lagi! Sekarang cewe-cewe akan mengira aku om-om pemalas yang jarang merawat diri!”<br />
<br />
”Well, entahlah. Tapi kau memang sudah jadi om-om yang menyebalkan dua hari terakhir ini.”<br />
<br />
Dean hanya mengedikkan bahunya lesu sebelum duduk di ranjangnya.<br />
<br />
”Aku merasa ada sesuatu yang salah dalam diriku dan aku sendiri tidak tahu apa itu. Yang pasti aku sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Di dalam kepalaku seperti ada sesuatu yang baru saja menghantamku berkali-kali dan di dalam tubuhku seperti ada hal asing yang mengendalikanku.”<br />
<br />
”Kalau kau mau, besok kita bisa ke dokter...”<br />
<br />
”Tidak! Bawa saja aku ke Meogli,” tukas Dean cepat. ”Selama dua hari ini dia sering hadir di dalam mimpiku. Hanya sekelebatan sih. Kadang aku tidak yakin wanita yang kulihat dalam mimpiku itu dia. Wanita itu lebih mirip Hanna, tapi jauh lebih tua. Tapi terkadang mirip sekali dengan neneknya.”<br />
<br />
”Kupikir memang sebaiknya kita segera menemui mereka berdua,” kata Sam muram. ”Kau berubah aneh begini sejak kita mengenal mereka, kan?”<br />
<br />
***<br />
<br />
Keesokan harinya mereka segera pergi ke caravan Hanna dan neneknya. Mereka menemukan Meogli sedang asyik memberi makan ayam-ayamnya, sementara Hanna bergegas masuk ke dalam caravan setelah memberi tatapan yang jelas-jelas tidak menginginkan kehadiran Sam dan Dean.<br />
<br />
Meogli sendiri tampak tak terlalu terkejut melihat kedatangan mereka. Sebaliknya dia malah terkesan sudah menduga kalau Winchester bersaudara akan datang kembali mencarinya. Wanita tua itu tidak lagi banyak berceloteh tentang hal-hal tidak penting dan mendengarkan penuturan Dean dengan seksama. Secara mengejutkan dia meraba perut Dean yang sepertinya semakin buncit, sebelum berkata dengan mantap dan tajam.<br />
<br />
“Kekuatan roh putih sudah bekerja. Kau sedang mengandung janin Hanna, anakku...”<br />
<br />
”Maaf?” pinta Sam halus agar Meogli mengulang perkataannya.<br />
<br />
”Kakakmu, Dean, dia sedang hamil dan janin yang ada di perutnya ini adalah janin Hanna. Itulah yang kurasakan. Roh putih membisikkannya di telingaku.”<br />
<br />
”Tidak! Ini tidak mungkin!” bantah Dean keras.<br />
<br />
”Sudah berumur tiga bulanan sepertinya,” sambung Meogli tenang, masih mengusap perut Dean. “Kukira dalam seminggu bayi ini akan lahir.”<br />
<br />
“Kau gila!” sentak Dean, serta merta berdiri dari kursinya.<br />
<br />
”Kami baru berada di kota ini selama dua hari...” sahut Sam sambil berusaha menenangkan kakaknya. Ekspresi Dean campuran shock dan geram, tak bisa ditebak hal nekat apa yang akan dilakukannya dalam beberapa detik ke depan.<br />
<br />
”Kandungan kakakmu sudah berumur sama seperti kandungan yang berumur tiga bulan. Bisa jadi akan menyesuaikan diri dengan umur kandungan Hanna sebelum janinnya mendadak menghilang. Tiga hari ini masih berumur tiga bulan, tiga hari ke depan akan jadi enam bulan dan tiga harinya lagi sudah siap untuk dilahirkan,” jelas Meogli masih saja tenang. ”Ini kehamilan gaib. Wajar kalau dipercepat.”<br />
<br />
”Tidak! Ini tidak wajar!” teriak Dean yang semakin berontak dalam cengkraman Sam. “Pria tidak mungkin hamil! Ini tidak boleh terjadi! Kenapa harus aku?!”<br />
<br />
”Karena kau yang dipilih oleh roh yang ada di dalam totem beruang itu, Dean. Kau tangguh, penuh cinta dan protektif. Kau orang yang cocok,” balas Meogli sambil menuding bandul kalung yang masih melingkari leher Dean.<br />
<br />
Dean merosot ke tanah. Sam masih terus memegangi kedua bahunya sambil berjaga-jaga kalau-kalau Dean akan mengamuk lagi. Namun dari wajah Dean yang pucat pasi, penuh keringat dingin dan tampak jelas ada ekspresi ketidakpercayaan di sana, sepertinya Dean masih sangat terpukul.<br />
<br />
Dengan gigi gemeletuk Dean mendesis, ”Kalau begitu seharusnya kubuang saja kalung sialan ini dari dulu!”<br />
<br />
Sia-sia saja usaha Dean untuk menjambret kalungnya dan apa pun usaha kerasnya untuk menarik lepas kalung itu dari lehernya, tetap saja kalung itu tidak bisa lolos melewati dagunya, seolah ngotot tidak ingin berpisah dengan pemiliknya yang sekarang.<br />
<br />
***<br />
<br />
”Jadi bagaimana?” tanya Sam setelah mereka berdua kembali ke motel. ”Kau mau ke dokter kandungan untuk membuktikannya secara ilmiah?”<br />
<br />
Sontak Dean menghadiahi Sam tatapan panas dan membuat Sam menunduk tanpa sadar karena takut. Sepulang dari menemui Moegli, suasana hati Dean semakin tidak karuan. Dia uring-uringan. Kadang marah, kadang murung. Hal-hal kecil yang mengusiknya bisa membuat Dean ngambek.<br />
<br />
Cara membuktikan paling mudah adalah dengan memakai testpack atau alat uji kehamilan. Sebenarnya Dean yang ngotot membelinya sendiri di apotik, tapi karena Sam kuatir Dean akan berbuat yang tidak-tidak atau salah ucap, Sam memutuskan untuk menemaninya. Apoteker satu-satunya di kota kecil itu agak curiga ketika dua orang pria datang untuk membeli testpack, apalagi karena sebelumnya Sam pernah datang dengan keluhan yang umum dialami orang yang sedang hamil di trisemester awal. Untungnya mereka berhasil membuat alasan cerdas kalau testpack itu hanya hadiah untuk seseorang (“Dasar apoteker cerewet!” gumam Dean waktu itu).<br />
<br />
Hasil test pertama adalah dua garis biru yang membuat Dean lemas tak percaya. Hasil test kedua dan ketiga sama saja. Dean memang sedang hamil. Sisa hari itu mereka habiskan untuk berdebat. Dean masih belum bisa menerima keadaannya, sementara Sam tidak menyalahkannya, tapi menganggap semua usaha Dean untuk membuktikan kalau dia tidak hamil sia-sia saja.<br />
<br />
“Kau masih ingin membuktikannya? Lihat semua hasil uji ini. Positif,” kata Sam lirih, mulai cemas dengan kengototan Dean. Dia sendiri tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisi Dean dan berpikir kalau lebih baik mereka segera mencari solusi daripada harus menunggu Dean buang air kecil lagi untuk yang kesekian kalinya.<br />
<br />
”Aku bisa menghabiskan semua testpack yang ada di kota ini untuk membuktikan kalau aku tidak hamil, Sam! Pria tidak mungkin hamil dan aku pria sejati, tahu!” sahut Dean gusar.<br />
<br />
Sam hanya mengangguk lemah. Dia tahu. Dia sangat tahu kalau kakaknya memang pria sejati. Dia juga sudah hafal kalimat terakhir yang diucapkan Dean itu. Sepanjang sore Dean sudah mengucapkannya berkali-kali dengan ditambahi variasi kata-kata makian begitu hasil testnya menunjukkan positif hamil.<br />
<br />
“Apapun yang terjadi, apapun yang terjadi, Sam, kau harus merahasiakan ini dari siapapun! Dunia tidak boleh tahu kalau seorang Dean Winchester sedang hamil! Pasaranku bisa turun drastis. Cewe-cewe bisa mengira aku selama ini adalah seorang transgender. Itu sangat mengerikan!” ujar Dean histeris saat testpacknya habis dan hasilnya masih tetap positif.<br />
<br />
Sam mengangguk lemah, prihatin dengan apa yang sedang menimpa kakaknya itu.<br />
<br />
”Dan jangan bawa aku ke dokter kandungan seseksi apapun dia! Aku tidak ingin membuatnya mati berdiri begitu tahu kenyataan abnormal ini! Aku belum pernah memacari dokter kandungan soalnya.”<br />
<br />
Sekali lagi Sam mengangguk dan menghela nafas panjang sebelum berkata, ”Sekarang kau sudah bisa berhenti berteriak-teriak atau penghuni kamar di sebelah kita akan mendengarmu dan mengira kau pasien RSJ yang lepas. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana solusinya?”<br />
<br />
***<br />
<br />
Hari keempat dan hari-hari berikutnya, perut Dean semakin membesar. Kalau perkiraan Meogli benar, maka umur kandungan Dean sekarang sama dengan umur kandungan enam bulan. Di sisi lain Sam agak lega. Dean sudah tidak lagi suka meminta yang aneh-aneh atau bertingkah di luar kewajaran. Kakaknya itu hampir kembali ke sifat asalnya, mulai memakan makanan apa saja yang ada, tidak lagi gelisah kalau tidak tidur menghadap timur, kembali sering membaca majalah dewasa dan sudah betah berlama-lama berduaan dengan Impalanya.<br />
<br />
Namun, meskipun di depan Sam dia tidak terlihat seperti sedang menanggung sebuah masalah berat, Sam tahu kalau Dean lebih suka menyendiri selama dua hari itu. Entah di toilet atau di dalam Impala. Sam sering memergoki kakaknya itu sedang asyik melamun dan terlihat murung. Sam tidak berusaha mencari tahu, sebaliknya dia sudah tahu apa yang sedang mengusik pikiran Dean saat ini. Bagaimana caranya supaya Dean bisa melahirkan dengan aman dan tidak ketahuan? Lalu, setelah lahir nanti, bayi itu akan ikut siapa? Sam tidak bisa membayangkan Dean harus mengejar demon sambil menggendong bayi dan menyusuinya di saat genting seperti itu. Terlalu aneh (atau terlalu konyol, karena Sam malah tersenyum geli saat membayangkannya).<br />
<br />
Dean sendiri sudah bisa menerima kondisinya. Dia mulai sering mengajak janinnya ngobrol dan membiarkan Sam merasakan gerakan-gerakan di seputar perutnya. Kadang malah dia memaksa Sam untuk mendengarkan suara-suara dari dalam perutnya. ”Ayolah Sam! Kapan lagi kau bisa mendengar suara lain selain suara mesin penggiling makanan dari dalam perutku?!” paksa Dean.<br />
<br />
Karena Dean tidak bisa memeriksakan kandungannya ke dokter, Sam membawa Meogli ke motel. Tidak banyak yang dilakukan wanita tua itu kepada Dean. Hanya mengusap-usap perut Dean sambil membacakan beberapa mantra dalam bahasa sukunya. Sam berharap Meogli bisa menolong mereka, tapi ternyata tidak. Meogli tidak tahu bagaimana cara untuk mengembalikan janin itu ke perut Hanna.<br />
<br />
Di hari keenam, Sam benar-benar tidak tahan untuk diam saja. Dia sudah berusaha keras mengakses banyak situs, membaca literatur-literatur dan lain-lain, namun tak ada hasil. Kehamilan pria hanya terjadi dalam fiksi. Terlalu mustahil untuk benar-benar terjadi. Terlalu di luar kodrat.<br />
<br />
Pada sore harinya Hanna datang ke motel mereka, masih sama tidak menyenangkannya seperti di awal pertemuan mereka. Yang jelas, gadis itu mengatakan kalau dia tidak menginginkan bayi itu dan mereka berdua boleh memilikinya. Sam sangat marah dan mengusir Hanna waktu itu.<br />
<br />
”Gadis itu berengsek, Dean! Dia yang sebenarnya harus menjadi ibu, bukan kau! Tapi dia malah lari dari tanggung jawab!” kata Sam kesal setelah membanting pintu kamar.<br />
<br />
”Aku tidak menyalahkannya.”<br />
<br />
Ucapan Dean ini membuat Sam kaget.<br />
<br />
“Kau dengar, kan? Dia berkata kalau dia tak sanggup membayangkan seperti apa rasanya melahirkan nanti. Dia sangat ketakutan. Wajar kalau dia takut, karena ibunya meninggal saat melahirkan. Selain itu, Hanna juga bilang kalau selama hamil dulu dia sangat tertekan. Sejak awal kelahiran dia sadar kalau bayinya akan lahir tanpa ayah dan keluarga almarhum kekasihnya juga sudah menolak janin itu mentah-mentah...”<br />
<br />
”Tapi itu bukan berarti dia boleh mengaborsinya, Dean!” bantah Sam, teringat pengakuan Hanna kalau sebenarnya gadis itu sudah mencoba segala cara untuk menggugurkan kandungannya, tapi selalu gagal sampai menginjak usia kandungan sembilan bulan. ”Dan, kau tidak boleh terus begini! Pria tidak bisa jadi ibu, Dean!”<br />
<br />
”Aku tahu itu, Sam. Hanya saja kupikir akan lebih baik seperti ini daripada bayi ini harus berada di dalam perut seorang ibu yang jelas-jelas tidak pernah menginginkan kehadirannya di dunia. Bayi ini sudah seperti jadi yatim-piatu bahkan sebelum dia dilahirkan. Malang sekali, kan! Kalau memang ini yang terbaik, lebih baik begini saja.”<br />
<br />
Dan percakapan aneh itu berakhir tanpa pernah ada yang berniat mengungkitnya lagi.<br />
<br />
Di hari ketujuh Dean harus menjalani bedrest. Perutnya sudah benar-benar besar, sebesar galon air. Kedua kakinya bengkak dan pinggangnya sering sakit. Sementara ia jadi lebih sering buang air kecil dan susah BAB. Ini menyebabkan Sam jadi luar biasa lebih sibuk dari sebelumnya. Dia harus menyiapkan terus menyiapkan air panas, memijat kaki Dean dan harus sering memapah Dean keluar masuk toilet karena Dean kesusahan berjalan sendiri. Di tengah malam Sam juga lebih sering berjaga saat Dean merintih-rintih kesakitan saat mengalami kontraksi. Itensitas kontraksi meningkat dalam dua hari terakhir dan Dean sangat tersiksa karenanya. Sam sendiri juga harus menabahkan diri mendengar dan melihat kakaknya begitu tanpa bisa berbuat apa-apa<br />
<br />
Melihat Dean yang dulunya gagah dan tangguh jadi tergolek tak berdaya begitu membuat Sam miris. Apalagi karena sepertinya bayi itu bisa lahir sewaktu-waktu meskipun mereka berdua masih bingung akan lewat mana nantinya. Tidak mungkin lewat pusar atau ‘jalur belakang’.<br />
<br />
Kedatangan Hanna pada hari itu tidak disambut dengan baik oleh Sam, walaupun gadis itu mengatakan hal yang positif.<br />
<br />
“Aku menginginkan calon bayiku kembali,” kata Hanna pelan.<br />
<br />
”Oh yeah? Andai kakakku bisa memuntahkannya dengan mudah, sama mudahnya seperti cara kau bicara ini,” tukas Sam ketus. Dia sudah sangat muak melihat Dean begitu menderita, apalagi sikap Hanna yang enggan untuk membantu mereka dulu.<br />
<br />
”Tadi malam dan beberapa malam sebelumnya, ibuku datang ke dalam mimpiku. Dia menegurku, sekaligus memberiku kekuatan. Dia meyakinkanku kalau apapun yang akan terjadi nantinya, aku tetap seorang ibu yang baik, asalkan aku bersedia menerima kembali bayiku. Ibuku berkata kalau ia tidak pernah menyesal harus mati di saat melahirkan aku karena baginya aku adalah anugerah terindah dari dewa kepada bumi dan hadiah tak ternilai darinya untuk ayahku. Itu membuatku sadar...”<br />
<br />
Sam melirik Dean yang hanya tercenung mendengarkan pengakuan Hanna dari atas ranjang.<br />
<br />
”Travis memang sudah tidak ada lagi. Tapi aku masih tetap akan memiliki dalam diri bayi kami itu. Seharusnya aku tidak pernah menyesali mengapa aku pernah hamil dan berpikir untuk melenyapkan bayi itu, kalau saja aku sadar tentang hal ini. Kumohon, beri aku kesempatan sekali lagi untuk menjadi seorang ibu.”<br />
<br />
”Bagaimana caranya?” tanya Sam skeptis. “Kau pernah bilang kalau kau tidak tahu bagaimana cara untuk memindahkan janin di perut Dean ke perutmu.”<br />
<br />
“Entahlah. Tapi kupikir roh totem bisa melakukannya. Beliau yang menyimpan janinku dan kemudian menitipkannya ke perut Dean. Jadi kupikir, kalau kita melakukan beberapa ritual dan memberikan persembahan, mungkin roh totem mau mengembalikan janin itu ke tempatnya semula, ke rahimku.”<br />
<br />
”Roh totem?” kata Dean, mengernyit menahan sakit akibat kontraksi yang kini datang setiap beberapa menit sekali. ”Maksudmu roh yang hidup di dalam bandul kalungku ini?”<br />
<br />
Hanna mengangguk. ”Kalung itu, totem itu, dulunya adalah milik ibuku. Dia masih tetap memakainya sampai saat melahirkanku dan akhirnya meninggal. Kalung itu memang sengaja tidak ikut kami kuburkan bersama jenazah ibuku dulu karena nenek yakin roh-roh hutan tidak menginginkan totem itu. Berdasarkan kepercayaan suku kami, totem semacam itu memiliki kekuatan magis berdasarkan sifat-sifat baik yang dimiliki pemiliknya. Totem ibuku adalah beruang, yang penuh cinta dan sangat protektif kepada anaknya.”<br />
<br />
”Kalau begitu, wanita yang sering kulihat dalam mimpiku itu bukan kau atau nenekmu, tapi ibumu,” ujar Dean, tanpa sadar meremas bandul kalungnya.<br />
<br />
”Roh totem itu menarik ibuku untuk datang...”<br />
<br />
Ucapan Hanna terpotong teriakan Dean.<br />
<br />
”Perutku mulas lagi, Sam! Cepat bawa aku ke toilet! Aku mau buang air lagi!”<br />
<br />
Dengan dipapah Sam, Dean berjalan terhuyung ke toilet. Namun ekspresi wajahnya berubah panik saat menyadari ada yang tidak beres dengan air seninya.<br />
<br />
“Apa ini yang namanya air ketuban?! Oh tidak!! Aku akan melahirkan sekarang!!”<br />
<br />
”Tarik nafas dalam-dalam dan mulailah mengejan,” usul Sam. Dia sering mendengar wanita yang melahirkan pasti akan melakukan ini.<br />
<br />
”Aku akan mengejan setelah yakin bayinya akan keluar lewat mana!!” balas Dean histeris, wajahnya merah padam menahan sakit.<br />
<br />
”Kalau begitu aku akan membedah perutmu...” kata Sam ragu, sudah siap dengan pisau lipat di tangannya.<br />
<br />
”Jenius! Bunuh aku sekalian!” jerit Dean semakin panik saja.<br />
<br />
”Seharusnya aku yang merasakannya! Seharusnya aku yang melahirkan! Aku ingin menjadi ibu sejati sama seperti ibuku dulu!” teriak Hanna tak mau kalah.<br />
<br />
Di tengah suasana kacau itu mendadak saja udara berubah menjadi dingin. Baik Dean dan Sam merasakan udara dingin bergerak melalui tenggorokan mereka dan keluar melalui hidung berupa segumpal asap putih. Sayup-sayup terdengar suara bergemuruh, sebelum akhirnya terdengar suara hantaman benda keras yang berasal dari arah pintu kamar. Seperti suara geraman binatang buas.<br />
<br />
”Sammy... Kupikir aku baru saja melihat badak melewati jendela kamar... ” rintih Dean.<br />
<br />
”Tidak ada badak di Amerika, Dean. Kau pasti berhalusinasi.”<br />
<br />
“Makhluk itu besar dan berjalan dengan empat kaki.”<br />
<br />
“Itu bukan badak!” sahut Hanna di sela perdebatan dua orang itu. “Beruang!”<br />
<br />
“Makhluk itu sedang memaksa masuk…” kata Sam yang bergegas mencari-cari senapan. Gedoran dari arah pintu semakin keras.<br />
<br />
Namun sebelum Sam berhasil menemukan senapan, lampu kamar mendadak padam total. Sementara pintu kamar berhasil didobrak paksa karena terdengar bunyi gaduh sekali seperti suara kayu yang diremukkan. Beruang itu berhasil masuk.<br />
<br />
Untuk sesaat Sam tak mampu berkata-kata. Otaknya seperti berhenti berpikir selama beberapa detik dan tubuhnya terpaku tak mampu bergerak. Dia tak bisa melihat, mendengar dan merasakan apapun pada waktu itu. Jantungnya berdebar kencang. Dia tak tahu apa yang sedang terjadi pada Dean atau pun Hanna.<br />
<br />
”Aaaarght!! Dia merobek perutku!!!”<br />
<br />
Jeritan Dean membuat Sam tersadar dan segera berlari dalam kegelapan, mencari-cari keberadaan kakaknya. Hasilnya, dia malah jatuh terserimpet kaki meja dan jatuh dengan suara debam keras.<br />
<br />
”Deaaaan!!!” panggil Sam putus asa. Semakin putus asa saat terdengar jerit kesakitan Hanna. Suara Dean sama sekali tak terdengar lagi.<br />
<br />
Mendadak kamar yang tadinya gelap berubah terang benderang. Ada cahaya putih menyilaukan yang memenuhi seluruh ruangan. Sam terpaksa harus menyipitkan matanya, cahaya itu bisa membutakannya. Di tengah suasana terang bukan main begitu Sam masih saja tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi. Di saat cahaya putih terang itu padam beberapa saat kemudian, Sam mulai merangkak dan menemukan tubuh Dean yang sedang terkapar.<br />
<br />
“Dean! Dean! Bicaralah!” pinta Sam, menepuk-nepuk wajah kakaknya itu.<br />
<br />
“Apa… apa kau…” ucap Dean terbata, membuat Sam harap-harap cemas. Kedua mata Dean perlahan-lahan mulai terbuka dan mulutnya bergetar saat berkata, ”Apa kau punya pie?”<br />
<br />
”Dean!!” pekik Sam dan langsung memeluk Dean erat-erat sampai nafas keduanya sesak.<br />
<br />
“Sesi pemotretan tadi kacau juga. Blitznya terlalu terang,” kata Dean, nyengir. ”Tapi... Hey, Sam! Perutku sudah kembali seperti semula! Aku sudah tidak hamil lagi! Ini keajaibaan!!”<br />
<br />
Kini dua orang itu malah sibuk meraba-raba perut Dean dengan penuh semangat seolah-olah perut itu segumpal adonan pie. Sampai akhirnya suara rintihan Hanna menyadarkan mereka berdua. Dean yang pertama kali menemukan Hanna sedang tergolek lemas dengan wajah pucat pasi, perut membesar dan ada darah mengalir dari sela-sela kakinya.<br />
<br />
”Cepat, Sam!! Rumah sakit! Hanna akan melahirkan!”<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
”Roh totem itu datang dan melakukan tugasnya malam itu,” kata Dean kepada Sam, mereka sedang dalam perjalanan kembali ke motel setelah menjenguk Hanna dan bayinya. ”Dengan sangat menyakitkan! Aku masih bisa merasakan bagaimana caranya dia mencakar perutku.”<br />
<br />
”Lalu?”<br />
<br />
”Entahlah, aku tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi waktu itu. Kejadiannya begitu cepat. Terjadi dalam satu jentikan jari.”<br />
<br />
”Tapi aku senang. Sekarang aku tidak akan melihatmu berjalan dengan gaya aneh lagi, mengeluh kesemutan dan meminta ini-itu dengan rewelnya,” balas Sam sambil tertawa riang. ”Cheeseburger tanpa keju, tanpa pinggiran roti yang garing, acar di sisi kanan-kiri, saus dua kali semprot, daging setengah matang dan mustard dioles dari kiri ke kanan?”<br />
<br />
”Hey! Itu bukan aku, tahu! Itu permintaan bayi!” sahut Dean sebal, tapi wajahnya merona malu.<br />
<br />
”Terserah,” Sam masih saja tergelak. “Tapi, kenapa kau memberikan totem itu kepada bayi Hanna? Dalam kepercayaan Indian, totem tidak boleh ditukar atau diberikan kepada orang lain selama pemiliknya masih hidup.”<br />
<br />
”Anggap saja itu pemberian papa bear kepada baby bear .”<br />
<br />
“Oh yeah. Aku hampir lupa kalau bayi itu dinamai Dean Jr,” kata Sam, nyengir.<br />
<br />
“Setidaknya, kita bisa mengambil banyak pelajaran dari kasus ini, Sammy. Aku sendiri sudah mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga,” ujar Dean mantap dari balik kemudinya.<br />
<br />
”Apa itu? Tentang pengorbanan seorang ibu di waktu melahirkan?” tebak Sam, mengerutkan dahinya yang lebar.<br />
<br />
”Itu bisa jadi salah satunya. Tapi yang terpenting adalah bukan kodrat pria untuk hamil karena...,” jawab Dean sambil memamerkan senyuman khasnya. “...daripada hamil, lebih baik menghamili.” <br />
<br />
<br />
EL EXTREMORED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-4890093589687563072010-04-29T05:55:00.003+07:002010-10-09T14:03:33.935+07:00Fic: The Glass PassengerWritten by : Lady_Mannequin<br />
Genre : Horror, Medical Drama and Romance<br />
Setting : Seattle<br />
Rating : T-13+<br />
Title reference: This fan fiction title refers to a brand new album from Jack’s Mannequin.<br />
<br />
Sinopsis : Fan Fic gabungan dari dua serial TV terpopuler, Grey’s Anatomy dan Supernatural ini menceritakan tentang serangkaian kematian aneh yang terjadi di King County Metro Bus, Seattle selama tiga hari berturut-turut. Kasus mencekam itu terhubung pada The Glass Passenger, sosok putih misterius yang hanya terlihat di kaca jendela sesaat sebelum terjadi kematian beberapa penumpang bus. Dean dan Sam serta dibantu oleh tim dokter bedah Seattle Grace Hospital harus segera memecahkan misteri The Glass Passenger sebelum korban lainnya berjatuhan. <br />
<br />
Karakter Supernatural:<br />
Dean Winchester a.k.a McWeird<br />
Sam Winchester<br />
<br />
Karakter dari serial Grey’s Anatomy :<br />
Dr. Meredith Grey : Dokter bedah resident<br />
Dr. Alex Karev : Dokter bedah resident<br />
Dr. Isobel “Izzie” Stevens : Dokter bedah resident<br />
Dr. Cristina Yang : Dokter bedah resident<br />
Dr. George O’Malley : Dokter bedah magang<br />
Dr. Derek Shepherd a.k.a McDreamy: Head of Neurosurgeon (Kepala bedah syaraf)<br />
Dr. Erica Hahn : Head of Cardiothoracic Surgery (Kepala bedah jantung dan thorax)<br />
<br />
<br />
<br />
Karakter dari forum Supernatural fanfic dan Grey’s Anatomy:<br />
Lady a.k.a Keane<br />
Ucha Sweetz<br />
Charmed<br />
Ambu<br />
Andrew<br />
Nenok<br />
Juichi<br />
Red<br />
Dewa<br />
Bym<br />
Lissa<br />
Sapphire<br />
Cheezy Taz a.k.a Taz<br />
Adellaide a.k.a Adel<br />
***<br />
<br />
THE GLASS PASSENGER<br />
<br />
21 September 2008<br />
8.50 AM<br />
<br />
Keane berlari mengejar King County Metro Bus yang tengah melaju dengan kecepatan cukup kencang. Untunglah, sang supir bus menyadari keberadaan Keane dan menghentikan busnya. Sang supir bus menekan tombol pembuka pintu otomatis. Pintu bus terbuka dan Keane pun masuk dengan nafas yang masih terengah-engah. Ia menghempaskan diri di sebuah tempat duduk. Beruntung sekali ia masih bisa mendapatkan tempat duduk saat jam sibuk di pagi hari ini. Sebuah suarayang dikenal Keane terdengar dari belakang tempat duduknya.<br />
<br />
“Wah Keane, kecepatan larimu tergolong kencang juga ya!” suara tersebut menyapa Keane. Keane sekonyong-konyong membalikkan tubuhnya menuju asal suara tersebut.<br />
<br />
“Ucha!” seru Keane. “Kok tumben pagi-pagi begini sudah berangkat ke kampus?”<br />
<br />
“Iya, jam sembilan pagi ini aku ada kuliah tambahan Anatomi. Sebenarnya sih aku nggak mau masuk, tapi karena mata kuliah ini asyik banget, jadi aku bela-belain masuk deh,” jawab Ucha.<br />
<br />
“Oh, mata kuliahnya Miss Andrew ya?” tanya Keane lagi.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Yupz, darimana kamu tahu, Keane?” Ucha balik bertanya.<br />
<br />
Ketika Keane baru akan menjawab pertanyaan Ucha, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok bayangan putih yang memantul di kaca jendela King County Metro Bus. Keane terpana sesaat lalu spontan menengok ke arah datangnya bayangan namun ia tidak melihat seorang pun yang menyerupai sosok tersebut. Sekonyong-konyong Keane merasa merinding ketakutan. Ia duduk kaku dikursinya. Kedua tangannya mencengkeram ujung kursi. Apa tadi ia bermimpi? Ya, itu pasti hanya mimpi, atau semacam halusinasi. Ia pasti tertidur selama satu atau dua menit. Keane berusaha berpikir rasionaldan menekan pikiran-pikiran seram dalam benaknya.<br />
<br />
“Keane, ada apa?” tanya Ucha. Keane tersentak mendengar pertanyaan Ucha lalu menyadari bahwa Ucha sedang memandangnya dengan tatapan tidak mengerti.<br />
<br />
“Cha....” Kalimat Keane terpotong ketika tiba-tiba terdengar jeritan nyaring yang panjang dan mengerikan dari seorang penumpang pria berusia setengah baya yang berada tepat di depannya. Suara jeritan tersebut mengejutkan seluruh penumpang King County Metro Bus. Belum pernah Keane mendengar jeritan seperti itu sebelumnya. Jeritan kesakitan itu semakin keras terdengar dan berakhir setelah tubuh sang penumpang jatuh berdebum di lantai bus. Kejadian mengerikan itu berlanjut dengan pekikan kaget dari para penumpang lainnya sampai-sampai sang supir menghentikan busnya di tepi jalan.<br />
<br />
Pandangan seluruh penumpang di dalam bus spontan tertuju pada kejadian sosok penumpang naas yang kini tergeletak di lantai bus. Para penumpang wanita terlihat pucat seketika setelah melihat kejadian tersebut. Beberapa diantaranya langsung memalingkan wajah karena tak sanggup melihatnya. Seorang pria jangkung bertubuh atletis dengan rambut coklat sekonyong-konyong bangkit dari tempat duduknyadan berjalan secepat mungkin menuju tubuh sang penumpang yang roboh itu. Pria itu dengan sigap mengeluarkan stetoskop dari dalam tasnya, meraba nadi di leher lalu membuka dua kancing teratas di pakaian sang penumpang. Stetoskop itu ia tempelkan ke dada sang penumpangyang tak bergerak itu untuk mendengarkan detak jantungnya selama tiga puluh detik. Setelah itu, ia mengisyaratkan kematian sang penumpang dengan gelengan kepala.<br />
<br />
Tanpa sengaja kartu identitas sang dokter terjatuh saat ia sedang membereskan peralatan medisnya. Kartu tersebut kebetulan berhenti tepat dibawah kaki Ucha. Spontan Ucha memungut kartu itudan melihatnya sekilas.<br />
<br />
”Dr. Alex Karev,” bisik Ucha perlahan seraya memperlihatkan kartu nama sang dokter pada Keane.<br />
<br />
”Resident Seattle Grace Hospital,” lanjut Ucha. Keane dan Ucha spontan menatap Dr. Alex yang sedang menggotong tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu dan menaruhnya di kursi bus. Ucha berjalan menghampiri Dr. Alex untuk mengembalikan kartu identitasnya. Sang dokter mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum manisnya pada Ucha. Ucha membalas senyuman tadi lalu kembali ke tempat duduknya semula. Di saat yang bersamaan, supir bus menstater kendarannya dan kembali melaju di jalan raya. Tiba-tiba Keane memegang erat lengan Ucha.<br />
<br />
”Kenapa, Keane?” tanya Ucha heran.<br />
”Hmmm....itu...” jawab Keane terbata-bata lalu ia terdiam selama beberapa saat.<br />
“Apa?” tanya Ucha lagi.<br />
Keane ingin menceritakan pengalamannya melihat sosok bayangan putih misterius, namun ia masih ragu. Baru saja ia akan bercerita, namun tiba-tiba supir bus menghentikan kendaraannya di sebuah halte. Tak terasa Ucha dan Keane telah sampai di gerbang Seattle University. Ucha bergegas turun dari bus lalu disusul oleh Keane beberapa saat kemudian. Sebelum turun Ucha sempat memandang sekilas ke arah Dr. Alex Karev.<br />
<br />
“Keane, tadi mau ngomong apa?” Ucha kembali bertanya.<br />
<br />
Lagi-lagi Keane tidak sempat menjawab pertanyaan Ucha karena tiba-tiba Cellular Phone Ucha berbunyi. Ucha melihat sekilas identitas sang penelepon di layar LCD Cellular Phonenya dan memutuskan untuk mengangkatnya.<br />
<br />
“Maaf Keane, aku harus segera masuk kelas sekarang karena Miss Andrew sudah datang. Sampai jumpa besok,” sahut Ucha lekas-lekas dan ia segera berlari menuju gedung fakultas kedokteran. Sebenarnya Keane ingin sekali menceritakan kemunculan sosok bayangan putih misterius tadi pada Ucha, tapi tidak sempat berhubung Ucha tengah buru-buru. Akhirnya Keane memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya, namun sekonyong-konyong ia teringat kembali pengalaman mengerikan yang baru saja dialaminya di King County Metro Bus. Keane merinding seketika saat mengingat sosok bayangan putih semitransparan yang dilihatnya di kaca jendela bus. Keane merasa ketakutan sebab ia belum pernah melihat hantu sebelumnya.<br />
<br />
***<br />
<br />
22 September 2008<br />
8 AM<br />
<br />
Bunyi alarm jam weker membangunkan Keane dari mimpi buruknya. Tubuh Keane masih gemetaran walaupun ia sudah terjaga penuh. Ia masih teringat jelas gambaran dari mimpi buruknya. Keane bermimpi melihat sosok bayangan putih misterius yang dilihatnya di kaca jendela bus kemarin. Keane berusaha menenangkan dirinya, namun ingatan mengenai peristiwa mengerikan kemarin terus melekat dalam benaknya. Keane melirik jam weker yang menunjukkan pukul delapan pagi dan dengan malas ia beranjak dari ranjangnya. Sebenarnya Keane sedang tak ada semangat untuk melakukan aktivitas hari ini, namun ujian tengah semester yang akan berlangsung siang hari nanti membuatnya mau tak mau harus berangkat ke kampus.<br />
<br />
Gara-gara sosok bayangan putih misterius itu, Keane jadi ketakutan setiap melihat dan melewati kaca atau cermin. Keane terpaksa mengalihkan pandangannya ke tempat lain sebab ia pasti teringat sosok mengerikan itu bila tanpa sengaja menatap kaca. Saking takutnya, Keane tidak berani menatap kaca saat mandi dan gosok gigi, bahkan ia terpaksa merias wajahnya tanpa menggunakan cermin.<br />
<br />
Keane meraih T-shirt bergambar cover album terbaru Jack’s Mannequin dari dalam lemari lalu memakainya sambil memencet tombol-tombol di Cellular Phonenya untuk menghubungi taksi, tapi sesaat kemudian ia baru tersadar bahwa uang sakunya hampir habis lantaran telah dipakai untuk akomodasi dan tiket konser Jack’s Mannequin selama 3 hari berturut-turut di McCaw Hall, Moore Theatre, dan Westlake Center. Toyota Camrynya juga tidak bisa digunakan karena sedang direparasi di bengkel. Sebenarnya kejadian kemarin membuat Keane takut naik bus, tapi apalah daya karena tak ada mobil dan uang pas-pasan akhirnya ia mengumpulkan keberaniannya untuk menggunakan sarana transportasi King County Metro Bus menuju Seattle University. Tentunya sambil berdoa semoga sosok bayangan putih misterius tidak lagi muncul dan peristiwa mengerikan kemarin tak terulang lagi. <br />
<br />
Baru lima menit Keane berada dalam King County Metro Bus, kemudian terjadi kembali peristiwa kedua yang tak kalah mengerikan. Kali ini sosok bayangan putih misterius yang dilihat Keane di pantulan kaca jendela kemarin kembali muncul di bus yang ditumpanginya. Saat ini sosok putih semitransparan itu benar-benar terlihat jelas di mata Keane dari pantulan di salah satu kaca jendela King County Metro Bus. Kengerian yang amat sangat. Itulah perasaan yang mulai merayapi diri Keane sekarang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya membiru dan mengerut. Keane ingin menjerit tapi entah mengapa ia merasa kerongkongannya tercekat. <br />
<br />
Belum sepenuhnya Keane menghadapi kengerian tersebut, tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan dari seorang gadis yang duduk tepat dibelakang Keane. Tubuh gadis naas itu merosot ke lantai bus dan terpuruk di sana. Keane hanya terpana melihat kejadian itu tanpa bisa berkata-kata.<br />
<br />
Seorang wanita yang kebetulan berada tepat disebelah gadis naas itu langsung menjerit seketika melihat kejadian itu. Tak hanya itu, jerit tertahan terlontar dari mulut para penumpang lain. Jeritan tersebut terpaksa membuat supir bus menghentikan kendaraannya. Sekonyong-konyong seorang pria berambut coklat gelap melompat dari kursinya dan memberi isyarat pada penumpang lain tetap duduk dengan tenang. Ia membungkuk dan memeriksa tubuh gadis itu. Dengan lembut, ia mengangkat pergelangan tangan sang gadis dan memeriksa denyut nadinya.<br />
<br />
Wajah pria itu tiba-tiba menjadi pucat dan serius. Puluhan penumpang lain hanya memperhatikannya. Mereka seolah terpaku dan tak kuasa berbuat apa-apa. Pria itu lalu beralih mencari denyut nadi di leher dan mengambil stetoskop dari saku jaketnya. Ia mendengarkan jantung sang gadis dengan stetoskop selama beberapa detik. Ia mengambil senter kecil dari dalam tas punggungnya lalu menyalakan senter tepat di depan mata sang gadis. Ia memperhatikan tanggapan pupil mata terhadap senter.<br />
<br />
”Dia sudah meninggal,” pria itu mengumumkan kondisi sang gadis kepada semua penumpang bus. Keane yang merasa dirinya ada kaitannya dengan kejadian barusan memberanikan diri mendekati pria yang memeriksa gadis naas tadi.<br />
<br />
”Dokter!” panggil Keane pada pria yang dari tingkah lakunya mencerminkan profesi seorang dokter tersebut.<br />
<br />
”Ya?” sahut sang dokter.<br />
<br />
”Saya Keane Maroon, Dokter. Boleh saya tahu prognosis Anda terhadap gadis ini?” tanya Keane sambil menjabat tangan sang dokter.<br />
<br />
”Saya Dr. George O’Malley. Gadis ini meninggal karena gagal jantung, Keane,” tutur sang dokter.<br />
<br />
”Saya akan membawa jenazah gadis ini ke Seattle Grace Hospital untuk diotopsi. Hasil otopsi akan menjelaskan lebih detail mengenai penyebab kematian gadis ini,” lanjut Dr. George O’Malley kepada Keane.<br />
<br />
Sebenarnya Keane ingin berbicara lebih banyak dengan Dr. George O’Malley, namun sayangnya King County Metro Bus yang ditumpanginya telah sampai di gerbang Universitas Seattle. Keane mengucapkan terima kasih pada Dr. George O’Malley dan segera bergegas turun dari bus.<br />
<br />
***<br />
<br />
Fakultas Kedokteran Universitas Seattle<br />
22 September 2008<br />
2 PM<br />
<br />
<br />
Setelah menyelesaikan ujian tengah semester, Keane berjalan secepat mungkin menuju ruang A4809 yang biasanya dipakai Ucha dan teman-teman sekelasnya untuk melakukan praktikum Anatomi. Untungnya saat itu praktikum Anatomi belum dimulai karena Miss Andrew, sang dosen belum datang. Keane langsung memasuki laboratorium tersebut dan menghampiri Ucha yang tengah memakai jas labnya.<br />
<br />
“Cha, aku mau ngomong sesuatu sama kamu sebentar aja,” pinta Keane. Ucha tersentak kaget ketika tiba-tiba Keane memanggilnya.<br />
<br />
“Ada apa, Keane?” tanya Ucha dengan nada kuatir saat melihat raut wajah Keane yang ketakutan.<br />
<br />
”Kita ngobrol di koridor aja yuk,” ajak Ucha seraya menggamit tangan Keane dan membawanya keluar dari laboratorium. Setelah itu mereka berdua duduk di salah satu sofa yang berada di koridor Fakultas Kedokteran Universitas Seattle.<br />
<br />
”Kamu masih ingat dengan kejadian yang terjadi di King County Metro Bus kemarin kan?” tanya Keane pada Ucha.<br />
<br />
”Iya, Keane. Kasihan ya penumpang yang kena serangan jantung itu. Dia meninggal seketika. Memang serangan jantung bisa terjadi kapan saja,” sahut Ucha.<br />
<br />
”Percaya nggak, peristiwa kematian mendadak karena serangan jantung terjadi lagi tadi pagi saat aku naik bus menuju ke kampus!” tutur Keane.<br />
<br />
”OMG! Masa sih? Yang benar, Keane!” Ucha tersentak seketika.<br />
<br />
”Kejadiannya sama persis seperti kemarin...” Keane menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan terdiam selama beberapa saat.<br />
<br />
“Sebenarnya bukan hanya itu saja kejadiannya. Aku merasa melihat sesuatu yang aneh sesaat sebelum terjadi dua peristiwa mengenaskan itu,” lanjut Keane.<br />
<br />
“Apa?” tanya Ucha setengah mendesak.<br />
<br />
“Sesuatu yang tidak masuk akal,” jawab Keane pelan.<br />
<br />
Sesaat Ucha terdiam, namun matanya menatap tajam pada Keane.<br />
<br />
“Kuharap kamu mau mengatakan padaku, Keane. Apa hal ini ada hubungannya dengan dua kasus kematian di King County Metro Bus yang terjadi selama dua hari berturut-turut ini?” tanya Ucha. Ia sangat penasaran dengan apa yang akan diceritakan Keane.<br />
<br />
“Aku merasa melihat sesosok bayangan putih memantul dari kaca jendela King County Metro Bus sesaat sebelum terjadi kematian dua penumpang naas itu,” tutur Keane.<br />
<br />
Ucha tampak terperanjat mendengar penjelasan Keane.<br />
<br />
“Apa kamu yakin melihat bayangan putih itu, Keane?”<br />
<br />
”Ketika pertama kali lihat aku sebenarnya nggak percaya dengan penglihatanku. Masa iya ada hantu di pagi hari? Lagi pula juga aku nggak pernah lihat hal-hal seperti itu sebelumnya. Cha, aku jadi takut nih.”<br />
<br />
”Hmm...coba kamu ingat baik-baik. Mungkin itu hanya khayalanmu saja, Keane.”<br />
<br />
”Aku memang agak ragu saat pertama kali melihat sosok itu karena hanya bayangan sekelebat saja memantul dari kaca jendela bus, tapi aku yakin melihatnya ketika terjadi hal serupa untuk yang kedua kali.”<br />
<br />
Ucha terkesiap mendengar jawaban Keane. Suasana hening sejenak.<br />
<br />
”The Glass Passenger!” seru Ucha tiba-tiba. <br />
<br />
”Kamu udah dengar album The Glass Passenger, Cha? Bukannya baru dirilis tanggal 30 September nanti?” tanya Keane tak mengerti.<br />
<br />
”Bukan!” jawab Ucha seraya menunjuk T-shirt bergambar sampul album terbaru Jack’s Mannequin bertitel THE GLASS PASSENGER yang sedang dikenakan oleh Keane.<br />
<br />
<br />
<br />
”Maksud kamu The Glass Passenger albumnya Jack’s Mannequin kan, Cha?” tanya Keane lagi.<br />
<br />
”Bukan! Maksudku The Glass Passenger itu sebutan yang tepat untuk sosok putih semitransparan yang kamu lihat di kaca jendela bus,” papar Ucha.<br />
<br />
”Apa-apaan sih!!! Masa judul album terbaru Jack’s Mannequin jadi nama hantu! Aaaahhh...aku tak sudi!!!” jerit Keane tak rela.<br />
<br />
”Tenang.....Tenang.....Keane,” sahut Ucha menenangkan Keane. ”Kamu tadi bilang kalau kamu belum pernah melihat hantu sebelumnya. Jadi kemungkinan kamu melihat sosok menyeramkan itu karena kamu terlalu memikirkan The Glass Passenger,” tutur Ucha panjang lebar.<br />
<br />
”Maksud kamu, sosok misterius seperti hantu itu sebenarnya tidak ada dan hanya halusinasiku saja?” tanya Keane dengan nada ragu.<br />
<br />
”Bukan, Keane. Kamu kan selalu membicarakan The Glass Passenger dimana pun dan kapan pun, jadi mungkin kamu terpengaruh dan menjadikan sosok The Glass Passenger itu termanifestasi dalam dunia nyata.”<br />
<br />
”Ahhh, kamu nakutin aja deh, Cha. Mungkin dugaan kamu ada benarnya, tapi yang nggak masuk akal kenapa kemunculan sosok The Glass Passenger selalu diikuti dengan kematian seseorang dan hal tersebut telah terjadi selama dua hari berturut-turut?”<br />
<br />
”Hmmm....gimana ya? Mungkin sebaiknya kita harus menyelidiki kasus anehmu ini. Tentunya dengan bantuan orang yang telah berpengalaman menangani masalah supernatural seperti ini. Sepertinya aku ingat seseorang yang juga pernah mengalami peristiwa-peristiwa aneh seperti yang kamu alami itu.”<br />
<br />
”Siapa orang itu, Cha?”<br />
<br />
”Aku ingat kejadian yang menimpa Nenok, temanku yang kuliah di Washington University. Nenok bercerita padaku bahwa ia hampir tewas di tangan hantu yang menghuni sebuah lukisan antik. Untungnya ia diselamatkan oleh dua pria yang ahli dibidang supernatural.” <br />
<br />
”Kamu mau kan antarkan aku ketempat Nenok?”<br />
<br />
”Ok, jam 5 nanti kamu datang kemari lagi ya. Sekarang Miss Andrew sudah datang jadi aku harus masuk lab dulu ya, Keane,” sahut Ucha seraya menunjuk seorang dosen yang sedang berjalan menuju laboratorium Anatomi.<br />
<br />
***<br />
<br />
Apartemen Emerald<br />
Kamar 1703<br />
23 September 2008<br />
8 AM<br />
<br />
Ting.....tong...ting...tong.....<br />
<br />
”Nenok!” seru Ucha senang.<br />
<br />
”Ucha! Apa kabar?” sahut Nenok seraya memeluk Ucha.<br />
<br />
”Nenok, kenalkan ini temanku, Keane. Ngomong-ngomong, ramai sekali disini. Memang lagi ada acara apa, Nok?” tanya Ucha.<br />
<br />
“Oh, aku memang lagi mengadakan acara kumpul-kumpul anak forum fan fic, Cha” jawab Nenok.<br />
<br />
“Ucha, Keane, kenalkan ini Red dan Juichi. Lalu dua cowok ini bernama Bym dan Dewa,” lanjut Nenok. Keane dan Ucha saling bersalaman dengan teman-teman Nenok.<br />
<br />
“Kebetulan mereka semua ini sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan supernatural, jadi kamu bisa ceritakan pengalamanmu ke kita semua. Mungkin, kita bisa bantu,” sambung Nenok lagi.<br />
<br />
Keane menceritakan panjang lebar tentang pengalaman seramnya kemarin dan dua hari yang lalu.<br />
<br />
“Oh, My God!” pekik Juichi kaget. Wajahnya pucat seketika saat mendengar cerita Keane. Lain halnya dengan Nenok, Red, Bym dan Dewa. Wajah mereka berempat malah berseri-seri setelah Keane selesai menjelaskan.<br />
<br />
“Wah, kita dapat kasus baru nih,” kata Dewa dengan antusias. Keane spontan menatap Dewa dan merasa aneh karena wajah Dewa malah berseri-seri setelah mendengar ceritanya. Wajah Nenok, Red dan Bym juga menunjukkan ketertarikan pada cerita Keane.<br />
<br />
”Aku menamakan sosok misterius itu The Glass Passenger. Gimana menurut kalian?” Ucha angkat bicara.<br />
<br />
”The Glass Passenger?” tanya Juichi tak mengerti.<br />
<br />
”Wah, pas banget tuh!” seru Dewa memotong pertanyaan Juichi.<br />
<br />
”Kamu hanya melihat sosok misterius itu di bus saja kan, Keane? Atau mungkin kamu pernah melihatnya di tempat lain?” tanya Nenok.<br />
<br />
”Iya, Nenok. Entah kenapa, sosok misterius itu hanya terlihat saat aku naik bus,” jawab Keane.<br />
<br />
”Sosoknya juga hanya bisa dilihat melalui pantulan kaca berarti The Glass Passenger adalah sebutan yang tepat bagi sosok misterius itu, Keane,” Red angkat bicara.<br />
<br />
”Yach, masa judul album terbaru Jack’s Mannequin jadi nama hantu. Cari sebutan lain aja deh, tapi jangan pakai The Glass Passenger,” pinta Keane.<br />
<br />
”The Glass Passenger sesuai kan untuk sebutan hantunya Keane?” tanya Red seraya melemparkan pandangan pada Bym, Nenok, Juichi dan Dewa.<br />
<br />
”Setuju!!!” seru Bym, Nenok, Juichi, Dewa dan Ucha serempak yang ditimpali dengan pandangan cemberut dari Keane.<br />
<br />
”Kalau begitu, aku akan memanggil Dean dan Sam Winchester. Mereka berdua sangat ahli dalam menangani hal-hal supernatural,” sambung Nenok sambil menekan-nekan tombol di Cellular Phonenya.<br />
<br />
“Dean,” sapa Nenok melalui Cellular Phonenya.<br />
<br />
”Oh, kamu sedang berada di Maple Leaf di King County. Berarti kamu dekat dari sini dong,” ujar Nenok.<br />
<br />
“Dean, tolong temui kami di Emerald City Bar ya,” kata Nenok.<br />
<br />
”OK. Sampai ketemu, Dean,” sahut Nenok sebelum menutup telponnya.<br />
<br />
”Yap, Dean dan Sam akan datang ke Emerald City Bar jam 9 nanti,” jelas Nenok.<br />
<br />
”Tapi mobilku nggak cukup untuk memuat kalian semua,” lanjut Nenok.<br />
<br />
Ucha, Keane, Red, Nenok, Bym, Juichi dan Dewa saling berpandangan.<br />
<br />
”Ferrariku juga masih di bengkel karena dua hari yang lalu habis tabrakan,” ujar Dewa.<br />
<br />
”Ya udah, kita semua naik King County Metro Bus saja,” ujar Ucha menenangkan keributan.<br />
<br />
”Jangan! Aku tak mau melihat sosok misterius itu apalagi kalau harus melihat seseorang yang tidak bersalah kehilangan nyawa,” potong Keane.<br />
<br />
”Tak apa-apa, Keane. Mungkin kalau bersama-sama, kita semua bisa lihat sosok The Glass Passenger itu,” sahut Nenok menenangkan Keane.<br />
<br />
”Kamu nggak perlu takut, Keane. Pokoknya kamu serahkan saja pada kita,” lanjut Nenok yang diikuti oleh anggukan dari Red, Dewa dan Ucha. Akhirnya Keane mengiyakan pendapat teman-temannya.<br />
<br />
”Friends, aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bisa ikut kalian karena sekarang aku harus ke Wallingford. Avenged Sevenfold akan manggung disana nanti siang,” cerocos Bym yang disambut dengan decak sebal dari Nenok, Red, Juichi dan Dewa. <br />
<br />
***<br />
<br />
King County Metro Bus<br />
23 September 2008<br />
8.50 AM<br />
<br />
Kebetulan ada empat kursi kosong di King County Metro Bus. Ucha duduk bersama Keane, dan Red duduk disebelah Nenok tepat dibelakang kursi Keane. Nenok mengambil posisi di pojok kursi. Sementara itu Juichi dan Dewa berdiri di sebelah kursi yang diduduki oleh Red. Keane yang masih terbayang-bayang akan sosok The Glass Passenger berusaha keras untuk tidak melihat kaca jendela bus, namun suara panggilan Nenok membuatnya mau tak mau menengok ke belakang.<br />
<br />
”Keane,” panggil Nenok yang duduk dibelakang Keane.<br />
<br />
Keane membalikkan tubuhnya untuk melihat Nenok. Tanpa sengaja Keane melihat kaca jendela bus dan tampaklah pantulan sosok The Glass Passenger yang semitransparan. Anehnya tak satu pun penumpang bus yang menyadari kehadiran The Glass Passenger selain Keane. Dari pantulan kaca jendela, Keane dapat melihat posisi The Glass Passenger berada tepat dihadapan Dewa.<br />
<br />
”AAAAAAAAAARRRGHH!!!!!!” jerit Dewa sambil memegang dadanya. Jeritan Dewa ini lebih tepat dikatakan sebagai jeritan kesakitan, sama seperti yang terjadi pada dua penumpang sebelumnya.<br />
<br />
”Dewa! Dewa! Ada apa?!” seru Nenok panik.<br />
<br />
”Jantungku.....sakit.......se....seperti ditusuk,” kata Dewa terbata-bata.<br />
<br />
”The Glass Passenger!” bisik Keane pelan saat melihat sosok yang ternyata hanya dapat dilihat oleh matanya. Keane merasa sangat ketakutan. Sebenarnya ia ingin sekali menolong Dewa, namun ia tak tahu bagaimana caranya dan juga tak kuasa berbuat sesuatu. Keane seperti terpaku di kursinya. Wajahnya pucat, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya dan tubuhnya gemetar. Ucha yang duduk disebelah Keane mendengar bisikan pelan Keane tadi dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling bus, namun sayangnya ia tidak dapat melihat sosok The Glass Passenger. Serta merta Ucha memberitahukan kepada Nenok, Red dan Juichi bahwa saat ini Keane dapat melihat The Glass Passenger. Spontan Nenok, Red dan Juichi mencari sosok The Glass Passenger di kaca jendela bus dan disekeliling tempat duduk mereka. Sayangnya sama seperti Ucha, mereka juga tidak dapat melihat The Glass Passenger.<br />
<br />
Tanpa berpikir dua kali Nenok mengeluarkan sebungkus garam dari dalam tasnya dan melemparkan butiran-butiran garam ke kaca jendela bus dan di sekeliling tubuh Dewa. Namun jeritan Dewa malah semakin kencang dan kedua tangannya terkepal semakin erat menandakan rasa sakit yang ia rasakan semakin parah.<br />
<br />
Bibir Nenok komat-kamit membaca mantera dan kedua tangannya terus menerus melemparkan garam ke tubuh Dewa. Beberapa detik kemudian, jeritan Dewa berhenti. Ia jatuh tak sadarkan diri.<br />
<br />
”Dewa! Bangun Dewa!” jerit Nenok panik sambil menepuk-nepuk pipi Dewa.<br />
<br />
Disaat suasana kepanikan seperti itu, datanglah seorang pria berambut coklat. Ia bangkit dari tempat duduknya yang tepat berada di belakang supir bus. Keane ingat pria tersebut. Ya, ia adalah Dr. George O’Malley yang ditemui Keane saat kejadian meninggalnya seorang penumpang bus kemarin. Keane tidak akan pernah lupa pada wajah tampannya, warna matanya yang hijau kebiruan, alis tebal, bisep yang atletis dan lesung pipit yang membuat senyuman sang dokter semakin manis tanpa disadarinya mampu membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Kehadiran Dr. George O’Malley mampu membuat Keane sesaat melupakan sosok The Glass Passenger.<br />
<br />
”Dr. George O’Malley,” sapa Keane.<br />
<br />
”Keane,” sahut Dr. George O’Malley. “Ini kejadian kedua dalam dua hari berturut-turut,” lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.<br />
<br />
Sama seperti yang dilakukannya kemarin, Dr. George O’Malley berlutut memeriksa Dewa yang terkulai tak berdaya di lantai bus. Setelah meraba denyut nadi di leher, mendengarkan detak jantung Dewa lewat stetoskop dan melihat reaksi pupil terhadap cahaya senter, Dr. George mengumumkan bahwa Dewa telah meninggal. Tangis Nenok pecah seketika begitu mendengar kalimat yang diucapkan Dr. George. Red dan Juichi juga tak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata mereka. Sementara itu, Keane dan Ucha mencoba menghibur Nenok, Red dan Juichi yang tengah diliputi kedukaan mendalam. <br />
<br />
***<br />
<br />
Seattle Grace Hospital<br />
23 September 2008<br />
11 AM<br />
<br />
<br />
“Kematian Dewa disebabkan oleh Cardiac Tamponade dimana pericardium penuh dengan darah. Kumpulan darah itu terjadi karena adanya lubang di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri jantungnya. Hal tersebut meningkatkan tekanan yang membuat jantungnya tidak dapat memompa darah dengan baik,” papar Dr. Sapphire, sang ahli forensik di Seattle Grace Hospital panjang lebar kepada Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha. <br />
<br />
“Aku masih belum percaya Dewa telah meninggal,” kata Nenok sambil sesenggukan. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya. <br />
<br />
“Padahal tadi pagi Dewa masih sehat dan tampaknya ia tidak sedang mengidap penyakit jantung, Dokter,” sambung Juichi.<br />
<br />
“Dewa selalu menceritakan semuanya padaku, tapi mengapa ia tidak pernah bercerita kalau mengidap penyakit jantung,” timpal Red.<br />
<br />
“Sayangnya Tuhan berkehendak lain. Kalian semua harus tabah menghadapi ini,” hibur Dr. Sapphire seraya menepuk-nepuk punggung Nenok. Tiba-tiba penyeranta Dr. Sapphire berbunyi. Ia segera mengambil penyerantanya dan membaca pesan didalamnya. <br />
<br />
“Maaf, saya mohon diri dulu,” kata Dr. Sapphire seraya menyalami Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha.<br />
<br />
“Terima kasih banyak, Dr. Sapphire,” sahut Keane yang berada disebelah Nenok.<br />
<br />
“Sama-sama,” tutur Dr. Sapphire sejenak sebelum pergi dari hadapan Nenok dan kawan-kawannya.<br />
<br />
Beberapa saat kemudian Cellular Phone Nenok berbunyi. Ia menghela nafas sejenak untuk meredakan tangisnya lalu mengangkat Cellular Phonenya.<br />
<br />
”Dean, kamu dimana? Aku di Seattle Grace Hospital, Dean. Dewa baru saja meninggal,” papar Nenok. Air mata kembali terlihat menggenangi sudut matanya.<br />
<br />
“Kematian Dewa itu benar-benar tak masuk akal. Tadi pagi Dewa masih sehat dan ia tidak mengidap penyakit jantung, namun tiba-tiba ia meninggal seketika setelah kemunculan The Glass Passenger di King County Metro Bus,” lanjut Nenok.<br />
<br />
”Dean, kamu cepat kesini ya. Kita harus menyelidiki tentang The Glass Passenger sesegera mungkin,” desak Nenok.<br />
<br />
”Bye, Dean,” kata Nenok mengakhiri percakapan dengan Dean.<br />
<br />
”Dean dan Sam akan datang sebentar lagi, girls,” kata Nenok pada teman-temannya.<br />
<br />
”Oh, syukurlah,” kata Red dan Juichi berbarengan sementara Ucha menghela nafas lega. Keane juga sangat berharap Dean dan Sam dapat mengatasi masalah The Glass Passenger. Ia merasa resah sebab sudah tiga orang meninggal sejak kemunculan sosok misterius itu. <br />
<br />
”Girls, aku pergi ke toilet dulu ya,” kata Keane. Ia perlu keluar sejenak dari suasana duka yang membuat hatinya semakin resah.<br />
<br />
Keane berjalan dari koridor bagian forensik menuju koridor utama Seattle Grace Hospital. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling koridor utama untuk mencari toilet dan tanpa sengaja matanya melihat Dr. George O’Malley yang sedang berjalan melewati koridor. Seketika itu juga jantung Keane langsung berdebar-debar kencang. Kebetulan Dr. George O’Malley juga melihat Keane dari kejauhan. Ia tersenyum pada Keane saat berjalan menghampirinya. Senyum George yang sangat menawan membuat debaran jantung Keane semakin kencang.<br />
<br />
”Dr. George O’Malley,” sapa Keane dengan nada riang. Rona merah samar terlihat di kedua pipi Keane.<br />
<br />
”Panggil aku George, Keane,” sahut George sambil tersenyum pada Keane. <br />
<br />
”Bagaimana hasil otopsi temanmu?” tanya George. <br />
<br />
”Dr. Sapphire mengatakan Dewa mengalami Cardiac Tamponade, George,” jawab Keane.<br />
<br />
”Jadi pericardium si korban penuh dengan darah karena lubang di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri jantung,” timpal George.<br />
<br />
Keane hanya mengangkat alis mendengar George bicara hal-hal kedokteran.<br />
<br />
”Aneh, ini kasus ketiga yang datang ke Seattle Grace selama 3 hari berturut-turut,” lanjut George.<br />
<br />
”Kasus ketiga, George?” tanya Keane lagi.<br />
<br />
”Ya, penyebab kematian temanmu, lalu gadis yang tewas di King County Bus kemarin, dan seorang pria setengah baya dua hari sebelumnya sama-sama dikarenakan Cardiac Tamponade,” ujar George panjang lebar.<br />
<br />
”Anehnya lagi, ketiga orang itu sama-sama tewas saat sedang menumpang King County Bus,” lanjut George lagi.<br />
<br />
”Oh ya?” timpal Keane. Sekonyong-konyong Keane langsung teringat The Glass Passenger. Tubuh Keane merinding seketika. <br />
<br />
”Aku tahu karena kebetulan dokter yang membawa mayat pria setengah baya dua hari lalu itu temanku yang juga bekerja disini,” papar George.<br />
<br />
”Oh, jadi Dr. Alex Karev itu temanmu, George,” Keane menimpali.<br />
<br />
”Kamu kenal Alex juga, Keane?” George balik bertanya.<br />
<br />
”Kebetulan aku juga berada di King County Bus saat Dr. Alex mencoba menyelamatkan pria naas itu. Sayangnya maut lebih dulu menjemputnya,” sahut Keane.<br />
<br />
”Ya, sayang sekali,” kata George. Tiba-tiba tatapan matanya terpaku pada bandul kalung yang sedang dipakai Keane.<br />
<br />
”Wah, bandul kalungmu ini unik sekali. Matahari dan bulan dalam satu wajah. Hmmm...hmmm......sepertinya aku sering melihat kalung ini sebelumnya,” papar George lagi.<br />
<br />
”Masa? Aku baru membeli kalung ini di toko barang vintage tiga hari yang lalu,” timpal Keane sambil memegang bandul kalungnya.<br />
<br />
<br />
Sayang sekali percakapan mereka terinterupsi ketika tiba-tiba disaat yang bersamaan penyeranta George dan Cellular Phone Keane berbunyi.<br />
<br />
”Maaf Keane, Meredith menungguku di ruang operasi. Ia dan Dr. Erica Hahn akan melakukan bedah pintas koroner. Sampai jumpa,” ujar George setelah membaca pesan yang tertera dalam penyerantanya. <br />
<br />
”OK,” sahut Keane sambil tersenyum. George membalas senyumannya lalu segera berlari menuju ruang operasi. Sementara itu, Keane buru-buru menjawab panggilan di Cellular Phonenya.<br />
<br />
”Apa? Dean dan Sam sudah datang. OK, aku segera kesana,” kata Keane melalui Cellular Phonenya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Varsity Motel<br />
23 September 2008<br />
1 PM<br />
<br />
<br />
Nenok, Red, Juichi, Keane dan Ucha akhirnya sepakat membicarakan kasus The Glass Passenger di kamar motel yang ditempati Dean dan Sam.<br />
<br />
”Keane, tolong jelaskan semuanya pada kami,” kata Dean.<br />
<br />
Keane menceritakan panjang lebar mengenai kemunculan The Glass Passenger yang diikuti tiga kasus kematian aneh yang terjadi di King County Metro Bus kepada Dean dan Sam.<br />
<br />
”Jadi semua kejadian yang kamu alami itu hanya saat pagi hari, Keane?” tanya Sam.<br />
<br />
”Seingatku ya,” jawab Keane.<br />
<br />
”Apa kamu ingat jam berapa kemunculan The Glass Passenger?” tanya Sam lagi.<br />
<br />
”Hmmm....hmmm....” Keane berusaha untuk mengingat-ingat. Keningnya berkerut saat mencoba mengumpulkan ingatannya.<br />
<br />
”Kalau tidak salah, aku berada di bus itu antara jam 8.50 sampai jam 9 lewat sedikit, Sam,” tutur Keane.<br />
<br />
”Lalu bagaimana rupa The Glass Passenger? Bisa kamu jelaskan dengan lebih spesifik lagi,” kali ini giliran Dean yang bertanya pada Keane.<br />
<br />
Tiba-tiba kelopak mata bagian atas Keane terangkat, bagian putih matanya terlihat jelas, kelopak mata bagian bawahnya menegang, dahinya berkerut dan bibirnya ditarik ke dalam. Ekspresi yang menampakkan ketakutan yang amat sangat.<br />
<br />
”Keane, ada apa?” tanya Sam cemas.<br />
<br />
”Aku takut, Sam. Sebab setiap aku melihat kaca atau cermin, aku selalu terbayang sosok The Glass Passenger,” tutur Keane pelan. <br />
<br />
Tiba-tiba Dean datang sambil membawa sebuah cermin. Keane langsung ketakutan melihat cermin itu.<br />
<br />
”Keane, kamu harus memberanikan diri melihat cermin ini sebab kami harus tahu darimana The Glass Passenger berasal,” desak Dean.<br />
<br />
Karena desakan Dean itulah, Keane mengumpulkan keberaniannya melihat cermin. Selama beberapa detik sampai hitungan menit, Keane tidak juga melihat sosok The Glass Passenger.<br />
<br />
”Aneh, mengapa sosok The Glass Passenger hanya terlihat di kaca jendela bus pada saat kematian ketiga penumpang itu ya?” tanya Keane heran. <br />
<br />
”Itu bagus, Keane. Berarti kamu tidak perlu takut lagi bila melihat kaca atau cermin,” gumam Dean. <br />
<br />
”Sebentar, Keane. Coba ingat-ingat, sosok The Glass Passenger itu lebih menyerupai pria atau wanita?” tanya Sam.<br />
<br />
Alis Keane berkerut mendengar pertanyaan ini. ”Hmmm.... Sosoknya samar dengan warna putih semitransparan. Kurasa bagian atas sosok itu terlihat seperti pria,” tutur Keane sambil memandang Dean dan Sam bergantian.<br />
<br />
”Ohya, salah satu dokter di Seattle Grace Hospital mengatakan padaku bahwa ada kesamaan penyebab kematian ketiga penumpang bus yang bertepatan dengan kemunculan The Glass Passenger. Mereka bertiga tewas karena Cardiac Tamponade, kondisi dimana pericardium dipenuhi darah karena lubang yang terdapat di ventrikel, septum dan atrium jantung mereka,” lanjut Keane lagi.<br />
<br />
”Kalau begitu, kita harus segera mencari identitas The Glass Passenger sesegera mungkin agar tidak jatuh korban berikutnya,” ujar Sam cepat.<br />
<br />
”Kita harus tahu dulu dimana ia dikubur agar bisa membakar tulangnya,” tambah Dean.<br />
<br />
”Keane, untuk mencegah adanya korban tewas lagi, sebaiknya kamu tidak naik King County Bus dulu sebelum kami mebgetahui identitas The Glass Passenger,” perintah Sam.<br />
<br />
”Ok, kalau begitu kita bagi tugas. Sam bersama Nenok, Juichi dan Red mencari identitas The Glass Passenger di perpustakaan. Sementara itu, aku bersama Keane dan Ucha akan menemui ahli forensik di Seattle Grace untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai ketiga korban tewas setelah kemunculan The Glass Passenger,” perintah Dean.<br />
<br />
***<br />
<br />
Seattle Grace Hospital<br />
23 September 2008<br />
3 PM<br />
<br />
<br />
”Ucha, Keane, kalian harus berbicara dengan ahli forensik selagi aku bertindak, OK!” perintah Dean begitu mereka bertiga tiba di Seattle Grace Hospital.<br />
<br />
”Beres, Dean,” jawab Ucha dan Keane berbarengan. Setelah itu Dean melangkahkan kakinya langsung menuju pintu samping Seattle Grace, sementara Ucha dan Keane berjalan ke koridor utama.<br />
<br />
”Cha, lebih baik kita harus menemui Dr. George O’Malley dulu sebelum pergi ke Dr. Sapphire,” saran Keane.<br />
<br />
”Kenapa nggak bareng Dr. Alex Karev aja, Keane?” kilah Ucha.<br />
<br />
”Lho, memangnya Dr. Alex bakal ingat kamu, Cha? Bukannya pas pertemuan di bus itu kamu belum sempat kenalan dengannya?” tanya Keane heran.<br />
<br />
”Ah, masa sih dia nggak ingat gadis secantik aku, Keane,” jawab Ucha dengan narsis yang langsung dibalas dengan cibiran Keane. Tiba-tiba Ucha tersentak ketika Keane mencubit lengannya.<br />
<br />
”Aduh! Apa-apaan sih, Keane!” jerit Ucha sambil mengusap-usap lengannya.<br />
<br />
”Cha, lihat deh! Itu George!!! OMG, George ganteng bangeeeett siiih,” seru Keane agak-agak histeris sambil menunjuk dokter yang baru keluar dari elevator. Spontan Ucha menatap pria yang dimaksud Keane.<br />
<br />
”Iya, keren banget,” sahut Ucha yang tanpa sengaja matanya menatap dokter disebelah George.<br />
<br />
”Benar kan kataku, George keren banget,” ujar Keane tersipu-sipu.<br />
<br />
”Bukan George, Keane. Dokter yang aku bilang keren itu Dr. Alex Karev yang lagi jalan disebelah George,” balas Ucha.<br />
<br />
”Hah? Alex? Nggak ah, masih lebih keren George!” rengek Keane. Ia tak setuju Georgenya kalah keren dari Alex.<br />
<br />
”Ya sudah, terserah kamu deh, Keane. Ngomong-ngomong, kayaknya mereka berdua lagi berjalan ke arah kita tuh,” ujar Ucha sambil senyum-senyum.<br />
<br />
”Keane? Ada apa?” tanya George begitu tiba di hadapan Keane dan Ucha.<br />
<br />
”Hai, George,” sapa Keane lembut.<br />
<br />
”Perkenalkan saya Ucha, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Seattle, Dr. O’Malley dan Dr. Karev,” kata Ucha memperkenalkan diri pada George dan Alex.<br />
<br />
”Oh, kamu pasti gadis yang berada di bus tiga hari lalu saat kematian pria naas itu ya?” tanya Alex pada Ucha.<br />
<br />
”Iya, ternyata Dr. Karev masih ingat ya,” jawab Ucha dengan wajah tersipu.<br />
<br />
Saat Alex berhadapan dengan Ucha, Keane dapat melihat adanya saling ketertarikan dari tatapan mata dan eratnya jabatan tangan antara mereka berdua. Sementara George hanya tersenyum melihat rekannya itu.<br />
<br />
”Keane, saat ini aku sedang istirahat siang. Bagaimana kalau kita minum kopi di kafe?” ajak George. Tentu saja ajakan tersebut tidak disia-siakan oleh Keane. Mereka berdua berjalan menuju kafe dan meninggalkan Alex dan Ucha yang tengah asyik mengobrol. <br />
<br />
”Dr. Karev, saya sedang mengerjakan makalah dengan topik cardiac tamponade. Bolehkah saya minta masukan dari Anda sebagai dokter bedah?” tanya Ucha.<br />
<br />
”Boleh, saat ini jam shiftku sudah berakhir. Kebetulan akhir-akhir ini ada beberapa kasus cardiac tamponade. Sayangnya para pasien itu telah tiada dan sekarang berada di ruang forensik. Aku akan menemanimu menemui Dr. Sapphire,” jawab Alex. Setelah itu, mereka berdua beranjak menuju ruang dimana Dr. Sapphire, sang ahli forensik berada.<br />
<br />
Selagi Ucha dan Alex mengobrol dengan Dr. Sapphire, diam-diam Dean menyelinap ke ruang forensik setelah sebelumnya mengganti bajunya dengan setelan berwarna biru muda lengkap dengan jas putih seperti yang dipakai oleh para dokter residen diSeattle Grace. Untungnya saat itu sedang tidak ada orang di ruang forensik, jadi Dean dapat mencari ketiga mayat orang yang meninggal di King County Bus. Dean menuju ke sebuah meja dan melihat daftar mayat-mayat yang sedang berada di ruangan tersebut. Dean langsung mencari daftar mayat yang datang pada tanggal 21, 22 dan 23 September yang meninggal di King County Bus karena cardiac tamponade . Ternyata mayat pertama bernama Jimmy Partington yang berada dalam laci nomor 25, mayat kedua bernama Kelly Hersch yang berada dalam laci nomor 42dan mayat ketiga yaitu Dewa berada di laci nomor 56. Dean langsung berjalan menuju laci penyimpanan mayat nomor 25, dibukanya laci tersebut dan tampaklah sesosok mayat yang ditutup selembar kain putih. Dean membuka kain penutupnya dan tampaklah mayat Jimmy Partington. Lalu Dean memeriksa seluruh permukaan mayat pria itu terutama di bagian dadanya, namun tidak terdapat bekas luka luar sama sekali, padahal jantungnya rusak. Kondisi mayat Kelly Hersch juga sama seperti mayat pertama. KemudianDean menuju laci penyimpanan mayat Dewa dan menemukan kondisi serupa seperti kedua mayat sebelumnya. Dean membaca dengan seksama catatan forensik ketiga mayat tersebut dan menemukan persamaan bahwa mereka semua meninggal karena cardiac tamponade.<br />
<br />
Setelah selesai, Dean keluar dari ruang forensik, mengganti bajunya dan langsung menelpon Sam.<br />
<br />
”Sam, coba telusuri data Jimmy Partington dan Kelly Hersch. Mereka berdua adalah penumpang yang tewas di King County Bus pada tanggal 21 dan 22 September sebelum kematian Dewa. Aku akan mencari data dari Seattle Grace,” kata Dean pada Sam lewat Cellular Phonenya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Perpustakaan Suzzallo<br />
23 September 2008<br />
4 PM<br />
<br />
<br />
Sam bersama Nenok, Juichi dan Red pergi ke perpustakaan Suzzallo di tengah kota Seattle. Sam membagi tugas pada mereka semua. Nenok, Juichi dan Red mencari info mengenai The Glass Passenger, sementara dirinya menelusuri data tentang Jimmy Partington dan Kelly Hersch. Pencarian dimulai di berbagai surat kabar lokal, mulai dari Seattle Times, Seattle Post Intelligence, Seattle Daily Journal of Commerce, Real Change, Seattle Weekly sampai North Seattle Journal. Satu jam kemudian, Red, Nenok dan Juichi menyerahkan hasil pencarian mereka pada Sam.<br />
<br />
”Wah, korban meninggal karena tertabrak bus di Seattle ada lebih dari 750 orang. Banyak sekali!” keluh Sam yang terperanjat seketika begitu melihat banyaknya berita korban kecelakaan tabrakan bus.<br />
<br />
”Kita harus mengecilkan lingkup pencarian. Coba kalian ingat-ingat lagi semua yang berhubungan dengan The Glass Passenger,” saran Sam pada Red, Nenok dan Juichi.<br />
<br />
”Tapi kita kan belum tahu kapan dan dimana tepatnya The Glass Passenger meninggal dunia?” tanya Juichi.<br />
<br />
”Karena The Glass Passenger memakan korban di Seattle, kemungkinan besar dia juga tewas di Seattle ini. Jadi tadi aku cari korban kecelakaan di Seattle aja,” kata Red.<br />
<br />
”Sebenarnya belum tentu juga kalau The Glass Passenger itu penyebab kematian para korban. Soalnya dulu aku pernah bertemu hantu yang ternyata tidak bermaksud jahat. Hantu itu muncul karena ingin memperingatkan manusia yang akan jadi korban. Namun ada kemungkinan jugaThe Glass Passenger itu punya dendam pada ketiga korban itu,” kilah Sam.<br />
<br />
”Aku masih heran deh, kenapa hanya Keane yang bisa melihat The Glass Passenger? Padahal kan dia sebelumnya nggak bisa lihat hantu?” tanya Nenok. <br />
<br />
”Atau jangan-jangan Keane sendiri yang ada hubungannya dengan The Glass Passenger?” sahut Juichi.<br />
<br />
”Hmmmhh....” Sam menghela nafasnya dengan gusar. Kali ini pencarian identitas The Glass Passenger ternyata tidak semudah yang ia kira dan kini ia sedang berpikir keras bagaimana cara mengatasinya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Emerald City Bar<br />
23 September 2008<br />
7 PM<br />
<br />
Dean memandang ke sekeliling bar. Beberapa saat kemudian mata Dean tertuju pada seorang wanita cantik bergaun putih yang sedang duduk sendirian di depan meja bartender. Tanpa berpikir panjang lagi,Dean langsung menghampiri wanita tersebut<br />
<br />
“Apa kursi ini kosong?” tanya Dean pada wanita tersebut.<br />
<br />
Serta merta wanita bergaun putih itu menengok ke arah Dean. Ia mengibaskan rambut panjangnya. Mata birunya yang jernih memandang Dean dengan seksama. Wanita ini sungguh mengagumkan, pikir Dean. Hatinya langsung terpikat pada wanita ini.<br />
<br />
”Tunggu sebentar, kamu bukan dokter kan? Dokter bedah syaraf atau semacamnya?” tanya sang wanita.<br />
<br />
Alis Dean terangkat mendengar pertanyaan barusan. Dean menggelengkan kepalanya lalu balik bertanya,”Apa menurutmu aku ini dokter?”<br />
<br />
”Bagus kalau kamu bukan dokter. Berarti kursi ini kosong,” sahut sang wanita sambil menunjuk kursi kosong disebelahnya. Ia tersenyum pada Dean. Tanpa membuang waktu lagi, Dean langsung duduk disamping wanita itu. Dean dapat melihat kecantikan serta pesona sang wanita dengan lebih jelas. Dean merasakan jantungnya berdebar lebih cepat saat berada dekat dengan wanita ini.<br />
<br />
“Hai, aku Dean Winchester,” kata Dean seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan sang wanita.<br />
<br />
“Meredith Grey,” ujar sang wanita sambil bersalaman dengan Dean. Selama beberapa saat mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan mesra.<br />
<br />
“Boleh aku membelikanmu minuman?” tanya Dean dengan senyum ramah di bibirnya. Tawaran Dean tersebut diiyakan Meredith dengan anggukan dan senyuman.<br />
<br />
“Joe, aku pesan Charmed 4ever,” ujar Meredith pada Joe, sang pemilik Emerald City Bar yang juga merangkap sebagai bartender.<br />
<br />
“Apa? Charmed 4ever?” tanya Dean tak mengerti.<br />
<br />
“Charmed 4ever itu minuman favoritku dan sebagian besar pengunjung disini. Rasanya unik, campuran Grey Goose Vodka, ginger ale dan lemon concentrate,” tutur Meredith. “Kau mau coba, Dean?”<br />
<br />
“Boleh juga. Joe, bawakan satu lagi Charmed 4ever untukku,” sahut Dean. Joe pun langsung beranjak dari hadapan Meredith dan Dean untuk membuatkan minuman yang mereka pesan.<br />
<br />
“Hmmm…hmmm…. Charmed 4ever…..Nama yang cukup unik juga ya,” cetus Dean lagi.<br />
<br />
“Nama Charmed 4ever diberikan oleh Charlie Marsden, almarhum bartender disini yang menciptakan racikan minuman ini. Saking terkenalnya minuman Charmed 4ever, sampai-sampai ia dipanggil Charmed oleh seantero pengunjung bar. Sayang sekali ia sekarang sudah tiada,” lanjut Meredith.<br />
<br />
Tak lama kemudian Joe mengantarkan Charmed 4ever yang dipesan Meredith dan Dean.<br />
<br />
<br />
<br />
“Cheers,” kata Dean seraya mengangkat gelas berisi minuman yang dipesannya. Dean terus melancarkan pendekatan kepada Meredith. Ia memberikan senyum termanisnya pada Meredith.<br />
<br />
“Cheers,” sambut Meredith. Ia membalas senyuman Dean lalu mengangkat gelasnya dan triiing… terdengar suara dua gelas yang bersentuhan. Setelah itu, Dean dan Meredith menyesap minuman Charmed 4ever masing-masing.<br />
<br />
“Sayang sekali, pria yang menciptakan minuman dengan rasa seunik ini sudah meninggal,” ujar Dean.<br />
<br />
“Ya, sayang sekali. Kebetulan saat itu aku menangani Charmed yang terluka sangat parah saat paramedis membawanya ke Seattle Grace Hospital. Ia ditabrak oleh bus yang dikendarai oleh supir yang mabuk. Tubuhnya terlempar ke jendela sebuah toko yang terletak di pinggir jalan. Seluruh bagian tubuhnya terluka oleh puluhan keping pecahan kaca yang menancap di permukaan kulitnya, namun cedera terparahnya diakibatkan oleh pecahan kaca terbesar yang menancap di jantungnya. Charmed mengalami Cardiac Tamponade dimana pericardium penuh dengan darah yang diakibatkan oleh pecahan kaca yang menusuk ventrikel kanannya tembus sampai septum dan melubangi atrium kirinya. Aku langsung membawanya ke ruang operasi. Dr. Erica Hahn melakukan bedah pintas koroner untuk memperbaiki kerusakan di dinding jantungnya, namun sayangnya besarnya lubang yang terdapat dalam atrium kirinya membuat jahitan di pericardiumnya terlepas saat bypass. Ia mengalami terlalu banyak pendarahan. Dr. Hahn telah berusaha semaksimal mungkin namun tekanan darahnya terus menurun tajam sehingga akhirnya Dr. Hahn terpaksa mengumumkan waktu kematiannya,” jelas Meredith panjang lebar.<br />
<br />
Oh, jadi Meredith itu dokter. Wah, keren sekali kalau aku bisa mengencani seorang dokter, kata Dean dalam hati.<br />
<br />
Pada saat Dean sedang memikirkan cara untuk membuat Meredith jatuh hati padanya, tiba-tiba kata Cardiac Tamponade membuatnya tersentak. Sekonyong-konyong Dean teringat tentang The Glass Passenger. Ia juga ingat bahwa ketiga korban yang tewas saat kemunculan sosok itu diakibatkan oleh Cardiac Tamponade. Dean merasa bahwa cerita Meredith ini ada kaitannya dengan The Glass Passenger. Oleh karena itu, Dean mencoba mengorek lebih dalam keterangan dari Meredith.<br />
<br />
”Kelihatannya kamu masih ingat sekali kejadian itu Mer. Lalu bagaimana dengan keluarga Charmed?” tanya Dean.<br />
<br />
”Kasihan sekali Charmed, padahal dia itu pria yang baik, ramah, supel, dan disukai oleh semua orang. Aku lebih kasihan lagi pada kakaknya. Ia begitu terpukul ketika mengetahui Charmed meninggal dengan cara yang mengenaskan seperti itu. Sayangnya, supir bus yang telah menabrak Charmed kabur dan polisi belum dapat menemukannya sampai sekarang,” papar Meredith.<br />
<br />
”Kasihan sekali, lalu sekarang bagaimana kabar kakak Charmed itu? Siapa tadi namanya?” tanya Dean lagi.<br />
<br />
”Hmmm...kalau tidak salah kakaknya Charmed itu bernama Ambu. Kok pertanyaanmu jadi aneh, Dean,” kilah Meredith.<br />
<br />
Dean sempat gelagapan ketika tiba-tiba Meredith mulai curiga padanya. Mata Dean sekonyong-konyong tertuju pada sebuah foto berbingkai yang digantung di salah satu dinding Emerald City Bar. Buru-buru ia mengalihkan topik pembicaraan.<br />
<br />
”Wah, itu ada fotomu bersama teman-teman ya?” ujar Dean seraya menunjuk sebuah foto berbingkai di dinding bar.<br />
<br />
”Oh, aku dan teman-teman memang pelanggan tetap bar ini. Itu foto terakhir kami dengan Charmed. Joe sengaja memasangnya foto itu di dinding untuk mengenang Charmed,” sahut Meredith. <br />
<br />
Dean memperhatikan dengan seksama foto Charmed bersama para dokter dan bartender lain yang terpampang di dinding Emerald City Bar. Tiba-tiba, Dean menyadari bahwa ia sedang diawasi seseorang. Dean pun membalikkan tubuhnya dan mendapati bahwa seorang pria tampan berambut coklat gelap yang sedang duduk di meja dekat pintu bar sedang mengawasi gerak-geriknya bersama Meredith. Kecemburuan terlihat jelas dari tatapan pria itu.<br />
<br />
”Hmmm....Meredith. Tampaknya pria pengagummu yang duduk di meja dekat pintu bar sedang memperhatikan kita terus menerus sejak tadi,” gumam Dean. Serta merta Meredith melihat ke arah yang ditunjuk Dean.<br />
<br />
”Oh, itu Derek. Biarkan saja, Dean. Aku sudah putus dengannya,” kilah Meredith. Dean hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar kalimat Meredith.<br />
<br />
”Hmmm, Dean. Bagaimana kalau kita lanjutkan obrolan dirumahku saja?” ajak Meredith. Dean langsung menanggapi dengan senang. <br />
<br />
”Ayo,” sahut Dean sambil memberikan uang dua puluh dollar pada kasir bar. <br />
<br />
Dean menggamit tangan Meredith lalu berjalan keluar dari Emerald City Bar.<br />
<br />
***<br />
<br />
Varsity Motel<br />
23 September 2008<br />
11 PM<br />
<br />
<br />
Setelah mengobrol panjang lebar dengan Meredith dirumahnya, Dean kembali ke Varsity Motel. Saat ia membuka pintu, Sam terlihat masih berkutat dengan laptopnya untuk mencari info mengenai Jimmy Partington, Kelly Hersch, Dewa dan tentunya The Glass Passenger.<br />
<br />
“Sam, bagaimana hasil pencarianmu tadi?” tanya Dean.<br />
<br />
“Sulit, Dean. Banyak sekali korban kecelakaan di Seattle ini,” jawab Sam sambil menggelengkan kepalanya.<br />
<br />
“Wah, tadi aku bertemu seorang dokter yang sangat cantik, seksi, menawan, pintar. Pokoknya dia benar-benar mengagumkan! Namanya Meredith, Sam,” tutur Dean.<br />
<br />
”Kalau soal kayak gitu sih nggak usah diceritain deh, Dean. Lagian kok bisa sih kamu sempat-sempatnya kencan saat suasana kayak gini. Kasus The Glass Passenger harus kita pecahkan sebelum korban tewas bertambah,” omel Sam panjang lebar.<br />
<br />
”Aku kan belum selesai bicara. Dengar dulu....” gerutuan Dean ini tiba-tiba diinterupsi Sam.<br />
<br />
”Coba lihat ini, Dean!” potong Sam tiba-tiba sambil menunjuk laptopnya. Spontan Dean mendekati Sam untuk melihat info yang dimaksud Sam. <br />
<br />
”Aku telah mencari data diri Jimmy Partington dan Kelly Hersch dan aku menemukan bahwa mereka berdua ternyata pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan saat mengendarai mobil. Mereka berdua juga sama-sama pernah menjadi tersangka pada beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Sayangnya kasus tersebut dimenangkan oleh mereka berdua. Pencabutan SIM mereka baru dilakukan tiga hari yang lalu,” lanjut Sam.<br />
<br />
”Bagaimana dengan Dewa, si korban ketiga?” tanya Dean.<br />
<br />
”Dia sebenarnya bertanggung jawab karena menyebabkan kecelakaan beruntun di Golden Highway dua hari yang lalu. Kecelakaan tersebut telah menewaskan empat orang dan melukai lima orang lainnya. Namun karena ayah Dewa adalah senator negara bagian Washington dari Partai Republik maka Dewa dapat bebas dari kasus tersebut. Berarti kita telah menemukan titik temu kasus ini. The Glass Passenger hanya membunuh para pengemudi tak bertanggung jawab yang telah menghilangkan nyawa orang lain,” tutur Sam lagi.<br />
<br />
”Tadi aku ketemu Meredith yang kebetulan bercerita tentang bartender bernama Charlie Marsden alias Charmed. Charmed ditabrak bus lalu terlempar ke jendela. Seluruh bagian tubuhnya terluka oleh puluhan keping pecahan kaca, namun cedera terparahnya diakibatkan oleh pecahan kaca yang menancap di jantungnya. Charmed meninggal karena Cardiac Tamponade. Kamu ingat kan ketiga korban yang tewas saat kemunculan sosok The Glass Passenger diakibatkan oleh Cardiac Tamponade, Sam,” cerocos Dean.<br />
<br />
”Jadi, kemungkinan besar The Glass Passenger adalah Charmed. Ia meninggal secara mengenaskan karena ditabrak bus sehingga ia membalaskan dendamnya pada para penumpang bus yang sebelumnya pernah menghilangkan nyawa orang lain. Penyebab kematiannya karena terlempar ke jendela juga menjelaskan kemunculan The Glass Passenger yang hanya terlihat di kaca jendela. Lalu Cardiac Tamponade yang dialami Charmed juga dialami oleh ketiga penumpang yang tewas itu,” lanjut Dean lagi.<br />
<br />
”Kalau begitu aku akan mencari alamat Charmed,” kata Sam seraya mengambil buku indeks alamat dan nomor telpon penduduk Seattle yang diperolehnya tadi pagi dari perpustakaan Suzallo. <br />
<br />
”Ingat Sam, nama lengkap Charmed itu Charlie Marsden. Dia punya kakak perempuan bernama Ambu Marsden,” ujar Dean mengingatkan.<br />
<br />
”Aku menemukan alamatnya, Dean!” seru Sam tak lama kemudian.<br />
<br />
***<br />
<br />
Beacon Hill<br />
24 September 2008<br />
9 AM<br />
<br />
Dean dan Sam tiba di sebuah rumah mungil yang beralamat di Beacon Hill 1014, Seattle 98184. Dean bergegas ke pintu depan rumah itu dan membunyikan bel. Tak lama kemudian pintu terbuka dan tampaklah seorang wanita berambut hitam berdiri dihadapan Dean dan Sam.<br />
<br />
“Ya?” tanya wanita itu.<br />
<br />
”Apakah benar Anda yang bernama Ambu Marsden?” tanya Dean cepat.<br />
<br />
”Saya Dean dan ini Sam. Kami dari perusahaan asuransi Cavanaugh,” Dean langsung memperkenalkan diri pada wanita itu.<br />
<br />
Mata wanita itu menyipit, dan mulutnya tertutup rapat menjadi sebuah garis tipis. ”Kurasa itu bukan urusan Anda,” katanya sinis.<br />
<br />
”Dan aku sudah mengurus asuransi dua hari yang lalu. Jadi, silahkan pergi. Aku tidak tahu maksud kalian, tapi menjauhlah dari sini,” hardik wanita itu.<br />
<br />
”Tunggu!” cegah Sam. Sayangnya wanita itu telah menutup pintu tepat dihadapan Dean dan Sam.<br />
<br />
Dean dan Sam saling berpandangan lalu dengan segan berbalik pergi dan kembali mengendarai Impala.<br />
<br />
”Sam, coba lihat ada berapa pemakaman di Seattle ini,” ujar Dean sambil menstater Impalanya. Sam langsung mengambil peta Seattle di laci dashboard dan segera menelusuri peta tersebut.<br />
<br />
”Ada empat puluh delapan, Dean,” keluh Sam.<br />
<br />
”Holy crap!” gerutu Dean.<br />
<br />
”Kalau begitu, kau cari lokasi kuburan Charmed dari perpustakaan sesegera mungkin. Sementara aku akan menemui seseorang yang dapat membantu kita,” lanjut Dean lagi.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kediaman Meredith Grey<br />
24 September 2008<br />
11 AM<br />
<br />
<br />
Dean membunyikan bel di pintu rumah Meredith.<br />
<br />
“Hai, Meredith,” sapa Dean lembut.<br />
<br />
“Dean!” seru Meredith. Mata Meredith langsung berbinar melihat kedatangan Dean dan senyum mengembang di wajahnya.<br />
<br />
“Ayo masuk,” ajak Meredith.<br />
<br />
Dean membalas senyuman Meredith dan berjalan masuk menuju ruang tamu. Meredith membawakan sebotol bir untuk Dean.<br />
<br />
“Mer, boleh aku bertanya lagi tentang Charlie Marsden alias Charmed?” tanya Dean.<br />
<br />
“Charmed? Memangnya ada apa dengannya?” Meredith balik bertanya.<br />
<br />
Dean menceritakan semua tentang The Glass Passenger pada Meredith, termasuk kesulitannya menghadapi kakak perempuan Charmed dan menemukan kuburannya. Meredith tersentak tak percaya saat mendengarnya. Alisnya terangkat, matanya membesar, dan mulutnya terbuka perlahan.<br />
<br />
Ekspresi Meredith tersebut telah diperkirakan oleh Dean sebelumnya. Dean memang telah banyak berpura-pura dan berbohong sebelumnya, namun entah kenapa ia tak mau melakukannya pada Meredith. Dean memilih untuk jujur pada Meredith, meski sebagai resikonya ia akan dianggap aneh oleh Meredith.<br />
<br />
“Jadi kamu itu semacam pemburu hantu, Dean,” kata Meredith pelan. Posisi tubuhnya terlihat menjaga jarak dengan Dean.<br />
<br />
“Ya, kurang lebih seperti itu, Mer,” jawab Dean sambil mendekati Meredith.<br />
<br />
“Oh, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu atau tidak,” gumam Meredith seraya membuka telapak tangannya di depan tubuhnya sebagai isyarat agar Dean tidak mendekat. <br />
<br />
“Aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” sahut Dean. Lalu ia beranjak keluar dari rumah Meredith. Namun baru beberapa langkah, Dean berhenti berjalan dan menatap wajah Meredith. <br />
<br />
“Tolong pikirkan baik-baik, Mer. Ini menyangkut hidup matinya seseorang. Pekerjaan kita sama-sama menyelamatkan nyawa manusia. Hanya bedanya, kau menyelamatkan manusia dengan cara yang rasional, sementara aku dengan cara mistik,” jelas Dean. Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia berbalik dan meninggalkan rumah Meredith. <br />
<br />
Meredith tidak mengeluarkan sepatah kata pun menanggapi penjelasan Dean. Ia hanya memandangi kepergian Dean dengan tatapan kosong.<br />
<br />
***<br />
<br />
Varsity Motel<br />
24 September 2008<br />
11 PM<br />
<br />
Background Music : Violence by Eskobar<br />
<br />
<br />
Tok….tok….tok….<br />
<br />
Terdengar suara ketukan di pintu kamar motel tempat Dean dan Sam bermalam. Dean terbangun dari tidurnya lalu beranjak untuk membukakan pintu. Betapa kagetnya Dean begitu mengetahui sosok yang tengah berada di depan pintunya itu.<br />
<br />
“Meredith?” tanya Dean heran. Dean sangat terkejut melihat kedatangan Meredith setelah adu argumentasi yang mereka lakukan siang tadi.<br />
<br />
“Dean, ini data mengenai Charmed. Ia meninggal pada pukul sembilan pagi empat hari yang lalu dan dimakamkan di Wallflowers Cemetery,” kata Meredith seraya menyerahkan selembar kertas pada Dean.<br />
<br />
“Wallflowers Cemetery,” ulang Dean sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.<br />
<br />
“Terima kasih banyak, Mer. Informasi darimu benar-benar membantu kami,” lanjut Dean.<br />
<br />
“Sam, kita harus pergi ke Wallflowers Cemetery!” seru Dean membangunkan Sam yang sedang tertidur nyenyak. Sekonyong-konyong, Sam tersentak kaget lalu bangun dari ranjangnya. Ia mengucek matanya sebentar lalu memandang jam dinding yang menunjukkan jam sebelas lewat 11 menit kemudian berjalan menuju wastafel yang ada disebelah kiri ranjangnya.<br />
<br />
“Dean, kamu mau melakukan apa saat tengah malam begini?” tanya Meredith tak mengerti.<br />
<br />
“Seperti yang aku bilang tadi siang, Mer. Aku dan adikku akan membongkar makam Charmed, lalu menaburkan garam dan membakar jasadnya,” sahut Dean. Meredith terperangah sesaat, namun segera dapat mengendalikan dirinya.<br />
<br />
“Bagaimana bila keluarga Charmed ingin mengunjungi makamnya dan tiba-tiba mereka mengetahui bahwa jasadnya sudah tak ada lagi?” tanya Meredith lagi.<br />
<br />
“Maaf, Mer. Cara ini memang terdengar mengerikan, namun kami telah melakukannya berulang kali untuk menghentikan terror dari hantu yang belum tenang,” jawab Dean seraya mengambil jaket dan kunci Impalanya.<br />
<br />
“Aku ikut denganmu, Dean!” seru Meredith. <br />
<br />
“Apa? Jangan, Mer! Sebaiknya kamu tidak perlu ikut. Pekerjaan ini mengerikan. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu,” cegah Dean.<br />
<br />
“Meredith?” tanya Sam seraya mengulurkan tangannya pada Meredith.<br />
<br />
“Aku Sam, adik Dean. Ayo kita bergegas ke pemakaman, Mer,” ajak Sam pada Meredith.<br />
<br />
“SAM!!!” teriak Dean.<br />
<br />
“Tenang saja, Dean. Tidak akan terjadi apa-apa,” kata Sam menenangkan Dean dan Meredith. Lalu mereka bertiga keluar dari kamar motel dan bergegas ke Wallflowers Cemetery.<br />
<br />
***<br />
<br />
Wallflowers Cemetery<br />
25 September 2008<br />
1 AM<br />
<br />
<br />
Satu setengah jam telah berlalu dan kini Dean, Sam dan Meredith telah berada di Wallflowers Cemetery yang terletak di puncak Magnolia Hill. Area pemakaman itu diliputi kesunyian yang mencekam. Udara terasa suram dan dingin. Dean, Sam dan Meredith berjalan diatas tanah lembab yang ditutupi oleh daun-daun yang berguguran. Setiap langkah kaki mereka diiringi oleh suara angin berdesau di antara pepohonan, seolah-olah para penghuni kuburan mengeluh, karena daerahnya dimasuki mereka. Suara burung hantu terdengar dari kejauhan. Pohon-pohon tua tampak bergoyang-goyang karena tiupan angin.<br />
<br />
Dahan-dahan pepohonan yang melambai-lambai ditiup angin dan ratusan batu nisan serta patung penjaga makam membuat Meredith merinding ketakutan. Meredith gemetar, wajahnya pucat, tangannya menggigil dan hembusan angin malam yang kencang mengacak-acak rambut panjangnya. Dean mengetahui ketakutan Meredith. Ia merangkul Meredith dengan erat. Meredith pun mendekatkan tubuhnya yang menggigil ke tubuh Dean. <br />
<br />
”Ini dia!” seru Sam sambil menunjukkan kuburan Charmed dengan cahaya senternya. Dean dan Meredith bergegas menuju makam itu. Beberapa saat kemudian mereka bertiga berdiri di depan kuburan Charmed. Di bawah sinar bulan yang pucat, mereka bertiga melihat tulisan yang dipahat pada batu nisan. <br />
<br />
R.I.P<br />
Charlie Marsden<br />
1982 – 2008<br />
<br />
”Meredith, tolong pegang senter ini,” kata Dean sambil menyerahkan senternya. Lalu Dean dan Sam mulai menggali kuburan Charmed yang masih baru itu. Selama beberapa menit hanya suara sekop yang terdengar, menggali serta membuang tanah dan batu. Akhirnya terdengar suara sekop terbentur pada peti mayat. Dean membuka peti mayat dengan bantuan sekop dan sesaat kemudian tampaklah mayat Charmed yang setengah membusuk. Bulan muncul dari balik awan menyinari mayat Charmed. Pemandangan mengerikan tersebut membuat Meredith merinding ketakutan. Tak lama kemudian, Dean dan Sam mengangkat tubuh mereka kembali ke atas tanah. Dean mengambil sekantung garam lalu menaburkannya di atas mayat Charmed. Kemudian Sam membuka jerigen berisi bensin dan menuangkannya di atas mayat Charmed. Setelah selesai, Dean menyalakan korek api dan melemparkannya ke dalam lubang makam yang didalamnya terdapat mayat Charmed. Dalam seketika api berkobar di dalam makam yang berlubang itu. Lalu setelah api padam, Dean dan Sam mengambil sekop dan mulai menutup kembali makam Charmed.<br />
<br />
“Rest in Peace, Charmed,” gumam Meredith lirih sambil memandang makam Charmed.<br />
<br />
“Mungkin kamu bisa mengusulkan ke Joe untuk mengganti nama minuman Charmed 4ever, Mer,” saran Dean. <br />
<br />
“Jadi The Glass Passenger telah berakhir, Dean,” ujar Meredith.<br />
<br />
“Semoga saja. Aku dan Sam akan memastikannya pagi nanti,” sahut Dean seraya menggamit tangan Meredith dan mengajaknya keluar dari Wallflowers Cemetery.<br />
<br />
***<br />
<br />
King County Metro Bus<br />
25 September 2008<br />
8.45 AM<br />
<br />
<br />
Walau Dean dan Sam telah membakar mayat Charmed, namun mereka harus memastikan bahwa ia telah beristirahat dengan tenang. Mereka memanggil Keane untuk bersama-sama menumpang King County Metro Bus pada jam 9 pagi karena biasanya The Glass Passenger memakan korban pada waktu tersebut. Beberapa saat kemudian tampaklah King County Metro Bus di hadapan Dean, Sam dan Keane. Mereka bertiga beranjak dari halte dan mulai menaiki Bus. Untungnya saat ini bus sedang sepi penumpang. Keane dan Dean duduk bersebelahan. Sementara Sam duduk tepat dibelakang mereka. <br />
<br />
“Keane?” sapa seseorang yang duduk di belakang Keane. Spontan Keane membalikkan tubuhnya dan dilihatnya Bym yang duduk disebelah Sam.<br />
<br />
“Hai, Bym,” sahut Keane sambil tersenyum. Sekonyong-konyong Keane dikejutkan oleh sosok The Glass Passenger yang memantul di kaca jendela bus.<br />
<br />
“Dean…” gumam Keane pelan sambil menarik lengan baju Dean. Baru saja Dean menyadari isyarat Keane tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara jeritan panjang dan menyakitkan.<br />
<br />
”AAAAAAAAAARRRGHH!!!!!!” jerit Bym kesakitan. Jeritan sama seperti yang terjadi pada Jimmy, Kelly dan Dewa. Spontan Sam yang duduk di sebelah Bym langsung tersentak.<br />
<br />
”The Glass Passenger!” seru Sam. “Dean, bagaimana ini?” tanya Sam cemas. Ia sama sekali tak memprediksi kejadian ini. Sementara Dean, Sam dan Keane tengah memeras otak untuk menghentikan The Glass Passenger, Bym terus menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya.<br />
<br />
Dalam suasana panik, sekonyong-konyong Dean melihat kalung berbandul matahari dan bulan yang dipakai Keane. Ia merasa pernah melihat kalung itu sebelumnya. Sesaat kemudian Dean teringat foto Charmed yang terpampang di dinding Emerald City Bar. Ya, kalung Keane ini sama persis dengan kalung yang dimiliki Charmed. Serta merta Dean menarik kalung itu dari leher Keane, mengambil pemantik dari sakunya, menyalakan pemantik lalu membakar kalung itu. Dari kaca jendela, Keane dapat melihat sosok The Glass Passenger dikelilingi oleh kobaran api.<br />
<br />
Sam yang melihat tindakan Dean tersebut, sekonyong-konyong mengambil kapak kecil dari dalam tasnya untuk memecahkan kaca jendela King County Metro Bus yang tertutup rapat.<br />
<br />
“Keane, bawa Bym menjauh dari jendela,” perintah Sam sambil memukulkan kapak ke kaca jendela bus. Tak lama kemudian kaca jendela bus pecah dan Dean melemparkan kalung itu keluar jendela. Sekonyong-konyong suara kaca yang pecah tersebut membuat supir bus menghentikan kendaraannya. Sebuah King County Metro Bus lain yang berada di samping bus yang mereka tumpangi melindas kalung yang dilempar Dean tadi sehingga hancur seketika. Di saat yang bersamaan dari pantulan kaca bus, Keane melihat sosok The Glass Passenger perlahan hancur didalam kobaran api yang mengelilingi tubuhnya. Sosok The Glass Passenger mengerut sesaat sebelum hancur sepenuhnya menjadi pecahan-pecahan kaca yang perlahan menghilang di udara.<br />
<br />
“Bym! Bym!” seru Keane berusaha menyadarkan Bym. Dean beranjak ke samping supir bus untuk memohon maaf atas kejadian ini dan memberi penjelasan singkat bahwa apa yang mereka lakukan tadi menyangkut hidup Bym. Sementara itu, Sam membalut telapak tangannya yang terkena pecahan kaca. Dean lalu menggendong Bym keluar dari bus diikuti oleh Sam dan Keane. Keane menghentikan sebuah taksi lalu mereka berempat naik ke taksi tersebut dan pergi menuju ke Seattle Grace Hospital.<br />
<br />
Di dalam taksi, Dean meletakkan Bym yang tidak sadarkan diri di pangkuannya. Ia meraba nadi di leher Bym dan merasakan denyut pelan nadi Bym di jarinya. Lalu Dean meraih Cellular Phonenya dan mulai menghubungi Meredith.<br />
<br />
“Meredith, aku sedang menuju Seattle Grace. Ada satu lagi korban The Glass Passenger. Kemungkinan ia juga mengalami cardiac tamponade,” kata Dean melalui Cellular Phonenya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Seattle Grace Hospital<br />
25 September 2008<br />
09:30 AM<br />
<br />
<br />
Meredith dan George berlari menuju ruang gawat darurat setelah mendapat info dari Dean bahwa ia segera datang kemari membawa pasien cardiac tamponade. Mereka berdua mengenakan gaun khusus trauma berwarna kuning lalu memakai sarung tangan steril kemudian keduanya langsung berlari ke depan pintu utama ruang gawat darurat.<br />
<br />
“George, siapkan ruang trauma!” seru Meredith. George langsung berjalan menuju ruang trauma.<br />
<br />
Tak lama kemudian datanglah Dean, Sam dan Keane yang membawa Bym yang tidak sadarkan diri ke ruang gawat darurat Seattle Grace Hospital. Meredith langsung menghampiri Dean yang sedang menggendong Bym.<br />
<br />
“Dean, pindahkan pasien ini ke brankar dalam hitungan ketiga. Satu….dua….tiga….” perintah Meredith pada Dean untuk membaringkan tubuh Bym ke sebuah ranjang brankar yang telah tersedia di ruang gawat darurat. <br />
<br />
”Meredith, ruang trauma nomor dua telah siap,” kata George begitu kembali ke ruang gawat darurat.<br />
<br />
”Keane?” tanya George heran.<br />
<br />
”George, kejadian yang menimpa Bym sama seperti yang dialami ketiga penumpang yang tewas di King County Metro Bus. Ada kemungkinan ia juga mengalami cardiac tamponade,” jawab Keane cepat. George dan Keane kembali memperhatikan Bym yang terbaring diam di atas brangkar dengan wajah pucat dan mata terpejam.<br />
<br />
”OK George. Ayo kita bawa pasien ini ke sana,” perintah Meredith. George membantu Meredith mendorong ranjang Bym menuju ruang trauma. Dean dan Keane berada di sebelah ranjang Bym. Sementara itu, Sam mengikuti di belakang mereka.<br />
<br />
Luka yang terdapat di telapak tangan Sam membuatnya meringis menahan sakit. Dr. Izzie Stevens yang baru tiba di ruang gawat darurat melihat wajah Sam yang terlihat menahan sakit. Tanpa membuang waktu lagi, Izzie langsung berlari menghampiri Sam yang tengah berjalan menuju ruang trauma.<br />
<br />
”Hei, sebentar!” seru Izzie saat berhadapan dengan Sam.<br />
<br />
”Apa Anda terluka, Tuan?” tanya Izzie. Sam mengulurkan telapak tangan kanannya yang terluka pada Izzie. Dengan hati-hati, Izzie membuka balutan di tangan kanan Sam dan melihat pecahan kaca kira-kira sepanjang 10 cm tertancap tepat di tengah telapak tangannya dan sekeliling permukaannya tertutup darah kering. Setelah itu, Izzie melihat ke sekeliling ruang gawat darurat dan kedua matanya melihat beberapa meja periksa yang tengah kosong. Lalu Izzie menyuruh Sam duduk di salah satu meja periksa. Seorang perawat membawakan sepasang sarung tangan kulit steril, antiseptik, sebotol obat bius, suntikan, jarum dan perban ke hadapan Izzie.<br />
<br />
”Terima kasih, Taz,” kata Izzie pada perawat itu. Kemudian Izzie membuka pembungkus lalu memakai sarung tangan kulit steril. Ia mengambil suntikan, mengisinya dengan obat bius lalu menyuntikkannya ke telapak tangan Sam. Izzie dapat melihat dari ekspresi wajah Sam bahwa rasa sakitnya agak berkurang.<br />
<br />
”Siapa namamu?” tanya Izzie.<br />
<br />
”Sam,” jawab Sam singkat.<br />
<br />
”Sam, aku akan mencabut pecahan kaca ini. Satu....dua...tiga...” kata Izzie sambil menarik pecahan kaca itu, mula-mula dengan hati-hati, lalu lebih keras. Tindakan Izzie tersebut membuat Sam mengerang kesakitan. Lalu pecahan kaca itu terlepas dan Izzie membersihkan luka Sam dengan antiseptik. Berhubung luka Sam cukup dalam, Izzie mulai menjahitnya dengan hati-hati.<br />
<br />
Diam-diam Sam memperhatikan Izzie yang sedang menjahit lukanya. Sam menatap Izzie dengan seksama, memperhatikan wajahnya yang halus, kulitnya yang putih, tubuhnya yang ramping, kepalanya yang tertunduk dengan rambut keritingnya yang berwarna pirang keemasan. Tiba-tiba jantung Sam berdetak sedikit lebih cepat. Dia sangat cantik, kata Sam dalam hati. Kecantikan yang sempurna itu membuat Sam terpesona. Tiba-tiba Izzie merasa kalau ia tengah diperhatikan. Izzie mengangkat wajahnya dan menatap Sam lekat-lekat dengan mata indahnya yang berwarna hazel.<br />
<br />
”Sam, ada apa?” tanya Izzie.<br />
<br />
”Berapa lama lukaku ini akan sembuh, Dokter.....” Sam balik bertanya.<br />
<br />
”Dr. Isobel Stevens. Tapi panggil saja Izzie,” jawab Izzie. ”Lukamu akan sembuh selama kurang lebih seminggu, namun kamu harus memastikan agar luka ini tetap steril,” lanjutnya. Sam tersenyum mendengarnya dan Izzie pun ikut tersenyum. Lalu mereka berdua saling bertatapan dan menyadari pesona satu sama lain selama beberapa saat.<br />
<br />
Perlahan wajah Izzie terlihat merona merah dan serta merta ia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya menjahit luka Sam. Setelah selesai, Izzie membalut telapak tangan Sam dengan perban steril berwarna putih. Sam mengulum senyum saat menyadari perubahan di wajah Izzie.<br />
<br />
”Nah, selesai,” kata Izzie.<br />
<br />
”Dr. Izz......” kalimat Sam terpotong saat tiba-tiba penyeranta Izzie berbunyi. Izzie segera membaca pesan dalam penyerantanya.<br />
<br />
”Sam, maaf aku harus pergi sekarang. Dr. Shepherd membutuhkanku,” ujar Izzie seraya beranjak dari tempat duduknya.<br />
<br />
Izzie menuliskan resep untuk Sam sambil memberitahukan tanda-tanda bila terjadi infeksi pada lukanya.<br />
<br />
”Hubungi aku bila terjadi sesuatu pada lukamu,” kata Izzie seraya menuliskan serangkaian nomor pada secarik kertas yang kemudian diberikannya pada Sam.<br />
<br />
”Terima kasih banyak, Dr. Izzie,” kata Sam sambil tersenyum. Izzie membalas senyumannya lalu mulai berjalan keluar dari ruang gawat darurat.<br />
<br />
***<br />
<br />
Background Music : Life by Our Lady Peace<br />
<br />
<br />
Pada saat yang bersamaan di ruang trauma nomor dua, sebuah ruang periksa khusus yang diperlengkapi seperti ruang operasi dengan berbagai perangkat monitor, Dean dan Keane hanya bisa terpana di sudut menyaksikan Meredith dan George yang tengah berusaha keras untuk menyelamatkan Bym.<br />
<br />
George dan seorang perawat bernama Lissa memindahkan Bym ke meja periksa di ruang trauma. Lissa menata bantal Bym supaya ia bisa berbaring tegak, lalu mengambil satu set peralatan infus dan mulai memasang infus di vena yang terdapat di lengan Bym. Di saat yang bersamaan, George menggunting baju Bym, lalu memasang nasal canula dan sejumlah kabel monitor untuk memantau fungsi vitalnya.<br />
<br />
“Tekanan darah delapan puluh satu per delapan puluh, nadi sembilan puluh, nafas tiga puluh,” kata Meredith setelah melakukan pemeriksaan pada Bym.<br />
<br />
”Aku kesulitan mencari venanya, Dr. Grey,” kata Lissa setelah menusukkan infus di beberapa titik di lengan Bym namun ia tidak juga menemukan vena yang tepat.<br />
<br />
Meredith mengambil alih peralatan infus dari tangan perawat itu dan memasang infus di vena subklavia Bym, pembuluh balik tebal di bawah tulang selangka lalu menyiapkan kateter tiga ruang. Meredith melubangi vena tersebut dan memastikan bahwa cairan yang keluar dari sana adalah darah gelap yang mengalir tanpa berdenyut. Ia lalu meloloskan kawat pemandu lewat jarum suntik, lalu dilator sepanjang kawat pemandu, dan kateter dimasukkan. Meredith membilas infus dengan larutan garam, melekatkan kateter ke kulit Bym dan memasang perban.<br />
<br />
”George, lakukan X Ray dan bila benar ia mengalami cardiac tamponade maka lakukan juga ultrasound!” seru Meredith pada George. George langsung melakukan X Ray pada Bym dengan alat radiologi portabel yang berada di ruang trauma. Setelah selesai, George melakukan Ultrasound untuk melihat bagian dalam tubuh Bym.<br />
<br />
”Ya, pericardiumnya penuh dengan darah. Ini sama sekali tidak baik,” kata George seraya menyerahkan hasil X Ray dan Ultrasound Bym pada Meredith. Meredith melihat foto sinar X Bym menunjukkan penumpukan darah yang cukup banyak di jantungnya sehingga menekan paru dan menggeser trakeanya.<br />
<br />
”Oh tidak, kadar saturasi oksigennya turun hingga 80. Ia perlu oksigen,” seru Meredith seraya mengganti nasal canula yang terpasang di hidung Bym dengan masker oksigen lalu menempelkannya stetoskop di dada Bym untuk mendengarkan irama jantungnya. Ia juga memperhatikan monitor yang terletak tepat dihadapannya.<br />
<br />
”Gawat! Tekanan darah turun sampai 76. Ia tidak stabil,” kata Meredith sambil menggelengkan kepalanya.<br />
<br />
”CODE BLUE! CODE BLUE!” teriak Meredith lewat interkom. Tiga orang perawat berlarian masuk ke kamar Bym. Semua bekerja keras untuk menyadarkan Bym tapi ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda vital stabil<br />
<br />
”Ia tidak bisa menunggu lagi. George, cepat cari Dr. Erica Hahn. Ia harus dioperasi sekarang!” perintah Meredith.<br />
<br />
Tak lama kemudian, George datang bersama Dr. Hahn ke ruang trauma tempat Bym berada. Dr. Hahn mengamati irama detak jantung Bym di monitor yang berada di sebelah Bym. Dr. Hahn menyaksikan irama normal melambat, lalu bentuk gelombangnya melebar.<br />
<br />
”Irama agonal,” kata Dr. Hahn. ”Grey, kita harus membawanya ke ruang operasi sekarang!” lanjut Dr. Hahn. Ia memutuskan untuk mengoperasi Bym saat ini juga.<br />
<br />
”Suster Lissa, bantu aku untuk memindahkan dia segera ke ruang operasi!” kata Meredith pada perawat yang berada disebelahnya.<br />
<br />
”George, tolong siapkan ruang operasi!” perintah Meredith. George langsung berlari menuju ruang operasi.<br />
<br />
Sebelum Bym dibawa ke ruang operasi, Meredith memberitahukan kondisi Bym pada Dean, Sam dan Keane dan memberikan lembar prosedur operasi. Setelah itu Meredith kembali ke ruang trauma memeriksa catatan medis Bym, melihat hasil lab dan Elektrokardiogram (EKG). Ia juga memeriksa mulut Bym untuk melihat bahwa tidak ada gigi goyang yang kemungkinan bisa terlepas saat operasi dilakukan. Selain itu, ia juga memeriksa gelang bertuliskan nama Bym untuk memastikan bahwa pasien yang akan dioperasi sudah benar, menuliskan daftar alergi obat. Terakhir, Meredith memeriksa mata Bym untuk memastikan bahwa Bym sedang tidak memakai lensa kontak atau mengenakan perhiasan yang bisa menimbulkan bahaya. Beberapa saat kemudian George datang dan memberitahukan bahwa ruang operasi sudah siap. George bersama Meredith, Lissa dan dibantu oleh seorang perawat bernama Adel membawa Bym ke ruang operasi.<br />
<br />
Di ruang operasi nomor 3, dua perawat memastikan bahwa ruangan itu telah dibersihkan sepenuhnya sesudah operasi terdahulu dan semua alat yang diperlukan telah tersedia dan steril. Tim dokter yang terdiri dari Dr. Erica Hahn, Meredith, George dan seorang dokter ahli anestesi sedang bersiap melakukan pembedahan. Mereka mengenakan baju operasi, masker dan penutup rambut. Setelah itu mereka mencuci tangan dan memasuki ruang operasi. Seorang perawat yang telah berada di ruang operasi memakaikan sarung tangan kulit steril pada keempat dokter ini.<br />
<br />
Sementara itu di gallery ruang operasi, Dr. Izzie Stevens dan Dr. Cristina Yang tengah bersiap untuk menyaksikan jalannya bedah pintas koroner yang akan dilakukan oleh Dr. Hahn dibantu oleh Meredith dan George.<br />
<br />
”Hari ini menyebalkan. Aku tidak diikutkan lagi pada bedah pintas koroner ini. Aku sudah kehabisan cara untuk melunakkan hati Dr. Hahn,” keluh Cristina pada Izzie. <br />
<br />
”Tadi aku menangani pasien luka tusuk bernama Sam. Ia tampan, tinggi, atletis dan tatapan matanya yang berwarna hijau sangat mengagumkan. Sayangnya aku tidak bisa mengobrol banyak dengannya karena tiba-tiba Dr. Shepherd menyuruhku menangani test pra operasi pada pasien penderita tumor otak yang ditanganinya. Namun, hasil test pasien itu memberitahukan bahwa ternyata ia alergi anestesi sehingga kami terpaksa menunda operasinya,” jelas Izzie panjang lebar.<br />
<br />
Tiba-tiba dan Cristina dan Izzie dikagetkan oleh kedatangan Dr. Alex Karev bersama Ucha. Mereka lebih kaget lagi dengan ekspresi wajah Alex dan Ucha yang tampak cerah dan berseri-seri.<br />
<br />
”Jadi itu teman kencan Alex yang baru?” tanya Cristina dengan suara pelan pada Izzie.<br />
<br />
”Yeah, semalam aku melihatnya bermalam di kamar Alex. Mudah-mudahan saja gadis itu bukan Ava kedua,” bisik Izzie.<br />
<br />
Ucha yang merupakan mahasiswi kedokteran tingkat dua merasa beruntung sekali bisa menyaksikan jalannya bedah pintas koroner secara langsung seperti ini. Dari gallery, Ucha dapat melihat Bym yang telah berada di meja operasi. Dokter ahli anestesi membiusnya lalu memasang tabung endotrakeal di mulut Bym dan beberapa selang intravena. Seorang perawat membersihkan kulitnya, menutup tubuhnya kemudian mengoleskan antiseptik berwarna kuning kecoklatan ke kulit dada Bym. Lalu pembedahan dimulai.<br />
<br />
Ucha ternganga dengan takjub saat menyaksikan Dr. Erica Hahn menyayatkan scalpel nomor 10 tepat diatas tulang dada Bym sepanjang 10 sentimeter. Scalpel tersebut membelah kulit dan otot dada Bym dengan sayatan bersih dan panjang. Darah yang mengalir keluar dari sayatan tersebut terlihat seperti bunga merah. Setelah itu Dr. Hahn menggunakan gergaji sternal untuk memotong tulang dada Bym. Dr. Hahn lalu memasang retraktor pada sayatan tersebut untuk membuka dada Bym dan tampaklah jantung Bym yang berukuran kurang lebih sebesar sekepalan tangan dan diapit oleh kedua paru-parunya.<br />
<br />
Setelah itu Ucha melihat seorang perawat bedah menyalakan mesin pintasan jantung-paru sirkulasi ekstrakorponeal. Alat mekanis ini digunakan untuk sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh Bym pada saat memintas jantung dan paru. Mesin tersebut juga memungkinkan dicapainya medan operasi yang bebas darah. Perfusi dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh Bym. Dr. Hahn melakukan pintasan jantung-paru dengan memasang kanula di atrium kanan, vena kava dan vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh Bym. Kanula tersebut kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik yang terdiri dari dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat. Darah vena yang terambil dari tubuh Bym dari kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan dan kemudian dikembalikan ke tubuhnya. Darah yang didinginkan tersebut akan menurunkan kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan oksigen juga berkurang. Larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan mengencerkan kekentalan dari darah yang didinginkan itu. Kanula yang dipergunakan untuk mengembalikan darah teroksigenasi dimasukkan ke aorta asendens.<br />
<br />
Sementara itu Dr. Meredith menyuntikkan antikoagulan untuk rnencegah pembentukan trombus dan embolisasi yang dapat terjadi ketika darah berhubungan dengan permukaan asing sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh Bym dengan pompa mekanis. Selama operasi dilakukan, tubuh Bym dijaga agar selalu dalam keadaan hipotermia dalam suhu 82,4°F sampai 89,6°F.<br />
<br />
Dr. Hahn memperbaiki kerusakan yang terdapat di ventrikel kanan, septum dan atrium kiri pada jantung Bym. Setelah itu, Dr. Hahn menjahit pericardium dan aorta koroner. Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah Bym dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru. Setelah dibebaskan dari mesin pintasan, Meredith memberikan Bym protamin untuk menangkal efek heparin. Dr. Hahn menyambung kembali tulang dada Bym. Lalu Meredith melepaskan retraktor dari dada Bym. Setelah itu, Dr. Hahn menutup irisan vertikal yang berada tepat di tengah dada Bym dengan jahitan.<br />
<br />
Dr. Hahn, Meredith dan George memantau status Bym dari tekanan darah, kadar saturasi oksigen, gas darah arteri, elektrolit dan pembekuan darah dengan seksama dari monitor jantung dan elektrokardiogram (EKG). Semuanya terlihat normal sehingga Dr. Hahn memutuskan menyuruh perawat untuk memindahkan Bym dari ruang operasi menuju ruang perawatan intensif.<br />
<br />
Meredith dan George melepaskan gaun operasi, masker dan sarung tangan, mereka berdua bergegas keluar dari ruang operasi untuk memberitahukan Dean, Sam dan Keane mengenai kondisi Bym.<br />
<br />
”Meredith, bagaimana keadaan Bym?” tanya Dean cemas.<br />
<br />
”Operasinya sukses,” jawab Meredith sambil tersenyum.<br />
<br />
”Oh, syukurlah,” kata Dean dan Sam seraya menarik nafas lega.<br />
<br />
”Apakah kami bisa menjenguk Bym, Dr. Meredith?” tanya Keane.<br />
<br />
”Maaf, ia belum boleh dikunjungi karena masih berada di ruang ICU untuk menstabilkan kondisinya,” sahut Meredith.<br />
<br />
”Mer, bagaimana kalau kita bertemu di Emerald City Bar malam nanti?” ajak Dean.<br />
<br />
”Hmmm....boleh,” jawab Meredith. Ia tersenyum pada Dean.<br />
<br />
”OK, kalau begitu aku dan Sam mohon diri dulu. Sampai ketemu nanti malam, Mer,” lanjut Dean.<br />
<br />
Dean dan Sam lalu berjalan menyusuri koridor. Mereka meninggalkan Keane yang tengah asyik mengobrol dengan Dr. George O’Malley.<br />
<br />
Dr. Cristina Yang dan Dr. Izzie Stevens yang baru keluar dari gallery memergoki Meredith sedang memperhatikan Dean yang berjalan menuju elevator. Mereka berdua spontan ikut memperhatikan objek yang sedang dipandang Meredith.<br />
<br />
“Meredith, siapa pria yang mengenakan kemeja hijau itu?” tanya Cristina.<br />
”McGorgeous,” gumam Meredith sambil terus memandang ke arah Dean.<br />
“McGorgeous?” tanya Cristina.<br />
“No?” Meredith balik bertanya.<br />
“McMuscular?” celetuk Izzie tiba-tiba.<br />
“NO!!!” seru Cristina dan Meredith berbarengan.<br />
“McWeird,” tutur Meredith yakin.<br />
“MCWEIRD??” pekik Izzie dan Cristina bersamaan.<br />
“Karena dia .......” Meredith menghentikan ucapannya dan terdiam sesaat.<br />
“Aneh,” lanjut Meredith singkat seraya memandang Izzie dan Cristina.<br />
<br />
Izzie hanya menggelengkan kepala sementara Cristina hanya mengangkat alis melihat tingkah Meredith yang tidak biasanya.<br />
<br />
“Apakah McWeird telah resmi menggantikan McDreamy?” tanya Cristina.<br />
<br />
“Lihat saja nanti,” sahut Meredith sambil tersenyum.<br />
<br />
TAMAT<br />
<br />
<br />
Notes :<br />
Jantung terdiri dari empat rongga yaitu serambi (atrium) kanan & kiri dan bilik (ventrikel) kanan & kiri.<br />
<br />
Cardiac tamponade : penekanan jantung yang disebabkan oleh peningkatan intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam pericardium.<br />
<br />
Pericardium : selaput ganda yang menutupi jantung. Selaput / lapisan pertama menempel sangat erat pada jantung, sedangkan lapisan luarnya lebih longgar dan berair, untuk menghindari gesekan antar organ dalam tubuh yang terjadi karena gerakan memompa konstan jantung.<br />
<br />
Septum : dinding pemisah di antara sebelah kiri dan kanan serambi (atrium) & bilik (ventrikel).<br />
<br />
CODE BLUE : sebuah kode yang menyatakan bahwa pasien sedang mengalami kegawatan yang mengancam jiwanya.<br />
<br />
Catatan mengenai sumber (Cardiac Tamponade dan Coronary Artery Bypass Graft Surgery/bedah pintas koroner) :<br />
1) Fornauer, Andrew; Narasimham L. Dasika, Joseph J. Gemmete, and Constantine Theoharis (Spring 2003). "Pericardial Tamponade". Journal of Vascular and Interventional Radiology.<br />
2) Isselbacher, E.M., Cigarroa, J.E., Eagle, K.A. (1994). Cardiac Tamponade. Circulation. Volume 90, Pages 2375-2378<br />
3) Thibodeau, G.A., Patton, K.T. (2003). Anatomy & Physiology. Missouri: Mosby.<br />
4) Eagle KA, Guyton RA, Davidoff R, et al (2004). "ACC/AHA 2004 guideline update for coronary artery bypass graft surgery: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Update the 1999 Guidelines for Coronary Artery Bypass Graft Surgery)". Circulation 110 (14): e340–437.<br />
5) SUNY Labs 21:st-1500 - Mediastinum: Pericardium (pericardial sac).<br />
6) MedlinePlus Encyclopedia Cardiac tamponade<br />
7) Grey’s Anatomy episode Crash into Me dan From a Whisper to Scream.<br />
<br />
Catatan penulis :<br />
Fan Fiction ini penulis dedikasikan khusus kepada Andrew McMahon dari Jack’s Mannequin yang telah memberikan ide cerita ini. Ide ini penulis dapatkan saat menantikan album terbaru Jack’s Mannequin bertitel The Glass Passenger yang dirilis tanggal 30 September 2008. Penulis membuat FF ini juga dalam rangka mempromosikan album The Glass Passenger Wink Wink<br />
Ohya, The Resolution, single terbaru Jack’s Mannequin dari album The Glass Passenger sudah bisa didengarkan di Radio Hard Rock FM, Trax FM dan tentunya di blog penulis http://jacksmannequinfans.multiply.com (mode promosi on* Smiley )<br />
<br />
Sekali lagi, penulis mengucapkan terima kasih bagi para pembaca yang telah berkenan menyimak FF ini dan mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada karakter dalam FF ini yang kurang berkenan bagi pembaca Smiley<br />
Berhubung juga besok kita akan menyambut hari raya Idul Fitri, penulis mengucapkan Mohon Maaf Lahir Batin Smiley Smiley SmileyRED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-40225791097249935752010-04-29T05:36:00.003+07:002010-05-10T22:17:35.021+07:00Fic: Dream Chaser Judul : DREAM CHASER<br />
Rating : karena ada sedikit unsur kekerasan, dibuat apaan ya T kali ya.<br />
ntar kalo salah urusan Red aja dah yang benerin Tongue<br />
Genre : Horor<br />
Note : mudah2an bisa menghibur Grin<br />
<br />
<br />
DREAM CHASER<br />
<br />
Illunois,<br />
Rabu dini hari , May 2008.<br />
Pukul 02:00 .<br />
<br />
<br />
“Sayang aku berangkat dulu ya” ucap seorang Pria pada isterinya lalu memberikan ciuman pada wanita yang di cintainya tersebut.<br />
<br />
“Ok, bye honey”<br />
<br />
“Bye” sahut sang isteri.<br />
<br />
Sang pria masuk ke dalam mobil sambil melambaikan tangannya pada sang isteri. Kemudian sang isteri membalikkan badannya hendak masuk kembali ke dalam rumah. Namun tiba-tiba seorang anak perempuan sudah berdiri di hadapannya. Wanita itu pun mendekati anak perempuanyang memiliki wajah agak pucat itu.<br />
<br />
“Halo? Kamu siapa?”<br />
<br />
Namun anak perempuan itu hanya diam tidak menjawab. Ia hanya memandang ke arah lain.<br />
<br />
“Kau sedang melihat apa?”<br />
<br />
Anak perempuan itu lagi-lagi hanya diam membisu. Namun kali ini ia mengangkat tangan kanannnya dan menunjuk ke sesuatu sambil mengeluarkan senyuman dingin di bibirnya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Kau sedang menunjuk apa?”<br />
<br />
Wanita itu pun melihat ke sesuatu yang di tunjuk oleh anak perempuan itu.<br />
<br />
“Suamiku? Memangnya kenapa dengan suamiku?”<br />
<br />
Wanita itu melihat suaminya pergi dengan mobilnya, namun tiba-tiba sebuah mobil lain yang datang dari arah yang berlawanan dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil yang dikendarai oleh suaminya. Kontan saja kedua mobil tersebut saling berguling dan kemudian meledak. Sang isteri yang melihat kejadian itu langsung menjerit melihat suaminya terbakar di dalam mobil tersebut.<br />
<br />
“Tidaaaaaaaaak!!!.................................................................................................Tidaaaaaaakkkk!!!!!”<br />
<br />
Wanita itu berteriak hingga terbangun dari tidurnya. Teriakannya juga membuat suami yang tidur di sebelahnya juga terbangun.<br />
<br />
“Honey, ada apa? Kau bermimpi buruk?” tanya sang suami.<br />
<br />
“Entahlah sayang, aku bermimpi melihat kau mengalami kecelakaan” ucap sang isteri.<br />
<br />
“Tenanglah, itu hanya sebuah mimpi. Minumlah seteguk air dan coba pejamkan matamu lagi” ujar sang suami.<br />
<br />
“Baiklah” sahut sang isteri yang mengambil sebuah gelas yang sudah kosong yang terletak di meja sebelah tempat tidurnya.<br />
<br />
“Airnya habis, aku ke dapur dulu ya” ujar sang isteri.<br />
<br />
Wanita itu keluar kamar untuk mengisi gelasnya lagi dengan air mineral, sementara sang suami sudah terlelap kembali. Wanita tersebut menurunii tanggadan berjalan menuju dapurnya. Kemudian ia mengisi gelasnya dengan air dan meneguknya dengan perlahan sambil sesekali menggoyang-goyangkan air yang ada di gelasnnya. Sesaat kemudian ia melihat bayangan seorang anak perempuan terpantul di gelas yang ia pegang. Spontan ia pun berbalik kebelakang untuk memastikan bayangan tersebut, namun tidak ada apa-apa di belakangnya. Lalu ia meletakkaan gelasyang di pegangnya ke atas meja dan dengan segera ia kembali ke kamar.<br />
<br />
****<br />
<br />
Keesokan paginya…..<br />
<br />
“Honey, aku turun di sini saja” ucap sang isteri.<br />
<br />
Sang suami mengehentikan mobilnya di pinggir jalan, kemudian sang isterii turun dari mobil tersebut.<br />
<br />
“Kau pulang sendiri atau ku jemput?” tanya sang suami.<br />
<br />
“Hmmm….. sepertinya aku pulang sendiri, karena aku hanya sebentar dii rumah temanku” sahut sang isteri.<br />
<br />
“Baiklah. Aku pergi dulu ya” ucap sang suami, kemudian keduanya saling memberikan ciuman.<br />
<br />
Baru saja sang isteri memalingkan badannya, tiba-tiba sebuah suara mobill yang saling bertabrakan terdengar di telinganya. Ia pun menoleh dan dan menghadapi kenyataan kalau suaminya telah mengalami kecelakaan mobil yang sangat fatal. Ia melihat mobil suaminya meledak dengan kedua matanya.<br />
<br />
“Tidaaaaaaakk!!!!!!!!!!”<br />
<br />
Ia pun berlari mendekati mobil suaminya yang terbakar namun seorang warga melarangnya untuk mendekati mobil itu, karena di takutkan masih rawan ledak.<br />
<br />
“Lepaskan aku .…!! Aku ingin menyelamatkan suamiku…. !!!! Ronnyyyyyy” teriaknya histeris.<br />
<br />
Saat wanita itu histeris melihat suaminya yang tewas dalam kecelakaan tersebut, sesaat matanya melihat seorang anak perempuan berdiri di sebrang jalan. Namun anak perempuan itu seakan menghilang di keramaian warga yang ingin melihat kejadian itu.<br />
<br />
****<br />
<br />
Daerah perbatasan Illunois,<br />
Jum’at, May 2008.<br />
Pukul 11.00 pagi.<br />
<br />
Sebuah mobil Chevrolet Impala berwarna hitam melaju di daerah perbatasan menuju Illunois. Alunan musik rock berkumandang dari radio mobil tersebut. Dengan asik Dean mengikuti lirik yang di nyanyikan oleh penyanyi lagu tersebut. Sementara Sam merasa gerah mendengar musik keras seperti itu. Karena sudah tidak tahan lagi, ia pun mematikan radio tersebut.<br />
<br />
“Hey..hey….mengapa kau matikan musiknya?” tanya Dean.<br />
<br />
“Kau sebut itu musik? It’s suck” ujar Sam.<br />
<br />
“Tunggu, jangan hina musik kesukaan ku seperti itu” ujar Dean sambil menyalakan kembali radio mobilnya, bahkan kali ini ia menyetel volumenya lebih keras.<br />
<br />
Namun Sam tidak tinggal diam, ia pun mematikan radio itu lagi. Lalu dinyalakan lagi oleh Dean. Dimatikan lagi oleh Sam, lalu dinyalakan lagi oleh Dean.<br />
<br />
“Mengapa kau tidak mau mengalah?” tanya Sam.<br />
<br />
“Karena aku yang lebih tua” sahut Dean.<br />
<br />
“Kau yang lebih tua, memang benar, dan menurutmu yang muda harus mengalah” ucap Sam.<br />
<br />
“Benar kau yang harus mengalah” ujar Dean sambil tertawa.<br />
<br />
“Tapi lebih etis kalau yang tua yang mengalah pada yang muda” balas Sam.<br />
<br />
“Ok. Aku akan bersikap sebagai saudara tua yang baik”<br />
Dean akhirnya menyerah juga, ia pun mematikan radio mobilnya tersebut. Sementara Sam memandang keluar jendela sambil tersenyum puas.<br />
<br />
****<br />
<br />
Winchester bersaudara itu pun tiba di sebuah kota di Illunois. Kemudian mereka mencari sebuah penginapan sebagai tempat untuk berteduh. Setelah menemukan sebuah motel, mereka pun berhenti di sana.<br />
<br />
“Sam …kau yang pesan kamar, aku mau makan dulu di restoran itu, aku lapar. Aku tidak sabar ingin makan Beff Burger” ujar Dean.<br />
<br />
“terserah kau” sahut Sam.<br />
<br />
Sam masuk ke dalam penginapan, sementara Dean menuju ke restoran kecil yang terletak di seberang penginapan tersebut. Dean memasuki restoran tersebut dan menarik sedikit perhatian bagi orang-orang yang ada di dalamnya.<br />
<br />
“Aku pesan Beef Burger dan segelas kopi” ucap Dean pada seorang pelayan.<br />
Tidak berapa lama pesanannya pun di antar.<br />
<br />
“Great, it’s time to have a lunch”<br />
<br />
Ia melahap burger itu dengan sangat lahap. Kemudian Sam pun muncul dan mendekatinya.<br />
<br />
“Ow.. dan sekarang kau makan sendirian” ujar Sam.<br />
<br />
“Oh, Sorry Sammy aku begitu lapar sampai-sampai lupa memesankan makanan untukmu” sahut Dean yang berbicara sambil mengunyah makanannya.<br />
<br />
Sam hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah saudaranya tersebut. Kemudian ia pun memesan makanan untuk dirinya sendiri. Saat ia memesan makanannya, ia merasa kalau orang-orang yang ada di restoran itu sedang memperhatikan mereka berdua. Hal itu tidak di sadari oleh Dean karena ia hanya sibuk mengisi perutnya dengan burger yang lezat.<br />
<br />
****<br />
<br />
Setelah selesai mengisi perut, mereka berdua pun kembali menjalankan tugas yang menjadi tujuan kedatangan mereka ke tempat itu.<br />
<br />
“Dean. Apa kau tidak melihat orang-orang tadi selalu memperhatikan kita?” tanya Sam.<br />
<br />
<br />
“Siapa peduli. Mungkin mereka belum pernah melihat makhluk setampan ini” sahut Dean.<br />
<br />
“Oh, Dean, please..” sahut Sam.<br />
<br />
“Yang penting sekarang kita selesaikan kasus yang kita hadapi dengan cepat” ucap Dean.<br />
<br />
“Ok, kalau begitu kita harus mengunjungi rumah keluarga korban kecelakaan aneh itu” ujar Sam.<br />
<br />
****<br />
<br />
Beberapa hari yang lalu, Sam dan Dean menemukan berita mengenai kecelakaan aneh yang menimpa seorang pria di kota tersebut. Sam menyelidiki melalui internet kalau kejadian itu bukan yang pertama kali di kota itu, melainkan sudah ke enam kalinya dalam kurun waktu 8 bulan. Dan mereka berdua berpendapat kalau kecelakaan itu terjadi pasti bukan karena penyebab biasa, tetapi ada hubungannya dengan dunia supranatural.<br />
<br />
Dan kini mereka sedang mengunjungi kelurga korban terakhir yang mengalami musibah tersebut.<br />
<br />
“Maaf kami mengganggu, apa benar di sini rumah Tn. Ronny Beltrami?” tanya Dean.<br />
<br />
“Ya, benar. Saya adik isterinya” ujar wanita yang sedang menerima kedatangan mereka.<br />
<br />
“Kami berdua adalah relasi kerja Tn. Beltrami, Aku Dean dan ini rekan saya Sam, dan kami kemari ingin mengucapkan turut berduka cita. Boleh kami bertemu dengan kakak anda?” ujar Sam.<br />
<br />
“Terima kasih sebelumnya. Tapi kakak saya sedang tidak ada. Karena kemarin ia pulang ke rumah orang tua saya setelah suaminya di kuburkan.” ujar wanita tersebut.<br />
<br />
“Oh, begitu. Sayang sekali, padahal kami ingin berbicara dengannya” ucap Dean.<br />
<br />
“Berbicara tentang apa?” tanya wanita itu.<br />
<br />
“Kami hanya ingin tahu mengenai kejadian yang sebenarnya” ucap Dean.<br />
<br />
“Karena Tn. Beltrami sudah banyak membantu kami, kami pun merasa sangat kehilangan, entahlah, kami hanya ingin tahu mengenai kejadian yang sebenarnya” lanjut Sam.<br />
<br />
“Oh, aku mengerti. Kalau begitu masuklah, aku juga kurang begitu mengerti, tetapi kakakku sempat menceritakan sesuatu kepadaku” ucap wanita itu sembari mempersilahkan Dean dan Sam masuk ke rumahnya.<br />
<br />
****<br />
<br />
Dean dan Sam masuk kerumah itu sambil melihat-lihat keadaan isi rumah itu.<br />
“Silahkan duduk” ujar wanita itu.<br />
<br />
“Terima kasih” ujar keduanya.<br />
<br />
“Aku akan membuatkan kalian minuman” ucap wanita itu.<br />
<br />
“Tidak perlu repot-repot Nona, kami hanya sebentar saja kok” ucap Sam.<br />
<br />
“Susan, namaku Susan” ujar wanita itu.<br />
<br />
“Nona Susan ya.. OK” sahut Dean yang mulai mengeluarkan sedikit senyuman pesonanya pada wanita itu.<br />
<br />
“So… memangnya kakak anda bercerita tentang apa?” tanya Sam yang bermaksud menghentikan Dean yang mulai tebar pesona pada wanita itu.<br />
<br />
“Aku juga tidak begitu percaya, tapi ia bilang padaku, kalau sebelum suaminya mengalami kecelakaan, ia sempat bermimpi hal yang aneh” jelas Susan.<br />
<br />
“Mimpi yang aneh?” tanya Sam penasaran.<br />
<br />
“Mimpi seperti apa?” lanjut Dean.<br />
<br />
“Dia bilang kalau ia bermimpi suaminya mengalami kecelakaan. Dan keesokan harinya mimpi itu menjadi kenyataan” jelas Susan.<br />
<br />
“Dia bilang begitu?” tanya Sam agak terkejut.<br />
<br />
“Dan ada satu hal lagi, di dalam mimpinya, katanya ia juga melihat seorang anak perempuan yang sangat aneh” ucap Susan.<br />
<br />
“Anak perempuan?” tanya Dean.<br />
<br />
“Ya. Anak perempuan kurang lebih berusia 9 tahun, entahlah ini benar-benar hal yang tidak masuk akal. Bahkan ia melihat anak itu juga ada di dapur dan di lokasi kejadian saat suaminya mengalami kecelakaan. Kalian tahu cerita ini membuat ku merinding. Aku sangat kasihan padanya. Apa lagi saat ini ia sedang mengandung” jelas Susan yang sedikit mengeluarkan air mata.<br />
<br />
Sam dan Dean hanya saling berpandangan mendengarkan cerita Susan tersebut.<br />
<br />
“Kami fikir kau benar, mungkin itu semua hanya halusinasi semata dan tidak berarti apa-apa, jadi kau tidak perlu terlalu memikirkannya” ujar Dean mencoba membuat Susan tidak terlalu paranoid.<br />
<br />
“Eeee… maaf Nn. Susan, boleh saya pinjam toiletnya?” tanya Sam.<br />
<br />
“Oh, tentu saja, ada di sebelah kiri dapur” ucap Susan menunjukkan letak toiletnya.<br />
<br />
Sam berjalan menuju dapur. Ia hanya berpura-pura mau ke toilet, melainkan mau memeriksa ruangan tersebut dari jejak makhluk gaib, seperti hantu atau apapun. Kebetulan Sam membawa sebuah alat pendeteksi hantu. Ia mengitari seluruh areal dapur untuk mencari petunjuk. Sesaat, alat tersebut menunjukkan sebuah reaksi. Reaksi yang menunjukkan memang ada sesuatu yang gaib yang pernah menginjak tempat itu. Setelah merasa yakin, Sam pun kembali ke ruang tamu dan melihat Dean yang sedang melancarkan aksi rayuan gombalnya pada Susan.<br />
<br />
“Baiklah, Nn. Susan. Sepertinya kami harus pergi, karena masih ada hal yang harus kami kerjakan” ujar Sam.<br />
<br />
“Sekali lagi terima kasih sudah mau datang” kata Susan sambil mengantarkan Sam dan Dean ke pintu depan.<br />
<br />
****<br />
<br />
“Bagus.. aku sedang bertugas sementara kau asik menggoda Susan” ucap Sam agak kesal.<br />
<br />
“Apa? tentu saja aku bekerja. Aku sedang mencari informasi darinya” sahut Dean sambil tersenyum.<br />
<br />
“Oh ya, maksudmu informasi nomor teleponnya” ujar Sam.<br />
<br />
“Ha..ha..ha…dari mana kau tahu?”<br />
<br />
Sam tidak menjawab pertanyaan Dean. Ia hanya menggeleng-gelangkan kepalanya. Kemudian keduanya pun memasuki mobi. Dean mulai menghidupkan mobilnya dan bergegas dari sana.<br />
<br />
****<br />
<br />
“Kau dengar apa katanya?” ucap Sam.<br />
<br />
“Tentang apa?” tanya Dean.<br />
<br />
“Tentang mimpi yang di alami kakaknya Susan” jawab Sam yang semakin kesal dengan saudaranya itu.<br />
<br />
“Oh ya. Kau juga pernah mengalaminya kan” Sahut Dean.<br />
<br />
“Ya, aku memang pernah mengalaminya. Tapi aku fikir kasus yang kita hadapi saat ini berbeda dengan kasusku dulu. Susan bilang kakaknya melihat seorang anak perempuan dalam mimpinya.” ucap Sam.<br />
<br />
“Kau tahu, ketika aku memeriksa dapurnya dengan alat pendeteksi hantu, alat itu menunjukan reaksi yang menjelaskan memang pernah ada sesuatu yang muncul di rumah itu” jelas Sam.<br />
<br />
“Jadi, menurutmu siapa anak perempuan itu?” tanya Dean.<br />
<br />
“Entahlah bisa hantu, bisa juga sesuatu yang lain. Yang jelas kita harus mengetahui siapa anak perempuan yang membayang-bayangi kakaknya Susan” sahut Sam.<br />
<br />
“Baiklah, sepertinya kita memang harus berusaha mencari informasi lebih banyak lagi” ujar Dean.<br />
<br />
“Tapi sepertinya mau turun hujan, apa sebaiknya kita kembali dulu ke penginapan” ucap Sam.<br />
<br />
“Ya, kau benar. Aku juga ingin istirahat sebentar” sahut Dean.<br />
<br />
Mereka pun memutuskan untuk kembali ke penginapan dan memulai penyelidikan esok hari. Sementara langit semakin gelap menunjukkan sepertinya akan turun hujan.<br />
<br />
****<br />
<br />
Sabtu dini hari…<br />
<br />
Malam semakin larut di kala hujan turun dengan derasnya, sembari di sertai oleh kilat yang saling menyambar. Di salah satu rumah…penghuni rumah sudah terlelap. Dinginnya malam di kala hujan membuat mereka lebih cepat terlelap, meskipun suara halilintar cukup mengganggu pendengaran.<br />
<br />
Di sebuah kamar, tampak pasangan suami isteri yang sedang terlelap dengan lampu yang padam pula. Namun cahaya dari halilintar sesaat menerangi ruangan tersebut. Dan terlihat sebuah sosok sedang berdiri di pinggir tempat tidur sambil mendekatkan tangannya di kepala sang wanita. Sekilas juga terlihat wajahnya yang pucat pasi dengan pipi yang munujukkan bagian dalam tengkoraknya.<br />
<br />
****<br />
<br />
Sabtu pagi<br />
Pukul 09.00, di sebuah kantor kependudukan.<br />
<br />
Sementara itu Dean dan Sam masih mencoba mencari titik terang mengenai kasus yang sedang mereka hadapi. Dean mencoba mencari informasi tentang anak-anak yang meninggal dalam kurun waktu setahun terakhir di sebuah kantor catatan sipil sementara Sam menunggu di mobil sambil mencari informasi melalui internet.<br />
<br />
“Maaf ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang petugas.<br />
<br />
“Saya seorang mahasiswa yang sedang melakukan riset di kota ini” ucap Dean.<br />
<br />
“Lalu..?” tanya petugas itu lagi.<br />
<br />
“Saya kemari ingin mengetahui beberapa data mengenai orang yang telah meninggal sekitar setahun kebelakang, terutama anak-anak” ucap Dean.<br />
<br />
“Boleh saya tahu untuk keperluan riset apa ini?” tanya petugas itu lagi.<br />
<br />
“Ok. Saya akan jelaskan lebih rinci….”<br />
<br />
Singkat cerita Dean berhasil mendapatkan informasi data anak-anak yang meninggal dalam kurun waktu satu tahun kebelakang. Kemudian ia pun kembali ke mobil di mana Sam sudah menunggunya di dalam mobil.<br />
<br />
“Kau berhasil mendapatkannya?” tanya Sam.<br />
<br />
“Tentu saja” sahu Dean dengan bangga.<br />
<br />
“Apa yang kau katakan pada mereka?” tanya Sam penasaran.<br />
<br />
“Aku bilang kalau aku adalah mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan penelitian terhadap kesehatan lingkungan dan aku meminta data tentang anak-anak yang meninggal setahun terakhir sebagai bahan rujukan” jelas Dean.<br />
<br />
“Kau? Sebagai mahasiswa kedokteran? Ha..ha…ha…” Sam tertawa geli.<br />
<br />
“Memangnya kenapa? Apa aku tidak cocok jadi mahasiswa kedokteran?” tanya Dean.<br />
<br />
“Kau? Ha..ha..ha..ha…ha” Sam tertawa geli karena tidak bisa membayangkan seandainya Dean adalah seorang dokter. Apa yang akan terjadi dengan pasiennya jika pasiennya tersebut adalah seorang wanita cantik.<br />
<br />
“Hey…berhentilah mentertawakanku” ujar Dean sambil memukul pundak Sam.<br />
<br />
Namun Sam memang tidak bisa menahan tawanya.<br />
<br />
“Baiklah cukup. Beri tahu aku informasi apa yang kau temukan jangan hanya mentertawakan aku saja” ucap Dean.<br />
<br />
“All right…all right…” Sam menunjukkan informasi yang terdapat di laptopnya kepada Dean.<br />
<br />
“Aku menemukan data tiga orang korban lainnya yang mengalami kecelakaan aneh tersebut. Umumnya mereka semua adalah pria yang sudah berkeluarga dan tinggal di lingkungan yang sama. Dan lihat ini, salah seorang isteri dari korban bercerita pada media kalau ia sempat bermimpi melihat suaminya terjatuh dari atas gedung. Dan ke esokan harinya suaminya tersebut jatuh dari sebuah lokasi konstruksi bangunan tempatnya bekerja.”<br />
Jelas Sam.<br />
<br />
“Jadi dia juga sempat mengalami mimpi sebelum suaminya mengalami kecelakaan” sahut Dean.<br />
<br />
“Lalu data apa yang kau peroleh tadi?” tanya Sam.<br />
<br />
Kemudian Dean mengeluarkan sebuah data orang-orang yang meninggal setahun terakhir dan terdapat lima buah nama yang di tandai yang masih berusia anak-anak.<br />
<br />
“lima anak tercatat meninggal setahun terakhir, empat orang meninggal karena sakit dan satu orang lagi karena kecelakaan. Lihat, ada dua orang dengan nama belakang yang sama” jelas Dean.<br />
<br />
“Lenertz” ucap Sam pelan.<br />
<br />
“ya. Emely dan Pamela Lenertz” ucap Dean.<br />
<br />
Kemudian Sam memasukkan nama Lenertz ke mesin pencari di laptop miliknya, dan muncul sebuah informasi mengenai kematian mereka.<br />
<br />
“Mereka memang bersaudara. Yang tua bernama Pamela” ucap Sam.<br />
<br />
“Apa penyebab kematian mereka?” tanya Dean.<br />
<br />
“Sebentar… Emely meninggal karena penyakit asma. Sementara Pamela meninggal karena mengalami kecelakaan terpeleset dari tangga. Mereka meninggal 8 bulan yang lalu” jelas Sam.<br />
<br />
“apa menurutmu salah satu dari mereka pantas untuk di curigai?” tanya Dean.<br />
<br />
“Entahlah. Informasi di sini tidak begitu banyak membantu. Tapi tidak ada salahnya jika kita menyelidikinya” sahut Sam.<br />
<br />
“tunggu sebentar, lihat ini,” tangan Dean menunjuk ke berita yang terdapat laptop milik Sam.<br />
<br />
“Ayah kedua anak itu meninggal dalam sebuah kecelakaan sebulan setelah kedua anaknya meninggal. Jatuh dari tangga juga. Bukankah itu kedengaran aneh” ujar Dean.<br />
<br />
“Ya. Kau benar. Dan sekarang apa yang kita lakukan?” tanya Sam.<br />
<br />
“Ibu kedua anak ini masih hidup, kita ke rumahnya sekarang juga, di sini ada alamatnya” ujar Dean.<br />
<br />
Dean menghidupkan mobilnya Impala hitamnya. Saat mobilnya hendak masuk ke badan jalan, tiba-tiba terjadi korsleting pada kabel listrik yang terdapat di seberang jalan. kabel itu kemudian putus dan terjatuh sehingga mengenai seorang pria yang kebetulan sedang berjalan di pinggir jalan tersebut. pria itu pun tewas tersengat listrik.<br />
<br />
“Oh my God!!” ucap Sam terkejut melihat kejadian yang terjadi depan kedua matanya.<br />
<br />
“Damn!! God!!” sahut Dean yang juga kaget.<br />
<br />
Kejadian itu spontan membuat ricuh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Sam dan Dean pun segera keluar dari mobil dan mendekati TKP yang sudah ramai oleh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.<br />
<br />
“Dean, kejadian itu terjadi lagi” ujar Sam.<br />
<br />
“Aku akan pargi ke rumah kedua anak itu untuk menemui ibu mereka, dan kau di sini, cari tahu tentang korban tersebut” ujar Dean.<br />
<br />
“Ok, kita bertemu di penginapan” sahut Sam.<br />
<br />
Dean berlari masuk ke mobilnya kemudian ia pu bergegas pergi mencari alamat tempat tinggal Pamela dan Emely Lenertz. Sementara Sam berbaur dengan orang-orang untuk melihat mayat pria tersebut.<br />
<br />
****<br />
<br />
Pukul 11.00<br />
Di rumah Keluarga Lenertz.<br />
<br />
Dean tiba di sebuah rumah yang sangat lengang. Rumah tersebut tampak tidak terurus karena banyak di tumbuhi oleh tanaman liar. Ia pun mengetuk pintu tersebut berkali-kali, namun sama sekali tidak ada jawaban.<br />
<br />
“Tok….tok….tok….” suara ketukan pintu.<br />
<br />
“Hello…”<br />
<br />
“Ada orang di rumah…” teriak Dean.<br />
<br />
“Maaf, kau sedang mencari siapa?” tanya seorang wanita tua yang kebetulan lewat di depan rumah itu.<br />
<br />
“Oh, saya sedang mencari pemilik rumah ini” jawab Dean.<br />
<br />
“Maksudmu keluarga Lenertz?” tanya wanita tua itu.<br />
<br />
“Ya. Anda benar” ucap Dean.<br />
<br />
“Tapi Tn. Lenertz dan kedua putrinya sudah lama meninggal. Yang tertinggal hanya Ny. Lenertz” ucap wanita tua itu.<br />
<br />
“Saya tahu. Saya kemari untuk bertemu dengan Ny. Lenertz” sahut Dean.<br />
<br />
“Sayang sekali, dia sudah tidak tinggal di rumah ini lagi” ucap wanita tua tersebut.<br />
<br />
“Apa? lalu apa nyonya tahu di mana dia sekarang?” tanya Dean.<br />
<br />
“Sejak suami dan kedua anaknya meninggal, ia mengalami gangguan jiwa dan saat ini dia di rawat di rumah sakit jiwa yang ada di kota ini” jelas wanita tua itu.<br />
<br />
“Terima kasih Nyonya atas informasinya” ujar Dean.<br />
<br />
“Tidak masalah” ucap wanita itu.<br />
<br />
Dean tidak menyia-nyiakan waktunya, ia kemudian menghubungi Sam dan menanyakan keberadaannya.<br />
<br />
“Sam….kau sudah di penginapan?” tanya Dean yang berbicara melalui ponsel.<br />
<br />
“Ya, aku sudah berada di penginapan” jawab Sam.<br />
<br />
“Baiklah, aku akan menjemputmu di sana” ujar Dean.<br />
<br />
Dean melajukan mobilnya dengan cepat menuju penginapan untuk menjemput Sam.<br />
<br />
****<br />
<br />
Rumah Sakit Jiwa Gold Eden.<br />
Sabtu, Pukul 14.00 siang.<br />
<br />
“Dean wanita itu sudah gila, apa dia bisa memberikan keterangan?”<br />
<br />
“Entahlah, tidak ada salahnya di coba?” ucap Dean.<br />
<br />
Selanjutnya Dean dan Sam di antar oleh seorang perawat untuk menemui Ny. Lenertz.<br />
<br />
“Aku tidak yakin dia mau berbicara, karena sejak ia masuk ke rumah sakit ini, ia tidak pernah menunjukkan reaksi pada siapapun. Ia hanya duduk diam di kursi” ucap sang perawat.<br />
<br />
Perawat itu mengajak Dean dan Sam masuk ke kamar Ny. Lenertz.<br />
<br />
“Itu dia. aku akan meninggalkan kalian” ucap sang perawat.<br />
<br />
Dean dan Sam melihat seorang wanita berpenampilan lusuh, dengan rambut yang tidak beraturan, duduk diam dengan mata memandang ke sebuah televisi yang sedang memutar sebuah film animasi.<br />
<br />
“Ny. Lenertz, apa kau dengar aku. Namaku Dean dan ini adikku Sam” ucap Dean.<br />
<br />
“Kami berdua ingin berbucara sesuatu pada nyonya” lanjut Sam.<br />
<br />
Namun wanita itu sama sekali tidak memberikan reaksi apa-apa.<br />
<br />
“Ny. Lenertz, kami ingin mengetahui tentang kematian putri anda, Pamela” ujar Dean.<br />
<br />
Wanita itu sedikit gemetaran mendengar nama Pamela diucapkan oleh Dean.<br />
“Pergi..!!! Pergi kalian!!! Pergi….!!!” teriak Ny. Lenertz.<br />
<br />
Teriakannya membuat sang perawat masuk dan menanyakan apa yang terjadi.<br />
<br />
“Apa yang terjadi? Ny. Lenertz anda tidak apa-apa?” tanya perawat itu yang melihat tubuh Ny. Lenertz ketakutan.<br />
<br />
“Maaf, kami tidak bermaksud membuatnya takut” ujar Dean.<br />
<br />
“Sebaiknya kalian pergi dari tempat ini” ujar sang perawat.<br />
<br />
Dean dan Sam tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Namun semuanya berubah saat di televisi tersiar berita tentang peristiwa kecelakaan yang terjadi tadi siang.<br />
<br />
Ny. Lenertz kembali berteriak dan meminta sang perawat untuk melakukan sesuatu.<br />
<br />
“Ku mohon hentikan dia, hentikan dia!!!” teriak Ny. Lenertz.<br />
<br />
“Apa maksud anda nyonya aku tidak mengerti” ujar sang perawat.<br />
<br />
“Mengapa dia berkata seperti itu? dia siapa yang ia maksud?” tanya Dean.<br />
<br />
“Entahlah, tiga hari yang lalu dia juga bertingkah seperti ini saat melihat berita seorang pria yang mengalami kecelakaan mobil” jelas sang perawat.<br />
<br />
Melihat hal itu Sam memiliki sebuah ide untuk bisa mendapatkan informasi dari wanita tersebut.<br />
<br />
“Tenanglah nyonya, kami akan membantu anda untuk menghentikan dia, tapi nyonya harus memberi tahukan semua yang nyonya tahu agar kami bisa menghentikannya” bujuk Sam kepada Ny. Lenertz.<br />
<br />
Mendengar ucapan Sam wanita itu kemudian menjadi lebih tenang. Ia pun duduk kembali di kursinya.<br />
<br />
“Maaf, boleh kami bicara lagi dengannya sebentar saja” pinta Dean pada sang perawat.<br />
<br />
“Baiklah, waktu kalian hanya 10 menit” ujar sang perawat.<br />
<br />
Sam mencoba berbicara kembali pada nyonya Lenertz yang sudah menjadi lebih tenang.<br />
<br />
“Nyonya, katakan pada kami, siapa yang harus kami hentikan?” tanya Sam.<br />
<br />
“Dia…..dia………..hentikan dia…..hentikan…putriku” ucap Ny. Lenertz perlahan.<br />
<br />
“Bisakah kau menceritakan pada kami apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Sam lagi.<br />
<br />
Nyonya Lenertz memandang wajah Sam dan menyentuhnya.<br />
<br />
“Ini semua salah suamiku………..<br />
<br />
Nyonya Lenertz mulai menceritakan apa yang terjadi pada keluarga mereka………..<br />
<br />
****<br />
<br />
Kurang lebih setahun yang lalu….<br />
<br />
Malam hari, di sebuah rumah….. terdengar suara seorang pria sedang marah-marah.<br />
<br />
“Di mana dia…?” ucap pria itu dengan emosi.<br />
<br />
“Dia sedang tidur. Ku mohon jangan salahkan dia lagi. Dia sudah sangat menderita” ujar seorang wanita yang merupakan Ny. Lenertz. Sedangkan pria yang sedang marah-marah itu adalah suaminya.<br />
<br />
“Aku tidak peduli” ucap Tn. Lenertz dengan keras sambil masuk ke dalam sebuah kamar.<br />
<br />
Di kamar itu terlihat seorang anak perempuan sedang tertidur pulas. Tanpa berperasaan Tn. Lenertz menarik tangan anak perempuan itu dan menyeretnya.<br />
<br />
“Ampun ayah…ampun…” ucap anak itu sambil terisak menangis.<br />
<br />
“Ayah akan menghukummu sekarang juga. Karena perbuatanmu, adikmu, Emely harus dirawat intensif di rumah sakit. Dan karena kesalahanmu, kau harus menerima hukuman ini” teriak pria itu sambil memukuli anaknya.<br />
<br />
Melihat hal itu, Ny. Lenertz tidak tinggal diam, ia berusaha melindungi anaknya dari siksaan suaminya. Namun apa daya, tenaga lelaki itu lebih kuat darinya, sehigga hanya sekali dorong Ny. Lenertz pun tersungkur.<br />
<br />
“Jangan pukul aku ayah….jangan….” anak itu mulai menangis tersedu-sedu.<br />
<br />
“Sekarang kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu” pria itu benar-benar sudah kalap, ia memukul anaknya sehingga anak perempuan yang tidak berdosa itu terdorong ke arah tangga dan kemudian jatuh hingga membuatnya meninggal.<br />
<br />
“Pamela…….!!!!” Teriak Ny. Lenertz.<br />
<br />
Kembali ke masa sekarang….<br />
<br />
Nyonya Lenertz hanya bisa menangis tersedu-sedu. Ia lalu memberitahukan kepada Sam dan Dean, kalau suaminya memberi laporan pada polisi kalau Pamela kecelakaan terpeleset di tangga. Lalu sehari kematian Pamela, Emely yang sedang di rawat di rumah sakit karena penyakit asma nya, juga meninggal dunia. Hal itu semakin membuat Ny. Lenertz terpukul.<br />
Belum lagi sang suami pun harus meninggal karena terjatuh dari tangga seperti yang di alami oleh Pamela. Kedua putrinya tidak di makamkand I pemakaman umum tetapi dimakamkan di belakang rumah mereka. Hal itu atas permintaan Ny. Lenertz sendiri.<br />
<br />
Sam dan Dean merasa miris mendengar cerita Ny. Lenertz, namun hal ini juga menguatkan dugaan kalau hantu Pamela ingin menuntut balas.<br />
<br />
“Nyonya, kami akan menghentikan putri anda sebisa mungkin, dan mencegah semua ini agar tidak terjadi lagi” ujar Dean.<br />
<br />
Nyonya Lenertz kembali membisukan dirinya, ia hanya menatap kosong ke depan dan tidak mempedulikan kejadian di sekitarnya.<br />
<br />
****<br />
<br />
Malam hari …<br />
Pukul 21.00<br />
<br />
Dean dan Sam segera bergegas ke rumah Ny. Lenertz dengan mengendarai Impala hitamnya.<br />
<br />
“Aku masih tidak mengerti, mengapa Pamela harus membunuh orang lain, bukankah ayahnya yang bersalah atas kematiannya?” tanya Sam merasa heran.<br />
<br />
“Entahlah, yang penting kita harus segera membakar mayat anak itu” ujar Dean.<br />
<br />
Setelah beberapa menit, akhirnya mereka tiba di rumah Ny. Lenertz yang keadannya sangat menyeramkan. Rumah itu sudah lama tidak di tempati. Tanaman liar menutupi sebagian besar rumah tersebut.<br />
<br />
Dean dan Sam menerobos masuk ke rumah tersebut. Keadaan ruangan bagian dalam cukup luas. Kemudian mereka menuju halaman belakang untuk mencari makam Pamela.<br />
<br />
Setelah memeriksa ke setiap tempat akhirnya mereka menemukan dua buah makam yang saling berdekatan. Di nisannya tertulis nama Pamela Lenert dan Emely Lenertz.<br />
<br />
“Baiklah, aku yang akan menggalinya” ucap Dean.<br />
<br />
Dean menggunakan sebuah cangkul untuk menggali makam Pamela. Setelah beberapa saat, akhirnya ia mencapai dasar makam dan menemukan sebuah peti berisi mayat Pamela yang sudah menjadi tulang belulang.<br />
<br />
Kemudian Sam menyiramkan beberapa tetes air suci dan garam.<br />
<br />
“Beristirahat lah dengan damai” ujar Dean sambil menyalakan sebuah korek.<br />
<br />
Saat Dean hendak membakar mayat Pamela tiba-tiba angin bertiup kencang, suasana rumah itu menjadi semakin mencekam.<br />
<br />
“Dean, aku fikir dia tahu, kalau kita akan memusnahkannya” teriak Sam.<br />
<br />
“Aku tidak peduli….” Ujar Dean sembari mencoba menyalakan sebuah korek lagi.<br />
<br />
Namun kali ini sebuah kekuatan mendorong mereka berdua, dan membuat mereka berdua terpental menjauhi makam. Dean dan Sam mencoba untuk bangkit, selanjutnya mereka berdua melihat sebuah kilasan kejadian yang pernah terjadi di rumah itu.<br />
<br />
Di dalam kilasan itu, mereka melihat dua orang anak perempuan sedang bermain-main.<br />
<br />
“Aku akan selalu menyayangi mu Emely” ujar Pamela.<br />
<br />
“Aku juga Pamela, apapun yang terjadi padamu aku akan selalu membelamu” ucap Emely.<br />
<br />
“Tidak. Seharusnya aku yang melindungimu, kau kan sedang sakit” sahut Pamela.<br />
<br />
“Meskipun aku sakit aku tetap akan berusaha melindungimu dari apapun” lanjut Emely.<br />
<br />
“Kalau begitu, kita akan saling melindungi” sahut pamela.<br />
<br />
Kemudian kilasan berganti ke kejadian lain…<br />
<br />
“Emely!! Matikan lilin itu, nanti kau bisa membuat rumah ini kebakaran” ucap Pamela.<br />
<br />
“Ha…ha…ha…tenanglah Pamela, aku tidak akan menjatuhkan lilin ini” sahut Emily.<br />
<br />
Emily membawa lilin sambil berlari-lari, sampai akhirnya lilin itu terjatuh dan membakar sebuah gorden. Api semakin besar, hal itu membuat penyakit asma yang di derita Emily kumat.<br />
<br />
“Emily….!!!” Teriak Pamela.<br />
<br />
Kilasan berganti lagi ke saat Tn. Lenertz menyiksa Pamela hingga terjatuh dari tangga.<br />
<br />
“Jangan pukul aku ayah….jangan….” anak itu mulai menangis tersedu-sedu.<br />
<br />
“Sekarang kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu” pria itu benar-benar sudah kalap, ia memukul anaknya sehingga anak perempuan yang tidak berdosa itu terdorong ke arah tangga dan kemudian jatuh hingga membuatnya meninggal.<br />
<br />
“Pamela…….!!!!” Teriak Ny. Lenertz.<br />
<br />
Selanjutnya berganti lagi saat Tn. Lenertz mengalami kecelakaan juga, namun kali ini, Dean dan Sam menemukan sesuatu yang berbeda.<br />
<br />
“Emely, jangan lakukan ini Emely..!!! teriak Tn. Lenertz.<br />
<br />
“Mengapa kau membunuh Pamela ayah, dia adalah saudaraku yang paling aku sayangi. Dia tidak bersalah apa-apa” ucap hantu Emily.<br />
<br />
“Maafkan ayah” teriak Tn. Lenertz.<br />
<br />
“Aku benci ayah…aku benci ayah..!!!!” teriak Emily.<br />
<br />
“Jangan sayang…ayah sangat menyayangi kalian berdua” ujar Tn. Lenertz.<br />
<br />
Emely tidak peduli dan ia pun membuat ayahnya terjatuh dari tangga. Kemudian Ny. Lenertz muncul dan mendapati suaminya sudah meninggal.<br />
<br />
Dean dan Sam hanya bisa terdiam menyaksikan kilasan kejadian itu. Kini kilasan itu menghilang, yang ada hanya sesosok hantu anak perempuan yang merupakan hantu Emily. Ia menatap Dean dan Sam dengan wajah penuh kemarahan. Kulit di wajahnya sedikit terkelupas, sementara wajah bagian kiri menunjukkan bagian dalam tengkoraknya.<br />
<br />
“Jangan ganggu saudaraku….!!!” Teriak Emily.<br />
<br />
Saat Dean mencoba menembaknya dengan peluru garam, Emely dengan cepat mendorong mereka lagi dengan kekuatannya. Kemudian Winchester bersaudara itu di lilit oleh akar-akar tanaman yang muncul dari dalam tanah. keduanya kini hampir tidak berdaya karena di cekik oleh lilitan akar tersebut.<br />
“Dean!!!” teriak Sam.<br />
<br />
“Aku tidak bisa bergerak” sahut Dean.<br />
<br />
Namun di saat genting seperti itu, tiba-tiba sesosok hantu lain muncul dan menarik tangan hantu Emely.<br />
<br />
“Hentikan Emily, sudah cukup. Sudah cukup kau membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Kau membunuh semua ayah karena kesalahan ayah kita sendiri. Aku tidak ingin menginginkan hal ini terjadi lagi” ucap sosok hantu yang merupakan hantu Pamela.<br />
<br />
Kemudian Pamela mengajak Emely pergi dan mereka berdua menghilang dalam kilauan cahaya putih.<br />
Setelah kedua sosok hantu itu menghilang, perlahan lilitan akar yang mengikat tubuh Sam dan Dean mulai melonggar. Mereka pun terbebas dari ikatan akar tersebut.<br />
<br />
“fiuh……ternyata ini semua ulah Emily. Dia membunuh orang yang berstatus ayah atau suami, karena ia tidak ingin kejadian yang menimpanya terulang pada orang lain” ujar Dean.<br />
<br />
“Dia terlalu sayang dengan saudaranya, sehingga membuatnya menjadi hantu penasaran seperti ini.” sahut Sam.<br />
<br />
“Meskipun begitu, ini benar-benar perbuatan gila. Aku tidak ingin hal ini terjadi padamu Sam, aku tidak ingin kau jadi gila ketika aku mati nanti” ucap Dean.<br />
<br />
“Dean,please jangan bicarakan itu di sini, lebih baik kita selesaikan pekerjaan kita yang belum selesai” sahut Sam.<br />
<br />
Kemudian Sam dan Dean membokar makam Emely dan membakar kedua mayat tersebut sekaligus. Setelah selesai menyelesaikan pekerjaan yang tak biasa itu, mereka pun segera meninggalkan rumah itu.<br />
<br />
<br />
^Sekian dan Terima kasih^<br />
<br />
<br />
Ntar abis nyang ni baru ane buat SCARY STORY yang mempersembahkan para penduduk tret SN ff sebagai karakternya Tongue Roll Eyes Grin Big WinkRED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-26758840431500306292010-04-29T05:19:00.001+07:002010-10-09T14:01:17.738+07:00Fic: Black And WhiteAuthor : Reiforizza A.<br />
<br />
Disclaimer : “Supernatural” adalah milik Eric Kripke dan The CW. Saya cuma minjem sebentar kok, kalo dah beres pasti dibalikin lagi. Walaupun mungkin bentuknya tak semulus sebelumnya...<br />
<br />
Warning : Plotless dan sedikit cussing, tapi sisanya cukup aman.<br />
<br />
Genre : Humor/Parodi<br />
<br />
Rating : K+/PG<br />
<br />
Pairing : Dean x Impala x Burung?<br />
<br />
Summary : Secuil kisah tentang kehidupan sehari-hari Dean bersama mobil kesayangannya.<br />
<br />
WHITE ON BLACK<br />
<br />
Sparepart 01<br />
<br />
Saat itu adalah hari Sabtu pagi yang amat cerah, sinar matahari memancar lembut, udara masih bersih dan segar, bahkan bulir-bulir embun masih tampak membasahi kaca mobil-mobil bekas di Singer’s Auto Salvage. Anak sulung keluarga Winchester, Dean, sedang menyibukkan diri di bawah rok gadis kesayangannya, ’67 Chevy Impala. Mobil klasik warisan Ayah itu perlu ganti oli, dan manalah mungkin seorang Dean membiarkan gadisnya disentuh mekanik selain dirinya. Belakangan ini, Sam sendiri dilarang brutal duduk di kursi kemudi Impala. Kalau itu sampai terjadi, Dean langsung pasang tampang don’t-screw-with-my-baby.<br />
<br />
Setelah menuangkan pelumas baru pada mobilnya, Dean beranjak ke garasi milik Bobby untuk mengambil selang, sabun pencuci mobil, beserta sponsnya. Impala memang perlu dibersihkan, kilau catnya jadi terselubung gara-gara debu jalanan sehabis dibawa berburu ke Colorado tempo hari.<br />
<br />
Dean menyalakan radio, lagu “Travelling Riverside Blues”-nya Led Zeppelin terdengar dari speaker. Ditemani lagu itu dan suara kicauan burung di sekitar halaman, Dean bersiul sambil menggosok Impala dengan hati-hati seolah sedang memandikan bayi. Hm, jelas sekali kalau moodnya sedang bagus pagi ini.<br />
<br />
Beberapa saat kemudian, setelah semua busa sabun dibilas dengan air bersih, Dean mulai mengeringkan mobilnya dengan lap Plas-chamois. Mulai dari kap, kaca depan, bemper, jendela, spion, bahkan sampai ke sela-sela velg. Dean memandang puas, ini baru Impala paling seksi sedunia; kilau cat dan bodi metalnya sudah pulih, kapan pun ia siap menjadi primadona di atas karpet hitam.<br />
<br />
Tiba-tiba sebuah ide hebat nan brilian bersarang di kepala Dean. Ia langsung berteriak keras-keras memanggil si adik, “Sammy!”<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tak lama, tampaklah anak bungsu keluarga Winchester melongokkan kepalanya dari jendela rumah Bobby. “Apa?”<br />
<br />
“Bawakan kamera digitalmu kemari ya, aku mau berfoto bersama cewekku!”<br />
<br />
Sam cuma geleng-geleng kepala mendengar pinta kakaknya. Lantas dia segera menuju ruang tamu untuk mengambil kamera tersebut di tas ransel. Baru saja Sam muncul di teras, Dean sudah melambai-lambaikan tangannya, “lama sekali sih.”<br />
<br />
“Ini,” cuma sebegitu jawaban Sam, sembari menyerahkan kamera tersebut kepada si kakak.<br />
<br />
Reaksi pertama Dean adalah mengangkat sebelah alisnya, kamera itu pun dikembalikan. “Ngapain diberikan padaku? Kamu yang memotret, Einstein.”<br />
<br />
Sam mengalah, dia pun mundur beberapa langkah untuk mencari sudut yang tepat agar Dean beserta bodi Impala dapat tertangkap seluruhnya.<br />
<br />
CROOTH!<br />
<br />
“What the f— Sam!” Dean protes. Dia masih belum pasang pose tapi adiknya sudah menjepret duluan.<br />
<br />
Kontan Sam segera membela diri, “aku belum melakukan apa-apa.”<br />
<br />
Hm, benar juga sih, kalau dipikir-pikir bunyi tadi memang tidak masuk akal. Sejak kapan kamera milik Sam berbunyi ‘crooth!’ begitu. Mencurigakan.<br />
<br />
Mendadak, hidung super sensitif Dean menangkap bau tidak enak, arahnya datang dari belakang. Pemuda itu berbalik, wajahnya langsung berubah pucat. Sebuah cairan kental berwarna putih keabu-abuan bertengger di atas kap Impala.<br />
<br />
Melihat kakaknya diam membatu, Sam jadi cemas. “Dean...?”<br />
<br />
Tiada respon.<br />
<br />
Sam tambah cemas. Didekatinya sang kakak, dia bermaksud mengguncang sedikit bahunya. Tapi belum sempat tangan kanannya mendarat ke anatomi tujuan, Dean melesat menuju bagian belakang Impala dengan langkah lebar-lebar.<br />
<br />
“Dean, mau ap—” kata-kata Sam tersangkut di tenggorokannya saat Dean menyambar Sawn-off shotgun dari bagasi dan mulai menembaki langit.<br />
<br />
“BURUNG SIAL KEPARAT!”<br />
<br />
Dan derita Dean rupanya belum berakhir...<br />
<br />
A/N: Emang belum berakhir. Masih ada satu bab lagi. Tapi nanti deh diposkannya. Saya cuma mau ikut memeriahkan fandom Supernatural Indonesia di ffnet, boleh kan?<br />
<br />
Sejak nonton SPN 5.08 —di mana Impala dirasuki Sam untuk jadi Kitt, sementara Dean jadi Hasselhoff— saya gatel pengen ngejailin Dean sekalian sama mobilnya. Jadilah fic ini sebagai ajang garuk-garuk. Punten kalo ceritanya gape alias ga penting, emang ga niat bikin fic penting *8D<br />
<br />
Sparepart 02<br />
<br />
Gara-gara insiden kotoran burung tadi pagi, Bobby segera menendang Winchester bersaudara jauh-jauh dari propertinya. Tapi tidak sebelum menyuruh mereka mandi, sarapan, dan memberikan sebuah map berisi kasus supranatural. Dari gelagatnya, besar mungkin mereka akan menghadapi Penyihir — tipe yang paling sukses membuat Dean keki.<br />
<br />
Sekarang dua kakak-adik itu tengah melaju bersama Impala ke kota selanjutnya, meskipun selama awal perjalanan Dean masih uring-uringan. Berkali-kali dia meyakinkan Sam bahwa burung gila itu dirasuki, terbukti dia sengaja buang kotoran di mobilnya, padahal di sekitar rumah Bobby banyak mobil-mobil lain yang lebih layak. Sebagai tambahan, tembakannya tidak ada yang kena! Dean kan seorang penembak jitu.<br />
<br />
Mendengar itu, Sam segera berpura-pura menyibukkan diri dengan map yang diberikan Bobby.<br />
<br />
Belasan kilometer sudah dilewati, namun Dean asyik saja meracau ke mana-mana. Saat stok bahan omongan sudah habis untuk sementara, dia menyalakan tape untuk memutar album Metallica kepunyaannya, “Ride the Lightning”. Dentuman musik otomatis membahana dalam interior Impala. Spontan, Dean ikut buka suara —kalau tak mau disebut berteriak— mengikuti lirik yang dilantunkan si vokalis.<br />
<br />
Sesaat, bola mata hijau yang tak pernah gagal menaklukkan perempuan itu melirik ke arah kursi penumpang. Dean mengangkat alis ketika menemukan Sam tengah tidur sepulas beruang di musim dingin.<br />
<br />
Ekstrim juga bocah Winchester yang satu ini, bisa terlelap di tengah-tengah musik yang bikin tuli. Barangkali karena malam sebelumnya Sam riset semalam suntuk untuk persiapan kasus. Atau... mungkin juga Sam selalu dapat mengecap kenikmatan tidur ala bayi karena ada Dean di sampingnya.<br />
<br />
Mencapai tengah hari, perut Dean mulai keroncongan — irama yang sama sekali tidak selaras dengan garukan gitar Kirk Hammett. Lantas, Dean membawa Impala memasuki lahan parkir sebuah kedai makan yang pertama ia lihat. Kedai tersebut cukup ramai, tampak banyak kendaraan lain terparkir di situ. Tak heran, karena saat ini merupakan jam lumrahnya orang cari makan.<br />
<br />
Hap! Impala sudah terparkir dengan aman. Dengan kepiawaian mengemudinya, Dean memastikan gadis favoritnya tidak tergores bodi mobil lain yang mengapit di kedua sisi. Kemudian, tepat ketika dengkur Impala padam, Sam mengerjapkan matanya.<br />
<br />
“De, titip salad... dan kentang goreng ekstra... krrr...” Sam tertidur lagi dengan sukses.<br />
<br />
‘Singkat, padat, jelas,’ batin Dean. Ini sih sudah jelas dia yang harus beli makanan, dibungkus pula. Hilang deh keleluasaannya untuk berkenalan dengan waitress cantik yang mungkin dipunyai kedai ini. Tapi kalau dipikir-pikir, dengan kondisi pengunjung yang demikian ramai, mereka pasti tengah heboh jumpalitan menerima pesanan, keluar-masuk dapur, mencuci piring, membersihkan meja, sampai memberikan uang kembalian. Tambahan, dua pemburu cakap ini tak akan bisa mendiskusikan detil kasus dengan santai dalam ruangan penuh orang awam.<br />
<br />
Dean melengos.<br />
<br />
Lima Belas menit kemudian, Winchester sulung keluar dari kedai. Kedua tangannya penuh karena dipersenjatai dua gelas minuman ringan, salad, kentang goreng jumbo, pai cheri, dan burger keju ekstra bawang bombay. Ups, tak lupa selembar tisu yang tengah ia gigit, bertuliskan nomor telepon seorang waitress berbodi biola Prancis, Michelle namanya. Ha! Jangankan merayu cewek ketika mereka sedang sibuk kerja, saat dunia kiamat pun dia masih bisa dapat teman kencan. Mungkin...<br />
<br />
Kali ini, Dean cengegesan seperti habis dibelikan seember permen.<br />
<br />
Namun, moodnya mendadak berubah drastis untuk kedua kalinya di hari yang sama, tatkala matanya menemukan gumpalan cairan kental berwarna putih keabu-abuan yang menodai kaca depan Impala. Cih, lagi-lagi kotoran burung.<br />
<br />
“Dammit!” Rutukan Dean keluar otomatis. Meskipun suaranya terdengar sedikit konyol gara-gara mengigit tisu, tapi semangat maki-makinya melebihi pelaut. “Apa aku sedang dimusuhi makhluk-makhluk bersayap?!”<br />
<br />
(Di suatu tempat, Uriel terpeleset kulit pisang)<br />
<br />
Lantas, Dean meletakkan belanjaan makan siangnya di atas kap Impala. Tanpa buang-buang waktu, dia gunakan selembar tisu untuk membersihkan kotoran burung laknat yang menodai mobilnya. Tetapi, ia terlambat menyadari bahwa tisu tersebut bukanlah tisu sembarangan.<br />
<br />
“AAAAAHH! NOMOR TELEPON MICHELLE!!!” Serunya kalap.<br />
<br />
Namun, sudah terlambat. Tintanya luntur, tisunya robek, lecek, bau pula. Dean harus terima kenyataan bahwa nomor itu sudah tak terselamatkan. Oke, sudah diresmikan bahwa hari ini adalah hari sialnya. Winchester sulung itu dongkol lagi, mukanya ditekuk, plus kering sekering-keringnya. Ini mengesalkan sekali. Dia sudah mengalami banyak hal menyebalkan untuk satu hari, keadaan tentu tak akan bertambah parah, kan?<br />
<br />
Nyatanya ironi memutuskan untuk menjahilinya.<br />
<br />
Tiba-tiba, seorang ibu-ibu berumur melongok dari dalam jendela bangku belakang Impala. Senyumnya tampak gembira. “Terima kasih, nak. Kamu baik sekali.”<br />
<br />
Dean melongo. ‘Lho, kok?’<br />
<br />
“PWAHAHAHAHAHAHAHA!!!”<br />
<br />
Dean menoleh ke arah sumber tawa itu. Dilihatnya Sam tengah terpingkal-pingkal, tubuhnya sampai miring hingga harus disangga sebuah mobil; mobil Impala 1967 berplat nomor CNK 8003 tepatnya. Winchester tertua berbalik menghadapi si ibu tadi dengan cengiran yang dipaksakan. “Euh... senang melayani.”<br />
<br />
Dia pun buru-buru menyambar bungkusan makan siangnya, kemudian melesat ke tempat Sam dan Impala miliknya sendiri. Andai mobilnya bisa bicara, mungkin dia sudah mengomel habis-habisan karena Dean salah mengenali Impala lain sebagai kepunyaannya. Selama beberapa lama, suara tawa Sam masih belum berhenti menggaungi lahan parkir itu.<br />
<br />
“Oh Dean... andai tadi kamera kukeluarkan,” Sam mengikik.<br />
<br />
“Bukannya tadi kau sedang tidur?” Sungut Dean keki.<br />
<br />
“Dan melewatkan pemandangan indah tadi? No thank you. Gyahahahahahahaha...!”<br />
<br />
Kali ini, Sam tertawa sampai terjongkok-jongkok. Tampaknya dia belum akan berhenti cekakakan sampai tahun depan. Lantas, Dean segera menjejalkan makan siang dan adiknya masuk ke dalam mobil, sebelum bocah itu memutuskan untuk haha-hihi sambil koprol di aspal.<br />
<br />
End<br />
<br />
A/N: Bereeeesss!!! Duh, enaknya nulis fanfic, bisa ngejailin Dean abis-abisan. Ohohohoho~<br />
<br />
Sebetulnya, saya pingin informasi karakternya tertulis Dean W & Impala '67, tapi ternyata FFnet ngga punya pilihan yang terakhir itu. Sebel deh, padahal Impala kan udah dianggap sebagai tokoh utama ke-3 setelah Sam dan Dean. Hiks...<br />
<br />
Untuk Netta_001, kalo mau nonton episode SPN yang baru keluar, coba deh kunjungi www(dot)sidereel(dot)com. Terus cari aja Supernatural pakai search engine-nya. Tulis kata kunci dengan spesifik, misalnya: "Supernatural season 5 episode 7". Dari sana, bakal keluar link untuk nonton episode yang dimaksud. Berkat web itu, saya bisa nonton SPN sampai 5x10. Sekarang lagi siap-siap untuk 5x11 yang bakal tayang tanggal 21 Januari nanti. Sambil nunggu, akhirnya nulis fanfic deh (sekalian sarana menghibur diri karena depresi nonton 5x10 TT_TT).RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-55710950655161347192010-04-28T11:39:00.005+07:002010-10-09T13:59:54.701+07:00Fic: Baiduri ApiIni juga salah satu dari tulisan Ambu saat NaNo 09, tapi belum selesai. Ambu muat saja, dengan harapan akan ada masukan untuk perbaikan. Entah kenapa, nulis ini susah banget, udah berapa bulan Ambu nyoba dan masih banyak yang harus diperbaiki. Banyak kalimat yang enggak logis, banyak hubungan antarkalimat yang masih aneh. Masih harus dirombak besar-besaran.<br />
<br />
Jadi, inilah dia:<br />
<br />
BAIDURI API<br />
<br />
Fanfic Supernatural crossover dengan sedikit Chronicles of Ancient Darkness<br />
<br />
Supernatural kepunyaan Eric Kripke, dan Chronicles of Ancient Darkness milik Michelle Paver<br />
<br />
Chara:<br />
* Supernatural: Dean Winchester, Sam Winchester<br />
* Chronicles of Ancient Darkness: Torak, Renn, Seshru, Saeunn, Fin-Kedinn, Serigala<br />
* Original Character: Torak (versi modern)<br />
Genre: Adventure<br />
Rating: T<br />
Warning: MPREG<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
“Dalam satu jam kita akan berada di pos perbatasan, right?” Dean menyetir sambil matanya lurus ke depan, sementara Sam sibuk meneliti peta yang dibuka lebar-lebar.<br />
<br />
“Yup,” sahutnya pelan, “dan sebaiknya kita isi bensin saja dulu—“<br />
<br />
“—belok kanan?” tak mengharapkan jawaban, Dean sudah terlebih dahulu memutar setir.<br />
<br />
“Kanan, masuk rute 5,” Sam melipat petanya, “—dan kita berhenti dulu di Bellingham untuk isi bensin. Full tank, karena kita baru akan bertemu dengan—“<br />
<br />
“Ya, ya, aku tahu—“ Dean menyalakan tape-nya, tapi kemudian mematikannya. Ia mengalihkannya pada radio, memutar-mutar tombolnya, “—mana sih. Kemarin sudah kudapat, spesialis classic rock, nah ini—“ ia mengeraskan radionya sambil memukul-mukul—pelan tapi berirama—setirnya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sam melengos mendengar Unforgiven-nya Metallica mengisi seluruh ruang Impala. Ia kemudian membuka-buka lagi peta tadi, meneruskan membaca informasi yang mungkin diperlukan.<br />
<br />
“Sekitar 20 jam kalau kita menyetir terus menerus,” sahut Sam sambil matanya terus memandang peta.<br />
<br />
“—huh?”<br />
<br />
“Seattle – Fairbanks sekitar 1500 mil lebih. Jadi kalau kita bisa terus dengan kecepatan 80 mil begini, 20 jam baru kita sampai. Itu tanpa berhenti.”<br />
<br />
“Hitung saja pakai berhenti isi bensin dan makan,” sahut Dean sambil terus menyenandungkan Unforgiven.<br />
<br />
“Memangnya kau mau menyetir selama itu?”<br />
<br />
Dean menoleh pada Sam, memandangnya lama-lama, sebelum terpaksa mengalihkan pandangan pada jalan karena ada mobil dari arah yang berlawanan. “Yah, kalau terpaksa, kau menggantikan aku—“ sahutnya ringan.<br />
<br />
Sam tertawa kecil. “Jarang-jarang denger aku boleh menyetir—“<br />
<br />
“Terpaksa, Sammy, terpaksa—“<br />
<br />
“Sudah kubilang, mending naik pesawat saja. Tiga jam Seattle – Fairbanks—“<br />
<br />
Kalau pelototan mata Dean bisa membunuh Sam, tentu Dean sudah ditangkap dengan tuduhan pembunuhan :P<br />
<br />
“Tidak, tidak , dan tidak, Sammy! Mending capek cross-border bolak-balik, daripada—“<br />
<br />
“Iya, iya, aku dengar,” Sammy melipat lagi petanya, menyimpannya dalam laci dashboard, dan mengatur posisi duduknya agar bisa memejamkan mata.<br />
<br />
“Hei, hei, jangan tidur dulu—“<br />
<br />
“Bellingham masih sejam lagi kan? Bangunkan aku kalau sudah sampai di sana—“ Sam menyahut sambil nyengir jail.<br />
<br />
Tapi ternyata ia tidak benar-benar tidur, hanya tidur-tidur ayam, dan mengomentari apapun yang lewat atau yang terlihat. Sudah hampir sejam ketika papan nama kota Bellingham terlihat.<br />
<br />
“OK, isi bensin dulu sampai penuh, baru cek di perbatasan,” Sam memperbaiki duduknya. “—mau pakai identitas yang mana?”<br />
<br />
“Yang asli saja. Biar mudah kalau ada pemeriksaan surat-surat kendaraan.”<br />
<br />
“OK,” Sam menyiapkan dompetnya.<br />
<br />
Pemeriksaan di perbatasan Amerika Serikat – Kanada memang biasanya mudah. Untuk warganegara Amerika, kalau ada sih paspor, tapi kalau tidak ada, kartu identitas seperti SIM juga bisa, asal ada fotonya. Surat kendaraan kadang ditanya kadang tidak. Barang apa yang dibawa juga, kadang hanya basa-basi ditanya, kadang suka diperiksa sampai teliti. Pemeriksaan yang teliti biasanya dilakukan kalau baru saja ada kejadian, misalnya ada yang ketahuan membawa narkoba, atau sejenisnya, maka kendaraan selanjutnya akan diperiksa dengan lebih teliti.<br />
<br />
Dean mengurangi kecepatan Impala ketika dilihatnya ada rambu stasiun pengisian bahan bakar. Baru disadarinya, kendaraan di depannya, sebuah Mustang merah manyala juga menjalankan kendaraannya pelan-pelan, berbelok di pom bensin itu. Jadilah Dean mengambil urutan kedua antri di belakang.<br />
<br />
Pengemudi Mustang itu turun. Cewek. Dean langsung saja bersiul. Umur sekitar awal dua puluhan, rambut pirang ikal, celana jeans skinny plus kaos ketat dengan jaket jeans juga. Dia mengambil selang bensin dan mengisi tangki mobilnya, sembari sesekali melihat jam tangannya.<br />
<br />
Selesai. Ditaruhnya selang bensin di tempatnya, lalu kembali ke belakang kemudi. Tapi berkai-kali ia mencoba, tidak bisa distarter.<br />
<br />
Dean melirik Sam, bibirnya membentuk senyuman nakal. Sedikit anggukan, mereka berdua keluar dari mobil dan menghampiri Mustang merah itu.<br />
<br />
“Perlu dibantu, Miss?” Dean bertanya dengan senyuman mautnya.<br />
<br />
“Oh—eh, aku tak tahu, kenapa jadi begini. Tidak bisa distarter—“<br />
<br />
Dean duduk di kursi supir dan mencoba menstarter. Tidak bisa.<br />
<br />
“Kami dorong dulu, agar leluasa memeriksanya.”<br />
<br />
Dean memberi isyarat pada Sam, dan mereka berdua mendorong mobil itu sampai tempat parkir. Melempar kunci pada Sam agar ia meneruskan mengisi bensin, Dean lalu membuka kap mesin dan mencari-cari apa yang salah.<br />
<br />
Sam tersenyum kecil. Kembali ke Impala, ia mengisi bensin, lalu memarkirnya di samping Mustang tadi.<br />
<br />
Entah apa saja yang dikerjakan oleh Dean, tapi dalam beberapa menit kemudian ia menyuruh nona tadi menstarter mobil, dan berhasil.<br />
<br />
“Oh, terima kasih,” nona pirang itu tampak sangat gembira. Kelihatannya ia terburu-buru, kesal karena mesinnya bermasalah, dan karenanya benar-benar berterimakasih pada Dean. “—harus kubayar berapa—“<br />
<br />
Dean trersenyum nakal, “Tidak perlu, Miss—“<br />
<br />
“Panggil saja Amanda. Amanda Schell.”<br />
<br />
“Mungkin nomer anda?”<br />
<br />
Amanda tertawa kecil. Jelas-jelas ia kagum pada Dean, hanya sekedar nomer telepon tentu saja tak mengapa. Ia mencondongkan tubuh, membuka laci dashboardnya, mengambil tas tangannya. Mencari-caari sesuatu. Mengeluarkan sebuah kotak, kotak kartu nama ternyata, dan membukanya. Diambilnya selembar, dan diserahkan pada Dean.<br />
<br />
“Wow!” Dean bersiul membaca apa yang ada di tangannya, “ternyata kau artis?”<br />
<br />
Tersenyum Amanda menutup tasnya, menaruhnya di laci dashboardnya kembali. “Belum terkenal. Masih level lokal,” katanya, dan menutup pintu mobilnya. “Sayang aku terburu-buru, tapi mungkin kita bisa bertemu lagi lain kali, er—“<br />
<br />
“Dean. Dan itu Sam, adikku.”<br />
<br />
“OK. Thanks sekali lagi, Dean!”<br />
<br />
Mustang bergerak maju, dan ia melambaikan tangan.<br />
<br />
Dean juga Sam melambaikan tangan.<br />
<br />
“Aku ke kamar kecil dulu,” mata Dean masih memandang ke arah jalan walau Mustang itu sekejap saja sudah menghilang.<br />
<br />
“Yo.” Sam mengibas-ngibaskan tangan di depan mata Dean sambil tertawa, dan diikuti dengan tawa Dean juga. “Aku beli kudapan dulu. No beer, kau akan menyetir jauh—“<br />
<br />
“Okay!”<br />
<br />
Dean berjalan ke bagian belakang stasiun pengisian bahan bakar itu, sementara Sam ke bagian depan bangunan, yang sekaligus digunakan untuk minimarket. Beberapa menit kemudian keduanya kembali ke mobil.<br />
<br />
“Okey, awal perjalanan jauh.” Sam masuk ke mobil dengan membawa kantong belanjaannya. Dean juga sudah akan masuk, ketika ia berhenti.<br />
<br />
Memandang ke tanah. Tempat Mustang merah menyala tadi parkir. Dan ia memungut sesuatu dari situ, seperti buku kecil.<br />
<br />
Ia masuk ke mobil, tapi konsentrasinya pada buku kecil itu. Membuka-bukanya.<br />
<br />
“Buku alamat?” Sam bertanya penasaran, melihat kakaknya memusatkan perhatian pada temuannya.<br />
<br />
“Ya. Sepertinya—“<br />
<br />
“Kepunyaan Amanda?” terka Sam.<br />
<br />
Dean mengangguk. “Sepertinya jatuh tadi waktu ia mengambil kartu nama dari tas,” sahutnya, memberikan buku kecil itu pada Sam.<br />
<br />
Sam menerimanya, menyimpan belanjaan di kursi belakang, dan mengikuti perbuatan Dean tadi, membuka-buka buku alamat tadi. Khas artis baru muncul, buku alamatnya penuh dengan alamat, nomor telepon, dan email produser, talent-searching dan orang-orang sejenisnya.<br />
<br />
Dean membuka dompetnya, mencari kartu nama yang tadi diberikan Amanda, dan mulai memencet-mencet nomer.<br />
<br />
Nampaknya ponsel Amanda tidak diangkat, atau tidak diaktifkan, karena Dean menanti beberapa lama, tapi tak ada jawaban.<br />
<br />
“Ya, sudah,” Dean mengembalikan kartu nama ke dalam dompet, menge-save nomer Amanda, menutup pintu mobil, dan menstarter mesin. “—kita coba lagi beberapa saat nanti. Mudah-mudahan saja dia sudah mencatat nomer-nomer dan alamat itu dalam ponselnya, jadi dia tidak merasa terlalu kehilangan.”<br />
<br />
Sam mengangguk. “Lagipula perbatasan sudah di depan mata.”<br />
<br />
Dean mengangguk, dan menjalankan Impalanya.<br />
<br />
Hanya beberapa menit, mereka masuk Posko Perbatasan. Seperti yang sering dibicarakan orang, masuk ke Kanada lebih mudah daripada masuk kembali ke Amerika Serikat. Kalau dihitung-hitung, pemeriksaan hanya berjalan selama tigapuluh detik, hanya mengantrinya agak lama.<br />
<br />
Mobil di depan mereka ternyata membawa seorang lansia, yang merasa tidak enak badan, dan ingin keluar dulu, sepertinya ingin muntah dulu, dan memang benar. Ia muntah tepat di depan pintu mobilnya. Baik pengemudinya, anggota keluarganya yang lain, maupun petugas perbatasan sibuk dulu sejenak membereskan keributan itu.<br />
<br />
“Benar-benar hanya tigapuluh detik,” sahut Sam sambil memasukkan kartu pengenalnya ke dalam dompet. Mobil mereka sudah masuk ke wilayah Kanada.<br />
<br />
Dean tak berbicara, ia sibuk memencet-mencet tombol ponselnya sambil terus menyetir. “Masih dimatikan ponselnya,” sahutnya, memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, dan konsentrasi menyetir.<br />
<br />
“Ya sudah,” Sam mengambil posisi duduk yang nyaman, dan menutup mata, “—kalau berhenti, atau mau digantikan, bangunkan aku ya!”<br />
<br />
“Aye!” dan Dean menyalakan lagi radio pada gelombang yang tadi. “Damn! Sudah mulai tak tertangkap radio tadi!”<br />
<br />
“Streaming saja,” sahut Sam setengah tertidur, sambil setengah tertawa.<br />
<br />
“Awas kau!” Dean bersungut-sungut, jelas-jelas Sam menertawakan tape mobilnya yang butut hingga hanya bisa menyetel kaset dan menangkap gelombang radio secara manual, tidak bisa menyetel CD ataupun streaming gelombang-gelombang radio se-dunia. Ganti mendengar radio, ia mencari-cari kaset Metallica dengan tangan yang satu, menyetelnya, mengeraskan, dan mulai bernyanyi keras-keras bersama Hetfield. Sam tertawa kecil sambil berbalik dan memejamkan mata.<br />
<br />
Selama berpuluh bahkan beratus mil kemudian yang terdengar hanya suara Hetfield. Jalan terhitung sepi, mungkin karena fajar juga baru mulai muncul. Mobil dari arah yang berlawanan bisa dihitung satu-satu.<br />
<br />
Cuaca bisa dibilang bersahabat. Untuk bulan-bulan sekarang, Mei-Juni-Juli, sudah memasuki musim panas. Tapi karena mereka memasuki wilayah utara, mendekati garis balik lintang Utara, suhu semakin dingin, walau matahari mulai bersinar malu-malu.<br />
<br />
“Sudah di mana?” Sam duduk lebih tegak, menggosok-gosok matanya.<br />
<br />
“Hampir Prince George. Kau mau berhenti dulu?”<br />
<br />
“Kurasa kita makan dulu.”<br />
<br />
“Okey. Dan mengisi bensin,” Dean kembali berkonsentrasi pada kemudi.<br />
<br />
Tak lama berselang, papan nama Prince George muncul di sisi jalan, dan mereka mulai memasuki kawasan yang lebih ramai.<br />
<br />
Dean mengurangi kecepatan sekarang, mencari kedai yang menyediakan breakfast. Dari kejauhan nampak satu. Berbelok, mencari tempat parkir yang kebetulan penuh. Untung dapat satu.<br />
<br />
Berdua turun, mencari tempat duduk, dan memesan sarapan. Dean sudah kembali memencet-mencet keypad ponselnya.<br />
<br />
“Yes!” sahutnya, “—dapat!”<br />
<br />
Sam mengangkat alisnya, sebelum mengerti saat Dean mulai bicara.<br />
<br />
“Amanda? Ya, ini Dean, yang tadi. Buku alamatmu jatuh—Oya, bagus kalau begitu. Kau mau ke mana? Fairbanks—tapi kami juga akan ke sana—Sudah sampai di mana? Okey, mudah-mudahan Mustang-mu bisa kami susul—tertawa—Okey, kau tak apa-apa menyetir sendiri?—Okey, sampai ketemu!”<br />
<br />
Sarapan datang, dan Dean mencomot cheeseburgernya. “Seperti sudah kubilang tadi, ia sudah menyalin info dari buku alamat—“ ia menggigit sepotong besar.<br />
<br />
“Tapi nekad juga cross-border menyetir sendirian,” Sam menusuk kentang gorengnya dengan santun.<br />
<br />
“Yeah. Apalagi kelihatannya dia tidak begitu terbiasa dengan mobil. Maksudku, seperti umumnya kaum wanita—Dean terdengar sedikit merendahkan—hanya bisa menyetir, dan tak tahu apa-apa soal mobil—“<br />
<br />
“Yeah, dan kaulah yang paling tahu soal mobil—“<br />
<br />
Dean melempar serbetnya, tapi Sam mengelak sambil tergelak.<br />
<br />
“Dengan keadaan seperti itu, paling-paling juga kita akan bisa menyusulnya dalam beberapa jam. Cepat juga, Mustang itu!”<br />
<br />
“Mungkin dia pakai Mustang karena memang dia perlu kecepatan. Kaudengar tadi, dia seperti terburu-buru.”<br />
<br />
“Hm,” Dean menghabiskan cheeseburgernya, menghabiskan kopinya, dan mengelap mulutnya dengan tisu, “—tujuan kita di Fairbanks?”<br />
<br />
“Sebelum Fairbanks,” Sam mengeluarkan peta lipat dari saku jaketnya, membukanya di atas meja setelah terlebih dahulu menyingkirkan piring sarapannya yang sudah kosong.<br />
<br />
Menunjukkan tempatnya pada Dean. “Ada belokan ke kiri, dan nanti di situ kita telepon saja Pavarell, dia akan menunjukkan arahnya.”<br />
<br />
Ia melipat lagi petanya, “—memangnya Amanda juga mau ke Fairbanks?”<br />
<br />
“Yaps,” Dean bersendawa, mengundang pelototan Sam, tapi ia mengacuhkannya seperti biasa, “—kalau perlu kita susul saja dia.” Ia berdiri, mengeluarkan lipatan uang dari saku celana, menyimpan beberapa lembar di meja, dihimpit piring.<br />
<br />
Sam mengikuti berdiri, dan keluar.<br />
<br />
“Perhentian kita selanjutnya?” Dean buru-buru menambahkan, “—untuk mengisi bensin?”<br />
<br />
“Mungkin Meziadin Junction. Atau Dease Lake.”<br />
<br />
“Okey.” Masuk ke dalam mobil dan kembali merambah jalanan.<br />
<br />
Mil demi mil dilahap. Kali ini Sam tidak terlelap. Seperti sedang berpikir.<br />
<br />
“Kau pikir—Pavarell tahu apa yang ia kerjakan?” sahut Dean memecah kesunyian, setengah bertanya setengah mengeluarkan pernyataan.<br />
<br />
“Mungkin. Lagipula, kalau Bobby mendukung, kemungkinan besar ia memang benar.”<br />
<br />
“Tapi, artifak Inuit di Fairbanks? Bukannya Eskimo itu di kutub?”<br />
<br />
“Itulah. Pavarell mengatakan, artifak itu seperti bukan berasal dari tanahnya. Seperti diambil dari tempatnya, lalu dibawa ke tempatnya, dan dikubur di sana, entah kenapa. Mungkin takut ada yang melihat, atau bagaimana.”<br />
<br />
“Cari di internet?”<br />
<br />
“Sulit. Email yang dikirim kemarin, fotonya buram. Lebih baik kita langsung melihatnya saja.”<br />
<br />
Hening lagi. Jalan relatif sepi, apalagi ukurannya besar, lurus-lurus, membuat Dean memacu Impala dengan kecepatan maksimal. Sam membuka email dari ponselnya, tapi tak ada yang menarik.<br />
<br />
Tiba di Dease Lake, istirahat sejenak dan makan, mengisi bensin, Dean melempar kunci kontak Impala pada Sam. “Ganti menyetir. Aku mau tidur.”<br />
<br />
“Okey.”<br />
<br />
Waktu sudah menunjukkan lewat sore hari, tapi matahari masih betah menemani tatkala mereka masuk Yukon. Walau demikian, suhu makin rendah di sini.<br />
<br />
Mereka berhenti, makan dan mengisi bensin, lalu melaju lagi. Dean yang pegang kemudi kini.<br />
<br />
“Dia cepat juga,” sahut Dean seperti sambil lalu.<br />
<br />
“Huh? Siapa—oh, Amanda?”<br />
<br />
“Ya. Dan sekian jam menyetir tanpa diganti. Maaf kalau terkesan meremehkan, tapi dia perempuan, dan—“<br />
<br />
“Apakah mungkin kita sudah melewatinya, tanpa kita sadari? Atau dia berbelok dulu di salah satu kota kecil? Atau mungkin juga ada yang naik, dan menggantikannya menyetir? Apa saja bisa terjadi.”<br />
<br />
Dean mengangguk. Tapi sambil menyetir, dikeluarkan ponselnya susah payah dari saku jaket, dan dipencet nomer terakhir yang ia hubungi tadi.<br />
<br />
Tersambung, tapi tak ada yang mengangkat.<br />
<br />
Dua-tiga kali, berakhir sama.<br />
<br />
“Mungkin sedang kagok menyetir,” Sam menyela.<br />
<br />
“Mungkin,” Dean menyimpan ponselnya di dalam saku jaketnya lagi.<br />
<br />
Gelap sudah turun tatkala Impala itu berhenti di perbatasan Kanada – Amerika Serikat. Di sini ternyata pemeriksaan lebih ribet dari perbatasan Amerika Serikat – Kanada.<br />
<br />
“Biasanya juga lebih teliti,” sahut seorang pengemudi yang mobilnya berhenti tepat di depan Impala, sama-sama menunggu giliran diperiksa, “tapi konon tadi ada yang berusaha menyelundupkan narkoba, jadi—biasa, petugas jadi jauh lebih waspada—“<br />
<br />
Sam mengangguk. Dean masih terdiam, entah apakah dia waspada atau kenapa.<br />
<br />
Tigaperempat jam lewat, dan mereka sudah lolos dari perbatasan.<br />
<br />
“Putar arlojimu satu jam lebih lambat,” Sam mengulang perkataan petugas di perbatasan tadi, “dan kukira semakin mendekati Fairbanks, semakin rendah suhunya—“<br />
<br />
“Yaps,” Dean menghentikan Impala di tepi jalan, memutar arlojinya, lalu keluar dari mobil. “Ambil jaketmu yang lebih hangat.”<br />
<br />
Sam mengikuti kakaknya, membongkar tas duffel-nya dan mengeluarkan jaketnya yang lebih tebal. Tanpa mengganti, ia melapisi jaketnya dengan yang lebih tebal. Lalu mengeluarkan peta lipatnya.<br />
<br />
“Lebih baik kita isi bensin di sini, lalu makan juga.”<br />
<br />
Dean mengangguk. “Aku juga mau periksa dulu my baby. Suhu rendah di sini, aku harus lihat dulu penyesuaiannya.”<br />
<br />
“Ya betul. Sampai Delta Junction, sulit ditemui orang ataupun pemukiman.”<br />
<br />
Jadi mereka menghabiskan hampir sejam untuk makan, memeriksa mobil sekaligus mengisi bensin. Malam sudah benar-benar gelap tatkala mereka melaju kembali. Jalan sungguh sepi, apalagi suhu benar-benar rendah. Dean tidak bisa memacu Impala secara maksimal karena kemungkinan jalan menjadi licin dalam suhu seperti itu.<br />
<br />
Masuk Delta Junction, mereka keluar dari Alaskan Highway, dan masuk jalan biasa.<br />
<br />
“Berapa jauh lagi ke Fairbanks?”<br />
<br />
Sam tidak langsung menjawab, tapi membuka petanya dulu. “Sekitar 100 mil.”<br />
<br />
Dean masih konsentrasi mengemudi, tapi memang sudah terlihat lelah.<br />
<br />
“Mau diganti?” Sam menawarkan.<br />
<br />
Dean terdiam. “Okay. Aku ingin tidur barang sejam.” Ia menepikan mobil. Sam keluar, memutar ke kursi pengemudi, sementara Dean bergeser.<br />
<br />
“Secara normal sih paling sejam. Tapi dalam kondisi jalan seperti sekarang, mungkin dua jam,” sahut Sam sambil menutup pintu.<br />
<br />
“OK. Apakah kita akan cari Pavarell dulu, atau cari penginapan dulu?”<br />
<br />
“Kurasa tempat Pavarell cukup luas,” tawa Sam.<br />
<br />
Tapi sekejap tawa Sam berhenti. “A-apa itu, Dean?” Ia menghentikan mobil.<br />
<br />
Dean yang sudah bersiap meringkuk di kursinya mendadak bangkit lagi, “Apa? Ada apa?”<br />
<br />
Sam tak menjawab, malah memundurkan mobil. Dean juga tak memerlukan jawaban.<br />
<br />
Sebuah Mustang merah manyala, dan sebuah pohon.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Suara sirine meraung-raung membelah malam yang sepi. Mobil sheriff, dan ambulans.<br />
<br />
Tak ada yang bisa dilakukan lagi oleh kedua Winchester itu karena korban seperti sudah agak lama dalam kondisi seperti itu. Darah yang keluar dari kepala sepertinya sudah membeku. Bibir membiru. Anggota badan sudah kaku, bahkan untuk mengeluarkannya dari mobil, kemudi harus digergaji terlebih dahulu.<br />
<br />
Kedua Winchester diminta keterangan secukupnya. Saat akan dicatat alamat, Sam memberikan alamat Pavarell.<br />
<br />
“Kemungkinan kami akan menginap beberapa hari di sana,” ujar Sam.<br />
<br />
Ia berbalik menuju mobil, dan menggamit Dean agar bergerak. Dean seperti tak bisa bergerak menyaksikan tubuh Amanda dimasukkan ke dalam kantong mayat, dimasukkan ke ambulans, dan dibawa pergi. Mobil sheriff mengikuti.<br />
<br />
“Ia akan dibawa ke mana?” Dean masih menerawang ke arah ambulans yang makin lama makin kecil itu.<br />
<br />
“Fairbanks Memorial Hospital. Belum jelas saudara atau orangtuanya ada di mana.”<br />
<br />
Dean meraba jaketnya.<br />
<br />
Sam mengerti. Ada buku alamat Amanda di sana.<br />
<br />
“Apa sebaiknya buku ini kita serahkan pada sheriff?”<br />
<br />
Sam terdiam. “Kalau—kalau semua nomer di sana memang sudah disalin ke ponsel, kukira kau bisa menyimpannya.”<br />
<br />
Ada rasa bersalah pada diri Sam, karena tahu itu hal yang tidak benar, tapi ada sesuatu yang menahannya agar menyimpan buku itu. Entah kenapa. Seperti ada—yang ganjil.<br />
<br />
Dean masuk ke mobil, kursi penumpang. Sam otomatis duduk di belakang kemudi. Melaju lagi, lebih hati-hati kali ini.<br />
<br />
Dengan berkali-kali melihat peta, catatan alamat Pavarell, akhirnya mereka sampai juga di kediaman Pavarell. Pria sebaya Bobby, penuh janggut keabuan, mata hitam berkilat itu membukakan pintu gerbang.<br />
<br />
“Langsung saja ke garasi, masukkan mobilmu,” sahutnya. Ia menunjukkan jalannya. Setelah menutup pintu garasi, mereka masuk melalui pintu samping.<br />
<br />
“Ada apa, biasanya Dean yang menyetir?” tanya Pavarell.<br />
<br />
“Giliranku,” sahut Sam, “kami menyetir non-stop dari Seattle.”<br />
<br />
“Dari Seattle?” sahutnya tak percaya, “kupikir kalian akan menginap di suatu tempat di Kanada, melihat-lihat dulu, sebelum sampai ke Alaska—“<br />
<br />
Sam menyeringai, tapi terlihat olehnya Dean diam saja, maka seringainya menghilang.<br />
<br />
“—menyetir sejauh itu tentu melelahkan—“<br />
<br />
“Itulah. Seseorang yang kami kenal tak sengaja di Seattle, bertujuan sama ke Fairbanks, menyetir sendiri, dan tahu-tahu kami temui—kecelakaan di Delta Junction—“<br />
<br />
“Oh. Sirine ambulans yang tadi itu?”<br />
<br />
Dean mengangguk. Sam mengangguk. Diliriknya, nampak airmuka Dean kusut tak terbaca.<br />
<br />
“Sebaiknya kalian istirahat saja dulu,” Pavarell menunjukkan pada Sam dan Dean kamar mereka, “—nanti setelahnya baru akan kutunjukkan artifak itu.”<br />
<br />
Mereka setuju. Membersihkan diri, dan setelahnya Pavarell menyajikan sup krim yang tak ditolak oleh Dean, habis itu mereka pun lelap.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Pagi sudah menyelinap dari jendela saat Dean terbangun. Sam sudah tak ada. Selesai menggosok gigi dan mencuci muka, ia keluar kamar, dan terlihat di teras depan Sam, Pavarell, dan beberapa orang lagi sedang berbicara. Tapi tak lama, orang-orang itu menjabat tangan Sam dan Pavarell, dan pergi.<br />
<br />
“Kau sudah bangun,” sahut Sam tatkala memasuki rumah.<br />
<br />
“Sarapan dulu,” Pavarell berjalan ke daerah kompor yang menyatu dengan daerah kursi-meja. Menyalakan api dan mulai mengaduk-aduk sesuatu dalam panci, lalu membagikannya ke dalam 3 buah piring. Dibantu Sam, menghidangkannya di atas meja. Bertiga mereka makan.<br />
<br />
“Siapa mereka?” tanya Dean sambil mencicipi chili di hadapannya, “—kelihatannya seperti polisi—“<br />
<br />
“Iya memang, polisi dari Fairbanks. Tanya-tanya tentang kejadian kemarin—“ Sam menyendok chili banyak-banyak. Di daerah dingin seperti ini, chili memang membuat hangat.<br />
<br />
“Keterangan yang kemarin kita berikan, belum memuaskan?”<br />
<br />
“Nampaknya, ada sesuatu yang baru mereka temukan,” Pavarell ikut nimbrung, “—entah apakah dia itu korban kriminal atau bukan. Tapi kalau mendengar cerita kalian, sepertinya dia kelelahan menyetir sekian jauh sendirian, lalu kehilangan konsentrasi, dan menabrak pohon jadinya.”<br />
<br />
“Itu kesimpulan kami juga. Polisi juga tidak memperoleh tanda-tanda telah dilakukan kekerasan,” Sam menghentikan sendoknya di pinggir piring. “Hey, Dean, buku alamatnya masih ada padamu?”<br />
<br />
Dean menyuap sesendok, meletakkan sendoknya di piring, sebelum mencari-cari di saku-saku jaketnya. Dapat.<br />
<br />
“Ini. Walau aku tak tahu, apa yang bisa kita dapat dari sini—“<br />
<br />
Sam tertawa kecil, “—mau berubah menjadi detektif?”<br />
<br />
Ia membuka-buka buku itu. Kebanyakan memang nama-nama pencari bakat, jelas dari nama perusahaan yang mereka wakili berikut alamatnya.<br />
<br />
“—karena itulah kau tak memberikannya pada polisi waktu ditanyai?” Pavarell mengumpulkan piring kotor dan menatanya di dalam dishwasher.<br />
<br />
Dean menggeleng. “Lagipula polisi tak menanyakan. By the way, mana artifak yang kau bilang itu?”<br />
<br />
Pavarell menghilang sejenak ke ruang bawah tanahnya, naik lagi kemudian membawa sebuah bungkusan kain hitam kira-kira sebesar seekor kucing. Ia meletakkannya di meja, tapi tidak langsung membukanya. Ia menutup semua tirai dulu sehingga ruangan menjadi gelap.<br />
<br />
“Tidak gelap sempurna. Kalau malam hari, akan terlihat jelas,” sahutnya, perlahan membuka bungkusan kain itu.<br />
<br />
Tak ada yang aneh. Seperti sebuah patung, mungkin miniatur dari sebuah totem, warnanya kecoklatan, atau dulu mungkin berwarna-warni, tapi karena umurnya sudah tua, lama kelamaan menjadi kusam.<br />
<br />
“—seperti ... patung biasa?”<br />
<br />
Pavarell mengangguk. “Di tempat-tempat konservasi Indian-Eskimo akan ada banyak patung yang seperti ini, dijual sebagai cindera mata. Ini beda. Keluarkan EMF-mu—“<br />
<br />
Sam merogoh saku jaketnya, penasaran.<br />
<br />
Jarum EMF-nya bergerak dengan cepat.<br />
<br />
Sam memandang Pavarell dengan takjub. Tapi Pavarell seperti belum puas, ia seperti sedang menunggu sesuatu.<br />
<br />
Dan benarlah. Dalam remang ruangan, daerah mata totem itu bersinar kemerahan.<br />
<br />
“—berubah?” Sam tercengang.<br />
<br />
Pavarell mengangguk puas. “Itu yang ingin kuperlihatkan. Kalau ia dibiarkan saja, tak akan ada apa-apa. Tapi kalau dicek—seperti dengan EMF meter, atau apapun sejenisnya, matanya akan berubah seperti itu.”<br />
<br />
Dean turut memperhatikan, penasaran. “Sudah kau coba mencari tahu—“<br />
<br />
Ia menggeleng pelan. “Sampai sekarang belum ketemu. Aku sudah mencoba membandingkan dengan suvenir yang banyak terdapat itu. Kubelah. Dan suvenir itu memang terbuat dari kayu biasa. Tapi ini, tak bisa dibelah. Kalau kau merabanya—“<br />
<br />
Dean meraba patung itu. “Kayu biasa.”<br />
<br />
Pavarell mengangguk. “Tapi kau tak akan bisa membelahnya. Kalau patung ini didekatkan pada sebuah pisau, atau pahat, atau yang semacamnya, mata merah itu keluar lagi. Seperti yang ... terancam.”<br />
<br />
Pavarell duduk. Sam menjauhkan EMF-meternya. Warna merah itu memudar, dan lama kelamaan menghilang. Pavarell perlahan membungkus patung totem itu dengan kain yang tadi.<br />
<br />
“Belum ada akibat yang—“<br />
<br />
“Korban maksudmu?” Pavarell menjawab rasa penasaran Sam, “—sampai sekarang belum ada, untunglah. Yang jelas, aku bermaksud menemukan terlebih dahulu, kenapa bisa menyala begitu. Apakah berbahaya, dan kalau iya berbahaya, kita harus mengetahuinya terlebih dahulu.”<br />
<br />
Pavarell kembali ke ruang bawah tanah untuk menyimpan totem itu.<br />
<br />
Dean sudah berdiri dan bersiap-siap ketika ia kembali ke ruang atas.<br />
<br />
“Sekarang, kalian mau ke mana?”<br />
<br />
“Mencari sesuatu di perpustakaan kota,” Sam juga turut berdiri. “Kau mau ikut?”<br />
<br />
Pavarell menggeleng. “Ada pekerjaan di bengkel. Tapi menjelang sore juga pasti sudah selesai.”<br />
<br />
“OK, nanti sore kami pulang,” sahut Dean.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Fairbanks lumayan ramai ternyata. Puluhan perpustakaan yang di-search Sam dari internet membuat pusing Dean.<br />
<br />
“Pilih satu saja,” pintanya.<br />
<br />
Sam menambahkan kata ‘Eskimo’ pada entry search, dan itu menyaring pilihannya. Satu perpustakaan dia pilih, yang terdekat.<br />
<br />
Tidak begitu lama mereka mencari, mereka mendapatkannya. Totem yang persis seperti yang ada di rumah Pavarell, hanya ini berwarna-warni. Bentuknya seperti anjing laut, beruang kutub, dan ular melingkar. Warna-warnanya didominasi oleh warna putih, walau warna lain juga ada. Kalau dilihat selintas, tidak akan sama dengan yang ada pada Pavarell, tetapi kalau dibayangkan sudah lama, dan warnanya sudah kusam, persis juga.<br />
<br />
Yang membawa Sam pada satu pertanyaan. Totem itu biasanya warnanya tahan lama, karena pewarnaannya alami. Kenapa yang ada pada Pavarell itu sampai begitu kusam? Kalau itu cindera mata, mungkin saja kusam, karena buatannya lebih komersial daripada totem asli. Tapi mengingat bahannya, tidak mungkin. Sepertinya totem ini asli. Atau ... sudah lama?<br />
<br />
Sam mencari-cari jawabannya, tapi sampai waktu makan siang, belum dapat juga.<br />
<br />
“Aku lapar,” sahut Dean, “kita cari makan dulu—“<br />
<br />
“Okey.”<br />
<br />
Dan mereka berdua mencari kedai cepat saji di sekitar perpustakaan.<br />
<br />
Baru saja beberapa suap, terdengar suara sirine meraung. Sebuah ambulans melaju, kemudian melambat ketika membelok ke salah satu rumah. Berhenti di situ. Ternyata di situ sudah ada mobil sheriff. Memasang garis kuning. Satu-satu penduduk berkumpul di situ<br />
<br />
Dean melihat pada Sam, dan Sam melihat pada Dean. Keduanya kemudian keluar dari kedai, ikut berkerumun dengan massa.<br />
<br />
Tak lama petugas membawa tandu jenazah dan dimasukkan ke dalam ambulans. Mengurus ini-itu, dan ambulans pun melaju lagi.<br />
<br />
“FMH?” Sam mengeja nama ambulansnya. “Hey, Dean, kita tanya-tanya yuk ke sana—“<br />
<br />
Air muka Dean seakan bertanya, tapi ia tak banyak berkata, hanya mengikuti Sam ke tempat parkir. Menstarter Impala-nya, dan melaju, mencoba mengikuti laju ambulans.<br />
<br />
Sejalan dengan lajunya Impala, pelan-pelan Dean mulai menangkap pemikiran Sam. “Kau ingin menyelidiki kematian Amanda kemarin kan, ya?”<br />
<br />
Sam tersenyum polos, tertangkap basah. “Habis, kau kelihatan kuyu begitu. Mentang-mentang dia cantik dan sexy, dan sudah memberikan tanda-tanda padamu. Jadi penasaran kan?”<br />
<br />
Dean terkekeh. “Masih banyak yang lain, Sammy, masih banyak yang lain.” Dean menambah kecepatan saat ambulans sudah terlihat, tapi nampaknya akan membelok. Tak mau ketinggalan jejak.<br />
<br />
Begitu masuk ke lingkungan Fairbanks Memorial Hospital, sambil mencari tempat parkir, Dean melirik Sam, “Sebaiknya aku saja yang turun. Kau sudah dikenal, baik oleh tenaga kesehatan maupun sheriff. Tiap ada kesempata berbicara, kau yang maju. Mungkin mereka tidak begitu mengenalku. Jadi mungkin saja aku akan lebih berhasil—“<br />
<br />
“Terserahlah—“ Sam membuka tasnya, meraih laptop dan menyalakannya. “Aku cari di sini, kau cari di rumah sakit. Siapa tahu ada perawat sexy—“<br />
<br />
Terkekeh keduanya.<br />
<br />
Awalnya Sam asyik browsing mengenai totem, tapi lama-lama ia bosan juga. Dilihatnya arloji. Sudah nyaris tiga jam. Ada apa dengan Dean?<br />
<br />
Sam sudah mengeluarkan ponsel dari saku jaket, ketika dilihatnya Dean keluar dari pintu samping yang kecil.<br />
<br />
Seperti terburu-buru, ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan keluar dari halaman parkir. Tanpa bicara. Sam terdiam saja, ia sudah hapal akan kelakuakn kakaknya itu.<br />
<br />
Benar saja, tidak jauh mobil mencari tempat parkir lagi, dan berhenti.<br />
<br />
“Ada apa?” Sam bertanya penasaran.<br />
<br />
Tanpa bicara, Dean mengeluarkan kertas dari sakunya. Nomer telepon.<br />
<br />
Wajah Sam berkerut.<br />
<br />
Tapi Dean tak mampu menahan tawa, dan meletuslah tawanya. “Itu nomer telepon Heddie, perawat se—“<br />
<br />
“Deeeeean!”<br />
<br />
Dean masih tertawa, tapi sudah berusaha menghentikannya, “OK, OK. Bukan itu. Tapi itu juga ada hubungannya, Heddie berjanji akan menghubungiku kalau dia mendapat informasi baru,” kini Dean mengeluarkan sebuah amplop coklat besar dari balik jaketnya. Memberikannya pada Sam.<br />
<br />
“Kau benar, Sam, kita harusnya menjadi detektif kriminal. Ada satu peristiwa kriminal yang sedang terjadi disini, walau aku tak tahu apa.”<br />
<br />
Sam tak berkata-kata. Ia mengeluarkan kertas-kertas dari dalam amplot coklat itu. Laporan kematian. Ada juga rekam medik.<br />
<br />
“Bagaimana kau bisa mendapat ini?”<br />
<br />
“Heddie.”<br />
<br />
Sam mengangguk. Itulah makanya Dean keluar dari lingkungan rumah sakit, untuk membaca laporan yang sebenarnya tak bisa didapatkan begitu saja.<br />
<br />
Halaman demi halaman. Sam mengangkat wajah yang sudah berkerut berlapis-lapis. “Tapi, bagaimana bisa?”<br />
<br />
Dean menggeleng pelan, “Aku juga tak tahu, Sammy.”<br />
<br />
Sam melihat lagi halaman-halaman fotokopian itu. “Yang aku tahu, anak kembar satu telur saja punya sidik jadi yang berbeda. Yang ini, tiga orang punya sidik jari yang sama? Dan anehnya, terkumpul di rumah sakit yang sama?”<br />
<br />
Dean mengangguk, tangannya memainkan dagunya. “Itulah. Amanda Schell, datang dari Seattle—menurut polisi ia datang dari California. Karena artis kelas bawah, tentu saja tak cukup punya uang untuk naik pesawat ke Alaska, dan memutuskan naik mobil saja. Mustang itu mobil kawan laki-lakinya.”<br />
<br />
Dean menunjuk halaman yang lain, “Brandon Smith, mahasiswa, dari Iowa, naik bis ke Fairbanks. Begitu turun di perhentian bis, orang menyangka ia terpeleset di tangga bis, dan jatuh ke aspal, tapi ternyata ia sudah tak bernyawa. Tak ada luka, tak ada tanda-tanda kekerasan. Petugas medis memperkirakan stroke. Memang ia masih muda, tapi konon penyakit stroke sekarang bisa menyerang siapa saja.”<br />
<br />
Sam memisah halaman berikutnya, “Yang ini?”<br />
<br />
“Ini yang tadi di rumah dekat perpustakaan, Jordi Heath. Programer komputer. Ia masih tinggal bersama orang tua angkatnya, tapi kamarnya di pavilyun karena sering pulang malam. Tadi ibunya berulang kali mengetuk pintunya, akan menyuruhnya makan, tapi tak ada jawaban. Tapi suara musik dan sebagainya, tetap keras sebagaimana biasa. Ibunya mengintip dari jendela, sepertinya Jordi duduk di depan komputer, tapi tak menjawab panggilannya. Curiga, ibunya membuka dengan kunci cadangan, dan menemukan anaknya sudah tak bernyawa, masih dalam posisi mengetik di keyboard.”<br />
<br />
Kening Sam berkerut, halaman-halaman fotokopian itu dilihat-lihatnya lagi. Dan, “Dean, kau lihat tanggal lahirnya?”<br />
<br />
Dean mengangguk. “Ya. Tanggal lahir sama, sidik jari sama. Jam kematian juga sama,”<br />
<br />
Sam buru-buru meneliti halaman-halaman itu dengan seksama. “Ya. Jam kematian sama. Tiga orang dari tiga latar belakang, dari tiga negara bagian—“<br />
<br />
Pandangan Sam menerawang, “Apakah—“<br />
<br />
“—apakah masih akan ada korban yang lain, Sammy, itu juga yang menjadi pikiranku. Mari kita mencari ke rumah sakit lain. Tanggal lahir sama, meninggal pada saat yang sama—“<br />
<br />
“Kita cari di internet saja, kurasa data rumahsakit di sini sudah online—“ Sam kemudian sibuk mengetik-ngetikkan sesuatu, mencari dan menelusuri. Dean mencondongkan badannya ke arah Sam sehingga terlihat jelas apa yang ada di layar laptop.<br />
<br />
“Dapat dua orang,” Sam menunjukkan pada nama yang ada di tabel, “tapi ini hanya ada tanggal lahir dan jam kematiannya saja, tak ada data sidik jari. Rupanya sidik jari ada di arsip rumah sakit, dan tak dimasukkan online—“<br />
<br />
“Kita anggap saja sidik jarinya sama. Kau punya teori, bagaimana bisa ini terjadi?”<br />
<br />
Kening Sam berkerut, matanya menatap ke arah layar, tapi ia tidak sedang melihat layar.<br />
<br />
“Hm ... hm ...”<br />
<br />
Seperti tak mendengar apa yang dikatakan Dean, Sam mengetikkan beberapa kata dalam search engine. Memilih-milih link. Membukanya. Membaca sekilas artikel-artikel yang terbuka. Menggeleng. Mengetikkan lagi kata-kata baru dalam search engine.<br />
<br />
Dean sudah hapal kebiasaan adiknya itu, duduk bersandar, menutup matanya sejenak, menunggu hasil.<br />
<br />
“—Dean—“<br />
<br />
“Yup?” Dean langsung dalam posisi siaga.<br />
<br />
“—mungkinkah mereka ... kloning?”<br />
<br />
“Kloning? Tapi, bukankah kloning pada manusia belum diperbolehkan?”<br />
<br />
“Resminya demikian. Percobaannya saja belum boleh dilakukan pada manusia, hanya pada hewan saja.”<br />
<br />
“Dugaanmu?”<br />
<br />
“Dugaanku, ada percobaan sembunyi-sembunyi dengan kloning ini—“<br />
<br />
“Masuk akal. Walau sedikit. Bagaimana dengan—jenis kelamin?”<br />
<br />
“Belum terpikirkan. Mungkinkah—ilmuwannya mencoba-coba membuat satu seri anak-anak kloning dengan gender berbeda?”<br />
<br />
“Hm,” Dean mencoba memahami apa yang sudah dipahami adiknya, “—jadi kalau kloning, harusnya—haruskah dikandung oleh satu ibu?”<br />
<br />
“Teorinya begitu.”<br />
<br />
“Jadi lima anak? Wow!”<br />
<br />
“Mungkin—lebih, Dean. Hanya saja kita belum tahu—“<br />
<br />
Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Lalu, setelah beberapa saat, Dean menghidupkan mesin.<br />
<br />
“Kita kembali saja dulu. Mungkin Pavarell punya ide tentang hal ini—“<br />
<br />
“Okey.”<br />
<br />
Dari pusat kota ke kediaman Pavarell hanya memerlukan beberapa puluh menit, tetapi rasanya panjang. Keduanya sama-sama mencoba mencerna informasi yang baru saja mereka dapat. Agak susah diterima akal. Beberapa orang dengan tanggal lahir yang sama, meninggal di waktu yang sama, dan ternyata mereka punya sidik jari yang sama—<br />
<br />
Tapi di tempat kediaman Pavarell, sudah menunggu kejutan yang lain.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
“Apa yang mereka cari?” Sam berbisik, saat petugas medis dari FMH mengangkat tandu Pavarell ke dalam ambulans.<br />
<br />
Dean tak menjawab, karena selain Sam tak perlu, ia juga tak tahu jawabannya.<br />
<br />
Seorang polisi mendekati. “Kalian tak akan ke mana-mana kan?”<br />
<br />
Sam menggeleng. “Kami akan tetap di sini, atau di rumah sakit menungguinya. Setidaknya sampai Pavarell bisa kembali—“<br />
<br />
“Okey. Rumah sudah bisa dibereskan, penyelidikan sudah selesai. Tetapi kalau-kalau nanti ada pertanyaan—“<br />
<br />
“Tentu.”<br />
<br />
“Terima kasih. Selamat sore.”<br />
<br />
“Sore.”<br />
<br />
Keduanya menatap hingga mobil sherif dan ambulans menghilang di tikungan, lalu saling berpandangan.<br />
<br />
“Totem itu?” sahut keduanya nyaris bersamaan.<br />
<br />
Setengah berlari keduanya menuju ruang bawah tanah. Turun dengan bergegas.<br />
<br />
Tapi bungkusan totem itu ada di sana. Mengecek, jangan-jangan bungkusan itu hanya bungkusan yang serupa tanpa isi, mereka bersepakat membuka.<br />
<br />
Totemnya masih ada.<br />
<br />
Sam mengeluarkan EMF-meternya dan mendekatkan pada totem itu. Seperti saat pertama dikeluarkan, mata totem itu menjadi merah, jelas apalagi di ruang bawah tanah yang remang-remang.<br />
<br />
Jadi, ini bukan sasaran pencurian. Atau mungkin para pencuri itu tak mengira kalau Pavarell menyimpannya di sini.<br />
<br />
Dean membungkus totem itu kembali, menyimpannya seperti sediakala. Lalu mereka naikke atas, menutup tingkap dan menguncinya.<br />
<br />
“Jadi, apa yang mereka cari?” tanya Sam menggantung. Ia memunguti barang-barangyang berserakan di lantai, menempatkan mereka sebisanya agar seperti tadi.<br />
<br />
Sudah gelap ketika mereka selesai membereskan rumah Pavarell—sebisanya. Dean membuka lemari dapur, mencari makanan kaleng, dan memanaskannya. Mereka makan, Dean sambil membuka halaman-halaman yang tadi ia fotokopi di rumah sakit, Sam browsing ke sana ke mari sambil mengecas laptopnya.<br />
<br />
“Kloning pertama kali dipublikasikan 1984,” sahut Sam, membaca sambil lalu artikel-artikel yang diperoleh saat browsing. “Tahun lahir mereka—1985?”<br />
<br />
“Yups!”<br />
<br />
“Mungkinkah—mereka hasil kloning yang diproduksi diam-diam?”<br />
<br />
“Mungkin.”<br />
<br />
“Tapi—kenapa mereka harus berkumpul di Alaska?”<br />
<br />
Sam memandang Dean. Dean memandang Sam.<br />
<br />
“Laboratorium yang memproduksi mereka ada di Alaska?” sahut mereka nyaris bersamaan.<br />
<br />
“Tunggu!” Dean mengeluarkan buku alamat Amanda dari saku jaketnya, dan membuka-buka halamannya, “—rasanya pernah kubaca ada nomer telepon lab—“ dan ia tiba di halaman itu, “—ini—“<br />
<br />
“—Inuit Laboratory?” Sam membaca keheranan, “—bukannya Inuit itu suku Indian? Eskimo?”<br />
<br />
Tapi dengan tangkas ia mengetikkan nama itu di search engine-nya. Muncul sederetan link. Ditelusuri dengan hati-hati.<br />
<br />
“—Dean—“<br />
<br />
Dean memiringkan badannya agar bisa turut membaca temuan Sam. “—ditutup karena kesulitan keuangan sejak 1989—“<br />
<br />
Mereka saling memandang.<br />
<br />
“Ada alamatnya? Tak ada alamatnya di buku Amanda,” Dean nyengir.<br />
<br />
Tentu saja. Mereka berpikiran sama. Laboratorium yang sudah ditutup, dan tak akan ada yang mengira masih ada kegiatan di sana.<br />
<br />
Sam menelusuri artikel yang baru saja dibaca. “Ini ada.” Dibacakannya, dan Dean mencatatnya dalam selembar notes yang diambilnya.<br />
<br />
“Ayo!”<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Malam gelap, tidak banyak cahaya. Belum lagi dingin menggigil menusuk. Dean hati-hati membelokkan Impala-nya ke lokasi.<br />
<br />
Seperti banyak lokasi yang sudah terbengkalai, lokasi ini juga tak terawat. Pagar yang mengelilinginya sudah banyak yang compang-camping. Lebih berfungsi sebagai penanda batas saja, tidak berfungsi sebagai penjaga keamanan. Daun yang berguguran menumpuki di mana-mana. Bangunan-bangunan yang sudah tak terurus, tak berbentuk lagi. Kalau dilihat lebih dekat lagi, ada banyak sarang laba-laba, sarang burung, dan sebagainya.<br />
<br />
Dean memarkirkan mobil di pinggir jalan, di bawah sebuah pohon, agar tidak mencolok. Ia dan Sam turun, mendekati pintu gerbang dan mencoba membukanya. Sudah bisa diduga, sia-sia. Mungkin gemboknya karatan. Jadi Dean mencari lubang di pagar, masuk ke sana bersama Sam.<br />
<br />
Sam menyenter ke sana ke mari. Kelihatannya tak ada yang mencurigakan. Dean mendekati salah satu bangunan dan mengintip dari apa yang mungkin dulunya disebut jendela.<br />
<br />
Kosong.<br />
<br />
Tentu saja, dalam kasus bangkrut, biasanya barang-barang berharga yang kecil dan mudah dipindahkan, sudah dijual terlebih dahulu. Jadi, bangunan-bangunan ini kosong. Entah kenapa tanahnya tidak dijual juga. Mungkin milik pribadi seseorang yang tak mempedulikan uang. Atau tak laku-laku.<br />
<br />
Dean memberi isyarat, dan mereka maju ke bangunan-bangunan kosong itu. Memilih satu, mereka masuk.<br />
<br />
Sebenarnya harapan untuk menemukan sesuatu di sana tipis, melihat keadaan bangunan itu. Tapi demi memenuhi rasa perasaan, mereka masih mencari-cari.<br />
<br />
Menepis-nepis sarang laba-laba, mereka masuk. Kemungkinan bangunan ini bangunan utama kalau melihat besarnya. Masuk ke ruang-ruang berikutnya yang sama kotornya. Nyaris saja mereka menghentikan kegiatannya kalau saja mereka tidak masuk ke ruangan berikutnya.<br />
<br />
Sam menemukan pintu yang terkunci. Berbeda dengan pintu-pintu lain yang kuncinya mudah didobrak karena sudah tua, pintu ini kokoh kuncinya. Menggugah kepenasaranan.<br />
<br />
Berdua mereka mendobrak pintunya.<br />
<br />
Ruang itu bersih. Seperti yang dirawat secara teratur setiap hari. Meja yang mengkilap, tumpukan kertas dokumen tanpa debu.<br />
<br />
Terheran-heran, Sam dan Dean masuk, dan memeriksa.<br />
<br />
Benar-benar bersih, asli seperti disapu setiap hari, perabotan dilap, dispenser airnya seperti baru diganti. Tapi bagaimana caranya? Pertanyaannya tepatnya, dari mana datangnya orang yang membersihkannya, karena semua ruangan yang mengelilinginya kotor tak terawat, tak ada jejak pernah dilewati. Ruangan itu sendiri punya dua jalan masuk, satu yang tadi didobrak Dean bersama Sam, dan satu lagi. Keduanya nampak digerendel dari dalam.<br />
<br />
Jadi, ruangan ini dibersihkan oleh siapa dan lewat mana?<br />
<br />
Sam memandang Dean, Dean memandang Sam. Mempertanyakan hal yang sama.<br />
<br />
“Kemungkinan, ada pintu rahasia,” sahut Sam, “ruangan rahasia, semacam lorong menuju entah ke mana—“<br />
<br />
“Ayo kita cari kalau begitu—“<br />
<br />
Dan mereka berdua menelusuri tiap inci ruangan itu, mencari kemungkinan tiba-tiba saja ada pintu rahasia yang tiba-tiba menjeblak—<br />
<br />
“Kalian mencari apa?”<br />
<br />
Dean yang sedang berjongkok memeriksa bawah meja, bangkit mendengar suara itu, disambut benda berat di belakang kepala, dan semuanya gelap.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Mata Dean menangkap seberkas sinar. Sepertinya ruangan ini remang-remang. Di mana ia? Sedang apa—<br />
<br />
Dan perlahan-lahan kesadarannya terkumpul.<br />
<br />
Ia terikat di sebuah kursi. Nampaknya bukan kusi biasa, tetapi kursi yang tertanam di lantai. Ia menoleh kiri-kanan, dan Sam juga kelihatannya terikat di kursi yang sama dengannya. Ia berusaha memberontak, melepaskan diri, tapi ikatannya kencang.<br />
<br />
“Sam! Sammy!” Dean berusaha memanggilnya.<br />
<br />
“Ia tak apa-apa, percayalah.”<br />
<br />
Dean mencari asal suara itu. Dan nyaris tak percaya.<br />
<br />
Seorang laki-laki terduduk di kursi roda. Sepertinya bukan kursi roda biasa karena ada alat semacam alat sensor suara untuk menerima perintah. Ia sepertinya benar-benar lumpuh, karena tangan dan kakinya tak bisa bergerak.<br />
<br />
Terkekeh, ia berbicara pada sensor suaranya, “—maju—“. Kursi rodanya berjalan maju mendekati Dean, dan berhenti saat ia menyuruh berhenti.<br />
<br />
Dean melongo.<br />
<br />
Orang seperti ini, dan ia bisa dilumpuhkan, Sam juga, dan diikat tanpa daya begini?<br />
<br />
Ia terkekeh.<br />
<br />
“Panggil saja aku Jumbo. Aku bahkan tak tahu siapa nama asliku, yang aku tahu aku selalu dipanggil dengan nama itu.”<br />
<br />
Sam bergerak, sepertinya ia mulai sadar.<br />
<br />
“Ah, kalian sekarang sudah sadar. Baiklah. Aku tak tahu siapa kalian, tapi yang aku tahu kalian ini sangat penuh perhatian pada kami.”<br />
<br />
“Kalian? Siapa kalian?”<br />
<br />
“Masa kau tak tahu? Ada cewek cantik yang bernama Amanda Schell, ada seorang mahasiwa bernama Brandon Smith, ada seorang programmer—“<br />
<br />
“Jadi kalian benar-benar kloning?”<br />
<br />
“Oh!” alis matanya naik, seolah terkejut akan kata-kata Dean, “—kloning. Itu kata yang sangat kasar. Mungkin kalau kalian menggantinya sebagai—saudara secawan—“<br />
<br />
Ia meneruskan, “—kami ini dibuat di sini, dan dipisah-pisahkan di cawan petri—“ ia merujuk pada nama alat laboratorium, “lalu dimasukkan lagi ke tempat yang sama, ditanam pada rahim yang sama, dan kami dilahirkan sebagai kembar enam—“<br />
<br />
“Komputer utama,” perintah Jumbo pada sensor suaranya, dan kursi rodanya maju ke seperangkat komputer besar dan tersambung ke segala macam alat. Dean memperhatikan bahwa ruangan ini di sekelilingnya tersusun dari komputer dan komputer.<br />
<br />
“Oya. Kalian pasti ingin tahu. Pertama, suruhanku yang mengacak-acak rumah temanmu dan membatnya pingsan sedikit. Aku hanya ingin mencari buku alamat Amanda, memastikan ia tidak menunjukkan tempat persembunyianku ini. Tapi—apa boleh buat. Lagiapula kalian sudah kutangkap.”<br />
<br />
“Lalu, ruangan ini ada tepat di bawah ruangan yang sedang kalian selidiki tadi,” ia mendekati kontrol utama komputer dan mengucapkan serangkaian kode yang membuat komputer itu melakukan sesuatu.<br />
<br />
Dari sudut tempat terlihat adanya sebuah pintu kaca, keluar sebuah –sepertinya sebuah kendaraan mini. Mobil dengan satu penumpang sepertinya. Er ... dua buah kendaraan ternyata. Yang satu berhenti di ujung ruangan, sedang yang satu lagi terus melaju mendekati tempat Sam diikat.<br />
<br />
“Tepatnya, kami ini dilahirkan karena ada percobaan oleh si Tua itu,” matanya menatap sebuah pigura foto di meja keyboard. Dean mencoba mengingat-ingat, siapa lelaki yang berjas lab itu, tapi ia menyerah. Ia melirik pada Sam, ia pun menggeleng.<br />
<br />
Jumbo terkekeh. “Kalian tak akan tahu. Namanya tak pernah dibicarakan orang. Tapi ia adalah salah satu dari tim kloning yang melahirkan Dolly—domba kloning yang menggegerkan dunia itu. Oh, baru segitu saja dunia sudah geger, bagaimana kalau mereka tahu bahwa Si Tua itu sudah berhasil mengkloning manusia?”<br />
<br />
Ia terkekeh lagi. “Aku tak tahu jelasnya, yang pasti Si Tua itu membuat laboratorium di sini, dan membuat serangkaian percobaan. Di antaranya, kami terdiri dari dua gender, kalau kau lihat, ada dua wanita, dan tiga pria.”<br />
<br />
Kekehnya berubah menjadi semacam jeritan, membuat orang merinding. “Dua gender katamu? Tidak. Bagaimana dengan aku? Aku tak tahu aku ini pria atau wanita, kau mau menebak?”<br />
<br />
“—pria?” tebak Dean asal.<br />
<br />
“Penampilan pria, tapi aku punya rahim, punya alat reproduksi wanita. Tapi aku juga punya alat reproduksi pria. Kau mau menyebut aku pria atau wanita?”<br />
<br />
Dean memandang Sam, Sam memandang Dean.<br />
<br />
Terkekeh lagi, berkata sinis, “Kau tahu? Di satu pihak, pemerintah benar, kloning manusia akan banyak akibatnya, yang mungkin takkan bisa ditanggung manusia—“ matanya menyala-nyala. “Kau tahu, Amanda adalah aktris kami. Ia pandai berakting, suaranya merdu, aku sendiri tak tahu kenapa ia belum juga menjadi artis top. Jordi, programmer yang canggih. Ia yang membuat sebagian program di komputer ini. Brandon, mahasiswa hukum jenius, usianya baru 21 sama seperti kami semua, tapi sudah sedang mengerjakan disertasinya. Ester, dia sangat pandai memasak, mencicip sedikit saja makanan baru, ia pasti akan bisa membuatnya. Lalu Hugo, dia Superman kami, dia kuat mengangkat apa saja—“<br />
<br />
Setengah meraung, dia meneruskan, “—dan aku, aku sampah dari semuanya! Kau pernah melihat film Twins? Arnold Schwarzenegger dan Danny deVito?” ia terkekeh setengah menangis, “—akulah Danny deVito-nya. Semua hal yang jelek-jelek, masuk ke tubuhku. Si Tua itu tak pernah sengaja—ia selalu meratap begitu—tapi itulah kenyataannya. Enam bayi, lima sempurna, dan satu lagi adalah tempat sampah bagi kelimanya. Kau lihat tubuhku? Kau bingung akan genderku?”<br />
<br />
“Untung si Tua itu cepat mati. Dan untung saja kelima saudaraku—yang sudah disebar di berbagai negara bagian—sangat sayang padaku, mereka sering menengokku dan menolongku dengan apa saja yang menjadi keahlian mereka.” Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, “—ini semuanya merupakan hasil karya mereka. Awalnya.”<br />
<br />
Airmukanya berubah serius, “—tapi mereka sudah mulai berulah akhir-akhir ini. Mereka mulai ngomong macam-macam tentang keberadaan kita, dan apakah aku akan diekspos ke dunia luar! Hah! Aku paling benci eksposur! Aku senang seperti sekarang, menjadi dalang di belakang layar! Jadi, setelah aku mendapat hampir semuanya, program canggih dari Jordi, dana dari Amanda, dan sebagainya, aku memutuskan untuk membunuh mereka—“ ia tertawa dalam airmuka serius, menjadikan wajahnya sangat mengerikan.<br />
<br />
“Kami punya—perangkat kalau kau mau menyebutnya begitu. Itu ada dalam otak kami. Kalau aku ingin bertemu dengan yang lain, aku tinggal memikirkan mereka, dan mereka akan merasakannya dalam otak mereka. Kau boleh menyebutnya—saling keterhubungan—“<br />
<br />
“Untuk apa—kenapa kau harus membunuh mereka?” wajah Sam terlihat jijik.<br />
<br />
“Pertama, aku tak ingin mereka menyebut-nyebutku dalam rencana mereka untuk bicara pada media. Aku tak ingin dikenal dunia sebagai tempat sampah,” ia berbicara berapi-api, “—dan yang kedua, yang paling ingin kulakukan sebenarnya adalah menguji alat pembunuh yang baru saja kutemukan,” matanya berkilat.<br />
<br />
“Alat pembunuh?”<br />
<br />
“Ya. Yang paling canggih. Kau tahu, si Tua itu meninggalkan banyak penelitian yang separuh selesai. Aku membaca-bacanya, dan meneruskan banyak di antaranya. Salah satunya itu. Si Tua itu membuat kami saling keterhubungan lewat salah satu neuron dari sekian milyar neuron di otak. Aku membuatnya otomatis tersambung dengan sekian banyak neuron di jantung—“<br />
<br />
“Aku belum mengerti—“ Dean memandang agak lemot.<br />
<br />
“Keterhubungan itu memicu neuron saudara-saudaranya, membuatnya ingin kembali, ingin bertemu. Tapi si Jumbo ini memodifikasinya menjadi memicu salah satu syaraf di jantung. Begitu ia mengaktifkan neuronnya, pemicu di jantung juga aktif, dan—“ jelas Sam.<br />
<br />
“Itu yang membuat mereka berlima punya tanggal, bahkan jam kematian yang sama?” Dean baru mengerti.<br />
<br />
“Baru mengerti kau ya,” Jumbo terkekeh lagi. “Hipotesis pertama terbukti, teori bisa dikembangkan. Sekarang, aku mau mencoba hipotesisku yang lain—“ sebelum Sam dan Dean mengerti betul apa maksud kalimatnya, ia membisikkan sesuatu pada sensor suaranya. Tiba-tiba, dari sekian panel yang ada di belakang Sam, sebuah membuka, keluar sesuatu seperti tangan robotik, memegang sesuatu seperti suntikan besar, menyuntikkannya dengan cepat pada pembuluh darah di leher—<br />
<br />
Dean berseru, saat Sam juga hendak berteriak karena sakit dan kaget, tapi baru setengah seruannya, ia sudah terkulai.<br />
<br />
Jumbo mengucapkan sesuatu lagi pada sensor suaranya, dan kursi Sam meninggi, menyamakan dengan ketinggian kendaraan yang tadi mendekat, kemudian seperti memindahkan Sam ke dalam kendaraan itu.<br />
<br />
“Sammy!” teriak Dean, “Jumbo, apa yang kau lakukan?!” Dean berteriak setengah putus asa, mengeliat-geliat berusaha membebaskan diri.<br />
<br />
“Lihat saja nanti,” sahut Jumbo, membisikkan sesuatu lagi pada sensor suaranya, dan kedua kendaraan dari ujung berbeda itu berpace dengan kecepatan tinggi, fokus mereka seperti akan saling bertabrakan—<br />
<br />
“SAMMY!!”<br />
<br />
Sementara itu Sam yang sudah pulih dari pingsan sementaranya, hanya bisa terpaku ngeri memandang kendaraan itu menuju tepat ke arahnya—<br />
<br />
—dan dalam hitungan persekian detik, kedua kendaraan itu saling bertabrakan—sama sekali tidak bersentuhan ternyata, karena kendaraan yang ditumpangi Sam seperti melebur masuk ke dalam wujud kendaraan satunya, persis seperti film kartun, tak bisa disentuh, atau tepatnya seperti berwujud hologram, masuk ke dalam wujud kendaraan yang satu—kemudian terus melewatinya—<br />
<br />
Kedua Winchester itu hanya bisa melongo sementara Jumbo tertawa terbahak-bahak.<br />
<br />
Ada beberapa detik di mana Dean dan Sam melongo sementara Jumbo terus tertawa. Tetapi kemudian ia berhenti.<br />
<br />
“Tahukah kau? Sumber keuangan sudah di tangan! Aku tinggal membuatnya secara massal, dan menjualnya ke negara-negara bagian yang penuh dengan kemacetan, New York, Chicago, atau bahkan ke luar negeri, ke India, ke Indonesia—“ wajahnya berubah menjadi serius lagi. “Aku harus memperhitungkannya lagi, tapi dengan program yang dibuat Jordi, kurasa itu mudah. Lalu, masih ada lagi penelitian si Tua yang masih belum kuperiksa, tapi itu semua akan menjadi sumber keuangan—“ ia tersenyum mengerikan.<br />
<br />
Wajahnya masih berimajinasi akan apa yang akan ia dapat, ketika Sam memberi isyarat. Ikatan tangannya sudah longgar satu. Dengan horor, Dean mencoba tidak melihat pada tangan Sam agar Jumbo tidak tertarik juga melihat ke sana. Benar, Jumbo tidak melihat ke tangan Sam. Bahkan ia seperti tak hirau pada Sam, ia melah mendekat pada Dean, dan tersenyum keji.<br />
<br />
“Mau apa kau?” Dean bergerak-gerak berusaha membebaskan diri. Tapi Jumbo membisikkan satu kata lagi pada sensor suaranya, dan hampir sama seperti Sam tadi, panel di belakang Dean membuka, tangan robotik keluar dari panel di sana, dan menyuntikkan sesuatu pada Dean.<br />
<br />
“DEAAAAN!!”<br />
<br />
Untungnya kali ini ia tidak pingsan. Untungnya Sam sudah berhasil melepaskan diri. Dengan cepat ia berguling ke arah Jumbo, menggulingkan kursi rodanya membuat ia berteriak penuh angkara murka!<br />
<br />
Tapi Sam tak mempedulikannya, secepat kilat menuju Dean, melepas Dean, dan dalam hitungan detik itu baru sadar kalau Jumbo bisa bergerak sedikit demi sedikit menuju kursi rodanya. Nyaris refleks Sam berbalik, menyentuh tombol yang menghidupkan kendaraan satu penumpang yang terdekat. Yang dengan kecepatan tinggi kemudian menuju Jumbo dan menghabisinya —<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Dengan terengah-engah mereka berlari menuju Impala yang terparkir di luar pagar.<br />
<br />
“Tak kukira, dia mengacak-acak rumah Pavarell hanya untuk itu. Kukira—“ Dean tersengal-sengal. Berhenti sejenak di sisi pintu mobil, membungkuk mengambil napas.<br />
<br />
“Kau tak apa-apa? Suntikan tadi tak membawa akibat?” Sam juga masih terengah-engah, tapi khawatir melihat kakaknya.<br />
<br />
Dean menggeleng. Merogoh saku jaketnya, mencari kunci. Gemetar mencoba memasukkannya di lubang kunci pintu. Akhirnya masuk juga. Pintu terbuka, keduanya masuk. Dean berkonsentrasi lagi untuk memasukkan kunci kontak, dan menyalakan mobil. Keduanya kemudian berlalu.<br />
<br />
Belum lama, terdengar suara ledakan teredam—<br />
<br />
“Sam, kau pikir itu Jumbo?”<br />
<br />
Sam menggeleng. “Aku tak tahu. Mungkin saja kendaraan tadi menabrak perangkat-perangkat komputer dan perangkat listrik lain. Lagipula kita tidak tahu apa saja yang dia simpan di ruang bwah tanahnya, apakah ada bom atau tidak—“<br />
<br />
Dean tak berkata-kata lagi, hanya menambah kecepatan kendaraannya agar cepat tiba di kediaman Pavarell.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
“Jadi, mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang totem itu ya?” sahut Pavarell, berjalan pelan-pelan menyusuri koridor rumah sakit. Hari itu ia sudah boleh pulang, luka-lukanya sudah menuju kesembuhan.<br />
<br />
Sam mengangguk. “Yang dicari justru buku alamat yang dikantungi Dean. Beda kasus,” sahutnya sambil tertawa kecil. Pavarell turut tertawa.<br />
<br />
“Tapi, walau demikian, kukira akan lebih baik kalau totem itu dibawa saja olehmu. Berikan pada Bobby, ia akan tahu bagaimana merawatnya. Aku ini bukan Pemburu, hanya pernah hidup dalam satu rumah bersama beberapa Pemburu selama beberapa waktu, dan itu sudah cukup membuatku jadi gila—“<br />
<br />
Sam terkekeh lagi. “Apalagi menyimpan barang-barang mereka ya? Baru sekali saja kau sudah langsung masuk rumahsakit—“<br />
<br />
Keduanya tertawa lagi.<br />
<br />
Tapi ada yang kurang. Sam menengok ke belakang. Dean mengikuti langkah mereka sambil diam, tidak ikut tertawa. Jelas sedang melamun.<br />
<br />
“Dean—“ Sam memanggil.<br />
<br />
“Haa? Oh ya, ada apa”<br />
<br />
Jelas ia terkejut.<br />
<br />
“Kau tak apa-apa?”<br />
<br />
Dean menggeleng.<br />
<br />
Mereka bertiga keluar dari rumah sakit, masuk ke dalam Impala, menuju kediaman Pavarell.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
“Kau tidak apa-apa kami tinggalkan?” Dean menyimpan tas duffelnya di dalam bagasi.<br />
<br />
“Tentu saja tidak. Aku sudah tinggal sendiri sejak bertahun-tahun lalu, lagipula tiap hari ada saja pelanggan yang datang, jadi kalau ada sesuatu denganku, mayatku akan cepat ditemukan—“<br />
<br />
Bwahaha! Mereka bertiga tertawa.<br />
<br />
“Hati-hati saja membawa totem itu—“<br />
<br />
“Kau bilang kalau ia tak merasa ada bahaya, ia akan tetap diam. Kukira ia akan tertidur pulas sepanjang jalan sampai ke rumah Bobby—“ sahut Sam. Mereka tertawa lagi. Berjabat tangan, Sam dan Dean masuk ke dalam Impala, dan melaju.<br />
<br />
Cross border lagi—<br />
<br />
Tapi baru saja beberapa jam mengendarai, Dean berhenti. Di pinggir jalan.<br />
<br />
“Dean, ada apa?”<br />
<br />
“Ganti menyetir,” sahutnya pendek.<br />
<br />
“Kau tak apa-apa? Dari kemarin kulihat kau terdiam terus. Benar tak apa-apa?”<br />
<br />
Dean menggeleng. “Hanya kurang enak badan saja—“<br />
<br />
“Sebaiknya nanti kita periksa dokter. Paling tidak agar kau yakin tidak ada apa-apa. Kita kan tidak tahu, apa yang disuntikkan Jumbo padamu—“<br />
<br />
“OK. Nanti saja kalau sudah tiba di tempat Bobby—“<br />
<br />
Sam ingin menambahkan lagi, tapi Dean sudah mengambil posisi meringkuk, menutup matanya, jadi ia terdiam. Melajukan Impala lagi. Berusaha agar cepat, tapi tak terasa.<br />
<br />
Perjalanan kali ini lebih panjang dari biasanya.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Begitu sampai di rumah Bobby, Dean langsung masuk ke kamar mandi. Agak lama baru ia keluar.<br />
<br />
Bobby mengangkat alisnya. “Kenapa dia begitu?”<br />
<br />
Sam mengangkat bahu, menggelengkan kepala. “Waktu di laboratorium Jumbo, yang kuceritakan lewat telepon itu, si Jumbo menyuntikkan sesuatu padanya. Aku tak tahu itu apa. Aku sudah bilang untuk periksa dokter, tapi dia menolak, nanti katanya kalau sudah di sini saja—“<br />
<br />
“Ya, sudah.” Bobby menyuruh Sam menyimpan totem yang dibawanya di atas meja. “Jadi, Pavarell memilih kita untuk menyimpannya, hm?” Ia mengeluarkan beberapa buku yang rupanya sudah disiapkan, apalagi karena Sam sudah menelepon sedari kemarin.<br />
<br />
“Pada umumnya totem dibuat untuk tujuan perlindungan. Tapi bisa saja ia dibuat untuk tujuan menyerang, walau ini jarang—“ Bobby membuka-buka bukunya, mencari gambar yang sesuai, yang mirip dengan totem yang dibawa Sam.<br />
<br />
“Ini—walaupun aku tak tahu mengapa warnanya bisa sepudar itu. Seperti yang di-ampelas—“ sahut Sam<br />
<br />
“Kalau kupikir-pikir, seperti warna yang tercelup dalam air beberapa waktu lamanya, seperti bertahun-tahun lamanya ada di dasar laut atau dasar sungai—“<br />
<br />
“Bobby, tapi kupikir kalau kayu berada di dalam air untuk beberapa waktu lamanya, justru akan menjadi lapuk, kan? Coba kau raba kayunya—“<br />
<br />
Bobby menurut, meraba kayunya. “Seperti—seperti sangat kuat. Seperti bukan kayu, seperti dibuat dari beton—“<br />
<br />
“Nah itulah. Sekarang coba lihat—“ Sam mengeluarkan EMF-meternya, “Dean—“<br />
<br />
Dean yang sedari tadi hanya duduk memandang mereka, berdiri dan tanpa suara menutup tirai, mematikan lampu. Sam kemudian mendekatkan EMF-meternya. Seperti yang mereka lihat waktu masih bersama Pavarell, mata totem itu menjadi merah.<br />
<br />
“Hm,” Bobby mengangkat tangannya, memainkannya di pucuk hidungnya, “sepertinya ia merasa terancam—“<br />
<br />
Sam menjauhkan EMF-meternya, Dean otomatis membuka lagi tirai dan menyalakan lampu.<br />
<br />
“Merasa terancam?” Dean untuk pertama kali membuka mulut. “Seperti hidup, begitu? Seperti bernyawa?”<br />
<br />
“Semacam itulah,” Bobby seperti masih berpikir keras. “Pavarell menyimpannya di mana?”<br />
<br />
“Di ruang bawah tanah—“<br />
<br />
“Bijaksana,” sahutnya, dan tiba-tiba ia seperti diingatkan pada sesuatu, “—Dean, kau sudah diperiksa dokter?”<br />
<br />
“Belum,” Dean menggeleng, “—lagipula aku tak merasa apa-apa. Mungkin hanya seperti suntikan yang diberikan pada Sam, ia menjadi punya efek hologram begitu, tapi itu juga hanya untuk beberapa waktu—“<br />
<br />
“Efek hologram bagaimana?”<br />
<br />
Sam menjelaskan bagaimana gilanya Jumbo, dan mungkin juga sama gilanya adalah Profesor yang dulu pernah menciptakan mereka. Ide-ide yang mengerikan.<br />
<br />
“Kukira tadinya ia akan membunuh Sam dengan menabrakkan kendaraan itu, ternyata Sam dibuatnya menjadi seperti hologram, dan ia menabrakkan kendaraan itu tanpa menyentuh—“<br />
<br />
Bobby menggeleng-gelengkan kepala sambil men-tsk-tsk. “Tapi memang kalau seorang sudah gila, didukung oleh dana dan alat, segalanya menjadi mungkin—“ Ia melihat lagi pada Dean, “—sebaiknya kau diperiksa dokter. Jangan khawatir, ada dokter kenalanku, dan ia takkan bertanya macam-macam walau dari telingamu tumbuh tanaman kacang—“<br />
<br />
Bobby terpaksa menghindar dari sambitan buku tebal, “Hoi, hoi, itu buku langka, tahu!”<br />
<br />
Sorenya mereka pergi ke tempat praktek kenalan Bobby. Seorang wanita kulit hitam, tidak banyak bicara. Memeriksa keseluruhan secara teliti.<br />
<br />
“Kalau dari pemeriksaan luar, sepertinya tidak ada apa-apa. Hanya kelelahan sepertinya,” katanya setelah pemeriksaan yang cukup lama. “Tapi untuk amannya, aku ambil urine dan darahmu ya?”<br />
<br />
“Apa perlu?” tanya Dean.<br />
<br />
“Terserah sih. Kalau aku sih mending periksa—“<br />
<br />
Mengangkat bahu, Dean menerima tabung contoh air seni yang diberikan, dan pergi ke kamar kecil. Setelah itu juga ia diambil darahnya.<br />
<br />
“Besok hasilnya aku kirim. Kalian ada di rumahnya Bobby?”<br />
<br />
Berdua mereka mengangguk.<br />
<br />
Keluar dari situ, Dean melempar kunci mobilnya pada Sam. “Kau saja yang nyetir—“<br />
<br />
Sam melongo sejenak, tapi langsung duduk di kursi supir dan menyalakan mesin.<br />
<br />
Ini tidak biasa. Sama sekali tidak biasa.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Setelah menyimpan totem itu baik-baik di ruang bawah tanah Bobby, mereka tidak punya kerjaan lain.<br />
<br />
Dean membongkar-bongkar Impala, tetapi hanya sebentar. Kap mesinnya cepat-cepat ditutup, dan alat-alat mesin ia simpan di bagasi. Bergegas masuk ke dalam rumah, melewati Sam yang sedang membaca, ia langsung ke kamar mandi. Agak lama di sana, baru ia keluar lagi. Wajahnya pucat pasi.<br />
<br />
“Dean, ada apa?”<br />
<br />
Dean menggeleng. “Aku mau tidur dulu sejenak.”<br />
<br />
Ketika ia bangun beberapa waktu kemudian, Janice, dokter wanita yang kemarin, ada di ruang depan. Plus Sam dan Bobby. Sepertinya mereka sedang membicarakan masalah serius.<br />
<br />
“Ah, Dean,” Bobby pertama kali melihatnya keluar kamar, “Janice ingin membicarakan—sesuatu—“<br />
<br />
Heran, Dean duduk di kursi yang kosong.<br />
<br />
Sam duluan yang bicara. “Dean, kau ingat waktu Jumbo membicarakan dirinya? Ia bilang kalau dia itu pria, tapi ia punya alat reproduksi wanita, sekaligus juga punya alat kelamin pria?”<br />
<br />
Dean mengangguk, masih bingung kenapa.<br />
<br />
Sam menatap Janice.<br />
<br />
Janice mengambil kertas-kertas yang sepertinya tadi sedang dibaca oleh Sam dan Bobby. “Kau ini laki-laki, tapi dalam tes, hormon wanitamu jumlahnya sedang lebih banyak daripada hormon laki-laki—“<br />
<br />
“—sedang lebih banyak?”<br />
<br />
“Kemungkinan sifatnya sementara—“<br />
<br />
“Jadi—itu sebabnya aku selama ini merasa tak enak—“<br />
<br />
“Bukan itu saja, Dean. Ada sesuatu yang—benar-benar harus diperhatikan—“ Janice memisahkan selembar kertas dari lembar-lembar yang lain dan menyerahkannya pada Dean.<br />
<br />
“—ada kadar hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG)”<br />
<br />
“Human—“<br />
<br />
“Human Chorionic Gonadotropin. Hormon kehamilan, dan cukup banyak, 100 IU.”<br />
<br />
“Ke-kehamilan? Ah, jangan bercanda!”<br />
<br />
Janice memandang Sam, dan Bobby. “Aku juga tak percaya, Dean. Aku sedang mencari literatur lain yang membahas tentang ini, tetapi gejala-gejalanya cocok. Kau cepat merasa lelah, mual dan muntah—“<br />
<br />
“Belum lagi kenyataan bahwa aku tidak dapat menstruasi bulan ini—“ ujar Dean sinis, tapi nyata bahwa ia sedang dalam keadaan menyangkal.<br />
<br />
Janice menghela napas. “Aku tahu pekerjaan kalian apa. Aku tahu pekerjaan Bobby sudah sedari lama. Itulah makanya ia berani menyuruhku memeriksamu, kalau-kalau ada sesuatu yang tak beres.”<br />
<br />
Dean terdiam.<br />
<br />
“Aku akan memeriksa, kira-kira suntikan yang diberikan padamu itu apa, walau kejadian kau disuntik ini sudah lama, sekitar seminggu. Selama itu, Bobby juga akan mencari kemungkinan hal ini mengandung unsur mistis atau tidak, soalnya—yah, kau tahu sendiri, pria hamil itu sama sekali di luar logika—“<br />
<br />
Masih terdiam.<br />
<br />
Sam dan Bobby juga seperti ingin membantu, tapi tidak tahu harus mengatakan apa.<br />
<br />
“Lalu sekarang—aku harus mengerjakan apa?” Dean bertanya pelan.<br />
<br />
“Maksudmu, sehari-hari?”<br />
<br />
Dean mengangguk.<br />
<br />
“Hamil itu bukan penyakit,” Janice tersenyum, “—biasanya aku mengatakan itu pada pasienku yang wanita.”<br />
<br />
Dean terpaksa tersenyum.<br />
<br />
“—tetapi ia perlu keadaan khusus. Seperti tidak mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, makan makanan yang seimbang gizinya, tidak mengkonsumsi alkohol apalagi narkoba—“<br />
<br />
“—cheeseburger—boleh?”<br />
<br />
Janice tersenyum. “Bagaimana kalau cheeseburger buatan sendiri saja, lebih aman, sayurnya segar, dan tidak mengandung pengawet—“<br />
<br />
“Harus pakai sayur?”<br />
<br />
“Ya jelas dong, Dean, justru sayur yang harus banyak kau makan—“ Sam memprotes.<br />
<br />
Wajah Dean seperti mau dihukum mati saja. Sam tertawa terbahak-bahak.<br />
<br />
Janice tersenyum. “Aku resepkan penguat kandungan ya. Walau aku sendiri belum tahu seperti apa kandunganmu,” ia menuliskan resep. “Dan karena aku dokter umum, bukan dokter kandungan, aku tak punya USG. Tapi nanti akan aku atur jadwal untukmu di klinik temanku, dengan aku sebagai operator. Kalau tidak, nanti akan mengundang kecurigaan—“<br />
<br />
Mau tak mau Dean mengangguk. Penasaran juga ia akan keadaan dirinya. Di mana bayinya nanti bergelung?<br />
<br />
Janice memberikan resepnya. “Lalu, kalau kau muntah-muntah, makanlah sedikit tapi sering. Pagi-pagi, sebelum makan apa-apa, begitu bangun, makanlah crackers. Biasanya itu menolong. Lalu, kalau kau memang mau, makan saja makanan yang asam, acar, plum, grapefruit—apapun, biasanya menolong sehingga kau tak begitu merasa mual. Jadi kau bisa makan makanan utamanya.”<br />
<br />
“Susu bagaimana?” Sam bertanya.<br />
<br />
Bobby tak mampu menahan tawa. Dean melotot padanya. Justru makin membuat Bobby meledak tawanya.<br />
<br />
“Kalian ini—” sahutnya di tengah-tengah tawanya, “—persis—“ tawa lagi, “seperti suami istri—“ dan ia tertawa sampai terguling-guling.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
“OK, karena kau bersikeras tetap ingin melakukan pekerjaan seperti biasa, kukira kita akan bermarkas di rumah Bobby saja untuk sementara ini,” Sam menerangkan.<br />
<br />
“Kenapa harus bermarkas, kenapa tidak seperti biasa saja—“ Dean sudah ingin protes.<br />
<br />
“Karena ibu ha—ops, maaf, karena bapak hamil dalam trimester pertama itu rentan terhadap keguguran. Apalagi kalau perjalanan jauh.”<br />
<br />
Wajah Dean berubah murung.<br />
<br />
“Ayolah Dean, ini kan hanya untuk sementara. Kalau sudah masuk bulan ke-4, kau relatif aman—“<br />
<br />
Dean menarik napas panjang. “Oke,” sahutnya nampak malas. “Sekarang, kita kerjakan apa?”<br />
<br />
Sam menarik laptopnya ke sisi meja. “Pertama, aku mau browsing tentang kehamilan, pada pria ataupun bukan—“<br />
<br />
Dean menggeleng. “Aku tak mau membaca tentang itu dulu—“<br />
<br />
“Oke,” Sam berusaha memaklumi, “ Lalu, aku juga menemukan ini.”<br />
<br />
Sam menunjukkan beberapa halaman yang sudah di-bookmark. “Kau tertarik?”<br />
<br />
Dean menggeser laptop menghadap dirinya. Membaca penuh perhatian.<br />
<br />
“Tidak ada yang sama dengan mereka, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, status perkawinan, yang sama hanyalah keadaan mayat mereka. Mereka mati jauh dari air, tapi badannya bengkak-bengkak seperti orang yang mati tenggelam—“ Sam menjelaskan.<br />
<br />
Dean menghela napas, “Tapi mereka juga berbeda negara bagian, Sammy. Kau sendiri yang menyarankan agar kita bermarkas sementara waktu—“<br />
<br />
“Sori—“<br />
<br />
Pintu samping terbuka. Bobby masuk. “Sammy, terjadi lagi. Kini di South Dakota—“<br />
<br />
Sam memandang Dean. Dean memandang Sam.<br />
<br />
“Kupikir—kupikir, bepergian sedikit juga tidak apa-apa—“<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
”Terima kasih,” sahut Sam sambil menutup notesnya dan beranjak menuju saudaranya yang juga sama baru menyelesaikan pertanyaan-pertanyaannya. Tanpa bicara keduanya berjalan menuju Impala, masuk, dan meninggalkan TKP. Tidak ada yang bicara selagi mereka melaju.<br />
<br />
”Sudah tiga orang jadinya,” sahut Dean memecah keheningan. Tidak ada jawaban. Diliriknya adiknya, yang sedang membuka-buka catatan hasil wawancara tadi.<br />
<br />
“Ada yang kau temukan?” tanyanya. Sam masih sibuk membanding-bandingkan kedua catatan, seperti tidak mendengar.<br />
<br />
“Ada yang kau temukan?” ulang Dean.<br />
<br />
”Hmh? Sebentar,” ia menutup kedua catatan itu. ”Ketiganya memang matinya aneh, seperti orang yang tenggelam, padahal mereka berada di tempat kering. Sepertinya ketiganya tak punya kesamaan, jenis kelamin berbeda, usia berbeda, warna kulit juga berbeda, pekerjaan berbeda ... mungkin mereka pernah tinggal di tempat yang sama? Nanti di tepat Bobby aku cari lebih jauh.”<br />
<br />
Dean mengangkat bahu. Memacu Impalanya lebih cepat agar segera tiba. Di tempat Bobby, Sam mungkin akan menemukan lebih banyak lagi, menyimpulkan hasil perburuan sehari penuh ini.<br />
<br />
Sam tak banyak bersuara ketika mereka tiba. Ia kemudian menyiapkan makanan dan mereka makan tanpa suara. Membuka laptopnya dan mencari-cari dalam internet, sambil membuka-buka semua yang mereka dapat tiga hari ini.<br />
<br />
Tiga korban, seorang kulit hitam besar berumur sekitar 50-tahunan. Seorang kulit putih muda 30-an. Seorang wanita keturunan Asia 20-an. Di 3 negara bagian. Dengan pekerjaan berbeda, dengan keadaan kesehatan berbeda, keadaan ekonomi berbeda.<br />
<br />
Mereka mati dalam waktu yang berbeda. Satu-satunya yang sama hanyalah cara mereka mati. Persis sama seperti jika mereka mati tenggelam. Dan wajar jika ditemukan di sungai, kolam renang, atau laut. Hanya, ini ditemukan di tempat kering, di kamar mereka, di apartemen mereka, atau di tempat kerja.<br />
<br />
Dean kemudian ikut mencari juga, mengobrak-abrik benda-benda pribadi korban yang mereka dapatkan sebagai barang bukti, tanpa tahu apa yang seharusnya mereka cari. Tapi kemudian ia mengangkat kepalanya, ”Hey, Sam ...”<br />
<br />
Bersamaan waktunya, Sam mengangkat kepalanya dan menoleh pada Dean, dan, ”Hey, Dean...”<br />
<br />
Keduanya tertawa.<br />
<br />
”Oke, kau duluan,” sahut Dean.<br />
<br />
”’Key. Mereka ternyata pernah bekerja di proyek yang sama. Eksplorasi Greenland. Meski dengan kapasitas yang berbeda. Tracy Leung, jadi penyelam. David Smith asisten peneliti. Kevin Williams—pria hitam itu—jadi tukang masak. Proyek ini kecil saja, dan menurut apa yang kubaca di sini, hasilnya tak begitu sukses.”<br />
<br />
“Bagus. Berarti menguatkan apa yang kutemukan,” Dean menyorongkan tiga buku alamat, berbeda-beda. Yang satu buku amburadul, semua ditulis di situ; satu lagi rapi sistematis, yang satu lagi pink dan harum. Ia mengambilnya acak dari benda-benda peninggalan almarhum.<br />
<br />
Sam nyaris tertawa. Buku alamat lagi. Tapi ia menelan tawanya ketika melihat apa yang ditemukan Dean.<br />
<br />
Dean membuka pada alamat yang sama, yang ditulis ketiganya. Alamat seseorang. Namanya aneh. Torak.<br />
<br />
Dean dan Sam berpandangan.<br />
<br />
-o0o-<br />
<br />
Tidak sulit menemukan alamatnya. Sebuah apartemen untuk kelas ekonomi menengah ke bawah yang ribut, penuh sesak. Saat Dean hendak memencet bel, belnya jatuh dari dudukannya di dinding. Terpaksa Dean mengembalikannya lagi ke tempat semula, dan mengetuk saja pintunya.<br />
<br />
Seorang laki-laki sekitar 50 tahun, berkulit coklat seperti Indian, membuka pintu.<br />
<br />
”Mr ... Torak?” Sam memastikan.<br />
<br />
Laki-laki itu mengangguk, belum membuka rantai penghalang pintunya, malah seperti yang sedang meneliti kedua tamunya dari ujung rambut sampai ujung kaki.<br />
<br />
”Er ...” entah kenapa Sam malah tidak menggunakan samaran yang mereka sudah rencanakan, ”aku Sam Winchester, dan ini Dean kakakku. Kami ingin ...”<br />
<br />
”Masuklah,” katanya, melepaskan rantai penghalang pintu dan membuka pintunya lebar-lebar.<br />
<br />
Dean ternganga, tapi Sam kemudian menggamitnya agar masuk. Torak kemudian menutup pintu rapat-rapat dan mengisyaratkan agar mereka berdua masuk ke kamar yang satu lagi.<br />
<br />
Keheranan, tapi mereka masuk saja. Ruangan itu temaram, dengan berbagai asesoris ala Indian, terka Sam, kesannya jadi ... agak kumuh. Kesan itu hilang seketika ketika Torak menyalakan lampu, lalu menyuruh mereka duduk di karpet di lantai.<br />
<br />
”Aku sudah mendapat visi kalian akan datang,” ia mengangkat tangannya memberi isyarat agar Sam tidak bertanya dulu, ”elang laut dan kuda hutan akan datang. Begitu katanya. Kau,” ia menunjuk Dean, ”klan kuda hutan. Dan adikmu itu klan elang laut,” jelasnya.<br />
<br />
Dean dan Sam berpandangan. “Klan?” tanyanya heran.<br />
<br />
Torak tersenyum tipis. “Dahulu kala, sekitar 6.000 taun yang lalu, ada komunitas masyarakat di kawasan Eropa bagian ini,” ia menunjuk wilayah tertentu di peta dunia yang tergantung di dinding. “Termasuk mereka yang ada di Greenland, termasuk yang ada di kawasan yang sekarang sudah menjadi wilayah Kanada. Masyarakat itu terbagi-bagi dalam beberapa klan,” ujarnya. Ia duduk di hadapan mereka, sama di karpet, tapi di belakang meja pendek yang penuh barang-barang.<br />
<br />
“Dan dari apa yang kuamati barusan, kau berasal dari klan kuda hutan sementara adikmu dari klan elang laut,” tegasnya.<br />
<br />
”Walaupun bersaudara, ... bisa dari klan yang berbeda?”<br />
<br />
Torak tersenyum, ”Bisa saja. Kalau ibumu dari klan A dan ayahmu dari klan B, maka kau harus membagi anakmu jadi dua. Kecuali kalau anakmu hanya satu.”<br />
<br />
Dean dan Sam mengangguk-angguk mengerti. Tapi Sam langsung membelokkan pertanyaan.<br />
<br />
“Mr Torak, kami ingin menanyakan sesuatu …”<br />
<br />
“Tentang ekspedisi Greenland itu kan?”<br />
<br />
Sam mengangguk heran. “Bagaimana kau bisa …”<br />
<br />
“… tahu? Sudah kubilang, ada visi datang padaku,” Torak berdeham. “Lima tahun yang lalu, kami tergabung dalam penelitian di Greenland tentang artefak kuno. Penelitian biasa, menyingkap masyarakat kuno, bagaimana cara mereka hidup, cara mereka berpindah, dan sebagainya. Sampai kami menemukan Baiduri Api.”<br />
<br />
“Baiduri Api?”<br />
<br />
Torak mengangguk. “Batu ini, jaman dahulu dipakai untuk membuka pintu pada kekuatan gelap. Semacam kunci untuk pintu ke Dunialain. Kerajaan para setan.”<br />
<br />
Kelihatannya Sam dan Dean masih tak mengerti, sehingga Torak melanjutkan.<br />
<br />
”Dulu sekali, beribu tahun lalu, ada kelompok yang menamakan dirinya Pemakan Arwah. Kelompok ini lintas klan. Ketujuhnya merupakan dukun-dukun dari berbagai klan,” Torak menghela napas. ”Mulanya mereka hanya merupakan Penyembuh, dengan kekuatan khas bagi tiap dukun. Lama kelamaan mereka menginginkan kedudukan yang lain, yang lebih tinggi. Mereka ingin menguasai semua klan yang ada saat itu.”<br />
<br />
”Satu Pemakan Arwah itu sadar bahwa mereka akhirnya tersesat di jalan yang salah, dan ingin keluar dari kelompok itu, tetapi tidak bisa. Rekan-rekannya menghalanginya. Mereka harus tetap bertujuh. Lagipula, mereka sudah mendapatkan Baiduri Api, kunci untuk membuka Pintu ke Dunialain.”<br />
<br />
”Dunialain itu apa?” sela Sam.<br />
<br />
”Dunialain itu alam di mana setan-setan dikurung.”<br />
<br />
Sam dan Dean saling berpandangan.<br />
<br />
“Para Pemakan Arwah merasa yakin, mereka akan bisa mengendalikan setan-setan itu jika pintu dibuka, karena Baiduri Api itu juga berfungsi mengendalikan. Setan-setan itu takut pada Baiduri Api.”<br />
<br />
”Tetapi kemudian Pemakan Arwah yang ingin keluar itu, Fa, mencurinya,” Torak melanjutkan, ”terjadi pertempuran, kebakaran besar. Satu Pemakan Arwah tewas di sana, dan yang enam lagi terpencar-pencar. Begitu pula Baiduri Api. Jatuh dan pecah dalam pertempuran, satu bagian dipegang Fa, dan yang lain juga ada yang mengambilnya. Terpisah-pisah entah di mana.”<br />
<br />
Torak menghela napas lagi, “Fa melarikan diri bersama istri dan bayinya, tidak hidup bersama klan-klan, tapi mengasingkan diri. Istrinya kemudian meninggal, dan pada saatnya Fa juga tewas, menjadi korban salah satu Pemakan Arwah. Tapi Baiduri Api-nya selamat di tangan anaknya, Torak. Ya, orangtuaku memberiku nama Torak mengikuti namanya, berharap dalam hidupku akan melakukan sesuatu yang hebat seperti Torak itu,” ia tertawa kecil.<br />
<br />
”Tapi yang kulakukan selama ini hanya menjaga agar aku tidak punya catatan kriminal di kepolisian,” tawanya berubah sinis, ”kau tahu kan bagaimana buruk prasangkanya para kulit putih itu terhadap kulit berwarna, baik kulit hitam atau lainnya.”<br />
<br />
Ia meneruskan, ”Jadi, Torak ini berhasil mengumpulkan tiga pecahan Baiduri Api dan memadamkannya. Untuk kau ketahui, batu ini bercahaya. Cahayanya bisa dilacak bahkan dari jauh sekalipun. Jika kau ingin memadamkannya, kau bisa menguburkannya di bawah tanah atau batu, tapi harus bersama satu jiwa.”<br />
<br />
Torak mengangguk, melihat Sam dan Dean menatapnya penuh perhatian. “Bersama satu jiwa, berarti ada kematian saat itu, disengaja atau tidak. Maka Baiduri Api akan padam, tak berfungsi lagi. Torak berhasil memadamkan tiga bagian, satu dengan nyawa dukun Klan Anjing Laut, Tenris; satu dengan dukun Kelelawar, Nef; dan satu lagi dengan nyawa dukun Ular, Seshru,” jari-jarinya dikembangkan satu-satu saat ia menghitung.<br />
<br />
”Dalam visi magang dukun Klan Gagak, batu itu pecah jadi tiga bagian. Jadi masyarakat saat itu merasa lega karena batu itu akhirnya bisa dilenyapkan. Tapi ternyata ada satu bagian lagi yang luput dari pantauan—“<br />
<br />
Sam dan Dean saling memandang.<br />
<br />
Torak melanjutkan, “—pecahan ini entah bagaimana bisa lolos. Dan masih ada sampai di abad ini.” Ia menelan ludah, “—klise memang, tapi jika ada benda semacam ini di dunia, maka pasti akan ada yang memburunya—“<br />
<br />
“Tapi setelah selama enam ribu tahun?”<br />
<br />
Torak menggelengkan kepala. “Aku juga tak tahu. Di mana leluhur kita dulu menghormatinya, orang-orang jaman sekarang malah memburunya demi harta—“<br />
<br />
“Hm,” Dean menanggapinya dengan senyum sinis, “—di masa kini, segalanya bisa dikonversi dengan harta—“<br />
<br />
Torak mengangguk. Tapi kemudian ia seperti melihat sesuatu dari diri Dean, dan memandangnya lebih tajam, lekat-lekat—<br />
<br />
“Apa?”<br />
<br />
“Kau—seperti sedang membawa sesuatu—“<br />
<br />
Dean memandang Sam. Berpikir bahwa orang ini kok bisa-bisanya mengetahui kalau dia sedang ha—<br />
<br />
“Kau tak usah memberi tahu apa itu. Yang penting, jagalah baik-baik. Karena sesuatu itu bisa berakibat baik, tapi juga bisa berakibat buruk.”<br />
<br />
Dean bengong sejenak.<br />
<br />
<br />
-To Be Continued-RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-20999413046503963392010-04-28T10:58:00.005+07:002010-10-09T16:58:01.104+07:00Fic: Playing Dead (crossover dengan Devour)FF SN/Devour : BELUM ADA JUDUL. ADA YANG MAU NGASIH??<br />
GENRE : HOROR, THRILLER<br />
<br />
RATING : bisa T - M (bahasaku terlalu mengerikan dan terlalu banyak kesadisan. Hahahahaha ^.^)<br />
<br />
Disclaimer : Supernatural dan Devour bukan milikku. Kalau mereka punyaku, si Dean dan Jake sudah aku bawa pulang dari jaman dulu.<br />
<br />
A / N :<br />
1. Kondisi korban benar - benar aku deskripsikan sesuai dari Devour.<br />
2. Entahlah, kesan Dean jijik pada organ akhir-akhir ini sering di tampilin di Supernatural season 5. Mengugah selera untuk mengerjai karakter Dean sampai mual. (keinget Dean bilang,. 'be my valentine' ke Sam sambil nyerahin jantung manusia. >> SN0514)<br />
3. Mencoba mengcompare dua jiwa satu wajah. (Dean / Jake )<br />
4. Menguatkan kenangan Dean tentang Jo, Hellhounds dan Ellen. (SN0510)<br />
5. Maaf kalo cerita agak aneh, dan ngelantur karena ini cerita versi saya, diatas dari Supernatural dan Devour. Meng-mix antara dua definisi berbeda antara half human half demon sangat susah sebenarnya. Jadi aku ambil jalan tengah yaitu definisi ku sendiri. (SN0506)<br />
6. Pengenalan tanda pemisah. Bila terdapat tanda ***** itu berarti akhir dari chapter. Bila --- itu berarti masih di chapter yang sama, tetapi adegannya berbeda.<br />
<br />
<br />
=====================================<br />
Dean baru saja mengambil orderan makanan dari kasir, kemudian berjalan ke arah meja nomer delapan. Dean kemudian duduk di kursi panjang. Dia menyentakkan piring datar berisi salad sayur yang hampir menggunung dengan lapisan saus mayonaise dengan tatapan jijik, seakan berusaha menyingkirkan 'makanan kambing' tersebut dari hadapannya. Sementara itu, Dean berusaha mendekatkan dan mengakrabkan dirinya dengan cheeseburger-nya.<br />
<br />
Dean mengambil botol saus sambal kemudian mengukir saus tersebut di atas daging burger nya. Sementara Sam, adiknya, yang nyatanya lebih tinggi darinya, yang sangat mencintai 'makanan kambing' tersebut, sedang membenamkan diri di balik sebuah laptop berukuran 14" tersebut. Sementara matanya mengamati layar laptop, tangannya bergerak perlahan untuk mengaduk salad agar tercampur sempurna dengan mayonaise.<br />
<br />
Dean baru saja hendak memberikan gigitan sayang pada burger nya ke dalam mulutnya, Sam langsung menyelanya.<br />
<br />
"Tunggu!" pekik Sam sementara dia tetap menatap layar.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Apa? Aku kan sudah cuci tangan?" tanya Dean heran. Memang dasar si Mr. Clean umpat Dean dalam hati. Selain sangat menikmati pola hidup sehat (merumput-dalam kosakata Dean), Sam termasuk golongan orang bersihan, di banding Dean tentu saja.<br />
"Bukan! Bukan masalah cuci tangan." sahut Sam sepotong - sepotong.<br />
<br />
"Lalu apa Samantha??" tanya Dean sudah mulai berang. Sam membiarkan burger kesayangannya itu hampir dingin.<br />
<br />
"Jangan panggil aku Samantha!" kata Sam sambil menatap Dean tajam. Kemudian dia memutar balik laptopnya dan menghadapkan layar laptop pada Dean. Sebuah tampilan website memenuhi layar. Sebuah berita heboh soal pembunuhan, atau mutilasi lebih tepatnya, beruntun di kota ini. "Lihat, ternyata sebelum si Dakota meninggal, tiga teman terdekatnya telah meninggal dengan cara yang misterius."<br />
<br />
"Misterius atau mengerikan?" tanya Dean sambil mengerutkan dahinya dengan tatapan aneh ke arah Sam. Pandangan matanya ke layar membuat dia harus terpaksa melihat potongan mayat yang berlumuran saus merah, darah, yang sudah tidak menyatu lagi dengan bagian tubuh yang lain, atau setidaknya mayat tersebut cukup tidak terlihat oleh cairan merah tersebut.<br />
<br />
"Dua-duanya." jawab Sam singkat seolah menghiraukan tatapan jijik penuh makna dari Dean. Sam menggerakkan kusornya dan mengklik sebuah judul tulisan yang membawanya ke sebuah jendela baru.<br />
<br />
"Apa itu?" tanya Dean. Sebenarnya Dean bukan sesosok manusia yang buta komputer. Justru Dean bisa di bilang lebih berteknologi dari Sam, terutama dari segi elektro. Dean bisa membuat EMF dengan barang sehari - hari. Hanya saja pengetahuan Dean di dunia maya, atau internet, lebih terarah ke urusan dewasa ketimbang urusan perburuan.<br />
<br />
"Ini dia. Dia adalah satu - satunya saksi mata, dan hidup dari semua mutilasi ini."<br />
<br />
"Sebentar... Maksudmu, dia masih hidup?"<br />
<br />
"Yeah, dia menjadi saksi atas kematian keempat sahabatnya. Sungguh tragis bukan?"<br />
<br />
"Seolah dialah pembunuhnya." kata Dean akhirnya menggigit chesseburgernya.<br />
<br />
"Kau benar, polisi memang sudah lama mengincar atau memata - matai dia. Polisi tentu saja sudah lama curiga padanya sejak terjadi kasus kedua. Kau tahu Dean, di kasus pertama, korbannya tiga orang."<br />
<br />
"Mengerikan. Memangnya, bagaimana bisa membunuh tiga orang bersamaan tetapi pelaku tidak terluka? Lagipula, apa sih yang di lakukan ketiga orang itu. Seperti orang bodoh saja, mati dengan cara mudah."<br />
<br />
"Hey, dude. Tidak semudah itu asal kau tahu. Makanya, baca artikel dari awal sampai habis. Lagipula, dua diantaranya bukan termasuk teman dekatnya. Mereka di temukan meninggal olehnya di asrama mereka. Dengan kondisi kacau."<br />
<br />
"Seberapa kacau?" tanya Dean penasaran.<br />
<br />
"Well, darah membasahi kasur dan sarung bantal. Beberapa peluru hasil tembakan jarak kurang dari 10 meter bersarang di tubuh mereka dengan parah. Merusak jantung, dan paru - paru si laki - laki. Menembus dada si perempuan. Tebak apa yang terjadi? Mereka di tembak saat mereka sedang berhubungan..."<br />
<br />
"Stopp.. sudah jangan buat aku kehilangan selera makan." potong Dean yang sukses hampir mual gara - gara Sam.<br />
<br />
"Bukannya kau sendiri yang tanya seberapa kacau?"<br />
<br />
"Jangan terlalu mendetail. Lanjutkan ceritanya."<br />
<br />
"Tidak lama, di ketahui pemilik dari senjata pembunuh tersebut adalah Conrad. Teman dekatnya. Dia di temukan tewas tidak jauh dari dua orang tersebut, dengan batang pensil tertancap di telinganya, dan luka di mata, serta...."<br />
<br />
"Kan aku sudah bilang. Jangan terlalu mendetail!" Dean mulai marah.<br />
<br />
"Okay..okay.. Maaf. Hanya saja. Kau lucu, akhir - akhir ini kau mulai jijik dengan semua darah dan mayat. Ha- Hahahaha.." kata Sam kemudian di akhiri oleh tawanya yang terputus - putus itu.<br />
<br />
"Terlalu banyak darah tertumpah dalam hidupku." kata Dean polos.<br />
<br />
"Jangan berlebihan."<br />
<br />
"Aaa... bitch."<br />
<br />
"Jerk. Seperti biasa." kata Sam sambil memutar bola matanya.<br />
<br />
"Lanjutkan kasusnya. Kasus kedua."<br />
<br />
"Baiklah, yang kali ini lebih aneh saja. Dia berada di tukang tatto bersama seorang perempuan, entah siapa namanya, yang kemudian menemukan sepotong jari di dalam kantung kentang gorengnya."<br />
<br />
Dean melempar seperempat (sisa) cheeseburgernya ke atas piring. "Dude kau buat aku mual."<br />
<br />
"Kau lucu dude." Sam melanjutkan ketawanya. Untung saja Sam melakukan diet go-green, sehingga tidak ada perasaan jijik saat menyantap makanan berwarna merah tersebut (baca:daging,red).<br />
<br />
"Lupakan. Jadi, bagaimana menurutmu? Makhluk apa ini?"<br />
<br />
"Well, sejauh ini, dia lebih dari manusia, lebih dari binatang, atau demon kelas teri. Selera membunuh demon kelas teri tidak seperti ini. Kali ini, korban - korban kita seperti tercincang habis."<br />
<br />
"Kau sudah sinting dude. Itu sudah tidak lucu. Jangan melebihkan kondisi korban."<br />
<br />
"Aku serius. Seumur - umur, tidak ada demon sekejam ini."<br />
<br />
"Kecuali Famine yang pernah membuat dua insan manusia saling menggigit habis."<br />
<br />
"Kau benar. Dan aku tidak suka itu. Bagaimana dengan hellhounds?"<br />
<br />
Seketika mata Dean nanar. Dua kenangan pahit dalam hidupnya terkuak seketika mendengar nama hellhounds. Hatinya sakit, jiwanya sakit. Sayang, matanya seakan menyumbat aliran air matanya. Dia tidak bisa menangis. Salah, dia tidak boleh menangis. Dean harus kuat, meski kenangan hellhounds, telah merenggut segalanya dari hidupnya, dan hidup dua orang yang amat di sayanginya.<br />
<br />
"Mungkin. Mereka memang punya jiwa lapar sangat tinggi." sahut Dean getir.<br />
<br />
Sam kaget, dan menyadari raut wajah Dean. "Maaf. Aku keceplosan."<br />
<br />
"Tidak papa. Baiklah, bagaimana kita bertemu dengan dia?"<br />
<br />
"Tadi pagi aku bertemu dengan tetangga sebelah rumahnya. Dia hari ini menghadiri upacara pemakaman Ross. Ross adalah korban ketiga, korban terakhir sejauh ini. Dia adalah orang terakhir yang bertemu dengan Ross, sekaligus orang terakhir yang di telepon oleh Ross sesaat sebelum ia meninggal.."<br />
<br />
"Tunggu. Tapi mengapa hellhounds membunuh teman - temannya?"<br />
<br />
"Pertanyaan bagus. Kurasa bukan hellhounds. Lagipula, kalau dia terasuki oleh demon, tetangga kanan kiri sebelah rumahnya tidak memberikan keterangan adanya perubahan sikap, sifat, tingkah laku."<br />
<br />
"Sebaiknya kita mencari tahu langsung dari mulutnya."<br />
<br />
*****<br />
<br />
Seorang laki - laki yang tidak setinggi Sam dan sedikit lebih pendek dari Dean berjalan dengan tatapan serius, seolah kepalanya sedang penuh dengan segumpal pikiran. Laki - laki itu meski tampak sedang ebrpikir keras namun berjalan dengan langkah tergesa - gesa. Seolah ada sesuatu yang menyebabkan ia harus pergi dengan cepat.<br />
<br />
Impala hitam bertengger di bawah pohon oak sambil mengamati keadaan luar gereja tempat upacara pemakaman. Sedang laki - laki tersebut berjalan sambil terburu - buru ke arah mobil van hitam yang di parkir sekitar lima belas meter dari Impala.<br />
<br />
Dean dan Sam, kakak beradik itu sudah menunggu sekitar setengah jam lalu. Mereka sengaja membiarkan laki - laki itu menyelesaikan upacara pemakaman orang terdekatnya. Dean dan Sam setidaknya mengerti bagaimana bila dia menjadi orang yang terpaksa menghadiri tiga kali upacara pemakaman kurang dari dua bulan.<br />
<br />
Dean dan Sam menghampiri laki - laki itu, sesaat sebelum laki - laki itu memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubang kunci.<br />
<br />
"Special agent." kata Dean sambil mengeluarkan lencananya, dan kemudian Sam melakukan hal yang sama.<br />
<br />
"Maaf, memangnya ada apa?" tanya laki - laki itu.<br />
<br />
"Kau Jake Gray?" tanya Sam memastikan.<br />
<br />
"Yeah. Aku Jake Gray. Ada apa?"<br />
<br />
"Kami Special Agent. Bagian kasus pembunuhan misteri."<br />
<br />
"Seperti detektif?"<br />
<br />
"Kurang lebih." Jawab Dean, kemudian melanjutkan, "Aku Special Agent Hunt, dan dia partnerku, Special Agent Luther."<br />
<br />
"Agent Luther." kata Sam sedikit miris sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Jake Gray. Hah! Bodoh! umpat Sam. Dia tahu siapa itu agent Hunt dan agent Luther. Yang benar saja.<br />
<br />
"Jake Gray." kata Jake, "Memangnya ada apa?" lanjutnya.<br />
<br />
"Kami dengar, Anda adalah saksi mata dari keempat pembunuhan itu, benar bukan?" tanya Dean sok berwibawa. Sedang Sam menyiapkan sebuah notes kecil setelah disikut oleh Dean.<br />
<br />
"Yeah. Aku melihat mereka semua mati terbunuh."<br />
<br />
"Begini saja, kau mau membahasnya lagi dengan kami?" tanya Sam.<br />
<br />
"Tentu saja, tapi aku yakin kalian tidak akan percaya denganku seperti Sherriff lainnya di sini."<br />
<br />
"Belum tentu. Bagaimana kalau sekarang?" tanya Dean.<br />
<br />
"Maaf, aku harus segera pergi. Aku terburu - buru."<br />
<br />
"Tunggu..." kata Dean.<br />
<br />
"Begini saja, bagaimana kalau kamu ikut dengan kami? Kita akan bicarakan ini dalam perjalanan. Kami punya mobil." kata Sam sambil menunjuk sebuah mobil hitam, yang terparkir di samping pohon oak besar.<br />
<br />
"Maksud Anda, kalian akan mengantarkan saya?"<br />
<br />
"Tentu saja, lagipula, partnerku akan sangat mengijinkan kau menumpang, benar begitu?" tanya Sam sambil menyikut Dean.<br />
<br />
"Tentu saja." kata Dean kemudian berbalik sambil menatap tajam Sam, dan menggerakkan tanggannya di depan leher seakan melakukan gerakan menggorok leher.<br />
<br />
"Terima kasih."<br />
<br />
Mereka bertiga berjalan dan kemudian masuk ke dalam Impala milik Dean.<br />
<br />
"Kemana kamu akan pergi?"<br />
<br />
"Antarkan aku ke toko Tatto di Palm Street."<br />
<br />
"Toko Tattoo dimana kau menemukan bagian tubuh mayat temanmu?"<br />
<br />
"Marisol yang menemukannya. Di dalam kantung kentang goreng. Tidak lama mayat Dakota di temukan."<br />
<br />
"Kalau begitu mengapa kau ingin kesana?"<br />
<br />
"Begini saja, ceritakan semua yang telah kau ceritakan pada polisi setempat. Ceritakan dari awal kasus pembunuhan ini. Toh perjalanan ke Toko Tattoo itu perlu dua setengah jam dari sini." terang Sam.<br />
<br />
"Dimulai dari Darius?"<br />
<br />
"Yeah, laki - laki yang tewas di kasur itu." Sam lagi - lagi yang menjawab. Dean hanya diam dan memusatkan mata ke jalan. Sial, aku jadi sopir pribadi! Umpat Dean.<br />
<br />
“Malam sebelum itu, Connie, er, mungkin kalian mengenalnya dengan nama Conrad. Dia meneleponku, mengajak aku makan siang bersama. Makanya, siang itu aku pergi ke asrama siswa. Sayang, kamar Connie terkunci. Aku malah menemukan ponselnya di depan kamar Darius. Aku masuk. Mendapati Darius dan pacarnya, meninggal, tragis. Kemudian, di kursi sebelah kasur mereka, Connie dengan lidah terpotong dan telinga tertancap pensil.”<br />
<br />
“Wow. Sungguh?”<br />
<br />
“Aku percaya kalian tidak mempercayai aku.”<br />
<br />
“Siapa bilang?” tantang Dean.<br />
<br />
“Kau melihat gelagat aneh dari si Connie beberapa hari sebelumnya? Seperti, dari mana dia mendapat pistol itu?” tanya Sam memutus pembicaraan Dean.<br />
<br />
“Tidak. Tidak ada yang aneh. Mungkin siswa lain melihat itu hal yang lumrah. Connie membunuh Darius, kemudian bunuh diri. Tapi itu tidak mungkin.” kata Jake sambil menggeleng.<br />
<br />
“Maaf, kau bilang siswa lain lumrah bila mendengar Connie membunuh Darius? Memangnya ada apa?”<br />
<br />
“Connie dan Darius memang saling membenci. Mereka sering terlihat bertengkar. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Connie sudah mengeluarkan pistol hendak menembak Darius. Tapi aku mencegahnya. Kemudian aku menyita pistolnya, dan membuangnya ke danau.”<br />
<br />
“Tapi bagaiamana dia mendapatkannya?” tanya Dean.<br />
<br />
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Itu… hanya… Entahlah. Semua tidak percaya aku pernah membuang pistolnya. Makanya, cerita Connie pembunuh Darius disebarkan. Tapi aku tidak percaya. Terutama, aku pernah memimpikan itu!”<br />
<br />
“Mimpi???” tanya Sam dan Dean bersamaan.<br />
<br />
“Yeah. Aku, Connie dan Dakota adalah teman sejak kami masih kecil. Suatu hari saat aku berulang tahun ke dua puluh satu, Connie mengajak dan memperkenalkan aku serta Dakota pada sebuah game online, berjudul “The Pathway”. Sejak itu aku sering bermimpi aneh, bahkan melihat sesosok makhluk aneh nan mengerikan di dalam basement ku.”<br />
<br />
“Mundur sebentar, kau mengalami mimpi? Seperti apa contohnya?”<br />
<br />
“Aku sempat bermimpi menembak ayahku sendiri, kemudian aku memotong lidahku dengan gunting. Seperti penglihatan. Tapi terkadang aku bias melihat apa yang telah terjadi. Entahlah. Aku sudah menceritakan pada sheriff. Tapi tidak ada yang percaya. Mereka menganggap aku anak ingusan yang stress kehilangan orang terdekatku.”<br />
<br />
“Baiklah, lalu bagaimana dengan Dakota? Bagaimana jarinya bias ada di…”<br />
<br />
“Kasus Dakota, aku tidak tahu sama sekali. Aku bahkan tidak tahu dia meninggal, sesaat barulah aku sadar setelah polisi datang.”<br />
<br />
“Kalau si Ross?” tanya Dean.<br />
“Diaa…. Aku menemuinya bersama Marisol sebelumnya. Kita bercerita tentang mimpiku yang lain. Aku sedang berburu…”<br />
<br />
“Berburu?” tanya Dean. Well, konotasi dan denotasi ‘berburu’ sangat berbeda maknanya.<br />
<br />
“Yeah, menembak seekor macan, kemudian aku mendengar bayi menangis. Aku memasuki hutan, tapi aku malah menemukan seorang perempuan tua, telanjang, dan melemparkan ular, yang kemudian mengigit leherku. Ada juga mimpi tentang seseorang yang membakar habis kampusku. Itu terjadi saat malam dimana Connie memperkenalkan The Pathway.”<br />
<br />
“Sebentar, berarti kau mendapat premonition sebelum bermain “The Pathway”?”<br />
<br />
“Yeah, tapi, setelah bermain itu, aku merasa lebih sering bermimpi atau mendapat menglihatan aneh.”<br />
<br />
“Memangnya The Pathway itu apa sih?”<br />
<br />
“Sebuah game. Entahlah, Connie mendaftarkan aku disana, pemainnya menyelamati hari ulang tahunku. Saat aku ingin membuka web tersebut, web itu sudah tidak ada. Hanya Page is not found. Entahlah.”<br />
<br />
“Begitu ya? Kau melihat yang telah terjadi seperti apa?”<br />
<br />
“Aku sempat bias membayangkan apa yang terjadi pada Ross. Bahwa dia dibunuh oleh makhluk yang ada di basement ku. Mobilnya tertabrak semak berduri.”<br />
<br />
“Soal, makhluk dalam basement mu,seperti apa dia?”<br />
<br />
“Aku cuma melihat sekilas. Pathway itu meneleponku, dan memberitahuku sesuatu. Aku lupa. Kemudian, aku mendengar ada seseorang berjalan di dalam basement. Aku mengikutinya. Kemudian, makhluk aneh itu mendekat ke arahku. Dia seolah bertubur besar, bertanduk, aneh. Mirip alien.”<br />
<br />
“Lucu sekali.”<br />
<br />
“Tapi aku serius, agent Hunt.”<br />
<br />
“Mengerikan sekali. Orang tuamu dimana?”<br />
<br />
“Ayahku dirumah, bersamaku. Ibuku, dia mengalami kecelakaan parah dan dirawat di rumah sakit sepanjang aku hidup.Dia terpaksa berada di kursi roda. Kondisinya parah.”<br />
<br />
“Maaf sekali memaksamu untuk bercerita semua ini.” Kata Sam turut prihatin.<br />
“Tidak papa. Hanya saja, kalian percaya dengan semua ceritaku yang aneh ini?”<br />
<br />
“Kau bercanda dude, kami pernah mengalami yang lebih aneh dari smeua ini. Siapa juga menyangka kita pernah bertemu Lucifer.”<br />
<br />
“Apa maksudmu agent Hunt?”<br />
<br />
“Bukan apa – apa, dia orang jahat. Lupakan saja.Tenang saja, maksudnya Cuma ingin mengatakan, bahwa kita percaya padamu. Kita sering bertemu dengan kasus yang lebih mengerikan” Kata Agent Luther alias Sam yang sadar Dean sudah mulai mengelantur.<br />
<br />
“Baiklah. Terima kasih agent Luther. Senang ada yang percaya dengan semua ini.”<br />
<br />
“Omong-omong, mengapa kamu ingin kembali ke tukang tato itu?”<br />
<br />
“Well, tadi aku bertemu dengan pendeta yang memimpin upacara. Dia bercerita soal setan yang bisu, dan tuli. Mengingatkan aku akan, Connie, telinga yang di sumbat dan lidahnya di potong. Pendeta itu bilang soal, makhluk kegelapan dengan wajah mirip kambing bertanduk tiga. Dan, aku sadar, tukang tato itu memiliki tato yang sama. Mungkin saja dia pernah bertemu dengan aliran sesat. Tapi, kalian percaya dengan setan dan semacamnya?”<br />
<br />
“Yeah, aku dan partnerku sering melihat hal yang seperti itu. Tapi kita berusaha untuk menghalau mereka mengacaukan pikiran kami.”<br />
<br />
“Wow. Sangat bagus sekali.”<br />
<br />
“Anyway, kau sudah sampai. Ini kan tempatnya?” tanya Dean.<br />
<br />
“Terima kasih sebelumnya.”<br />
<br />
“Begini saja, kalau kau menemukan penjelasan lebih rinci, hubungi saja aku dan partnerku. Ini nomer kami.” Kata Sam sambil menyerahkan dua buah kartu nama.<br />
<br />
“Hubungi kami saja, setelah kau selesai mendapat penjelasan darinya. Sehingga kau tidak usah menceritakan semuanya panjang lebar pada kami nantinya.” Kata Dean sambil tertawa.<br />
<br />
“Terima kasih.”<br />
<br />
*****<br />
<br />
Dean dan Sam duduk termenung dalam kamar motelnya. Sam sedang mencari – cari artikel yang mungkin bias membantu makhluk apa itu. Sepanjang perjalanan pulang setelah menghantarkan Jake, mereka telah berdiskusi. Itu bukan hellhounds. Mungkin arwah penasaran, atau sesuatu yang lain. Yang belum pernah mereka temukan sebelumnya.<br />
<br />
Dean beranjak berdiri, “Aku akan menelepon Castiel saja. Siapa tahu dia bias membantu.”<br />
<br />
“Terserah saja. Kuharap dia bisa datang segera. Internet di tempat ini sudah mulai menjengkelkan.”<br />
<br />
“Cas?” tanya Dean beberapa saat setelah dia menekan tombol ‘dial’.<br />
<br />
“Ada apa?” suara di seberang sana.<br />
<br />
“Aku ada di sini Ocean Motel. Kitaa…”<br />
<br />
“Ada apa?” kata Cas di belakang Dean.<br />
<br />
“Jangan selalu mengagetkan aku.”<br />
<br />
“Maaf.”<br />
<br />
“Menghabiskan pulsa saja kau.”<br />
<br />
“Baiklah. Aku tutup.”<br />
<br />
“Ada apa?” kata Cass lagi setelah menutup telepon dari Dean.<br />
<br />
“Kasus.”<br />
<br />
Cass diam sebentar, kemudian menjawab, “Bukan demon biasa. Dia…makhluk kuat.”<br />
<br />
“Apa maksudmu?” tanya Sam.<br />
<br />
“Kalian ingat soal anak setengah demon yang terakhir kita temui?”<br />
<br />
“Yeah. Aku ingat. Jesse kan?” kata Sam.<br />
<br />
“Jake Gray seperti dia. Hanya saja berbeda. Masa lalu yang berbeda. Dan takdir yang berbeda.”<br />
<br />
“Tapi, bukannya, makhluk seperti dia hanya ada satu jenis?” tanya Dean.<br />
<br />
“Benar, tapi dia berbeda. Jesse dan Jake jelas berbeda. Jenis yang berbeda. Karena itu, bisa ada dua yang seperti itu.” terang Cass sambil berjalan seliweran.<br />
<br />
“Jelaskan lebih rinci.” kata Dean kemudian mengambil dua botol beer, yang satu untuk dirinya, yang satu untuk Sam.<br />
<br />
“Begini. Jesse bisa berada di antara dua hal, demon dan manusia. Dia baru berusia sebelas tahun saat itu. Dia belum bisa menentukan apa yang terjadi. Jake, dia sudah dua puluh satu tahun. Sejak premonition pertamanya, kekuatan utamanya muncul, Jake sudah memilih untuk menjadi manusia. Di bawah sadarnya, dia sendiri telah memutuskan menjadi manusia.”<br />
<br />
“Jadi, maksudmu, Jake telah berada di jalur yang benar?”<br />
<br />
“Yeah. Di bawah sadarnya. Dia bisa saja menjadi demon kembali, tentu bila dia memutuskan untuk bergabung.”<br />
<br />
“Berarti, half human half demon itu seperti memiliki kekuatan supernatural yang berbeda?”<br />
<br />
“Anggap saja special kids, Dean. Seperti Sam. Makhluk – makhluk special seperti Sam dulu. Dia diciptakan dan dibenihkan manusia, hanya saja, dirusak kehadiran darah demon. Jesse, dibenihkan oleh demon dan manusia. Jake berbeda lagi.”<br />
“Apa maksudmu?”<br />
<br />
“Jake Gray. Orang tua aslinya adalah Anne Kilton. Dia terpossessed saat itu. Jake dibenihkan oleh dua demon. Dia lebih ke arah sepenuhnya demon side. Hanya saja, sesuatu terjadi padanya, membuat dia percaya, dan membuat dia memilih menjadi manusia.”<br />
<br />
“Apa maksudmu?”<br />
<br />
“Dia bisa menjadi sepenuhnya demon. Sayangnya tidak. Dia diambil dari kedua demon itu saat dia baru saja dilahirkan.”<br />
<br />
“Dia diadopsi?” tanya Dean.<br />
<br />
“Yeah. Bagiamana kalian bisa melewatkan hal itu?”<br />
<br />
“Maaf, kami sebenarnya lebih focus ke dalam kasus, bukan pada Jake Gray sendiri.”<br />
<br />
“Dia diadopsi keluarga Gray. Ayahnya dan Ibunya yang sekarang, mengambil Jake saat masih bayi, saat mereka berburu binatang. Dalam sebuah pondok, mereka mendengar bayi yang menangis, dan mereka melihat seorang demon mengangkat bayi tersebut. Dalam kacamata mereka, mereka melihat itu sebagai ancaman bagi sang bayi. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah bayi yang baru saja lahir dari si demon. Mereka mengambil bayi itu. Dan meninggalkan dua demon itu di pondok dengan amarah mereka.”<br />
<br />
“Pantas saja, Jake sering bermimpi soal, pondok itu.”<br />
<br />
“Apa maksudmu?” gantian Cass yang bertanya.<br />
<br />
“Jake bilang dia pernah berada di posisi sama. Berburu dan mendengar bayi menangis. Masuk ke pondok itu. Kemudian ular menggigit lehernya.”<br />
<br />
“Penglihatan yang sengaja ditampilkan oleh orangtua kandungnya. Mereka ingin Jake melihat masa lalunya. Dalam versi yang berbeda. Ular, dari abad ke abad, dilambangkan sebagai makhluk bawah. Demon, Evil, Lucifer, sisi jahat, selalu dilambangkan dengan ular, atau bahkan terkadang singa atau harimau. Melambangkan kekuatan dan keperkasaan, dan kesadisan.”<br />
<br />
“Berarti, mungkin saja keempat temannya itu dibunuh dan dibuat seolah Jake pembunuhnya karena mereka- orang tua kandung mereka, merasa, bahwa dengan cara itu Jake dapat kembali ke arah mereka.” kata Sam perlahan.<br />
<br />
“Bisa jadi. Dan melihat premonition dan semakin terbunuhnya teman terdekat Jake bahkan orang terakhir yang di hubungi Jake, berarti sebentar lagi mereka akan menemukan Jake.” kata Sam lagi.<br />
<br />
“Berarti kita harus menemukan Jake.”<br />
<br />
“Sebelum para demon itu. Kemana dia?” kata Cass.<br />
<br />
Dean merogoh kantung jeansnya, “Dia mengunjungi pembuat Pathway. Dia baru saja meninggalkan message padaku.”<br />
<br />
“Kita harus segera kesana.” kata Sam.<br />
<br />
“Pathway?”<br />
<br />
“Sebuah game. Semenjak Pathway dimainkan, Korban pertama jatuh, dan kemudian korban berikutnya.” kata Dean acuh sambil berkemas. Sementara Sam sedang dalam proses men-shutdown laptopnya.<br />
<br />
“Bagaimana jalan game itu?” tanya Cass.<br />
<br />
“Entahlah, yang pasti para pemainnya bisa mendapatkan data pribadi Jake. Mereka mengirimkan ucapan selamat pada Jake di hari ulang tahunnya.”<br />
<br />
“Ternyata seperti itu.” Gumam Cass.<br />
<br />
“Ada apa?” tanya Sam.<br />
<br />
“Tidak. Kau tahu, mungkin saja itu game buatan… Si pembuat sengaja membuat agar teman atau kawan terdekat Jake memainkannya dan mem-persuade Jake untuk bermain. Dari situ mereka bisa menemukan Jake dengan mudah.”<br />
<br />
“Kalau begitu, demon itu sudah sangat canggih.”<br />
<br />
“Atau merasuki seseorang yang merupakan pembuat game tersebut.” kata Cass santai.<br />
<br />
“Dan, Jake sedang dalam perjalanan kesana.”<br />
<br />
“Astaga, mengumpanka ke sarang yang tepat.” kata Dean.<br />
<br />
“Kita harus bergegas.” kata Cass mengakhiri kemudian dia menghilang.<br />
<br />
<br />
*****<br />
<br />
Jake hanya mengamati si pembuat game itu. Mr. Kater. Aiden Kater. Baru saja Mr. Kater itu memasuki gedung Kater Games. Sesaat kemudian Jake berbalik meninggalkan arah. Dia berjalan berbalik ke arah mobilnya. Mengendarai mobilnya ke arah selatan.<br />
<br />
“Kau gila!”<br />
<br />
“Dengarkan aku. Wanita itu memang ada di dalam basementku.”<br />
<br />
“Terserah. Tapi semua itu hanya omong kosong.”<br />
<br />
“Memang seharusnya aku tidak menemuimu.” kata Jake kemudian membanting pintu. Dia kesal. Kenapa semua orang tidak ada yang percaya padanya. Kenapa? Dia menceritakan yang sesungguhnya. Dia tahu, pembuat game itu dapat membahayakannya. Tapi…. Jake diam sejenak. Tekadnya sudah bulat. Dia akan pulang kerumah, membersihkan badan, dan sore nanti akan menemui Aiden Kater, pembuat Pathway.<br />
<br />
---<br />
Jake baru saja mandi dan sedang duduk di tangga basement nya. Sebuah gudang rapuh nan berantakan ada di hadapannya. Sebuah rak kotor penuh barang tepat di depan matanya. Tiba – tiba, matanya seakan teralihkan perhatiannya ke arah sebuah lubang di dinding. Dia berjalan perlahan dan merogoh sesuatu. Sebuah kotak hitam!<br />
<br />
Dia membuka kotak itu. Terpampang wajah ayahnya. Ayahnya seorang yang menganut ajaran sesat. Tidak. Ayahnya tahu siapa dia, Ayahnya tahu siapa sebenarnya dia. Siapa dia. Tapi mengapa ayahnya, merahasiakan itu semuanya? Kepada siapa dia harus bercerita? Special Agent itu kah?<br />
<br />
Dia berusaha merogoh lubang itu lagi, siapa tahu berkas lainnya dia ketemukan. Siapa dia? Mengapa dia bisa melihat semua pembunuhan itu?<br />
<br />
Tidak ada apa – apa.Dia berbalik. Kaget.<br />
<br />
“Maafkan aku teman.” kata Connie kemudian melakukan sesuatu yang membuat matanya gelap. Tidak seharusnya Connie disini. Pikirnya. Connie sudah tidak ada.<br />
<br />
---<br />
<br />
“Connie?” tanya Jake saat pertama kali membuka matanya.<br />
<br />
“Maafkan aku teman. Aku tidak punya pilihan lain.” katanya lalu menghilang entah kemana.<br />
<br />
“Jake Gray. Sangat pintar, pemarah, anakku.”<br />
<br />
“Bohong.”<br />
<br />
“Kau hanya tidak mengerti apa yang terjadi. Ibumu, sebenarnya sudah mati. Anne Kilton namanya, ibu kandung biologismu. Melahirkanmu, dalam kedemon-annya. Aku adalah ayahmu.”<br />
<br />
“Bohong. Ibuku sedang di rumah sakit dan asal kau tahu, ayahku sedang di rumah.”<br />
<br />
“Bodoh!” kau hanya anak adopsi mereka. Mereka mengambilmu dariku. Dari ayahmu, dan dari ibu kandungmu.”<br />
<br />
“Tidak! Kau bukan siapa – siapa!”<br />
<br />
“Kau kira untuk apa game itu dibuat? Untuk mendapatkan kau kembali, setiap temanmu yang terbunuh, semakin membuktikan siapa dirimu.”<br />
<br />
“Kau bohong.”<br />
<br />
Jake Gray berlari menghidar. Sayang, Aiden Kater telah berhasil mennangkapnya, mencengkram erat dirinya. Tiba – tiba tangannya yang tertato, yang masih merah, merasa sakit. Dia mencengkram erat tangannya, meski badannya berusaha lepas dari cengkraman Aiden Kater.<br />
<br />
“Lihat!” teriak Aiden Kater.<br />
<br />
Jake menaikkan lengan jaketnya, melihat ke arah tangannya. Tatto nya berubah. Menjadi gambar kambing bertanduk, seperti milik tukang tattoo miliknya.<br />
<br />
“Lihat! Pintu neraka sudah terbuka untukmu Nak. Kau adalah Anak Neraka. Anak Demon. Kau seharusnya ikut dengan kami.” Kata Aiden Kater kemudian berubah wujud menjadi Dakota.<br />
<br />
“Lepaskan aku.”<br />
<br />
Dakota kembali berubah wujud menjadi Aiden Kater.<br />
<br />
“Aku mendapatkanmu dengan susah, dan aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”<br />
<br />
“Lepaskan.” Kata Jake kemudian membuat Aiden Kater kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke dalam kolam di belakangnya. Aiden Kater membentur dasar kolam dan tubuhnya mengambang di permukaan. Asap tebal hitam mengepul dari mulutnya yang terbuka. Dan kemudian menghilang bercampur dengan angin.<br />
<br />
---<br />
“Kau tidak apa apa?” tanya Dean saat bertemu dengan Jake di depan gerbang perusahaan Kater Games itu.<br />
<br />
“Tidak apa. Tapi kurasa aku baru saja membunuh Aiden Kater.”<br />
<br />
“Kau yakin?” tanya Sam.<br />
<br />
“Entahlah. Tapi…” belum sempat Jake melanjutkan kalimatnya, Castiel muncul di belakangnya.<br />
<br />
“Sebaiknya kalian pergi segera, sekarang. Para sekuriti menyadari kematian Aiden Kater.”<br />
<br />
“Kau, kau, dan kau, cepat masuk ke dalam mobil.” Kata Dean sambil menunjuk Jake, Sam lalu Cass secara berurutan.<br />
<br />
Mereka menurut dan langsung masuk ke dalam mobil. Dean mengendarai mobil dengan cepat.<br />
<br />
“Apa yang terjadi memangnya?” tanya Sam.<br />
<br />
“Dia membunuh Aiden Kater. Tapi Demon itu masih ada di sana dan merasuki yang lain.” terang Cass.<br />
<br />
“Bagaimana kau tahu? Aku kan sudah membunuh Aiden Kater?” tanya Jake.<br />
<br />
“Benar. Kau membunuh Aiden Kater. Tapi bukan berarti kau membunuh demon itu. Demon bisa saja merasuki siapa saja. Menjadi siapa saja.”<br />
<br />
“Jadi… Aiden Kater terbunuh sia – sia?” tanya Jake.<br />
<br />
“Tentu saja.”<br />
<br />
“Kau siapa?” tanya Jake baru saja sadar.<br />
<br />
“Aku? Aku Castiel. An…” Cass baru saja akan mengatakan, Angel of The Lord.<br />
<br />
“Dia Castiel. Partner kami yang lain. Dia mengurusi masalah sepertimu. Er, specialist dalam berhubungan dengan makhluk halus bin ajaib tersebut.” terang Dean kemudian terkekeh.<br />
<br />
“Nama yang aneh.”<br />
<br />
“Castiel adalah nama seorang Angel utusan Tuhan.” Kata Dean sambil terkekeh lagi. Sedang Cass hanya diam, seolah tidak mengerti.<br />
<br />
“Mereka sudah menemukanmu.” Kata Cass tiba – tiba, sambil memegang tangan Jake.<br />
<br />
“MAKSUDNYA???” tanya Dean, Sam dan Jake.<br />
<br />
“Mereka sudah siap menerimamu kembali. Mereka sudah sekali kehilangan Jesse, mereka tidak ingin kehilangan dia kali ini.” kata Cass pertama untuk Jake kemudian untuk Dean dan Sam.<br />
<br />
“Berbahaya.” kata Dean.<br />
<br />
“Kita harus menyelamatkanmu.” kata Cass.<br />
<br />
“Dari siapa? Memangnya ada apa? Siapa kalian?” tanya Jake bingung seratus persen.<br />
<br />
“Special Agent. Urusan kasus pembunuhan, tetapi melibatkan makhluk gaib.”<br />
<br />
“Ghost buster? Yang benar saja.” kata Jake tertawa. Semuanya hanya diam kecuali Jake.<br />
<br />
<br />
“Kalian benar – benar ghostbuster ya?” tanya Jake kaget.<br />
<br />
“Semacam itulah.” terang Sam jujur.<br />
<br />
“Jadi ada apa denganku?” tanya Jake.<br />
<br />
“Ayahmu, ayah adopsi mu, Paul, dia sudah tahu siapa kamu sejak kamu dilahirkan. Dia sengaja mengambilmu. Demi keuntungannya sendiri. Entah apa untungnya. Ibumu…” tiba – tiba Impala tersebut berhenti.<br />
<br />
“Ada apa?” tanya Cass, Jake dan Sam.<br />
<br />
“Entalah. Ada yang salah. Aku akan turun.”<br />
<br />
“Tunggu! Aku tahu dimana kita.” Kata Jake tiba – tiba.<br />
<br />
“Dimana?” tanya Dean dan Sam.<br />
<br />
“Pondok itu.” kata Cass sebentar lalu pergi entah kemana.<br />
<br />
“Mana Castiel?” tanya Jake.<br />
<br />
Dean diam bingung.<br />
<br />
“Dia masuk ke hutan.” elak Sam. Apalagi yang harus ia katakan soal Cass. Mengatakan dia seorang Angel yang bisa menghilang dan muncul tiba – tiba?<br />
<br />
“Kita harus mencari Castiel. Di dalam sana, semua mimpiku berasal.” teriak Jake.<br />
<br />
“Baiklah. Kita masuk sekarang.” kata Dean. Kemudian dirinya dan Sam membawa sebuah tas yang lengkap dengan dua buah senter.<br />
<br />
<br />
*****<br />
<br />
Mereka sudah berada di depan pondok tua tersebut.<br />
<br />
“Disini?” tanya Sam.<br />
<br />
“Yeah. Di rumah ini aku bermimpi mendengar bayi menangis.”<br />
<br />
“Baiklah, sekarang kita masuk.” kata Dean.<br />
<br />
Baru saja Jake melangkahkan kaki selangkah di depan Dean dan Sam masuk ke pondok itu. Pintu pondok itu tertutup.<br />
<br />
“Jakee!!!” Teriak Dean dan Sam. Mereka menggedor – gedor pintu kayu itu.<br />
<br />
Jake melihat wanita dengan busana ungu menangis di pinggiran pondok. Badannya tertekuk. Jake melongok ke dalam.<br />
<br />
“Anakku.”<br />
<br />
Jake berusaha menghindar. Tapi wanita tua itu menahannya. Sekilas dirinya mendapati bayangan nisan Anne Kilton. Inikah ibunya?<br />
<br />
Wanita itu mendekatkan diri, mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Jake.Memberikan Jake masa lalu dirinya. Dimana di pondok ini, dia dilahirkan. Dimana dia bisa melihat kedua orangtua adopsinya mengambil dirinya semasih bayi. Dan, Ayah dan Ibunya yang berlari dari kejaran demon, ayahnya sendiri. Ibunya terjatuh, menghantam pohon oak besar. Ayah adopsi nya, menggendong dia.<br />
<br />
Dia melihat demon itu marah.<br />
<br />
Dia sadar. Matanya merah, menangis. Baru kali ini dia melihat semuanya. Terpaksa menyadari siapa dirinya. Keturunan murni demon. Matanya membelalak.. Namun wanita tua itu memunggungginya dan berbalik. Melewati pintu kayu tua, ke halaman belakang rumah.<br />
<br />
Dia melihat, tulang belulang, darah berceceran. Sebuah altar batu, dengan sebuah cawan berisi cairan merah. Tetesan air menetes ke dalamnya.<br />
<br />
“Itu darah.” Kata wanita tua itu.<br />
<br />
Jake mendongak, melihat ke atas. Kedua orang tuanya, terikat. Terbunuh sadis. Meneteskan darah, ke dalam cawan tersebut. Jake jatuh tersungkur menangis. Kedua orangtuanya. Dia tidak peduli, mereka telah menipunya. Dia terlalu sayang dan membaur dengan kehidupan keluarga Gray.<br />
<br />
“Minumlah darah itu, dan bergabunglah dengan kami. Kau tidak sama dengan mereka, kau, sama dengan kami.”<br />
<br />
Jake mengumpulkan energinya, mendorong wanita tua itu ke pohon oak besar. Ingin memukulnya. Sayang, tiba – tiba wanita itu seperti tertahan sesuatu, mulutnya menganga. Jake mundur perlahan.<br />
<br />
Jake mengamati perubahan yang terjadi. Wanita itu berubah wujud.<br />
<br />
“Hi, Jake.” Kata wanita itu. Dia sudah tidak tua, dia menjadi muda, sosok yang dia kenal.<br />
<br />
“Marisol?”<br />
<br />
“Jake!” teriak Dean dan Sam yang akhirnya memilih untuk memutar ke arah belakang rumah. Ke halaman belakang.<br />
<br />
Dean menggunakan senjatanya dan menembak Marisol.<br />
<br />
“Bagaimana bisa?” tanya Jake.<br />
<br />
“Aku bisa menjadi siapa saja Jake. Termasuk Marisol. Marisol yang kau temui belakangan ini adalah aku.” Katanya lalu tertawa.<br />
<br />
Dean mengkokang senjatanya dan menembak wanita itu lagi.<br />
<br />
“Winchester.” Kata Marisol kemudian tertawa dan melakukan satu gerakan. Telapak tangannya terulur, dan mengibaskannya ke angin. Dean dan Sam terhantam ke pohon oak besar. Punggungnya sakit.<br />
<br />
“Lepaskan kami.” Teriak Dean.<br />
<br />
“Ini bukan urusan kalian. Kali ini kesempatan bagi kami untuk mengembalikan kejayaan kami.”<br />
<br />
“Lepaskan kami dan Jake. Atau aku akan…” Sam terdiam.<br />
<br />
“Sam Winchester. Aku tidak akan menyakitimu, Lucifer akan mengambil alih untuk hidupmu. Tapi Dean, aku bisa membunuhnya, sekarang.” Marisol mengerutkan tangannya dan seketika Dean menggeram kesakitan.<br />
<br />
“Lepaskan mereka.” Teriak Jake.<br />
<br />
“Kau tidak bisa berbuat apa – apa Jake. Kau kehilangan kekuatanmu, karena kau memutuskan menjadi manusia. Kau tidak bisa sekuat Jesse dulu.”<br />
<br />
“Siapa Jesse?”<br />
<br />
“Sepertimu. Hanya saja dia membangkang. Dia entah kemana sekarang.”<br />
<br />
“Hiraukan dia Jake!” teriak Dean kesakitan.<br />
<br />
“Diam!” kata Marisol, mengerutkan tangannya lagi. Dean dan Sam meringis kesakitan.<br />
<br />
“Lepaskan mereka!” perintah Castiel yang tiba – tiba muncul. Dia membawa pisau yang lain. Sesuatu lain.<br />
<br />
“Ini bukan urusanmu Castiel! Diam saja kau!”<br />
<br />
“Pantas saja, kau bisa menemukan dia dengan cepat, dan kau tidak terlacak olehku, Eleanor.” kata Castiel.<br />
<br />
“Eleanor?” tanya Sam.<br />
<br />
“Dia bukan Demon. Dia fallen Angel. Angel yang dibuang ke neraka, karena berhubungan dengan Demon. Mengkhianati Heaven, memihak ke arah Lucifer. Dan berhubugan dengan kaki tangan Lucifer. Dia menjadi demon setelah ia meresmikan dirinya bergabung bersama kaki tangan Lucifer.”<br />
<br />
“Omong kosong! Kau tidak bisa membunuhku.” Kata Eleanor itu. Eleanor dan Marisol adalah orang yang sama.<br />
<br />
“Kau bukan manusia, bukan Angel. Tapi tubuhmu masih separuh Angel, bodoh!” kata Cass. Dean terkikik kesakitan. Baru kali ini dia mendengar Cass mengumpat.<br />
<br />
“Jake, lupakan semua omong kosong ini, dan minumlah.” Eleanor mengulurkan tangannya mengangkat cawan itu, dan hendak mengulurkannya pada Jake.<br />
<br />
Castiel bergerak maju dan menusuk Eleanor menggunakan pisau untuk membunuh Angel.<br />
<br />
“Bodoh!” teriak Eleanor.<br />
<br />
Tubuhnya terbakar. Ia berubah wujud. Bukan wujud Marisol. Bentuk Demon. Kaki tangan Lucifer.<br />
<br />
“Aku sudah bilang, kau tidak bisa membunuhku!” kata Eleanor kemudian tertawa.<br />
<br />
Eleanor menggerakkan tangannya. Castiel terhantam, berada di pohon oak ketiga. Di sebelah Dean. Cass masih sempat menjatuhkan pisau milik Ruby, pisau untuk membunuh Demon.<br />
<br />
“Jake.. ambil itu.” Perintah Cass.<br />
<br />
Jake sadar, pisau itu tidak jauh dari tempatnya. Dia berusaha meraihnya.<br />
<br />
Eleanor maju, mematahkan tulang kaki Jake.<br />
<br />
“Kau seharusnya menurut pada ibumu Jake.” Kata Eleanor tertawa, kemudian menuangkan darah dalam cawan ke dalam mulut Jake. Jake tersedak beberapa kali oleh darah yang di paksa masuk itu.<br />
Dia masih sadar. Dia berusaha sekuat tenaga mengulurkan tangan, mengambil pisau itu, dan menghujamkannya tepat di jantung Eleanor. Eleanor berteriak kesakitan. Dia berjalan tertatih mundur. Dan akhrinya terbakar habis. Kemudian menghilang.<br />
<br />
Jake merasakan sesuatu di kepalanya. Dia merasa seperti di lahirkan kembali. Dia merasa, seperti masih di dalam kandungan ibunya. Ibu kandungnya, Eleanor. Dia merasa tidak bisa bernapas. Bayangan ibunya melahirkan. Dia melihat dirinya di bawah ayahnya.<br />
<br />
Dia tersedak lagi. Beberapa darah muncrat.<br />
<br />
Ikatan tak kasat mata milik Dean, Sam dan Cass lepas sesaat setelah Eleanor musnah.<br />
<br />
“Jake.” teriak Sam dan Dean.<br />
<br />
“Dia mengalami transformasi. Kita harus membunuhnya.” kata Cass.<br />
<br />
“Maksudmu?”<br />
<br />
“Dia akan menjadi anak setan. Menggantikan Jesse.” kata Cass.<br />
<br />
“Jangan lakukan itu.” Kata Dean menggeleng.<br />
<br />
“Setidaknya itu akan menghilangkan sakitnya transformasi ini.” Kata Cass lagi.<br />
<br />
“Biar aku saja.” Dean kemudian menggoreskan pisau Ruby dan membuat luka di lengan Jake.<br />
<br />
“Tapi..” kata Cass pelan.<br />
<br />
“Dengan begini, setidaknya, dia akan lumpuh. Toh, belum tentu nanti dia akan menjadi demon. Bila dia sangat ingin menjadi manusia.” Kata Sam berusaha meyakinkan Cass..<br />
<br />
“Terserah.Kurasa, kalian harus segera pergi, polisi dalam perjalanan kemari.” Kata Cass kemudian menghilang.<br />
<br />
“Maaf Jake.” Kata Sam.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Jake membuka mata. Menghirup udara segar. Dia melihat seorang Sherriff mendekatinya, memborgol tangannya dan berkata, “Demon kecil.” Kemudian menggiring dirinya ke dalam mobil polisi.<br />
<br />
Jake kaget sekaligus lega. Dia tetap manusia. Inilah pilihannya.<br />
<br />
“God, do they think I killed them? The devil could not kill her baby so I have to blame because I was human. But maybe they are right. The path may not exist. Maybe it's my imagination that helps me live with the horror I have done. Wake me from this nightmare. Please. Help me.” Itulah kata terakir yang di pikirkannya.<br />
<br />
-END-<br />
<br />
============<br />
<br />
Silahkan kasih kritik dan saran. Dilayani via offline alias via sms.<br />
hahahahha... ^.^RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-55283519226042657162010-04-18T19:03:00.000+07:002010-04-18T19:03:40.244+07:00Fic: One Night At Perdition, Censored VersionAuthor: Oryn<br />
Rating: T.<br />
Genre: drama (what else?)<br />
Chapters: 1. Words: 4.281.<br />
Universe: Perdition AU, jagad ciptaanku sendiri.<br />
Warning: hustler!boys, mention of sexual activity, possible OOC.<br />
Disclaimer: I don't own Supernatural and its characters. The alternate universe is all mine, though.<br />
Summary: satu malam di Perdition, malam nikmat yang berdosa, sekaligus membersitkan harapan dan memantapkan tekad.<br />
Translation: one night at Perdition, a deliciously sinful night, yet it builds some hope and strenghens a resolve.<br />
Author's Note: ini berawal dari kepusingan mencari basis untuk bikin fic PWP Sam, eh... berkembang jadi satu AU sendiri. Ini adalah versi yang telah disensor, kalau ingin membaca versi utuhnya (dengan catatan sudah cukup umur) bisa dicari di akun FF.net saya. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Ada dua hal yang secara distingtif menandakan kehadiran seorang Dean Winchester, seperti lantunan terompet yang ditiup sebagai sinyal kedatangan seorang raja. Yang pertama adalah bunyi sepatu butnya ketika menapak, ritme yang menunjukkan langkah-langkah penuh percaya diri, cara berjalan seorang pria yang tahu apa yang diperbuatnya, paham betul ke mana tujuannya, tanpa ragu. Yang kedua adalah aroma kolonye yang semerbak bahkan tatkala Dean masih berjarak empat meter dari hidung si pengendus. Bau pewangi yang tanpa merek, yang Dean selalu berlagak misterius bila ditanya, yang menurut Sam sedikit kelewat menyengat, tapi entah bagaimana digandrungi kaum hawa.<br />
<br />
Sam tersenyum ke gelas birnya sewaktu wangi kolonye itu kian kuat menghantam penciumannya dan suara langkah kakaknya terdengar mendekat. Dia mereguk birnya hingga tinggal separuh, tidak menoleh sampai sosok kakaknya duduk di sampingnya dan menyapa.<br />
<br />
"Kamu masih di sini?" tanya Dean, memberi sinyal pada pelayan bar untuk menyediakan segelas bir buatnya.<br />
<br />
Sam menyeringai. "Memangnya mau di mana lagi?"<br />
<br />
Dean menunggu sampai busa birnya menyurut baru menyeruputnya. "Tadi aku lihat kau dengan kemenakan perempuan walikota," selidiknya.<br />
<br />
"Yeah. Tadinya juga begitu... sampai Gordon datang," balas Sam seraya tersenyum masygul.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Gordon? Oh, bung. Jangan bilang dia merampas pelangganmu lagi." Dean meraih ke saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok.<br />
<br />
"Ruby tidak suka kalau kita merokok, ingat?" cetus Sam.<br />
<br />
"Persetan dengan dia," tukas Dean cuek, memantik geretannya dan tak lama kemudian asap rokok sudah menghembus ringan dari bibirnya. "Omong-omong, ada apa, sih dengan si Gordon? Sejak kerja di sini, dia seperti mendeklarasikan perang sipil saja denganmu."<br />
<br />
Sam angkat bahu. "Entahlah. Aku sendiri tak tahu apa yang kuperbuat padanya sampai dia menyimpan dendam kesumat padaku."<br />
<br />
"Sedikit mendiskreditkan di muka konsumen, sabotase kecil-kecilan, sikut-menyikut, itu masih bisa diterima di bisnis ini. Tapi kalau terang-terangan menyabet pelanggan dari bawah hidungmu... itu benar-benar mengajak musuhan namanya," gerutu Dean.<br />
<br />
"Ah, sudahlah. Rezeki tiap orang, kan ada sendiri-sendiri. Biarkan saja dia. Toh, itu belum betul-betul menggangguku," tanggap Sam kalem.<br />
<br />
Dean menatap adiknya. "Ck...ck... kamu kelewat baik, sih. Yah, asal kau ingat, begitu dia bertingkah di luar batas, hubungi aku dan bakal kulabrak dia, kupermak muka dan organ vitalnya sampai tidak bisa kembali terjun dalam pekerjaan ini."<br />
<br />
Sam hanya tertawa pelan mendengarnya. Kadang Dean memang protektif berlebihan kalau sudah menyangkut adiknya. Percuma saja mencegah.<br />
<br />
"Kamu sendiri belum ada klien?"<br />
<br />
Dean tak langsung menjawab lantaran dia tengah berkonsentrasi membikin asap sigaret berbentuk donat.<br />
<br />
"Kalau aku sudah punya klien, apakah aku akan duduk menyempil di sini bersamamu?" Dean balik bertanya.<br />
<br />
"Biasanya jam segini kamu kan sudah tidak beredar di sini, melainkan di lantai atas sana."<br />
<br />
"Aku baru saja datang, kok. Tadi dokternya ayah menahanku agak lama, ajak diskusi soal pengobatan dan segala macam. Makanya jadi telat kemari," terang Dean.<br />
<br />
"Oh. Bagaimana ayah?" <br />
<br />
Sam tahu bahwa Dean tahu itu sebagian besar cuma basa-basi standar, tapi toh Dean menyahutinya juga.<br />
<br />
"Membaik."<br />
<br />
Itu juga jawaban standar Dean saban kali ditanya. Permainan aneh yang mereka jalankan sejak lama.<br />
<br />
Sam mengangguk. "Baguslah."<br />
<br />
"Kenapa tidak kamu datang dan melihatnya sendiri?" gumam Dean, paham bahwa itu pun permintaan sia-sia, tetapi bukan Dean namanya kalau berhenti berharap.<br />
<br />
"Mungkin besok," Sam menyahut pendek. Besok lusa, besok minggu depan, besok bulan yang akan datang, selalu nanti dan nanti, dengan segebung alasan sebagai justifikasi.<br />
<br />
Kedua bersaudara itu tak melanjutkan bertukar kata lagi sesudahnya, hanya duduk berdampingan dengan punggung melekat di meja bar, mengawasi ruangan besar Kelab Perdition yang terhampar di hadapan mereka sembari sesekali membasahi kerongkongan dengan bir dingin.<br />
<br />
Malam belum begitu larut dan itu tampak dari jumlah tetamu yang tak sampai separuh dari kursi yang tersedia. Sebagian besar adalah perempuan, tentu saja. Gadis-gadis kuliahan atau lajang yang mencari pengalaman baru, wanita karier yang melepaskan ketegangan dari tempat kerja, ibu rumah tangga yang ingin bereksperimen, tante-tante yang punya dahaga akan belaian yang tak pernah terpuaskan, sampai minoritas perempuan gaek yang pencinta ulung dan terampil. Mereka ada yang datang seorang diri dan berkelompok, tergantung apa yang jadi hasrat malam ini. Namun, yang homogen adalah adanya paling tidak seorang pria yang menemani. Bisa yang jabatannya sekedar pramuria, ataupun pramunikmat layaknya kedua Winchester bersaudara.<br />
<br />
Sam mengetuk-ngetukkan jari di lututnya mengikuti detak musik tekno-<i>new age</i> yang diputar dengan volume yang memungkinkan pengunjung mengobrol walau harus sama-sama mendekatkan kepala, tetapi memadai bagi yang ingin bergoyang di lantai dansa. Matanya yang jeli beredar dari satu meja ke meja tamu lainnya. Lampu di dalam kelab memang diatur tak terlalu terang, tapi dia dapat mengetahui bahwa dari sekian wanita di sana, belum ada yang berminat menggunakan jasanya. Satu-dua kedapatan melirik penasaran ke arahnya, tapi lantas mengalihkan tatapan.<br />
<br />
Si bungsu Winchester tersenyum tipis. Barangkali memang belum rezekinya.<br />
<br />
Posisi duduk kakak-beradik Winchester memungkinkan mereka memandang bebas ke seluruh deretan pintu dan ceruk di lantai dua. Itulah yang menyebabkan hempasan pintu ruang kantor pemilik kelab di lantai tersebut langsung tampak dan menyedot perhatian keduanya.<br />
<br />
Dean menyikut adiknya kala dilihatnya seorang pria menghambur keluar dari ruang kantor, mantel panjang coklat muda kusam yang dikenakannya melambai seiring langkah-langkah panjangnya yang dihentak penuh kemarahan, mimiknya merengut total dengan mata biru menyala berang. Andai sorot mata dapat meletikkan api, niscaya kelab itu telah bergemertak terbakar.<br />
<br />
Sudut bibir Sam terangkat sedikit sewaktu pria itu menuruni tangga lengkung menuju lantai dasar kelab tempatnya berada, tanpa tegur-sapa melewatinya begitu saja, langsung menuju ke wilayah di mana pelayan bar sedang bertugas.<br />
<br />
"Wiski," ucap pria itu, nyaris seperti perintah.<br />
<br />
Pelayan bar menuangkan wiski di gelas sloki dan pria itu menandaskannya dalam sekali tenggak. Dia memberi isyarat agar pelayan bar meninggalkan botol wiski di depannya.<br />
<br />
"Tapi, Cas..." pelayan bar buka suara.<br />
<br />
"Letakkan botolnya," ujar Castiel, ada unsur "atau kau akan merasakan akibatnya" yang tak terkatakan. Benar-benar terdengar persis kapten polisi mengancam buron yang berniat kabur.<br />
<br />
Pelayan bar menghela nafas, tapi toh dia memenuhi kemauan Castiel.<br />
<br />
Dengan satu gerakan tangan Castiel menyuruh si pelayan bar pergi, kemudian dia mencomot gelas dan botolnya sekaligus, mendekap keduanya seakan benda itu dapat menyelamatkannya dan membawanya ke sebuah meja kosong di pojokan. Dia memulai pertunjukan orang mabuk sambil murung plus uring-uringan di sana.<br />
<br />
"Whoa," Dean berseru pelan. "Ada yang bangun di sisi tempat tidur yang salah rupanya."<br />
<br />
"Itu dan bertengkar dengan Ruby tidak membantu sama sekali," celetuk Sam.<br />
<br />
"Yeah," gumam Dean, menggelengkan kepala saat tampak olehnya Castiel terbatuk-batuk lantaran wiski yang diteguknya tersasar ke tenggorokan.<br />
<br />
"Ada apa lagi, sih di antara mereka berdua?"<br />
<br />
"Ada apa, katamu?" Dean mengisap rokoknya beberapa kali sebelum mendekatkan kepala dengan senyum konspiratif ke arah adiknya. "Banyak yang terjadi pada dua orang itu. Kau tahu, mereka bertikai sengit sebelum ini gara-gara anggaran belanja perangkat pengamanan gedung. Aku menduga keras, kali ini berantem hebat karena urusan pajak. Biasa, Castiel mana mau disuruh mengakali laporan keuangan agar kelab membayar pajak dalam jumlah lebih kecil ketimbang yang semestinya." Dean mendengus, "Manajer keuangan yang jujur. Baru kali ini kudengar hal seperti itu."<br />
<br />
Pantas, pikir Sam. Castiel memang demikian adatnya. Kalau Dean yang berdebat dengan Ruby, kemungkinannya adalah mengenai musik macam apa yang mestinya dikumandangkan di kelab.<br />
<br />
"Bercekcok melulu," sambut Sam, "macam anjing dan kucing saja."<br />
<br />
Dean tertawa. "Bukan, lebih persis buldog dan pudel memperebutkan sosis!"<br />
<br />
Sam tersenyum mendengar tamsil itu. Sejurus kemudian dia berkata, "Aku heran, kenapa Castiel tidak hengkang saja dari sini? Maksudku, dia begitu kerap berbantahan dengan Ruby, hampir sesering kau menjenguk ayah."<br />
<br />
Dean mengabaikan klausa terakhir adiknya dan menanggapi, "Soalnya kalau Castiel cabut dari sini, dia mau kerja di mana lagi? Dia dulu peniup peluit di perusahaannya, melaporkan penggelapan yang terjadi sampai dipecat dengan tidak hormat dan namanya masuk daftar hitam, ditolak banyak perusahaan. Satu-satunya orang yang bersedia terima dia ya cuma Ruby waktu itu, ingat?"<br />
<br />
"Ya... tapi teler setiap kali usai berantem dengan bos, itu lama-lama merusaknya juga," Sam berargumen.<br />
<br />
"Bukan urusan kita. Kita lihat saja nanti mana yang akan takluk lebih dulu. Aku pertaruhkan uangku pada Cas," Dean berujar santai. "Dan kamu mau tahu sebuah isu bagus, Sam?"<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
Dean merendahkan suara, "Aku dapat info ini dari sumber yang valid dan bisa dipercaya. Konon, Ruby sebenarnya naksir pada Castiel."<br />
<br />
"Hah?" Sam tercengang. "Masa iya?"<br />
<br />
Agak sukar bagi Sam membayangkan itu. Soalnya menurut hemat Sam, Castiel adalah pria yang baru akan dipacari Ruby hanya bila seluruh kaum adam di muka bumi telah habis tak bersisa. Dua insan itu kelewat bertolak belakang dalam segala segi, bak siang dan malam, layaknya malaikat dan setan. Namun, bukankah ada istilah "tertarik karena berlawanan"?<br />
<br />
"He-eh, tapi sayangnya cowok itu masih belum mampu melupakan Anna," gosip Dean lebih lanjut.<br />
<br />
Sam mengerutkan kening. "Anna siapa?"<br />
<br />
"Anna Milton."<br />
<br />
"Anna yang pemandu lagu di Karaoke Paradise?" Sam mengonfirmasi.<br />
<br />
"Yep. Cewek berambut merah itu eks tunangan Castiel. Mereka bubar jalan tidak lama setelah Cas kerja di sini," papar Dean.<br />
<br />
Sam mengangguk-angguk, gaya orang yang baru maklum suatu persoalan.<br />
<br />
"Eh, terpikir olehku, mestinya kamu kasih nasehat ke Castiel soal bagaimana caranya menghadapi Ruby. Kau pasti masih ingat trik-triknya, bukan? Bagaimanapun, Ruby kan mantan pacarmu," usul Dean tiba-tiba.<br />
<br />
"Mantan pacar apanya? Kami cuma kencan selama beberapa minggu," sanggah Sam. Lebih dari cukup buat mengetahui bahwa mereka serasi sebagai bos dan bawahan, canggung sebagai teman dan payah sebagai kekasih.<br />
<br />
"Tetap saja. Itu rekor paling lama Ruby bermonogami dengan seorang cowok," Dean mengerling pada adiknya.<br />
<br />
Sam mengibaskan tangan, sengaja mengalihkan topik. "Omong-omong, dari mana, sih kamu dapat selentingan segala macam seperti itu?"<br />
<br />
Dean mengirimkan sepotong seringai lebar yang otomatis menimbulkan reaksi meringis pada Sam. "Makanya beredar, dong," dia menepuk punggung adiknya sampai Sam nyaris tersedak. "Gaul sedikit, jangan cuma duduk membaca sambil menunggu pelanggan datang."<br />
<br />
"Untuk apa? Toh kamu juga selalu menceritakan semuanya padaku, seperti barusan ini," tukas Sam.<br />
<br />
Itu ada benarnya, pikir Dean. "Lain kali aku tidak memberitahukan apa-apa padamu saja kalau begitu."<br />
<br />
"Yakin?" Sam mengangkat alis menantang. Dia hafal tabiat kakaknya yang sukar mengerem mulutnya jika mengetahui sesuatu yang menarik. Dean memang selalu membagi semuanya dengan Sam. Cerita, makanan, uang, rumah, hidup.<br />
<br />
"Kita lihat nanti," putus Dean. Tidak benar-benar menyerah, juga tak langsung menyanggupi.<br />
<br />
Figur semampai seorang wanita yang menuruni tangga dengan mantap mencuri perhatian Winchester bersaudara, menyebabkan obrolan mereka terputus sampai di situ.<br />
<br />
Dean dan Sam, keduanya adalah pria normal dan karenanya wajar saja mata mereka terpancang pada wanita itu bak serbuk besi melekat pada magnet. Mengenakan blazer kerja warna gelap yang berpotongan pas badan, wanita itu tampak profesional sekaligus menggoda. Celana panjangnya memperjelas bentuk kakinya yang panjang dan ramping, menjalani setiap langkah dengan anggun. Wajahnya hanya disaput solekan tipis, tetapi justru itu menonjolkan keelokan alaminya nan memikat. Rambut pirangnya yang panjang ditata apik, memberi kesan semiacak yang segar. Gerak-gerik dan sikap tubuhnya menguarkan kekuasaan dan keyakinan diri. Dia bagaikan maharani, memandangi wilayah kerajaannya yang terbentang di bawahnya.<br />
<br />
Perempuan itu menuju ke arah Winchester bersaudara dan begitu melihat sosoknya datang menghampiri, Dean tergesa-gesa berbalik mencari asbak guna mematikan rokoknya dan berkumur dengan sisa birnya. Dia sudah memajang senyum sok polos sewaktu wanita itu berhenti di hadapannya.<br />
<br />
"Dean," teguran feminin nan tegas meluncur dari bibir si wanita.<br />
<br />
"Hai, Ruby," Dean balik menyapa.<br />
<br />
Ruby menelengkan sedikit kepalanya, matanya setajam skalpel tatkala menyusuri perawakan Dean dari bawah ke atas dan kembali lagi.<br />
<br />
"Apa yang kukatakan tentang merokok pada saat bekerja?" Ruby bertanya lembut, tapi Winchester bersaudara telah cukup lama kenal dengannya untuk sanggup mendeteksi nada berbahaya tersamar di baliknya.<br />
<br />
Dean cuma menyeringai pasrah, membenci kenyataan bahwa di depan Ruby dia demikian sering kehabisan kata-kata.<br />
<br />
Ruby memutar bola mata. Dia merogoh ke dalam saku blazernya dan mengulurkan sekotak permen mint penyegar nafas yang langsung diambil Dean.<br />
<br />
"Kau tahu, mencium pria perokok rasanya sama dengan mencium asbak," cela Ruby, melipat tangannya.<br />
<br />
Andai yang dihadapi bukan Ruby, Dean sudah akan menyeletuk, "Memang kamu pernah mencium asbak?" Namun, entah kenapa wanita satu itu sanggup membikin lumpuh lidah Dean yang biasanya tangkas. Dean biasanya berkilah bahwa dia sengaja mengalah, tapi Sam tahu kakaknya memang kalah.<br />
<br />
"Ada pesta lajang di kamar VIP," Ruby menujukan kata-katanya pada Dean, "mereka meminta penari."<br />
<br />
"Siap, bos," sambut Dean.<br />
<br />
Sam membatin, kadang dia merasa jawaban yang pantas untuk perintah Ruby adalah, "Hamba laksanakan, duli paduka ratu."<br />
<br />
Dean mencomot sebutir permen pemberian Ruby dan dengan demonstratif mengulumnya. Wanita itu tetap menatapnya lurus tanpa reaksi lainnya, lama-lama bikin bulu kuduk Dean berdiri juga.<br />
<br />
"Baiklah, Dik. Kaudengar kata bos, tugas memanggil," Dean berpaling pada adiknya, tersenyum bungah. Dia selalu menikmati kesempatan di mana dia harus menari bugil di depan sekelompok audiens perempuan yang histeris dan Sam mau tak mau merasa terhibur.<br />
<br />
Dean mengangguk tanda permisi pada Ruby dan beranjak dari situ. Namun, baru beberapa langkah dia lalui, suara Ruby kembali terdengar.<br />
<br />
"Mereka secara spesifik memesan pria berseragam. Polisi, tentara, terserah kau," Ruby menyampaikan.<br />
<br />
"Beres." <br />
<br />
Dean memberi kode "oke" dengan tangannya, lantas beralih jalan menuju kamar rias tempat segala macam kostum dan pernak-perniknya disimpan.<br />
<br />
Sepeninggal si sulung Winchester, Ruby memindahkan perhatian pada Sam yang menyesap birnya pelan-pelan.<br />
<br />
"Sam," dia mendekat satu hasta, sinar matanya agak melunak ketika menyapu wajah pemuda itu.<br />
<br />
"Yeah." Sam sengaja berlambat-lambat menuntaskan birnya, rada kagok berdua begitu dekat dengan Ruby. Sampai kini, dia masih belum dapat memahami sepenuhnya, kegilaan apa yang dulu mendorongnya buat mengajak Ruby berkencan. Sungguh, bersuka-sukaan dengan bosnya sendiri itu bukan tindakan paling cerdas yang pernah dikerjakannya.<br />
<br />
Kalaupun Ruby menangkap selintas kegelisahan Sam, itu tak diperlihatkannya. Air mukanya tetap tenang, murni bisnis, hanya menyipitkan mata sewaktu tangan Sam bergerak ke balik jaketnya, tempat dia lazimnya menyimpan sebuah buku saku.<br />
<br />
"Singkirkan pikiranmu dari buku itu. Klien di meja sepuluh khusus meminta kau menemaninya," Ruby memberi tahu, datar.<br />
<br />
Lega ada alasan untuk mengalihkan pandang dari Ruby, Sam melongok ke arah meja yang dimaksud. Dia menemukan seorang wanita yang mengenakan setelan kerja tiga potong duduk di sana, tengah mengobrol santai dengan Andy, pramuria rekan Sam. Seolah merasakan ada yang memperhatikannya, wanita itu menoleh dan matanya bertemu dengan Sam, keduanya bertukar senyum dan anggukan singkat tahu sama tahu.<br />
<br />
Tekanan ringan di bahunya membuat Sam menoleh. Dia menemukan jemari Ruby bertengger di situ, cat kukunya yang merah gelap demikian kontras dengan warna putih kulitnya.<br />
<br />
"Layani dengan baik. Dia pelanggan lama yang baru kembali," amanat Ruby. Dia meremas pundak Sam. Pelan saja, tapi meninggalkan jejak di hati pemuda itu.<br />
<br />
"Baiklah." Memangnya ada alternatif jawaban apa lagi?<br />
<br />
Ruby menarik tangannya, melempar seulas senyum lembut pada Sam yang bertanya-tanya, apakah matanya tak keliru menangkap seleret rasa menyayang dalam senyum itu. Namun, Sam membatin, dia tak berani bertaruh terlalu banyak pada hal itu.<br />
<br />
"Selamat bekerja."<br />
<br />
Itulah yang terakhir diucapkan Ruby sebelum dia putar badan dan berjalan pergi ke arah yang berlawanan dari Sam. Untuk beberapa jenak Sam masih memandangi punggung Ruby yang menjauh, helai-helai pirang rambutnya yang tergerai bebas, bokongnya yang kencang di balik balutan celananya, yang bergoyang seirama lenggang langkahnya. Sesaat Sam jadi terkenang pada suatu masa di kala wanita itu berderap mendekatinya untuk kemudian menghujaninya dengan ciuman, tubuh ulet Ruby dalam pelukannya, bisikan halus di telinganya. Namun, memori itu segera sirna digusur oleh realitas: ketak-ketik hak <i>stiletto</i> Ruby dengan irama khas nan otoritatif yang berangsur melirih.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Sam tegak di bawah hujan air pancuran, kehangatan bulir-bulir air membasuh kulitnya, meluruhkan keringat dan peristiwa yang memicu timbulnya peluh itu. Dia menuang sabun cair banyak-banyak ke telapak tangannya, menggosok setiap inci tubuhnya, lekuk dan lipatan tak luput olehnya. Dia membusakan sejumlah sampo, mencuci rambutnya, memijat kepalanya dengan gerak melingkar yang menenangkan. Setelahnya, guyuran air diperderas dan semburannya membilas badannya yang berkilat oleh sabun, tangan Sam sibuk mengusap ke segala penjuru. <br />
<br />
Bahkan setelah semua busanya hanyut, Sam masih berlama-lama berdiri di sana, membiarkan air hangat mengalirinya, seakan berharap cairan itu dapat membersihkan sampai ke lubuk dosa. Ritual mandi setelah bertugas itu telah dianut Sam sejak pertama kali dia menjalani profesi ini dan kamar mandi persegi berukuran kecil itu berfungsi sebagai semacam tempat meditasi singkat bagi Sam. Tempat di mana dia mengembalikan segenap ketenangannya, semangat dan hal-hal yang menjadikan dia seorang Sam Winchester.<br />
<br />
Perlahan-lahan Sam menutup keran, menyambar handuk kasar dan mengeringkan tubuh, menyekakan kain itu kuat-kuat sampai kulitnya memerah. Dia mengenakan busana bersih setelahnya dan keluar dari kamar mandi menuju deretan loker yang diperuntukkan bagi pekerja Kelab Perdition. Sam tengah memasukkan peralatan mandi ke dalam lokernya sewaktu dia menangkap pertanda Dean memasuki ruangan.<br />
<br />
"Hei, Kak," Sam mengangguk ke arah saudaranya.<br />
<br />
Dean mengayun langkah mendekati loker miliknya yang berada di sebelah Sam. Kentara benar seragam angkatan laut ala penari bugilnya itu asal saja dipakainya, sekedar meliputi bagian-bagian yang secara norma sosial wajib ditutup. Sam dapat melihat titik-titik keringat di pelipis kakaknya dan rambut Dean yang berantakan, menduga bahwa pemuda itu baru menyelesaikan sesi menghiburnya yang rada eksibisionis.<br />
<br />
"Yo, Sammy," balas Dean, menarik pintu loker sampai terbuka dan menyingkir tepat sebelum serombongan barang terlempar keluar.<br />
<br />
Sam mendengus geli. Dean belum berubah dalam aspek yang satu itu.<br />
<br />
"Sudah mau pulang?" tanya Dean, menilik adiknya merapikan isi loker dan menyampirkan tas di bahu.<br />
<br />
"Yeah."<br />
<br />
Si bungsu Winchester memang punya kebijakan untuk hanya melayani maksimal dua tamu per malam. Tadi dia sudah menemani mengobrol nona keponakan walikota dan memperoleh tips lumayan. Ditambah Cindy, tamu seksi yang barusan terlibat pertempuran kelamin dengannya sampai tiga babak, itu dihitung dua orang, bukan? Ruby pernah menanyakan perihal kuota itu pada Sam dan pemuda itu memberi alasan bahwa dengan demikian dia bakal terkesan eksklusif. Membatasi tamu membuat dia dapat memberi servis maksimal, tambah Sam. Itu terbukti. Sam termasuk pejantan di Perdition yang jumlah kliennya stabil. Saban malam ada saja yang menggunakan jasanya, kadang sampai pakai daftar tunggu segala.<br />
<br />
Dean meraup propertinya yang berserakan di lantai, menyorongkannya serampangan ke dalam loker. Dia menarik tas dan satu stel pakaian ganti kemudian menutup paksa pintu loker.<br />
<br />
"Kamu mau pulang juga?" Sam bertanya. "Kalau ingin salin baju dulu, aku tunggu kau."<br />
<br />
Senyum lebar macam orang dapat rejeki nomplok yang terkembang di wajah Dean membarengi jawaban bersemangatnya, "Nuh-uh. Ada dua dari cewek-cewek itu yang mengajakku main bertiga. Coba tebak di mana?" Dean tak menunggu sahutan Sam. "Hilton, bung! Sekali-kali melakukannya di hotel mewah terdengar menyenangkan, benar? Tempat tidur besar, <i>jacuzzi</i>, sampanye, stroberi salut coklat. Mm..."<br />
<br />
"Aku pulang duluan kalau begitu," Sam berkata.<br />
<br />
"Yep. Besok juga tak perlu siapkan sarapan untukku. Aku akan mencicip hidangan hotel berbintang," tutur Dean. Matanya berbinar dan Sam menebak-nebak mana yang bikin kakaknya segirang itu: kans dibayar untuk meniduri dua perempuan sekaligus ataukah makanan lezat yang diperoleh gratis.<br />
<br />
"Percaya diri betul kau bahwa mereka akan mengizinkanmu menginap di sana." Bukan Sam namanya kalau tidak mengganggu kakaknya.<br />
<br />
"Setelah apa yang bakal kulakukan pada mereka, toh cewek-cewek itu pasti kelelahan dan membiarkan aku tidur di sana," ujar Dean mantap. Tidak bermaksud menyombong, cuma menyatakan hal yang sangat mungkin terjadi.<br />
<br />
Sam tersenyum sekilas. "Sampai besok kalau begitu."<br />
<br />
Dia hendak berbalik dan pergi, tapi lontaran kata-kata Dean menyetopnya.<br />
<br />
"Hei, tangkap ini."<br />
<br />
Spontan tangan Sam membuka dan sebuah objek jatuh ke telapaknya. Serangkaian kunci.<br />
<br />
"Aku dijemput pakai limo, jadi tugasmu mengandangkan Impala," jelas Dean.<br />
<br />
"Oke." Sam mengantungi kunci itu, bunyinya gemerincing beradu dengan kunci apartemen yang sudah ada di saku.<br />
<br />
Dean mendekat dan menatap adiknya, lagaknya serius, yang justru malah membuat Sam tergelitik.<br />
<br />
"Kuperingatkan padamu," Dean mengacungkan telunjuk di muka Sam, "jangan sampai ada gores sedikit pun pada bodi cantiknya, jangan mengotori kabin dan jangan coba-coba mengganti kasetnya dengan musik konyolmu," dia berhenti untuk kesan dramatis, "apalagi mencolokkan Ipod!"<br />
<br />
Sam memutar bola mata. Capek, deh.<br />
<br />
"Pokoknya," Dean menyudahi petuahnya, "jaga dia dengan nyawamu."<br />
<br />
"Sudah selesai? Aku pulang ya," dengan itu Sam balik kanan maju jalan meninggalkan kakaknya, sempat melambai iseng pada Dean dan nyengir membayangkan reaksinya.<br />
<br />
Sam melewati lorong agak gelap yang berujung di pintu belakang kelab, dia keluar dari bangunan itu dan menghentikan langkah di pekarangan belakang kelab yang sempit, tempat peti-peti bekas dan beberapa kotak sampah besar berada. Pemuda itu bersandar ke tembok, menatap sekilas ke langit kelam dan jemarinya meraba sisi dalam jaketnya, mencari sebungkus rokok yang dia tahu tersimpan di sana. Sam tidak punya hobi mengisap sigaret sebagaimana Dean kalau sedang tak bekerja, tetapi bila gundah, sesekali dia membutuhkan sebatang-dua batang untuk menemaninya berpikir.<br />
<br />
Ada satu hal yang membebani benaknya malam ini. Ah, bukan. Lebih tepat bila dikatakan telah menjadi permenungannya secara samar-samar sejak beberapa lama, tetapi baru benar-benar nyata mengusiknya kini. Satu pertanyaan yang sejatinya sederhana belaka: apakah dia akan begini terus?<br />
<br />
Sam menyulut rokoknya, nyala api di ujung rokok terlihat jelas di keremangan pekarangan. Dia mengisap benda itu beberapa kali, asap tipis meluncur tak berbentuk dari celah bibirnya, melayang ke udara lalu lenyap. Jikalau masalah dan beban pikiran dapat hilang begitu saja seperti asap, pikir Sam, itu akan memudahkan. Namun, hidup tidak berjalan seperti itu.<br />
<br />
Jemari Sam menyisir rambutnya yang masih agak basah. Secara otomatis menjalankan kegiatan merokoknya sembari melayangkan lamunan. Terbayang olehnya angka saldo terakhir di buku tabungannya, hasil menyisihkan sebagian besar bayarannya di Kelab Perdition dan uang tips dari para pelanggannya. Jumlahnya cukup banyak ternyata, tidak sia-sia dia berhemat selama ini. Cukup banyak untuk keluar dari pekerjaan ini, cukup banyak untuk merengkuh ambisinya memperoleh hidup yang normal, cukup banyak... untuk membiayai kuliah.<br />
<br />
Hal terakhir itu membuatnya bersemangat. Belajar di perguruan tinggi. Sesuatu yang dulu terdengar amat mahal, tak terjangkau, tapi kini Sam tahu dia dapat melakukannya. Dia sudah melaksanakan riset kecil-kecilan, mengumpulkan informasi tentang kampus-kampus yang diminatinya, lengkap dengan tawaran beasiswa. Sam pernah mengambil SAT di sekolah menengahnya dan skornya cukup tinggi untuk mengajukan beasiswa, meski bukan beasiswa penuh. Sam sejak lama paham bahwa dia mampu melewati tes masuk perguruan tinggi mana pun yang dia ingini, hanya waktu itu ada berbagai masalah yang menghalanginya pergi kuliah, problem finansial cuma salah satunya. Namun, kali ini dia bertekad bahwa tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Tidak juga Dean.<br />
<br />
Kakaknya itulah yang sempat membikin Sam bimbang. Utamanya, sebab kuliah berarti meninggalkan kota tempat mereka saat ini bermukim. Dean selalu menjadi tulang punggung keluarga Winchester, menopang anggotanya yang tersisa dan Sam biasanya loyal pada kakaknya, ada rasa tak tega membiarkan Dean menanggung semuanya seorang diri, sungguhpun Dean selalu bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Tambahan pula, Dean sudah merasa puas hidup seperti ini. Dia tak paham mengapa adiknya getol mencari kesempatan guna mengubah nasib, mencari sesuatu yang lebih baik. Bagi Dean, mereka punya pekerjaan bagus, bisa berkumpul bersama, itu sudah memuaskan. Mengejar yang di luar itu seperti berjudi, jika kalah menyakitkan.<br />
<br />
Sam tidak begitu. Dia tumbuh di bawah perlindungan kakaknya dan terbiasa menerima hanya yang terbaik dari Dean. Barangkali itu salah satu faktor yang menjadikan dia mampu memiliki aspirasi dan berupaya keras mewujudkannya. Sam sama sekali belum puas dengan apa yang dijalaninya saat ini, tidak puas. Profesi ini dipandangnya sebagai batu loncatan belaka, sebangsa alat buat mencapai tujuan yang lebih tinggi, menggapai impian yang terjuntai dari langit.<br />
<br />
Tidak, putus Sam yakin. Dia tidak punya keinginan untuk terus hidup begini, seterusnya jadi gigolo, pria panggilan pemuas perempuan. Dia tak mau hidupnya berakhir karena AIDS, penyakit kelamin atau dipenjara. Lagipula, Sam mengerti bahwa masa keemasan pramunikmat takkan bertahan selamanya. Senantiasa ada lelaki baru yang lebih kinyis-kinyis, lebih memesona, sementara dirinya menua dan layu. Pergi kuliah adalah satu cara yang dipikirnya tepat untuk mengakhiri semua ini. Setelah lulus kelak dia akan memiliki bekal ilmu dan gelar yang cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak, yang tidak melibatkan menjual fisiknya. Pekerjaan yang menuntut kemampuan otaknya, bukan kepiawaiannya main di ranjang. <br />
<br />
Sam berkhayal tentang suatu hari di mana dia mampu menghasilkan cukup banyak uang untuk mengongkosi kehidupan keluarga Winchester. Dean bisa pensiun dan tak perlu mengkhawatirkan pemasukan tiap bulan, tak usah berhitung ketat agar tidak terjadi besar pasak daripada tiang. Ah, tapi bukankah Dean telah terbiasa bekerja keras? Menganggur niscaya bikin dia resah. Baiklah. Sam bisa saja memberinya modal untuk membuka bengkel. Kakaknya itu menggemari dunia otomotif. Kalau saja dia tidak harus memberi makan adik dan ayahnya, Dean tidak keberatan bekerja sebagai montir di bengkel kecil. Memiliki usaha servis mobil sendiri tentu menyenangkan.<br />
<br />
Angan Sam beralih kepada satu orang lagi yang juga menyandang nama Winchester. John, ayahnya. Pria yang memekarkan rasa pedih, gondok, sekaligus iba setiap kali sosoknya terlintas di kepala Sam. Manusia yang tidak pernah dimengerti Sam sampai kini, padahal kata orang-orang justru mereka punya sifat yang persis. Mirip apanya, dumal Sam. Dia tidak akan menggeret anak-anaknya yang masih belia ke seluruh pelosok negeri, sebagaimana yang diperbuat John bertahun-tahun yang lalu, demi mencari dan memburu monster pembunuh Mary, istrinya, yang tak pernah eksis. Memaksa kedua putranya menjalani hidup yang cuma setingkat lebih baik daripada gelandangan, sampai beberapa serangan stroke dan komplikasi penyakit mengirimnya ke keadaan koma, kemudian melumpuhkannya dan John terpaksa menghabiskan tahun-tahunnya di rumah perawatan yang diongkosi Dean.<br />
<br />
Sam berpikir, bila dirinya bisa menjadi seorang profesional yang terhormat dan berpunya, dia akan dapat mencarikan rumah perawatan yang lebih baik untuk ayahnya. Bukan yang gedungnya seperti nyaris tak terurus, dengan perawat bertampang masam dan dokter yang letih. Ya, kalau dia ada dana, sebagian dapat digunakan untuk memastikan kepulihan John. Tidak seratus persen seperti ayah gagah yang dikenalnya dulu, tapi progres yang mendekati itu.<br />
<br />
Barangkali, Sam menebak-nebak, jika sudah sukses kelak dia akan mampu membuka hatinya untuk memaafkan ayahnya atas segala yang ditimpakan padanya sejak kecil. Dia dapat mengangkat kepala dan berkata bahwa dia tetap berhasil meski tanpa campur tangan orang tua satu-satunya. Memaafkan ayahnya akan menimbulkan rasa bangga, alih-alih prospek menyakitkan seperti sekarang. Mungkin, suatu hari nanti dia dan John bisa berdamai. Syaratnya cukup itu: kalau Sam sukses.<br />
<br />
Demi semua itu Sam berani bertaruh. Sekarang atau tidak sama sekali. Bukankah keberuntungan menaungi orang yang berani mengambil tindakan?<br />
<br />
Mengambil keyakinan semacam itu, ada kelegaan berkembang di dada Sam. Masalah yang tersisa hanyalah bagaimana mengatakannya pada Dean, bagaimana meyakinkan kakaknya bahwa itu pilihan terbaik dan apa yang dilakukannya tak lain untuk kepentingan seluruh keluarga. Itu tampaknya agak sulit, tetapi yah, itu jadi urusan besok saja. Dia akan memikirkannya kemudian, saat ini kepalanya sudah penuh.<br />
<br />
Sam mematikan rokok dengan menginjak puntungnya. Dia mengayunkan kaki ke lapangan tempat Impala kesayangan kakaknya diparkir, merasa lebih optimis. Dia membuka pintu sedan hitam besar itu, duduk di kursi pengemudi dan menyesuaikannya, mengubah sedikit letak kaca spion. Jok kulit itu menyambut hempasan tubuhnya seperti teman lama, aroma kabin menyapanya akrab dan derum mesin kala dihidupkan terasa familiar.<br />
<br />
Sam tersenyum jahil ketika mengganti album Metallica Dean dengan kaset Pearl Jam-nya, irama "Last Kiss" segera memenuhi mobil. Dia memasukkan gigi dan berkendara pulang, sosok Impala bagai lebur di antara keramaian lalu lintas malam di distrik yang tak pernah tidur itu dan gemerlap lampu-lampu kota.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
SELESAIOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-87526014804148480802010-03-15T12:47:00.000+07:002010-03-15T12:47:21.278+07:00Fic: Dean Winchester's Guide to Stay in Good ShapeAuthor: Oryn<br />
Rating: T<br />
Genre: humor, sort of.<br />
Chapters: 1. Words: 3.041.<br />
Disclaimer: I don't own Supernatural and the infamous Winchester brothers. They belong to their respective owners.<br />
Summary: tips ala Dean Winchester agar tetap bertubuh bagus meskipun punya hobi makan makanan sampah.<br />
Translation: Dean Winchester's guide to stay in good shape... despite having eating junkfood as favorite pastime.<br />
Sumber: blog-ku sendiri yaitu vitasexualis.wordpress.com.<br />
Author's Note: percobaan menulis humor yang entah bagaimana jadinya (kemungkinan besar kacau beliau dan pointless). Harusnya saya tetap di genre drama (hhh...). Terinspirasi dari Jared Padalecki... yang aslinya memang takut jadi gemuk. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Sam Winchester mengejapkan mata.<br />
<br />
Tujuh menit yang lalu di hadapan Dean masih bertengger gagah setangkup burger keju <i>bacon</i>, segumpal kentang goreng keju pedas yang mengepul panas, sewadah penuh bawang bombai goreng berbentuk lingkaran nan renyah, dilengkapi seiris pai lemon yang menguarkan wangi manis. Kini, yang terhampar di permukaan meja formika itu adalah piring-piring kosong dengan gelimang minyak berbumbu dan remah-remah belaka. Itu berbanding terbalik dengan salad dan pasta jatah Sam yang baru berkurang sedikit.<br />
<br />
Apakah Dean tengah berlatih buat memecahkan rekor Guinness untuk pemakan tercepat di dunia? Pasalnya, sejak Sam bergabung kembali dengan kakaknya, naga-naganya kecepatan makan Dean kian bertambah saja, sampai ke level yang nyaris mengerikan.<br />
<a name='more'></a><br />
Si bungsu Winchester meletakkan garpu di sisi piringnya dan memamah pelan-pelan suapan saladnya, sama sekali tidak ada niatan mengikuti teladan Dean yang memasukkan potongan besar terakhir burger ke mulutnya dan menelannya hampir tanpa mengunyah. Buset, Sam berkata dalam hati, Dean mengganyang panganan seperti Impala melahap bensin. Pantas dua individu itu cocok. Sama-sama boros bahan bakar, sih.<br />
<br />
Sejak Sam dapat mengingat, memang begitulah adat Dean dalam menandaskan hidangan yang tersedia untuknya. Cepat, tanpa tedeng aling-aling dan jarang mau diinterupsi. Adegan makan model Dean juga senantiasa penuh efek suara. Mulai dari erangan nikmatnya yang membangkitkan perasaan primitif, denting peranti makannya yang gaduh, gaya menghirup minumannya yang ribut, sampai kecuekannya bersendawa yang kerap bikin Sam pura-pura tidak kenal dengannya. Jangan tanya soal tatakrama makannya. Konsep itu bisa dibilang asing bagi Dean. Pendek kata, dia bukan tipe orang yang bisa dibawa ikut jamuan makan sopan tanpa mempermalukan si pengajak dan membuat kapok tuan rumah.<br />
<br />
Selain punya budaya makan yang rada kurang santun, Dean juga memiliki perut yang bagaikan sumur tak berdasar. Kau dapat melemparkan apa saja ke situ dan hanya dalam beberapa jam saja dia sudah menagih minta makan lagi. Kakaknya bisa alih pekerjaan jadi kontestan lomba makan profesional kalau dia mau, pemikiran itu mencuat ke benak Sam. Namun, Sam buru-buru menggelengkan kepala secara mental. Tidak. Lebih baik jangan memberi ide itu pada Dean. Pasalnya, pertama dan terakhir kalinya Dean ikut acara adu gegas dan banyak-banyakan menyantap <i>hotdog</i> (yang dimenangkannya secara tipis), ujung-ujungnya yang ketiban repot adalah Sam yang kudu menggotong kakaknya ke unit gawat darurat rumah sakit karena menderita gangguan saluran pencernaan akut.<br />
<br />
Sam menyembunyikan dengusan dengan menyesap jus jeruknya dan pandangannya tertuju ke arah Dean. Tidak mengamati secara menyolok, tetapi cukup cermat. Tertangkap oleh mata Sam tubuh kakaknya yang kekar di balik kaus lengan panjang kelabu yang dikenakannya. Tumbuh besar bersama dan bodi kakaknya menjadi hal yang konstan dilihatnya setiap hari (setidaknya kalau periode Stanford tak dihitung) menjadikan Sam tak pernah benar-benar menilik bentuk badan Dean sebelumnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang menggelitik otaknya, yang mendorongnya untuk melakukan itu.<br />
<br />
Sejak dulu, Dean memang memiliki perawakan yang cenderung kompak dibanding adiknya yang berpembawaan lebih ramping. Kalau berada di samping Sam, Dean jadi terkesan lebih pendek dari yang sesungguhnya lantaran potongannya yang gempal macam centeng itu. Namun, berbeda dari kebanyakan tukang pukul yang mengandalkan berat dan besar badan, Dean memiliki teknik berkelahi yang mumpuni, didukung latihan sebagai petarung sejak belia. Sam menyipitkan mata demi menyadari bahwa di tubuh kakaknya tak ada kelebihan bobot sedikit pun, apalagi gelambir lemak yang menggantung. Dean berbadan solid, yang membikin tegap dirinya adalah otot-otot yang terbentuk baik. Dia mungkin tidak bakal memenangkan kontes Mr. Universe dalam waktu dekat, tapi Sam mau tak mau mengakui bahwa postur Dean cukup indah dipandang dan efisien (itu pujian serius, lho karena datang dari sesama lelaki, adik sendiri pula).<br />
<br />
Nah, itu menimbulkan satu pertanyaan menarik. Ke mana perginya makanan yang dikonsumsi Dean?<br />
<br />
Dean Winchester bukan pemburu yang baik bila dia tidak menangkap ada orang yang mengobservasinya dengan intens. Mulanya dia membiarkan Sam, tapi kala adiknya itu tak juga mengalihkan mata darinya, Dean angkat suara.<br />
<br />
"Kenapa kau melihatku seperti itu?"<br />
<br />
Sam meringis lantaran sergahan Dean memberinya akses guna mengamati pemandangan dalam mulut kakaknya yang bagaikan lukisan abstrak.<br />
<br />
"Kita harus memeriksakan kolesterolmu," Sam berujar.<br />
<br />
Apa yang barusan terloncat dari mulut adiknya sama sekali tak dinyana oleh Dean sehingga dia cuma mampu mengeluarkan respons otomatis.<br />
<br />
"Huh?"<br />
<br />
"Kita perlu memeriksakan kadar kolesterolmu," ulang Sam kalem. "Ditambah tekanan darah dan kadar gula darah juga, kukira. Barangkali tes <i>treadmill</i> pula," sambungnya.<br />
<br />
Dean terbengong untuk beberapa lama sebelum akhirnya menemukan kata-kata lagi.<br />
<br />
"Jadi terbukti, makan seperti sapi," balas Dean seraya menuding piring Sam yang sarat sayuran hijau dan tomat, "dapat membuat manusia mengidap sindrom sapi gila."<br />
<br />
Sam menghela nafas. "Aku sungguh-sungguh. Kita perlu..."<br />
<br />
"Maksudmu, kau," sela Dean. "Soalnya aku tidak mau." Dia meraup remah-remah tepung gorengan bawang dan memasukkannya ke dalam mulut.<br />
<br />
"Kenapa tidak?"<br />
<br />
"Kenapa harus?"<br />
<br />
"Siapa tahu dari luar kau terlihat tidak apa-apa, tapi sebenarnya pembuluh darahmu sudah tersumbat macam saluran ledeng mampet," Sam berargumen. "Pernah dengar istilah bom waktu manusia?"<br />
<br />
Dean mengibaskan tangan, mengirim beberapa keping remah ke muka Sam yang spontan mengernyit. "Aku merasa baik-baik saja," bantahnya.<br />
<br />
"Tapi, Dean..."<br />
<br />
"Aw, kamu khawatir padaku ya? Manis sekali kau, Sammy," cuap Dean dengan nada dan ekspresi seperti tengah berbicara pada bayi.<br />
<br />
Sam memutar bola mata. "Itu, sih demi keselamatanku juga. Aku tidak mau jadi orang yang harus mengabarkan pada ayah bahwa putranya meninggal karena serangan jantung," tuturnya.<br />
<br />
"Bung, umurku masih dua puluh enam," celetuk Dean. "Agak terlalu muda untuk penyakit itu, iya kan?"<br />
<br />
"Sakit jantung koroner sekarang makin tak pandang usia, tahu. Apalagi kalau menilik pola makanmu yang seperti ini. Panganan yang masuk ke mulutmu kalau tidak berminyak, ya berlemak, belum lagi bahan pengawet dan gulanya. Itu semua tidak bagus buat kesehatan. Jadi, aku punya dasar logis untuk memintamu mengecek kondisi tubuhmu," urai Sam. Agak masygul campur geli dia menambahkan, "Jika di negara berkembang ada kasus kurang gizi, kamu itu kasusnya malah salah gizi."<br />
<br />
Dean tak berapa mengindahkan kuliah adiknya, dia malah sibuk menjilati jari-jarinya.<br />
<br />
Sudah menjadi adat Sam untuk menerabas terus sampai mencapai tujuan, laksana kendaraan lapis baja. Dia bertanya, "Pernah merasa sakit di daerah dada?"<br />
<br />
"Kecuali habis dicengkeram hantu, tidak," jawab Dean enteng.<br />
<br />
"Kalau pusing, tiba-tiba lemas, pegal-pegal atau susah bernafas?" kejar Sam.<br />
<br />
Dean menyeringai. "Sekali lagi, selain baru berhadapan dengan makhluk supranatural yang entah kenapa punya hobi melempar kita ke segala penjuru mata angin, tidak."<br />
<br />
"Dean, aku serius."<br />
<br />
"Kau kira aku tidak?"<br />
<br />
Si sulung Winchester meneguk kopinya yang hitam pekat mirip oli. Demi mendapati tatapan Sam masih tertuju lurus padanya, dia berucap, "Dan jangan mulai merepet tentang kecanduan kafein dan pengaruhnya bagi kebugaran dan sebagainya."<br />
<br />
Sam mengangkat tangan. Berpolemik lawan Dean menyangkut perkara perkopian itu sama saja cari pusing sendiri.<br />
<br />
"Kalau kamu masih ngotot hendak memaksaku periksa segala macam, mending kau ingat-ingat dulu, deh. Aku, kan baru dapat 'jantung' yang bisa dibilang anyar. Masa baru dipakai beberapa bulan sudah minta pensiun?" Dengan kata-kata itulah Dean memungkas perdebatan.<br />
<br />
Sam tertegun mendengarnya. Memori tentang kejadian itu sampai kini masih sanggup membikin Sam bergidik. Masih nyata di ingatannya bagaimana dia menemukan kakaknya tergeletak sekarat di ruang bawah tanah nan gelap itu, kepanikan yang membuncah dan jam-jam menunggu di rumah sakit yang menyiksa. Bagaimana selama tiga hari penuh dia berkutat mencari jalan guna menyelamatkan nyawa Dean untuk kemudian berhasil, tapi bukannya tanpa meninggalkan luka batin yang mendalam dan menyisakan segebung pertanyaan tak terjawab.<br />
<br />
Dean, pikir Sam mangkel, benar-benar tahu caranya menyetop laju perbalahan. Itu diperbuatnya dengan agak kejam, tapi efektif.<br />
<br />
Melihat gurat-gurat emosi mentah di wajah adiknya, timbul sepercik penyesalan di hati Dean dan dia buru-buru berkata, "Yah, omong-omong, kenapa kamu tiba-tiba jadi cerewet soal santapan dan kesehatanku, sih?"<br />
<br />
Sam mengedikkan bahu, mulai menusuki sehelai selada di piringnya dengan garpu. "Entahlah. Aku cuma penasaran, kukira. Kalau aku berani-berani makan seperti kamu..."<br />
<br />
"Aku tahu," Dean mengernyih. "Dalam seminggu kau bisa kembali jadi si tambun Sammy."<br />
<br />
"Jangan ingatkan aku," Sam mengerang.<br />
<br />
Dean boleh saja gemar meledek adiknya dengan julukan segala macam, mengerjai Sam memakai aneka cara, tapi untuk yang satu ini dia agak menahan diri. Dia paham betul bahwa punya tubuh gemuk di usia dua belas tahun membuat Sam cukup trauma. Sampai sekarang, meski dia tak pernah menunjukkannya secara terang-terangan, Sam amat takut jadi gendut lagi dan karenanya sangat menjaga asupan kalorinya. Sensitif, emo dan berdiet, batin Dean, mestinya nama panjang Sam adalah Samantha.<br />
<br />
Sam menggelengkan kepala, mengusir kenangan buruk tentang bocah kutu buku gembil bermata hazel yang kerap diejek dan dipermainkan anak-anak satu kelas sampai kakaknya datang dan mengajarinya bertinju seperti malaikat pembalas dendam. Dia bergumam, kembali ke topik semula, "Yah... aku hanya ingin tahu. Ke mana larinya segala kalori dan lemak dan gula dan entah apa lagi dari semua makanan yang kaukonsumsi? Maksudku, kau menyalahi pepatah 'kamu adalah apa yang kaumakan'."<br />
<br />
"Maksudmu, seharusnya aku jadi cowok gembrot sekarang?" tukas Dean.<br />
<br />
"Dan penyakitan," celetuk Sam.<br />
<br />
Dean mengangkat sebelah alis dan mendapat kedikan bahu dari Sam sebagai jawaban.<br />
<br />
"Kau tahu, aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya," Dean berujar, dia mengetuk-ngetuk tepi meja dengan irama mars. "Kupikir aku perlu sedikit bersyukur karenanya."<br />
<br />
"Yeah." Tapi pertanyaan itu, entah karena apa, tetap menggedor-gedor benak Sam dengan persisten.<br />
<br />
Kakaknya tercenung sebentar, lalu mengajukan hipotesis. "Aku bekerja lebih keras darimu. Maksudku, dalam hal berburu. Kapan terakhir kali kamu menggali kuburan, huh?"<br />
<br />
Apa kata orang-orang tentang Winchester bersaudara? Satunya otak, satunya otot?<br />
<br />
"Soalnya kamu selalu kalah suit," tangkis Sam. "Tapi ujung-ujungnya aku selalu membantumu menyekop tanah juga, kan?"<br />
<br />
Itu betul, Dean mengakui.<br />
<br />
"Aku kira pekerjaan kita yang bikin tubuh tetap fit," terka Dean. Menghadapi makhluk-makhluk supranatural yang mesti dibasmi, yang lebih sering melawan dengan ganas ketimbang menyerah tanpa syarat, itu menguras energi dan membakar kalori, benar?<br />
<br />
"Pekerjaan kita justru menyebabkan gaya hidup yang buruk," komentar Sam. Itu belum menyebut kehidupan yang jauh dari normal, tapi itu hal yang saat ini sedang tak ingin disenggol Sam walau pakai galah dari jarak tiga meter.<br />
<br />
"Begitukah?"<br />
<br />
"Ya, dan menurutku, hubungan kausalmu terbalik."<br />
<br />
"Mari kita dengar postulat Profesor Sammy," seloroh Dean.<br />
<br />
"Fisik yang prima diperlukan untuk berburu, bukan sebaliknya." Sam memutar-mutar garpunya dan meneruskan, "Kalau dipikir, kerja sebagai pemburu aksinya cuma pada waktu-waktu tertentu. Kita lebih banyak riset, mewawancarai orang dan sebagainya ketimbang terlibat baku hantam, menyusup dan mengejar-ngejar sesuatu atau seseorang. Dan tentu saja, duduk di mobil berkendara berjam-jam ke seluruh pelosok negeri tidak bisa dibilang sebagai gerak tubuh aktif."<br />
<br />
Itu ada unsur benarnya. Dean meringis. "Bagaimana dengan stres kerja? Katanya itu bisa bikin kurus," tanyanya asal bunyi.<br />
<br />
"Memangnya kamu merasa stres jadi pemburu?"<br />
<br />
Tidak sering, sih. Hanya pada saat Dean tak sanggup menyelamatkan semua orang, tapi itu pun lekas-lekas disapu ke bawah keset mentalnya dan ditekan kuat-kuat seperti mengepres cucian. Dean lazimnya menganggap berburu adalah kegiatan yang mengasyikkan. Profesi sekaligus hobi.<br />
<br />
"Aku duga, ini tidak ada kaitan erat dengan berburu," sambung Sam.<br />
<br />
"Oke, kita coret berburu dari daftar. Lalu apa?"<br />
<br />
Sam tak segera menyahut. Dia memasukkan irisan tomat ke mulutnya dan memasang tampang berpikir yang agak menerawang.<br />
<br />
"Mungkin aku punya kelainan yang membuatku tidak dapat mencerna lemak, jadi semuanya terbuang. Itu bisa saja, kan?" Dean mengajukan teori.<br />
<br />
"Itu satu kemungkinan, meski aku tidak terlalu yakin mengenainya," balas Sam lambat-lambat. Sama seperti sangkaan bahwa kakaknya cacingan.<br />
<br />
"Atau kamu hanya sukar menerima kenyataan bahwa aku diberkahi metabolisme yang menguntungkan," Dean tersenyum rada bangga. "Bisa makan sesukaku tanpa harus khawatir jadi gemuk dan tidak perlu olah raga."<br />
<br />
Adiknya memutar bola mata. Dia tidak akan menganggap itu sebagai anugerah.<br />
<br />
Dean menghabiskan kopinya, meminta pelayan mengisi ulang cangkirnya, kemudian berpaling pada Sam. "Ah, sudahlah. Buat apa kita panjang-lebar berkosong-kosong omong tentang itu? Kita sedang ada kasus, tahu."<br />
<br />
Itu sukses mengalihkan perhatian Sam dan selanjutnya diskusi Winchester bersaudara sepenuhnya membahas tentang berbagai kemungkinan makhluk yang menyebabkan koma misterius pada beberapa wanita di kota kecil yang tengah mereka singgahi. Urusan kondisi fisik Dean yang tetap (relatif) bugar meski dijejali makanan sampah (sesuatu yang juga masih jadi misteri) pun terlupakan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
"Yo, Sammy!"<br />
<br />
Panggilan dari Dean itu membuat Sam mengangkat kepala dari segepok guntingan berita dari koran yang tengah ditekuninya.<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
Sam seketika rada menyesal telah menjawab, sebab Dean menyambutnya dengan senyum miring di mukanya, tipe senyum setengah nyengir yang hanya berarti masalah atau sesuatu yang tidak baik.<br />
<br />
"Aku memecahkannya," cetus Dean, senyumnya nakalnya tak lekang, malah dilengkapi dengan alis terangkat jenaka.<br />
<br />
"Apa? Kasusnya?" tanya Sam. Mudah-mudahan itu, harap Sam, karena dia sudah cukup pening mereka-reka diagnosis makhluk supranatural apa yang tengah mereka hadapi ini. Namun, tentu saja, mana pernah segalanya berjalan gampang buat Winchester bersaudara.<br />
<br />
"Oh, bukan," Dean mengibaskan tangan. "Ini lain lagi. Lihat."<br />
<br />
Dean menggeser komputer jinjing milik Sam yang sejak tadi dipakainya sampai adiknya dapat melihat apa yang terpampang di layar, yang membikin Dean demikian antusias.<br />
<br />
"Dean! Sudah kubilang berapa kali padamu, jangan, kuulangi, jangan berani-berani membuka situs itu di komputerku. Situs brengsek itu punya hobi bikin komputerku membeku, tahu!" Sam berseru galak begitu matanya menangkap logo bertuliskan <i>Busty Asian Beauties</i> lengkap dengan gambar-gambar perempuan bertubuh semlohei, berdada makmur nan minim busana terpajang.<br />
<br />
Sam mengulurkan tangannya yang panjang, bersiap merampas kembali komputernya, tapi Dean lebih cepat dan tangkas menyelamatkan si komputer dari jangkauan adiknya.<br />
<br />
"Whoa! Kalau kau bisa singkirkan tangan orangutanmu sebentar, maka kamu akan tahu kenapa aku buka situs ini," kelit Dean.<br />
<br />
Sam menyipitkan mata. "Memangnya kurang jelas apa tujuanmu merambah situs begituan?"<br />
<br />
"Dengarkan dulu, oke," Dean berkata, mencoba mengimitasi tatapan anak anjing memelas khas Sam.<br />
<br />
"Kau punya lima menit. Mulai dari sekarang," putus Sam jengkel, tangannya terlipat dengan tampang disetel cemberut.<br />
<br />
"Baiklah, tuan kolot," Dean meletakkan kembali komputer di atas meja. "Kau tahu, kadang artikel di majalah-majalah dewasa seperti <i>Busty Asian Beauties</i> ada juga yang bagus. Maksudku, yang benar-benar informatif," dia memulai.<br />
<br />
"Oh yeah," cemooh Sam, mulutnya membentuk seringai skeptis.<br />
<br />
Tak terpengaruh, Dean meneruskan, "Tempo hari, kan kita membicarakan soal kenapa aku tidak jadi bola mentega padahal katamu semua makananku kalau tidak berlemak, ya berminyak, penuh kalori dan dalam porsi besar pula. Belum lagi memasukkan faktor gaya hidup pemburu yang kurang sehat."<br />
<br />
Sam mengerutkan kening. Dia samar-samar ingat percakapan itu. "Lalu?"<br />
<br />
"Nah," Dean melambai ke arah halaman situs yang masih terbuka dengan seronoknya di komputer Sam, "kukira inilah jawabannya."<br />
<br />
Melihat Sam melirik dengan ogah-ogahan ke layar komputernya, Dean menyerocos, "Begini, ada seorang model dan aktris dari New York City, namanya Kerry McCloskey. Lihat, tuh fotonya. Hei, ke mana matamu? Jangan malu-malu. Ya, cewek seksi yang itu. Berapa menurutmu ukuran vitalnya, huh? Mau main tebak-tebakan? Kita pertaruhkan bir terakhir di kerat."<br />
<br />
Jawabannya adalah sorot mata geram Sam yang mencorong.<br />
<br />
"Kukira tidak. Oke. Kerry menulis buku yang diberi titel 'Ultimate Sex Diet'," Dean berujar.<br />
<br />
"Uh-huh."<br />
<br />
Tak mengacuhkan nada sinis adiknya, ocehan Dean jalan terus. "Ceritanya, enam bulan setelah bertunangan bobotnya turun 23 pon gara-gara sering bergulat di ranjang dengan tunangan tercinta," Dean mendesah, "pria beruntung. Si Kerry ini juga bilang bahwa dia merasa lebih bahagia karena seks bikin suasana hati jadi bagus. Kian banyak beraktivitas seksual, endorfin, itu zat kimia yang menimbulkan perasaan senang, makin banyak dilepaskan. Kedengarannya berguna untukmu, kan."<br />
<br />
"Apa..."<br />
<br />
Dean memotong. "Nah, pendapat Kerry bahwa seks adalah bentuk latihan fisik yang baik diamini oleh..." Dean membaca nama yang tertera dalam artikel itu, "Laura Berman, PhD, LCSW, dari Feinberg School of Medicine of Northwestern University, Chicago. Tuh, pendapat seorang doktor untuk memuaskan hasrat pedantikmu. Menurut Laura, seks meningkatkan detak jantung, meskipun yang dilakukan aktivitas seksual yang standar alias tidak neko-neko. Dan coba dengar bagian bagusnya, seks dengan melakukan variasi posisi dan aktif bergerak adalah olahraga yang sangat ampuh. Aku tidak bisa lebih setuju tentang itu."<br />
<br />
Sampai di sini Dean terlihat sumringah dan Sam mau tak mau tersenyum geli melihatnya. "Teruskan."<br />
<br />
"Seks merupakan aktivitas kardiovaskular yang bagus. Itu artinya seperti senam jantung, kan? Seks juga punya banyak manfaat bagi kesehatan." Dean memindai baris-baris di layar dengan cepat. "Riset menunjukkan bahwa pria yang mencapai klimaks dua kali atau lebih seminggu hidup lebih lama."<br />
<br />
"Benarkah?"<br />
<br />
"Kau harus tanya pada orang-orang di Cardiff University... di Wales sana," sahut Dean. Seakan tadi tak diinterupsi, dia melanjutkan, "Menurut artikel ini, bercinta sekali atau dua kali seminggu memperkuat daya tahan tubuh. Nah, kita bisa menghemat biaya rumah sakit dan jatah asuransi. Lalu, seks menurunkan resikonya kanker payudara pada pria. Yang benar saja," Dean menggaruk kepala, mengirim tatapan tak percaya pada adiknya.<br />
<br />
"Itu bisa terjadi, kau tahu, meski jarang," Sam menimpali.<br />
<br />
Dean mengernyit, buru-buru mengusir imaji kanker payudara pria dari otaknya. Perhatiannya kembali pada artikel yang cukup panjang itu. <br />
<br />
"Oke. Terserah. Di sini disebutkan, studi pada pria-pria gaek menunjukkan mereka yang punya kehidupan seks lebih heboh terlihat lebih muda. Berarti tua-tua juga sanggup memikat cewek muda, prospek yang menyenangkan." Mimik Dean mulai menunjukkan tanda-tanda berkhayal ke Timbuktu dan Sam membuyarkan itu dengan menumbuk bahunya.<br />
<br />
Memangnya kita akan hidup selama itu, Sam bertanya dalam hati.<br />
<br />
"Kau tahu, rata-rata kalori yang dibakar dengan berhubungan seksual antara 150-250 kalori per setengah jam. Itu hebat, bukan?" Jemari Dean menulis angka-angka di udara, mengkalkukasi sesuatu yang Sam tidak ingin tahu apa. "Oh, dan direkomendasikan berhubungan seksual tiga sampai lima kali seminggu, waktunya terserah kita. Saran terbaik yang pernah kudengar. Kau tahu pepatah 'kalau punya harus digunakan'?"<br />
<br />
"Whoa," cuma itu komentar Sam.<br />
<br />
"Satu lagi," Dean menyeringai badung, "seks itu satu-satunya bentuk olahraga yang tidak akan membosankan."<br />
<br />
Sam mendengus. "Ada benarnya juga, sih kalau dipandang dari segi itu," akunya.<br />
<br />
"Tentu saja. Kita harus simpan artikel ini," Dean melakukan itu di bawah tatapan adiknya yang bertekad akan segera menghapusnya secepat dia bisa.<br />
<br />
"Kenapa aku punya firasat bahwa kamu akan menjadikan ini sebagai justifikasi atas segala aktivitas ekstrakurikulermu dengan cewek-cewek itu?"<br />
<br />
"Hm, malah mungkin perlu lebih digiatkan," seringai Dean mengembang. "Kamu baca sendiri, mengingat manfaatnya yang begitu bagus untuk kesehatan dan semua itu." <br />
<br />
Sam meringis mendengarnya. Namun, kalau tidak begitu bukan Dean Winchester namanya, batinnya.<br />
<br />
"Dan kau tahu," kata Dean, "energi itu tidak dapat diciptakan dan tak bisa pula dimusnahkan. Energi cuma dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain."<br />
<br />
Sam agak kagum mendengar kakaknya menyitir hukum kekekalan energi, tapi kalau diingat-ingat, Dean memang selalu dapat nilai bagus di sekolah untuk pelajaran sains.<br />
<br />
"Aku terkesan," cetus Sam. "Tapi apa maksudnya?"<br />
<br />
"Nah, aku pernah menemukan artikel yang menyebutkan bahwa energi yang dihasilkan orang yang berhubungan seksual cukup besar untuk menghidupkan beberapa peralatan elektronik," terang Dean, mukanya membentuk raut yang lazim mendahului letupan ide-ide sablengnya. "Coba bayangkan kalau..." <br />
<br />
"Jangan katakan," cegah Sam.<br />
<br />
"...bisa dibikin pembangkit listrik tenaga seks." Ajaib, tapi Dean terlihat bangga dengan itu dan sama sekali tak meniatkannya sebagai guyon.<br />
<br />
Sam menepuk jidatnya, tak tahu harus tertawa atau tercengang.<br />
<br />
"Cuma kamu, Dean," dia menggumam. "Cuma kamu."<br />
<br />
"Jadi, Dik," Dean pasang roman konspiratif yang otomatis membuat Sam merasa dingin seperti kalau sedang berada di tempat berhantu.<br />
<br />
"Yeah?" Silabel itu keluar dari mulut Sam dengan nada waspada siaga satu.<br />
<br />
"Tinggalkan semua riset itu dan ayo tetirah ke bar," Dean mengedipkan mata. "Kita perlu mencarikanmu cewek."<br />
<br />
~*~<br />
<br />
SELESAIOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-19913292010692927762010-02-14T10:35:00.003+07:002010-02-26T19:38:05.530+07:00Fic: The Best Damn Thing (Chapter 1/?)Summary : "Bagaimana bila seorang hunter kesayangan kita benar - benar memiliki seorang dibawah umur? Mengacau? Merepotkan? Atau.... "Rating : K+ / T<br />
Genre : Multigenre ( drama, humor, action, supernatural )<br />
Disclaimer : The sad news, I'm not Supernatural owner. <br />
<br />
A/N : <br />
1. Ide cerita diambil dari film 'The Game Plan' tapi aku revisi, perbaiki, dan aku sesuaikan dan aku buat versi aku sendiri dengan tema lain yang paling aku suka : Supernatural.<br />
2. Ide kedua aku dapat pas liat Supernatural dan berkhayal sendiri, gimana jadinya bila seorang hunter memiliki seorang anak di bawah umur. <br />
3. Maaf kalo sampe detik ini masih banyak typo / kesalahan pengetikan dan juga kesalahan imbuhan kalimat. *Termasuk pe-lebay-an kalimat yang tidak sesuai logika. Sebenarnya aku cuma ingin memakai Majas Personifikasi sama kayak buat puisi gitu bahasanya. hahahahaha * <br />
4. Ini adalah Fanfiction Supernatural Multi-Chapter saya yang pertama.<br />
5. Kalau misalnya cocok saya akan menggunakan judul2 lagunya Avril sebagai judul Chapternya. Huahahahahha... <br />
<br />
=======================================<br />
<br />
* Chapter I - How Does It Feel<br />
<br />
Perlahan tapi pasti Sam memasukkan satu demi satu makaroni ke dalam panci. Kadang, terdengar bunyi makaroni yang tercebur keras ke dalam air. Pagi ini, Sam mendapat jatah untuk memasak makanan mereka. Mereka adalah, dirinya sendiri, dan juga para cacing - cacing kecil di perut kakaknya, Dean, yang tidak pernah berhenti makan. Hari ini Sam memilih membuatkan Sup Makaroni Ayam. Dengan memasukkan makaroni - makaroni kecil dan kering ke dalam panci berisi air yang telah dipanaskan. <br />
Beberapa kali adukan, hingga air mengental dan makaroni melembek (tidak sekering awalnya) dan juga irisan daging ayam, Sup Makaroni Ayam siap di sajikan.<br />
<br />
Sam meletakkan panci ke atas meja dengan sebuah alas piring di bawahnya. Asap panas masih mengepul dari atas permukaan panci. Sam mengaduk sup kental tersebut dan sesekali aroma harum dan lezat tercium ke segala penjuru ruangan. Setelah dirasanya semua telah siap, sup kental, beberapa croisant dan juga kopi yang tersedia di atas meja, Sam berjalan menuju letak kamar Dean. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kepala Dean masih terbenam di bawah bantalnya dan selimut afghan tebal tersebut. Sam sebernarnya memang tidak pernah tega membangunkan Dean. Kenapa? Karena Dean selalu tertidur layaknya anak kecil. Matanya terpejam lembut, tanda dia memang sedang tertidur pulas. Belum lagi, bulu mata Dean yang lentik. Juga dengkur lembutnya saat tidur. Sejenak Sam berpikir, bagaimana bisa dia tidur seperti kakaknya, bila dia menjadi Dean? Well, Sam selalu berpikir, bagaimana Dean bisa menghadapi ini semua dengan perasaan seperti biasa saja. <br />
<br />
Sam sadar, yang mereka hadapi kali ini bukan sembarangan kasus. Bukan kasus yang hanya dalam beberapa hari / minggu saja dapat terpecahkan. Kasus kali ini, bisa membuat keputusan mutlak bagi manusia lain. Mereka harus dihadapkan pada semua kenyataan dan fakta bahwa : This is the dead end. Semua kenyataan dan fakta bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi Apocalypse, akhir zaman, akhir dunia, akhir dari segala kehidupan. <br />
<br />
Tapi sempat Sam berpikir, jauh dari dalam dirinya, dia ingin sekali menyerukan hal ini kepada semuanya, "Mengapa semua tanggung jawab ini diserahkan pada kita?" <br />
<br />
Tidak salah memang, semua keputusan tentang Apocalypse memang ada di tangan dirinya dan juga Dean. Dimana dirinya diharuskan berkata 'ya' pada Lucifer, dan kakaknya, Dean juga diharuskan berkata 'ya' pada sang Archangel, Michael. Tapi bila dirinya dan Dean berkata demikian, Apocalypse akan benar terjadi, dan sangat hebat kejadiannya. <br />
<br />
Disitulah poin dari semua ini, Sam merasa ingin sekali menjadi kakaknya, yang memang bisa terlihat lebih tegar dari makhluk ciptaanNya. Sam tahu betul, sebenarnya, dibalik semua ketegaran Dean, kakaknya itu masih memiliki sisi kekanakannya. Takut akan Apocalypse, takut akan mati, dan juga neraka, perasaan sedih, kecewa akan kematian kedua orang tuanya, dan juga tentunya, rasa kesal akan Sam. Dirinya telah tidak percaya pada Ruby, daripada kakaknya sendiri, yang malah membuat dirinya merusak seal ke 66 dan membuka gerbang dan jalan satu - satunya Lucifer keluar dan membawa dunia lebih cepat pada Apocalypse.<br />
<br />
Di sisi itulah, Sam benar - benar ingin sekali menjadi diri kakaknya. Bisa menyembunyikan semua kegalauan hatinya. Dean terlihat sangat kuat, hampir tanpa khawatir yang tampak, hanya ketegaran, menghadapi semua. Seperti menjelang kematiannya sendiri di bawah gigitan hellhounds, anjing neraka. Atau menghadapi nightmare nya sendiri akan pengalaman hidupnya beberapa bulan di tempat terbawah, neraka. Atau, saat Dean sangat tegar dan mengatakan, "Itu bukan salahmu, Sam"<br />
tiap kali Sam menyalahkan diri akan Apocalypse.<br />
<br />
Nyatanya, Dean masih saja bisa ber-akting biasa saja, tidur dengan pulas, makan dengan lahap, menikmati dan menyanyikan tiap bait lagu Rock kesukaannya, bercanda dengan dirinya dan juga Cas, malaikat yang sangat setia pada Dean. <br />
Sam terkadang heran, apa arti semua ini bagi Dean? Bagaimana dia bisa melewati hari dengan santai, dimana setiap senja malam berganti dengan matahari pagi, berarti berkurangnya jatah hidup manusia di Bumi ini dan menghantarkan manusia ke depan pintu gerbang Apocalypse. <br />
<br />
Sam masih melamun dalam dirinya, dengan semua teori - teori nya dan jutaan pertanyaan logis lainnya dalam otaknya, saat Dean tiba - tiba saja bergerak dari tidur pulasnya mirip anak kecil. Namun, saat Dean benar - benar membuka matanya dan untuk pertama kalinya di hari ini, menatap langit - langit kamar, Sam masih saja menatap Dean yang sebenarnya sedang melamun.<br />
<br />
"Dude, jangan menatapku seperti itu, please. Lihat, kau membuatku berkeringat." kata Dean sambil memberikan tinjuan kecil di lengan Sam, dan berakhirlah sudah semua lamunan Sam.<br />
<br />
"Erh, aku tidak. Aku hanya berpikir bagaimana kau bisa tidur seperti seekor babi." balas Sam. Dia sama sekali tidak ingin Dean tahu kalau dirinya menyimpan sejuta pemikiran yang justru akan membuat Dean semakin terpuruk memikirkannya. <br />
<br />
Dean menggunakan hidungnya pertama kali untuk mencium aroma lezat sesuatu yang sudah dinanti oleh cacing dalam perutnya.<br />
<br />
"Ow, aku membuat Sup Makaroni Ayam. Aku tunggu di meja makan." kata Sam sadar saat melihat hidung Dean yang mengendus bau - bauan masakannya.<br />
<br />
"Baiklah. Aku gosok gigi dulu. Aku harap kau tidak lupa pie - nya." kata Dean dan menatap Sam. Kemudian Sam hanya mengernyitkan dahinya, menatap Dean dengan wajah puppy eyes nya.<br />
<br />
"Hey, kau kan sudah janji padaku. Mana pie ku?"<br />
<br />
"Maaf. Besok saja aku belikan. Janji." kata Sam pada Dean lalu meninggalkan Dean yang berjalan ke arah kamar mandi. <br />
<br />
==============================<br />
Dean keluar dari kamarnya, saat Sam baru saja meletakkan mangkuk sup di depan piring. <br />
"Keburu dingin."<br />
<br />
Dean baru saja akan duduk di kursinya, namun bel pintu sudah meraung. Dean melirik jam tangannya dengan wajah sebal. <br />
Ini baru saja pukul sepuluh siang, siapa yang datang? Bobby? Tidak mungkin, mana mungkin Bobby yang dengan kursi rodanya bisa menekan bel pintu setinggi itu. Atau Cas? Malaikat pribadinya? Dean memutar bola matanya, bila Cas menekan bel pintu sebelum masuk, dia berjanji akan ikut naik pesawat ke mana pun Sam mau. Tentu saja, mana mungkin Cas! Cas biasanya selalu datang dan pergi tanpa suara. Mana mungkin kali ini Cas bersopan dengan menekan bel pintu. <br />
Dean berjalan membuka pintu, setelah Sam memberi isyarat bahwa Dean yang membuka pintu dan Sam akan mencuri dengar dari ruang makan saja. <br />
Dean membuka pintu dari motel yang telah di sewanya itu. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
--------- tunggu chapter berikutnya ya.. ---------<br />
=stephElvCWZ=RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-50826803665612144662010-02-14T07:50:00.001+07:002010-02-14T07:52:02.618+07:00Fic: MementoAuthor: Oryn<br />
Rating: M<br />
Genre: Drama<br />
Pairing: Dean/Layla<br />
Chapters: 1. Words: 2.413.<br />
Warning: this fic contains sexual imagery, it's not suitable for minors. Dengan mempertimbangkan resikonya, anak di bawah umur sebaiknya tidak membaca ini.<br />
Disclaimer: how many times do I have to declare that I don't own Supernatural and its (mostly) wonderful characters? They, sigh, belong to WB and Kripke (who seems to abuse them lately).<br />
Summary: Dean berkata, "Selamat tinggal." Layla mengoreksi, "Sampai jumpa, Dean."<br />
Translation: Dean said, "Goodbye." Layla corrected him, "See you, Dean."<br />
Author's Note: eksperimen yang ditulis untuk memenuhi challenge Valentine tidak resmi di forum Lautan Indonesia. Semacam coda untuk episode "Faith" yang sampai sekarang masih jadi favoritku. Oh, dan sebagai apresiasi untuk karakter Layla yang aku suka (mudah-mudahan tidak OOC). Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Layla Rourke baru beberapa langkah berjalan dari pintu kamar motel yang diinapi Dean ketika ada sebuah suara berat memanggilnya.<br />
<br />
"Layla."<br />
<br />
Gadis itu berbalik, mendapati Dean berdiri di ambang pintu yang terbuka.<br />
<br />
"Dean."<br />
<a name='more'></a><br />
Hanya butuh tiga langkah panjang bagi Dean untuk menutup jarak di antara mereka. Dalam sekejap dia telah berada tepat di hadapan Layla, mata hazel-hijaunya berkilat oleh gemuruh emosi yang tak teruraikan, menatap lurus kepada Layla. Sesaat kemudian Layla merasakan bibir pemuda itu turun menyentuh bibirnya. Hangat, lembut, manis seperti kue baru keluar dari oven. Dan Layla membiarkan bibirnya dijajah untuk beberapa saat sebelum dia ganti melumat.<br />
<br />
Kebutuhan untuk bernafaslah yang membuat mereka melepaskan kecup, tapi itu pun singkat saja. Bibir mereka tetap lekat bertaut, tangan-tangan mereka tak kalah sibuk merambah ketika Dean berjalan mundur dan Layla maju bak pasangan dansa yang undur diri dari arena panggung, beringsut kembali ke kamar yang baru saja mereka tinggalkan.<br />
<br />
Pintu tertutup di belakang punggung Layla. Bunyi ceklik lirih terdengar bersamaan dengan "plop" pelan ketika Dean menarik dirinya buat merangkum wajah Layla dengan kedua tangannya yang kapalan, matanya menyusuri raut jelita gadis itu seperti baru kali ini benar-benar melihatnya. Sebelah tangan Layla bergerak naik, membelai rambut Dean, turun ke pelipisnya dengan sikap yang familiar.<br />
<br />
"Aku menginginkanmu," Dean berkata, suaranya serak, antara nafsu, sendu dan entah apa lagi.<br />
<br />
Layla mengangguk, belum sepenuhnya mempercayai kemantapan vokalnya.<br />
<br />
Dean tersenyum laksana pelaut menemukan cahaya suar di tengah kabut dan dia menunduk untuk mencium kening Layla, sementara gadis itu merengkuhnya rapat.<br />
<br />
Tidak ada ruang untuk pemikiran lain, tidak sempat, tidak pada saat itu. Hanya Dean, Layla dan sesuatu yang indah di antara mereka, berkembang, menggebu, menghanyutkan. Momen magis menakjubkan yang terlalu sayang untuk dilewatkan tanpa makna. Tidak akan ada lagi yang seperti ini.<br />
<br />
"Miliki aku," Layla berujar tepat di telinga Dean, terdengar sebagai pernyataan apa adanya, bukan sebuah permohonan tanpa daya.<br />
<br />
Memilikinya, itulah yang Dean perbuat selanjutnya. Tanpa melepaskan tubuh hangat Layla, dia membimbing gadis itu ke tempat tidur, menyingkirkan barang-barang yang sedianya akan dipak sebelum merebahkan Layla dengan amat hati-hati ke atas seprai kuning kusam.<br />
<br />
Senyum tipis tergurat di bibir Layla. Dia mengamati Dean yang bertumpu pada sikunya di atas tubuhnya, tapi tanpa menimpakan bobotnya sama sekali pada Layla. Menindih gadis itu, tapi semu.<br />
<br />
"Aku bukan gelas sampanye yang pecah bila digenggam kelewat erat, kau tahu," Layla berujar. Pemberitahuan? Protes?<br />
<br />
Tapi kamu mengidap kanker otak dan itu cukup untuk membikin aku ingin memujamu dengan cara paling halus yang dapat kulakukan, batin Dean.<br />
<br />
Layla menghembuskan nafas. Dean cuma sempat menyaksikan sekelebat niat di mata gadis itu sebelum tahu-tahu Layla merangkul Dean dan membalik pemuda itu menjadi berada di bawahnya.<br />
<br />
Dean masih belum pulih dari kekagetan sewaktu dia mendapati bibir Layla mendarat di wajahnya, sisi lehernya, menekan di dadanya yang masih terbalut kaus panjang. Jemari lentik gadis itu mengikuti dan dia berkelana, terus turun... dan turun...<br />
<br />
Dean benar, Layla bisa bekerja dengan cara yang misterius. Enigma yang membakar gairah kelelakiannya sekaligus menimbulkan rasa ingin melindungi yang begitu kuat.<br />
<br />
"Layla..." rintih Dean kala gadis itu menemukan titik-titik sensitif yang menyebabkan dia spontan melengkungkan tubuh, menginginkan lebih.<br />
<br />
Ya Tuhan, itu terasa nikmat.<br />
<br />
Gadis itu menjamahnya di sana. Lagi dan lagi dan Dean menelan geraman di tenggorokannya, jins yang dipakainya terasa terlampau mengekang sekarang.<br />
<br />
Layla terlihat memikat melingkupi tubuh Dean, seduktif dengan cara yang belum pernah dijumpai pemuda itu sebelumnya dan tanpa peringatan Dean meringkus gadis itu ke dalam jangkauan lengannya, berguling sampai Layla terhimpit di antara perawakan Dean yang kekar dan kasur per yang berderit.<br />
<br />
Dean tidak dapat membaca sorot selain hasrat dan penyerahan diri seutuhnya yang membara di mata Layla. Barangkali itu pula yang dipantulkan oleh bola matanya sendiri. Dean tersenyum dalam ciumannya dan dia memusatkan perhatian pada sosok gemulai yang ditindasnya rapat. Dia seorang veteran dalam hal ini dan tidak butuh waktu lama baginya untuk menjadikan Layla menggelinjang oleh sentuhan-sentuhannya yang selintas terkesan acak, tapi sesungguhnya terarah.<br />
<br />
"Dean..." Silabel itu dihembuskan menyertai nafas berat Layla, demikian dekat di telinga Dean lantaran ketika itu dia sibuk memamah wilayah pertemuan dagu dengan leher Layla.<br />
<br />
Nama yang sama berulang kali meluncur dari bibir Layla setiap kali si empunya nama berhasil menggetarkan raga perempuannya, meluruhkannya, memantik segenap keinginannya untuk selekasnya berlari ke titik zenit. Nama yang setiap terucap membuat Dean ingin mendengarnya sekali lagi. Dean tidak mampu mengingat berapa perempuan yang menyebut namanya di tengah bersebadan, tapi dia ingin mengukir yang satu ini ke memorinya.<br />
<br />
Mereka bercumbu dan pakaian-pakaian mereka satu demi satu melayang lepas. Helai-helai baju terserak begitu saja di segenap penjuru, layaknya dedaunan yang rontok tertiup angin.<br />
<br />
Yang terakhir dilucuti adalah <i>boxer</i> Dean dan setelah si celana lolos dari kaki pemuda itu, Layla berhadapan dengan rupa utuh seorang pria yang menjulang di depannya, polos seperti waktu dia dilahirkan. Layla memindai setiap inci tubuh Dean yang terbuka dengan mata sarat kekaguman. Fisik yang memukau, gagah, dengan kulit matang kecoklatan dan otot yang bergelombang di baliknya. Postur yang bikin lawan berpikir dua kali dalam perkelahian, tapi menimbulkan rasa aman bila ada dalam pelukannya.<br />
<br />
"Kau begitu indah," ungkap Layla lirih, merasa setengah bermimpi.<br />
<br />
Dean sendiri balas mengamati figur Layla yang terbaring ikhlas tanpa busana di atas ranjang. Wajah cantiknya yang memerah penuh antisipasi, dibingkai dengan tepat oleh geraian rambut pirangnya. Tubuh ramping itu, dengan lekuk-lekuk feminin yang dibalut kulit putih bak pualam, menjanjikan kenikmatan, mengundang, terhampar hanya untuk Dean seorang. Kehalusan perempuan yang menyembunyikan ketabahan dan kekuatan tekad di baliknya.<br />
<br />
Betapa mulus, nilai Dean. Nyaris sempurna.<br />
<br />
Dean pun menyanggah, "Kau lebih indah."<br />
<br />
Pipi Layla kian merona mendengarnya, yang menjadikannya makin memikat. <br />
<br />
Pengetahuan bahwa sosok istimewa itu akan jadi miliknya meletikkan bungah di hati Dean. Tak hendak menyia-nyiakan waktu dan Layla, Dean kembali menyerbu gadis itu dengan bibirnya yang nakal, lidahnya, jari-jarinya yang lapar, sesekali geliginya. Layla, puji Tuhan, meladeninya tanpa ragu. Mengganjarnya dengan mesra, malah. <br />
<br />
Semua bereskalasi dari sana.<br />
<br />
Mereka bercinta, berasyik-masyuk, berkomunikasi tanpa kata. Hanya tubuh yang berbicara dan itu cukup.<br />
<br />
Ada gerung menuntut ketika kulit telanjang mereka bertemu, hangat dan melekat. Dua tubuh berkelindan, bergulat, berduet menciptakan sensasi. Terdengar potongan-potongan rintihan yang hampir melodik, yang segera disumbat oleh bibir pasangannya. Ada titik-titik keringat yang timbul dari pori-pori bagai embun di permukaan daun. Merebak desahan memburu, selaras dengan nafas yang terengah. Ada jemari yang saling mencengkeram erat tubuh pasangannya seolah itu adalah tunggul kayu yang dapat menyelamatkan dari terbanting ke dasar jurang.<br />
<br />
Ada kebutuhan yang memaksa Dean dan Layla untuk saling menarik mendekat, terhubung dengan intim. Muncul peperangan memperebutkan dominasi di mana hasil akhirnya pasti menang-menang. Bergolak gelombang panas yang menghanyutkan kejantanan Dean dan kewanitaan Layla dalam serentetan gerakan ritmik, tarian paling arkaik dalam peradaban manusia, instingtif tanpa perlu dipelajari.<br />
<br />
Berdua mereka bergandeng tangan, merayap, berjalan, berderap, lalu berlari kencang menuju klimaks.<br />
<br />
Sampai akhirnya, puncak itu tercapai ketika Dean memberi dan Layla menerima. Kenikmatan liar meledak di sekujur tubuh mereka, tanpa ampun. Dean melenguhkan nama Layla berkali-kali seakan itu adalah mantra dan Layla melambung terlalu tinggi untuk dapat melantunkan suara selain seruan nikmat.<br />
<br />
Titik kulminasi yang mereka raih berdua hanya beberapa detik lamanya, tetapi begitu fantastis. Memuaskan. Mengobati. Mengguncang. Mendalam. Bergema sampai jauh.<br />
<br />
Mereka mendarat perlahan-lahan seperti penerjung payung. Bertukar senyum, pandang dan bisik-bisik hangat. Dean mendekap Layla sesudahnya, seakan masih belum rela benar-benar melepaskan gadis itu. Dia melingkarkan lengan mengitari bahu Layla, berakhir di rambutnya yang pirang. Layla meletakkan kepalanya di antara bantal dan dada Dean, degup jantung pemuda itu musik di telinganya, aroma tubuh pemuda itu di udara yang dihirupnya.<br />
<br />
Untuk beberapa saat, yang terdengar di kamar motel itu hanya gemersik seprai yang kaku dikanji, tarikan dan helaan nafas yang kian teratur dan derik pelan per kasur.<br />
<br />
Sampai Dean yang pikiran koherennya mulai kembali ke kepalanya ingat akan situasi nestapa gadis yang dipeluknya dan seuntai kalimat terceplos begitu saja.<br />
<br />
"Kamu tidak marah?"<br />
<br />
Kepala Layla menggesek Dean kala gadis itu menengadah untuk menatap lurus Dean.<br />
<br />
"Marah?" balas Layla. "Kenapa aku harus marah?"<br />
<br />
Dean menelan ludah sebelum memutuskan untuk mengakui satu beban yang menggayuti benaknya. "Karena aku yang merampas kesempatanmu untuk disembuhkan."<br />
<br />
Peluang langka yang seharusnya jadi milikmu. Hidupmu yang bisa lebih panjang dari beberapa bulan saja.<br />
<br />
Layla mengusapkan jarinya ke kulit Dean yang masih lembab, mungkin maksudnya menenangkan. Dia berkata lembut, "Kamu tidak mengambilnya dariku. Itu takdirmu. Aku tidak marah, Dean." Layla tercenung sesaat lalu membetulkan dengan jujur, "Tidak lagi." Dia mencoba meyakinkan Dean, "Sungguh."<br />
<br />
Bagaimana kau bisa tidak marah, batin Dean. Berpikir agak lama, jangan-jangan Dean-lah yang menyimpan kejengkelan pada dirinya sendiri dan memproyeksikannya pada Layla.<br />
<br />
"Tidak pernah merasa ini tak adil?" Sudut pandang yang berbeda, tapi intinya sama belaka.<br />
<br />
"Memangnya siapa yang berhak mengatakan bahwa sesuatu itu adil atau tidak?" tukas Layla, terang-terangan, kalem.<br />
<br />
Itu pertanyaan yang bagus, Dean mengakui. Jenis yang sulit untuk dijawab, atau enggan dijawab karena ada ego manusia yang merintangi.<br />
<br />
Dean menggumamkan, "Kau... aku pikir kamu tidak layak mendapatkan hal yang seperti ini."<br />
<br />
Kamu begitu percaya pada Tuhan, tapi lihat apa yang Dia lakukan padamu. Coba, kalau Tuhan ada, mengapa Dia membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada orang baik? Orang sebaik kau.<br />
<br />
Layla tersenyum lembut sebelum mengutarakan, "Aku sombong jika bersikeras bahwa aku tidak layak mengalami ini semua. Justru aku berpikir, baguslah Tuhan memberikan aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku melalui cobaan ini. Sakitku adalah cara Tuhan mengampuni aku."<br />
<br />
Layla memandangi Dean lama, lekat-lekat. Di matanya ada sesuatu yang barangkali bisa dinamakan penerimaan. Bukan sekedar menyerah, tapi kesabaran yang berlandaskan iman.<br />
<br />
"Kau tahu, aku berpikir waktu tenggatku yang sudah ditetapkan ini ada baiknya juga. Aku jadi lebih menghargai hidup. Aku bersyukur untuk setiap tarikan nafas, sinar matahari di atas kepalaku, semua yang masih bisa kulihat, kurasakan, kusentuh. Semua hal kecil yang mungkin tak berarti, dianggap remeh, aku menikmati mereka semua, mereguknya seperti orang kehausan," urai Layla. Dia meraih rahang Dean dan menyusurinya dengan tangannya. "Aku menikmatimu."<br />
<br />
Aku juga menikmatimu, seru Dean dalam hati. Tapi mengapa itu begitu pahit-manis?<br />
<br />
"Kamu... tidak takut?"<br />
<br />
Setiap manusia berdarah merah di satu titik dalam hidupnya pasti pernah mengalami yang namanya takut menghadapi kematian, bukan?<br />
<br />
"Aku sudah melewati takut," Layla berkata, tandas.<br />
<br />
"Tetap saja..."<br />
<br />
"Sudah cukup bagiku," sela Layla. "Aku tahu aku telah menjalani hidupku dengan sebaik yang aku bisa. Aku dicintai dan aku mencintai. Apa lagi yang bisa kuminta?"<br />
<br />
Itu retorika, tetapi Dean sungguh tergoda untuk menjawab.<br />
<br />
Entah bagaimana, Layla seakan dapat membaca kehendaknya dan dia menggelengkan kepala.<br />
<br />
"Cukup."<br />
<br />
Dia minta Dean berhenti membelanya, berhenti memaki Tuhannya, berhenti mendebat nasib dan Dean tak dapat berbuat selain menurut, macam pengacara seorang terdakwa yang telah mengaku bersalah.<br />
<br />
Dean pernah mendengar dalam kepasrahan sejatinya ada kekuatan, tapi dia tak mempercayai itu sampai dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kini.<br />
<br />
"Kau mengagumkan, kau tahu itu?"<br />
<br />
Dean tidak sering memuji orang, tapi setiap melakukannya dia bersungguh-sungguh dan Layla memahami ketulusannya. Gadis itu melempar senyum berterima kasih, merapatkan diri kepada Dean dan menghadiahi pemuda itu dengan sebuah ciuman panjang nan lembut. Dean dan Layla tetap berbaring bersisian setelahnya, sesekali bertukar belaian halus dengan pikiran yang sama-sama mengembara tanpa sadar bahwa mereka sejatinya saling memikirkan.<br />
<br />
Keheningan meninabobokan yang nyaman itu dipecahkan oleh gumam pelan Layla setelah dia menengok ke angka berapa jarum arlojinya menunjuk.<br />
<br />
"Aku harus pergi. Ibuku pasti mencariku."<br />
<br />
Jadi kita usai sampai di sini, bagaimana?<br />
<br />
"Yeah," Dean merespons, mengelus rambut Layla sekali lagi, agak enggan menarik tangannya ketika jemarinya telah tiba di ujung helai-helai pirang itu.<br />
<br />
Layla menyarangkan kecupan ringan di dada Dean kemudian dia beranjak bangkit, mengumpulkan pakaiannya yang tercerai-berai dan membalutkan semuanya kembali ke tubuhnya.<br />
<br />
"Omong-omong, Sam pergi cukup lama untuk seseorang yang membeli soda," seloroh Layla, melunakkan perpisahan di depan mata.<br />
<br />
Dean yang tengah mencomot celana jinsnya mendongak. "Dia beli ke pabriknya sekalian, barangkali," sahutnya, mengikuti teladan Layla.<br />
<br />
Layla menautkan kancing terakhir jaketnya, dia berkata, "Sampaikan salamku padanya ya."<br />
<br />
"Pasti." <br />
<br />
Layla menyelipkan tangan ke saku jaketnya, meraba bagian dalamnya dan menarik keluar benda yang dimaksudkannya. Dia meraih tangan Dean dan menggenggamkan sesuatu kepada pemuda itu.<br />
<br />
Dean membuka kepalan tangannya untuk menilik apa yang diserahkan Layla padanya. Sebuah rosario dengan salib dari perak yang cemerlang dan untaian manik-manik hitam kecil yang terasa rapuh di tangan Dean yang besar.<br />
<br />
Kening Dean berkerut. Untuk apa?<br />
<br />
"Ini agar kamu senantiasa ingat untuk tetap percaya," terang Layla, seolah dia dapat mendengar pertanyaan berdentang di benak Dean.<br />
<br />
"Aku akan mengingat itu," Dean menyahuti sejurus kemudian. "Dan kamu."<br />
<br />
Seseorang yang mengingatkan dia untuk jangan putus asa mengenai kebaikan, iman dan kelapangan hati manusia.<br />
<br />
Mereka berdua berdiri berhadapan kini, berpakaian lengkap, bertukar pandang untuk menyampaikan apa yang tak dapat terungkapkan oleh kata. Mereka tidak ingin benar-benar berpisah, tapi mereka tahu itu sebuah keniscayaan. Hidup memang seperti itu.<br />
<br />
Tinggal menunggu siapa yang berani memulai mengucapkan terma final pemutus perjumpaan dan Dean-lah yang melakukannya setelah menghela nafas panjang.<br />
<br />
"Selamat tinggal," dia berujar singkat, tak merasa perlu menambahkan kata-kata pengharapan yang selamanya cuma penghiburan klise.<br />
<br />
Layla tersenyum teduh dan Dean membatin barangkali wajah malaikat itu yang seperti ini. Gadis itu mengoreksi, "Sampai jumpa, Dean."<br />
<br />
Dengan itu dan satu tatapan terakhir nan penuh arti, Layla memutar badan dan langkah-langkah anggun meluncurkannya keluar dari ruang pandang Dean.<br />
<br />
Sepeninggalnya, Dean bertanya-tanya, seperti apakah tampak dirinya di mata Layla, bagaimana gadis itu menilainya sampai bisa berpendapat bahwa Dean pantas untuk masuk surga bersamanya.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Satu tahun kemudian.<br />
<br />
Sam mengalihkan tatapan dari seantero bagasi yang baru diaduk-aduknya kepada kakaknya. "Kita kehabisan air suci," dia mengumumkan. Bukan sesuatu yang bagus mengingat dalam hitungan jam mereka berencana memerangkap satu setan menjengkelkan yang telah lama diincar.<br />
<br />
Dean merogoh ke dalam sebuah tas yang tergeletak di sisi lain bagasi. Dia keluarkan satu jerigen berisi air. "Berkati ini saja."<br />
<br />
"Ada rosario?" tanya Sam.<br />
<br />
Tanpa pikir panjang Dean menyerahkan rosario yang dulu diberikan Layla padanya, yang selama ini tersimpan rapi di saku dalam jaketnya, dekat dengan jantungnya.<br />
<br />
Sam mengamati rosario itu dan mengenalinya. "Kamu masih menyimpan ini?"<br />
<br />
"Yeah." Dean mengedikkan bahu seakan itu bukan masalah besar. "Cepat berkati airnya. Latin selalu bikin lidahku terkilir."<br />
<br />
"Oke." Sam menerima jerigen air dan rosario itu. Dia membuka tutup jerigen untuk membenamkan sebagian rosario ke air yang ada di dalamnya, litani kalimat-kalimat bahasa Latin meluncur fasih dari mulutnya.<br />
<br />
Sementara itu Dean berdiri di samping adiknya. Matanya tertawan oleh rangkaian manik-manik rosario di tangan Sam yang berkilau redup ditimpa cahaya matahari senja. Ingatannya seketika melayang kepada sosok juwita Layla Rourke. Senyumnya yang agung, matanya yang damai, suaranya yang halus, tubuh putihnya yang lembut dan murni. Imannya yang tak tergoyahkan bagaikan karang. Perempuan yang sejuk laksana air.<br />
<br />
Kepala Dean menengadah, pandangannya jauh ke batas horizon, melampaui hamparan padang rumput yang membingkai aspal jalan. Senyum tipis tersungging di bibirnya, entah tertuju pada siapa. Dean masih belum sepenuhnya yakin apakah Tuhan itu ada, tapi dia berpikir, tak peduli apakah Tuhan ada ataupun tidak, Layla pasti telah tenang di tempat terindah sekarang. Dean tak meragukan itu. Tidak sedikit pun.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
SELESAIOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-55082334694869915312010-01-31T09:27:00.001+07:002010-02-02T20:00:21.960+07:00Fic: One Day In Your LifeAuthor : Stephanie<br />
<br />
INI ADALAH HASIL DARI KAPAN HARI YANG AKU MINTA DATA DARI KALIAN SOAL SUPERNATURAL DAN TWILIGHT.<br />
ENJOY IT.<br />
=================================================================<br />
Rating = K+<br />
<br />
Genre = Humor, Drama<br />
<br />
DISCLAIMER = NEVER OWN SUPERNATURAL. OTHER CHARACTER EXCEPT DEAN, SAM, AND CASTIEL ARE MINE. AND NEVER OWN TWILIGHT. EXCEPT TWILIGHT AND SUPERNATURAL CHARACTER, THERE ARE MINE.<br />
<br />
A/N = <br />
1. FF ini di dedikasi untuk Dean Winchester yang besok sudah mau tambah tua aja..wkwkwkw<br />
2. Juga di dedikasikan buat WinFam. Winchester Family, sebuah community di Facebook yang menyuguhkan pelatihan kemampuan berimajinasi sangat tinggi. Jujur saja, I LOVE WINFAM.. THIS IS THE PLACE FOR EVERYWHO LOVES SUPERNATURAL AND CAN USE THEIR IMAGINATION FOR IMAGINATIVE STORY.. halah, apaan toh..<br />
wkwkwkwkkw<br />
3. Maaf ya kalo jelek. Soalnya baru buat jam 4 sore ini. wkwkwkwkw. <br />
4. Maap juga kalo misalnya ending kurang seperti yang di harapkan, dan banyak cerita ngawur. Nama aja imajinasi. *niruin spongebob. Diatas kepala Steph keluar deh pelangi nya*<br />
wkwkwk<br />
<br />
PS: ini termasuk jenis crossover bukan ya????<br />
=================================================================<br />
<br />
Meski sudah jam sebelas malam, Dean masih belum saja tenggelam dalam selimutnya. Tubuhnya memang terkulai lemas, bahunya terasa berat, punggungnya terasa kaku. Dan memang sebenarnya, kelopak matanya pun sudah memaksanya untuk menyelimuti bola matanya. Namun hanya karena sebuah pikiran reality hidupnya yang memaksanya juga untuk tetap membuka mata.<br />
<br />
Sehabis memburu beberapa vampires di daerah Forks, membuat dia dan Sam kehilangan mood untuk tetap terjaga di malam hari. Lebih tepatnya, perburuan yang menjengkelkan dengan akhir buruk bahwa beberapa vampires di Forks memang telah membuat kesepakatan dengan kawanan werewolfs setempat untuk tidak berburu manusia dan memilih berburu hewan, bahkan hanya menggigit manusia akan merusak kesepakatan mereka yang berakhir pada perang dunia ketiga, perang antara werewolfs dan vampires. Si werewolfs akan mengusir si vampires agar tidak membuat tempat tinggal permanen di daerah itu, meskipun sebenarnya, si werewolfs berada di La Push yang hanya berbatas pantai saja dengan si vampires. *meskipun terdengar konyol memang, batin Dean, masa kawanan werewolf dan vampires memilih genjatan senjata dengan silsilah panjang perjalanan cinta anggotanya yang sukses membuat mengantuk. Bagi Dean werewolf harus musuh vampires, dan mereka saling membunuh.* Tapi itu membuat Dean dan Sam ingin sekali segera naik ke tempat tidur.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Namun, bagi Dean malam ini, bukanlah malam yang biasa saja. Malam ini penuh arti sebenarnya. Bagi dirinya, dan kehidupannya. Dan pikiran itu rupanya masih mengganjal dalam otaknya. Bahkan, dirinya sendiri masih berpikir, apakah hal itu membuat dia tampak kekanakan? Tapi nyatanya, pikiran ini sukses membuatnya membuka mata untuk sekian waktu.<br />
<br />
Dean menoleh ke sampingnya. Adiknya, tak lain tak bukan, Sam Winchester, atau "sammy" kecilnya, sudah meringkuk dalam selimutnya. Sam telah terlelap di balik selimut tebal nan empuk itu. Menilik ini masih di bulan Januari, dan juga merupakan curah hujan salju terbesarnya, rupanya Forks, kota berpopulasi 3120 orang itu mirip sekali dengan kota Bogor yang berada di Indonesia dengan curah hujan tertingginya, yang menyebabkan Forks begitu sangat dingin di musim salju di bulan Januari, yang merupakan bulan puncak musim salju terdingin.<br />
<br />
Sam masih asik dalam balutan selimutnya, matanya terkatup rapat, dengan kepala bertumpu di tangan kanannya. Dean pun masih menatap Sam yang terlelap bersama kaus tebal nya berwarna abu - abu itu, yang masih terlelap seperti bayi berukuran besar. Sam memang selalu terlelap dalam tidurnya, pikir Dean.<br />
<br />
Sam kecil dan Sam besar, rupanya memang tak jauh berbeda. Begitu cepat ya Sam telah bertumbuh,pikir Dean lagi. Rupanya memang, malam ini semua saraf otak Dean dipaksa untuk berpikir. Ya, Sam kecil dan Sam besar memang tidak jauh berbeda, baik selera dalam apapun, ketekunannya, serta cara tidur dan perilakunya. Mungkin yang sedikit mencolok dari perubahan Sam hanya pada tingginya. Saat Sam mencapai masa akil balig nya, Sam benar - benar mengalahi Dean dalam ukuran tinggi.<br />
<br />
Secara sadar, Dean menghitung, bahwa telah lama dia menjaga Sam semenjak dirinya berusia empat setengah tahun. Dan dia sudah setua itu untuk menjaga Sam. Apa dengan usianya yang kian bertambah dia akan selalu bisa menjaga Sam? Dari para Demon, dan dari apapun?<br />
<br />
Dean juga sadar, mempermainkan kematian tiga kali, cukup riskan untuk meninggalkan Sam. Tapi, dia tidak mau meninggalkan sammy kecilnya. Meski perbedaan usia diantara mereka yang cuma terpaut empat tahun itu, tapi tetap terlihat sangat jauh di mata Dean.<br />
<br />
***<br />
Jam di Forks sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Mata Dean belum juga terkatup. Entah efek black coffee yang terlalu banyak ia minum di sore harinya setelah dia bukan menghadapi perburuan seru dengan werewolf dan vampires yang malah berakhir dengan kisah drama romantis dan penuh konflik antara keduanya, yang mana membuat Dean stress.<br />
<br />
Dean pun sekarang sudah tidak membaringkan dirinya ke sebuah bantal di atas tempat tidur. Sekarang dia sudah duduk, kakinya merapat di lantai. Bisa dia rasakan dinginya lantai. Dean berjalan menilik jendela, volume salju memang sudah berkurang, tapi cuaca masih bisa dipastikan sedang dingin.<br />
<br />
Entah apa jadinya pada pukul dua sampai tiga pagi pikirnya. Memang, pada jam segitu, adalah jam terdingin dan suhu terminimal di seluruh Dunia. Bahkan Indonesia pun seperti itu. <br />
<br />
Dean kemudian menuju ke kulkas nya. Dimana surga makanannya. Tapi kali ini dia malah membuka sekaleng beer. Pikirannya benar - benar pelik. Menenggak susu coklat di malam hari penangkal dingin bukanlah type dirinya. Dean sekarang menatap jam. Entah baginya jam terasa cepat berlalu atau terlalu lambat berlalu.<br />
<br />
"Jam dua belas kurang lima belas menit." kata Dean kecil. Siapa yang diajak bicara tidak tahu. Lima belas menit dari sekarang hari sudah berganti, teriak Dean dalam hatinya. Itulah masalahnya dari tadi. Masalah yang selalu dianggapnya terlalu kekanak'an.<br />
<br />
Dean ingin sekali berteriak di keheningan malam. Mengapa hari ini berjalan biasa saja! Hari ini tanggal 23 Januari!! Mengapa sampai malam begini, hape-nya belum berbunyi sekalipun. Apa semua orang lupa??? BESOK, LIMA BELAS MENIT LAGI TEPATNYA, ADALAH HARI ULANG TAHUNNYA!<br />
<br />
Mengapa sampai detik ini belum ada satu ucapan ulang tahun yang muncul dalam hape-nya. Sekarang kurang sepuluh menit lagi, Dean akan segera mencapai umur 31 tahun. Meski nyata baginya, di usia akan 31 tahun itu, merengek - rengek menanti hadiah/kado ataupun ucapan selamat ulang tahun bukan sesuatu yang dewasa. Terlalu childish.<br />
<br />
Tapi, itu lain di hati kecilnya. Hati kecilnya sangat menginginkan semua itu. Semua yang tak pernah ia dapatkan semasa kecilnya. Balon - balon warna warni, hadiah untuknya yang berbalut kertas kardo nan indah, kue ulang tahun, pinata besar berisi coklat, permen, stiker, mainan kecil, manisan, dan lainnya. <br />
<br />
Tapi, bahkan Sam tertidur. Sudahkah ia menyiapkan kado ku? Sudahkah ia membuat acara surprise untukku? Atau Apakah dia membuat surprise birthday party untukku? Tapi,hari ini Sam biasa saja. Seperti kemaren, maupun bulan sebelumnya. Ya Sam itu. Bukan Sam yang menyiapkan acara ulang tahunnya dengan penuh rahasia.<br />
<br />
Dan, Castiel? Mana Angel yang bersamanya setahun belakangan? Mana Angel kesayangannya? Yang sama lucunya dengan adiknya, tetapi lebih polos dari adiknya, lebih polos dari remaja. Apakah Castiel akan datang dengan tiba - tiba seperti biasa dan datang tengah malam hanya untuk mengatakan, "Dean, selamat hari jadi." dengan wajah polosnya tentu saja? Apa Castiel dan Sam membuat surprise party untuknya? Atau? Mereka semua melupakan hari ini ULANG TAHUN DEAN, karena terlalu sibuk dengan perburuan lainnya?<br />
<br />
Dia ingin sekali, seandainya memang bisa terjadi, semua orang mengucapkan, "HAPPY BIRTHDAY, MY BELOVED DEAN." Pikiran anak kecilkah itu? Atau itu memang perwakilan perasaannya sekarang. Bahkan dia sudah memimpikan hari ini hari special, hari penuh kejutan. Dia bahkan membayangkan, tepat pukul dua belas malam, akan ada kembang api besar, dimana dia di lingkari gadis - gadis sexy membawakannya kado, dan menyuapinya makanan lezat. Serta, Sam dan Castiel yang diajaknya berpesta ria, dan mengajari Castiel sekali lagi untuk menikmati wanita. Dan Dean pun tertawa terbahak - bahak kemudian, mengingat betapa konyolnya harapannya itu.<br />
<br />
Tapi itu kenyataan. Sejak kecil jarang sekali Dean merasakan acara ulang tahunnya. Mungkin sedekade sekali. Entah. Bahkan sweet seventeen yang seharusnya meriah dan menyenangkan harus ia nikmati sendiri. Ibu nya telah lama tiada. John, ayahnya tetap sibuk berburu sesuatu, sesuatu yang membunuh Ibunya. Sam? Dia sibuk dengan SMP barunya. Dean? Dean terpaksa menikmati sweet seventeennya di sebuah bar, dengan segelas cocktail, dan beberapa gelas beer, di temani gadis malam dari Night Club.<br />
<br />
***<br />
"Bagus, sekarang jam dua belas tepat!" umpat Dean. Kenapa? Karena tidak ada satupun yang berubah sejak semenit lalu. Semua hening, terlelap dalam gelap dan dinginnya malam.<br />
<br />
Bahkan kesunyian hanya pecah karena sebuah bunyi dentang dari hapenya saja. Bukan tanda peringatan ada SMS, malah karena alarm bodoh yang dia buat sejak sebulan lalu. 00:00 am. MY BIRTHDAY.<br />
<br />
Tidak lama, sebuah ketukan pintu membuatnya nyaris terjatuh dari kursinya, dan kehilangan keseimbangannya. <br />
<br />
Dean, membuka pintu kayu itu.<br />
<br />
Hening.<br />
<br />
Jantung Dean berdebar, jangan - jangan demon. Tapi segera pernyataan itu disanggahnya, memangnya Demon sekarang sudah beretika, sehingga mengetuk pintu sebelum masuk?<br />
<br />
Dan pintu pun terbuka lebar.<br />
<br />
"HAPPY BIRTHDAY DEAN!!!!" belasan orang asing yang tak pernah di kenal Dean sebelumnya sudah berdiri, tepat di depan matanya. Mereka semua, berpaiakan tidur, pajamas atau piyama tepatnya. Bisa di tengok dari motif pakaian yang mereka kenakan, ada yang bermotif panda, ada yang bermotif beruang teddy, kucing, ya semua tipe piyama yang beredar di Indonesia.<br />
<br />
"SI...SII...SIAPA KALIAN?" Dean bertanya kaget. <br />
<br />
Yang ditanya malah melongo. Beberapa malah ngiler melihat keseksian dan ke-hot-an tubuh Dean Winchester yang mengenakan kaus berwana hijau dan celana training hitam itu. Dimana, semua percaya, dibalik kausnya, terdapat dada bidang, serta perut six pack nya. Dan semua yang ditanya menunjukkan muka mupeng-nya.<br />
<br />
"Well, mereka.... mereka adalah.. fans - fans mu." kata Castiel tiba - tiba. Dia dengan susah payah keluar dari gerombolan orang - orang itu, dengan pakaian terkoyak tidak jelas.<br />
<br />
"Wow, Cas, apa yang terjadi padamu?"<br />
<br />
"Begini, ini bermula dari tadi pagi, secara terkejut, aku bisa mendengarkan doa - doa mereka. Padahal mereka bertempat jauh sekali dari Forks. Kau tahu, tiba - tiba saja, seperti mendapat kekuatan dari Tuhan, aku bisa ke suatu tempat, hijau, seperti padang, dengan suatu kebetulan, aku melihat para gadis ini berdoa, memohon kedatanganku." kata Castiel.<br />
<br />
"Wow, seperti di film Bruce Almighty." lalu Dean tertawa terbahak. Castiel hanya memiringkan kepalanya, menunjukkan kepolosannya. Dan Dean terpakasa berhenti tertawa, kemudian, berkata, "lanjutkan Cas."<br />
<br />
"Baiklah. Kemudian, mata mereka terbuka, mereka semua ini terkumpul di padang yang sama denganku. Begitu mata mereka terbuka mereka menyerbuku seperti melihat koin emas. Entahlah mengapa, aku akhirnya menenangkan mereka dengan berkata bahwa aku akan mengabulkan satu permintaan dari mereka."<br />
<br />
"Dan permintaan itu adalah?"<br />
<br />
"Mereka minta di teleportasikan ke sini. Ke tempat mu berada. Mereka meminta agar aku mempertemukan mereka denganmu, dimana kamu berada. Dan aku bawa ke Forks. Mereka janji hanya akan pergi selama sehari di sini. Jadi aku segera meneleportasi mereka ke Forks. Tapi begitu sampai mereka jadi liar."<br />
<br />
"Maksudnya jadi liar?" ganti Dean yang tidak connect.<br />
<br />
"Yeah, seakan mereka sudah pernah melihat gambaran Forks saja. Mereka seperti pernah kesini sebelumnya, atau seperti pernah melihat cuplikan film tentang Forks saja. Astaga, butuh seharian untuk mengejar mereka. Kau tahu, mereka menuju rumah minimalis di dalam hutan."<br />
<br />
"Rumah Keluarga Cullen?" terka Dean.<br />
<br />
"Entalah, rumah itu berisi 9 vampire. Delapan dewasa, dan berpasangan. Serta anak perempuan setengah vampire setengah manusia yang seperti dijaga ketat oleh serigala."<br />
<br />
"Hey, itu namanya imprint. Hanya bisa di lakukan oleh para vampire." sergah salah seorang dari para gadis itu, yang lebih tepatnya bernama Sari dan Ladyta. <br />
<br />
"Diamlah. Please, kalian kan sudah janji tidak berbuat onar. Biar aku jelaskan pada Dean." kata Castiel berusaha menenangkan 16 gadis. <br />
<br />
"Bisakah kalian menjaga ketenangan sebentar, er, paling tidak agar tetangga tidak bangun dan melempari kalian dengan air dingin." kata Dean sambil ketawa. Entah bagaimana, sihir apa yang terjadi, gadis - gadis itu langsung diam. Aah, Dean, memang selalu bisa merayu wanita.<br />
<br />
"Kau memang pandai merayu Dean." kata seorang gadis lagi bernama Putri.<br />
<br />
"Lanjutkan." kata Dean. Beberapa gadis terkikik mengingat kata itu seperti slogan dalam salah satu pemilu di Indonesia untuk pemilu cawapres dan capres Indonesia.<br />
<br />
"Yeah, kau tahu mereka lari kerumah itu. Dan menyerbu pemilik rumahnya."<br />
<br />
"Tapi, akupun dari sana."<br />
<br />
"Mungkin setelah kau pulang Dean." kata seorang lagi bernama Icha.<br />
<br />
"Yeah, kau tahu, kebanyakan dari mereka menyerbu laki - laki yang berambut tembaga, hampir merah, berkulit dingin seperti marmer itu. Mereka sudah kuperingati soal vampire yang memburu manusia. Tapi semuanya menyanggah dengan berkata, keluarga cullen tidak makan darah manusia. Mereka vegetarian. Ya sudah. Aku biarkan. Si laki - laki berambut tembaga itu kelimpungan, pasangan dari vampire laki - laki ini hanya bisa geleng - geleng kepala tatkala beberapa gadis menyerang vampire itu. " <br />
"ITU EDWARD!" teriakan kecil keluar dari mulut Lizzy, Riny, Titi, Icha, Flo, Listya, Lady, Indah dan Linda hampir bersamaan. Castiel kaget. <br />
<br />
"Lalu, beberapa lain mengeromboli si vampire, ayah dari vampire laki - laki bernama Edward tadi."<br />
<br />
"dr. Carlisle Cullen." teriak dua gadis dari gerombolan itu, Steph dan Jihan. Lagi, lagi, Castiel kaget dan kemudian memutar bola matanya. <br />
<br />
"Lalu, satu orang menggerombolin seorang vampire pendiam, berambut panjang, ikal, dan pirang."<br />
<br />
"Dia Jasper Hale. Jasper Cullen, atau Jasper Whitlock dulunya." kata seorang gadis bernama Endah.<br />
<br />
"Entahlah, kemudian, dua orang dari mereka menggeromboli sang serigala. dan keduanya terpaksa mereka harus diompolin balita perempuan itu, yang selalu dijaga sang serigala."<br />
<br />
"Serigala itu aslinya manusia, namanya Jacob Black. Sang Alfa dari keturunan werewolf. Tapi, akhirnya dia adalah shapeshiffter." terang dari gadis bernama Etha atau Reisa itu.<br />
<br />
"Betul, dan gadis itu setengah vampire setengah manusia, anak dari Bella saat menjadi manusia dan Edward Cullen. Dia terimprint Jacob Black alias Jake, balita itu bernama Renesmee." jawab gadis lain bernama Fiona.<br />
<br />
"Bisakah kalian diam, biarkan aku bercerita." kata Castiel pada para gadis. <br />
<br />
"Kemudian, seorang mendekati si vampire bertubuh tegap. Berambut hitam ikal, dan terpaksa mendapat tatapan tajam dari si pasangan vampire itu."<br />
<br />
"Namanya Emmett Cullen, si beruang grizzly. Dan pasangannya yang bertampang cantik tapi punya tatapan sadis itu Rosalie Cullen, atau Rosalie Hale dulunya." sergah gadis bernama Octa itu.<br />
<br />
"Entahlah, kemudian satu gadis mendekati gadis lain. Seorang gadis vampire berambut hitam. Pasanganan dari si Jasper itu."<br />
<br />
"Alice Cullen. Dia bisa melihat masa depan! Sangat hebat. Lebih hebat bahkan dari Special Kids nya Yellow Eyes Demon." kata Sari menatap Castiel.<br />
<br />
"Yeah, si Edward pun bisa membaca pikiran." kata Lizzy, Riny, Titi, Icha, Flo, Listya, Lady, Indah dan Linda hampir bersamaan lagi.<br />
<br />
"Dan si Jasper bisa mengontrol perasaan." kata si Endah.<br />
<br />
"Tapi, hanya gadis ini yang diam saja. Tidak menyerbu para vampire laki - laki itu." kata Castiel menunjuk gadis lain. Itulah si Putri tadi alias si Pujuw.<br />
<br />
"Tentu saja, kan aku setia sama kamu Dean." kata Pujuw tertawa kecil. Kemudian para gadis seperti Steph, Lizzy, Titi, Etha, Endah, Flo, Lady, Sari, Icha dan Riny, seakan mengingatkan si Pujuw kalau dia sudah punya Jensen. Bahkan Dean dan Castiel bingung apa maksudnya. DAn gadis - gadis itu kemudian terkikik.<br />
<br />
"Lalu bajumu kenapa Cas?" tanya Dean.<br />
<br />
"Mereka, gadis - gadis itu merengek meminta segera bertemu kamu setelah keluar dari keluarga Cullen. Dan aku tercabik - cabik seperti ini." kata Castiel.<br />
<br />
Dean dan keenam belas gadis itu tertawa terpingkal.<br />
<br />
"LEBAY!" sergah 16 gadis itu. Dean dan Castiel bengong. 16 gadis itu malah ber-LOL ria.<br />
<br />
"So, kalian disini untuk?" tanya Dean pada gadis - gadis itu.<br />
<br />
"Merayakan ulang tahunmu Dean. Kami semua membawakan hadiah untukmu." kata Steph yang maju melewati Castiel yang merentangkan tangan tanda dilarang masuk di depan pintu. Castiel dari tadi layaknya polisi anti demonstran. Sesaat mata Dean jadi hijau mendengar kata hadiah. Tapi, bukannya mata Dean memang hijau?<br />
<br />
"Terima kasih kalian, semua."<br />
<br />
"Hey, ada apa sih rame - rame?" tanya Sam dengan mata ngantuk, menggosok mata dengan telapak tangannya. Sam terganggu tidurnya. Kemudian, dua gadis, Titi dan Fiona langsung memeluk Sam.<br />
<br />
"Aaaah, Sam... Kau memang tampan sekali.." kata Titi.<br />
<br />
"Samuel Winchester... Aduh, gak nyangka." kata Fiona langsung mendekap erat Sam diiringi dekapan dari Titi.<br />
<br />
Tiba - tiba 14 gadis lain mendekap Dean dan menjatuhkan Castiel hampir penyet terinjak kesadisan para gadis itu.<br />
<br />
***<br />
Akhirnya Dean melewati ulang tahunnya ke 31 dengan ramai. Castiel yang memar sekujur badan akibat ke atractive'an 16 gadis itu. Dean dan Sam terpaksa harus berpose manis dan narsis, saat para gadis - gadis itu meminta foto bersama dan tanda tangan. Dan Castiel hanya melongo. Lalu ketika Steph dan Fiona menarik Castiel untuk berfoto lewat kamera yang berada di atas tripod, hasillah foto para fans Dean dan Sam, bersama 16 gadis itu, dan Castiel yang memiringkan kepalanya tanda bingung.<br />
<br />
Inilah malam terbahagia Dean. Mendapati dirinya mendapat sebegitu banyak hadiah nan rupawan dari para gadis. Dan hanya satu gadis yang sukses mendapat ciuman dari Dean ke pipi Steph. *mupeng* Setelah itu semua gadis berangsur - angsur meminta Dean memberikan ciuman serupa. Namun, rupanya hanya Steph seorang yang beruntung mendapat ciuman dari Dean meski hanya di pipi saja. <br />
<br />
Dan nggak lupa juga, 16 gadis itu memaksa meminta nomer hape Dean dan Sam, supaya mereka bisa bertemu lagi lain waktu.<br />
<br />
***<br />
Seminggu kemudian.<br />
<br />
"Sam, bisa berhenti di pom bensin itu sebentar?"<br />
<br />
"Ada apa? Kau ingin buang air lagi Dean? Makanya jangan makan pie ayam itu terus."<br />
<br />
"Bukan, aku hanya ingin beli pulsa untuk hape-ku."<br />
<br />
"Bukannya, kemaren kau sudah beli pulsa?"<br />
<br />
"Rupanya fans - fans ku sangat heboh. Aku sudah berSMS ria dengan mereka semua sejak semalam. Dan mereka mengusulkan aku menggunakan facebook. Aku sudah ber-chat dengan mereka, lebih tepatnya. Sangat menguras pulsa. Kemudian aku berganti ke Yahoo!Messenger. Kau tahu Sam, disana ada fasilitas confrence. Aku bisa ber chat ria dengan mereka semalam suntuk. Untung mereka punya rasa kantuk, sehingga aku bisa tidur barang sejam dua jam. Punya fans itu asik juga ya." kata Dean berpanjang lebar sementara Sam fokus ke hapenya.<br />
<br />
"Dude, kau dengar aku kan tadi?" tanya Dean.<br />
<br />
"Tentu saja."<br />
<br />
"Memang nya kau ngapain?"<br />
<br />
"Aku mengerim email pada Fiona dan Titi. Fans ku juga."<br />
<br />
Kemudian Dean dan Sam pun tertawa terbahak - bahak dalam Impala mereka.<br />
<br />
<br />
<br />
=END=<br />
<br />
PS: SARAN DAN KRITIK SIAP DITERIMA.<br />
KOMENTAR SANGAT DI HARAPKAN.<br />
^^V.<br />
<br />
**********<br />
IT'S DEDICATED FOR DEAN WINCHESTER THIRTY FIRST BIRTHDAY...<br />
WISH YOU ALL THE BEST...<br />
LOVE YOU DEAN WINCHESTER... <br />
<3 <3RED_dahLIAhttp://www.blogger.com/profile/06234647874598373048noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-89899191719833845682010-01-17T17:48:00.001+07:002010-01-20T10:46:28.600+07:00Fic: Paths CrossedAuthor: Oryn<br />
Rating: T<br />
Genre: Drama<br />
Crossover: SPN/M7 ATF<br />
Chapter: 1. Words: 11.436.<br />
Disclaimer: I don't own Supernatural and The Magnificent Seven. They belong to their respective owners whose names I don't even bother to type here. Go figure.<br />
Summary: "Aku baik-baik saja," kata Dean. "Kau perlu meredefinisi konsep 'baik-baik saja', Bung," Vin membalas.<br />
Translation: "I'm fine," said Dean. "You need to redefine your concept of fine, dude," Vin countered.<br />
Author's note: fandom yang di-crossover dengan Supernatural di sini adalah The Magnificent Seven, tapi yang ATF AU. Dalam AU tersebut karakter tujuh koboi dari M7 didapuk menjadi agen ATF di Denver dengan setting modern. Kritik, saran dan masukan sangat diharapkan.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
Denver, Colorado. 2002.<br />
<br />
Vin Tanner melangkah keluar dari bangunan apartemen kumuh di suatu sudut Purgatorio dengan hati ringan. Baru saja dia menghadiri acara perpisahan Alejandro Larios, anggota organisasi remaja bentukan Vin, Los Lobos, yang telah lulus sekolah menengah dan diterima masuk angkatan laut. Vin menggali memorinya, Alejandro adalah alumni keenam Los Lobos yang berhasil menamatkan sekolahnya dan meneruskan hidupnya dengan cara yang terhormat, berbanding terbalik dengan anak seusianya di lingkungan itu yang kebanyakan sekolah saja tak tamat dan bisanya cuma jadi bandit. Vin bukan seseorang yang gemar membanggakan diri, tetapi pencapaian itu sedikit-banyak membuatnya gembira dan puas, membangkitkan keinginan untuk menarik harmonika dari saku jaketnya dan meniupnya.<br />
<br />
Sembari melangkah menuju tepi jalan di mana dia memarkir kendaraannya, Vin memainkan harmonikanya. Tidak ada lagu atau melodi tertentu yang dicoba untuk dibunyikan olehnya, hanya kumpulan not acak yang mewakili perasaannya saat itu. Vin tersenyum dalam hati ketika terbayang olehnya komentar negatif dari sinisme sampai sarkasme rekan-rekan satu timnya saban kali dia mengeluarkan harmonikanya. Mereka tidak mengerti, pikir Vin, bahwa yang berarti buat dia bukan nada apa yang dimainkan, melainkan bagaimana meniup alat musik membuatnya seperti latihan pernafasan. Menenangkan, menyenangkan.<br />
<a name='more'></a><br />
Vin menghentikan sejenak tiupan harmonikanya ketika dia tiba di depan sebuah gedung kosong yang lazim menjadi area kumpul-kumpul geng Los Leones Rojos yang menguasai wilayah selatan Purgatorio. Antara dia dan geng itu terdapat semacam gencatan senjata tentatif, tetapi itu tidak membikin Vin berkurang kewaspadaannya tiap melintasi markas mereka. Vin mengedarkan pandang berkeliling, dengan heran mendapati gedung dan halamannya kosong melompong, tidak ada sebentuk manusia pun di sana. Dia mengerutkan kening dan membatin bahwa itu aneh, biasanya petang menjelang malam begini justru tempat itu sedang ramai-ramainya oleh pemuda-pemuda tanggung tanpa tujuan hidup kecuali mimpi di siang bolong jadi pemimpin geng yang disegani.<br />
<br />
Sesuatu pasti telah terjadi, pikir Vin, ada perasaan tidak enak yang menyelinap ke dadanya. Tapi apa?<br />
<br />
Harmonika dikembalikan ke dalam saku, Vin meneruskan jalannya, dalam hati berniat akan pasang telinga dan menugasi anggota Los Lobos mencari berita. Kalau geng itu ternyata terlibat peperangan lagi...<br />
<br />
Kontemplasi Vin terputus sampai di sana sewaktu matanya tertumbuk pada satu sosok meringkuk di lorong sempit di antara dua buah bangunan. Dugaan pertama Vin adalah orang itu gelandangan. Namun, kala Vin memicingkan mata agar dia dapat mengamati dengan lebih seksama, dia bertanya pada diri sendiri, sejak kapan gelandangan mengenakan jaket kulit apik?<br />
<br />
Insting Vin mengatakan bahwa dia perlu membantu, sedikitnya mencari tahu tentang keadaan orang itu dan Vin adalah pemuda yang selalu mempercayai instingnya. Dia punya alasan yang bagus untuk itu.<br />
<br />
Vin memasuki lorong itu, sebelah tangan diposisikan dekat sarung pistol di sisi kanan pinggangnya, siap mencabut senjata bila ternyata semua itu adalah jebakan belaka. Dia melangkah dengan hati-hati, tidak terlalu ribut tapi juga tak benar-benar senyap agar manusia yang didekatinya mengetahui keberadaannya.<br />
<br />
Dalam keremangan lorong, yang tertangkap oleh Vin hanyalah seorang pria yang terpuruk setengah bersandar di dinding, kepalanya tertunduk dan kedua lengannya mendekap bagian abdomen dengan protektif. Bukan pertanda bagus. Jaket kulit yang dipakainya menyembunyikan yang lainnya.<br />
<br />
Vin berlutut di hadapan pria itu, dia menyapa dengan nada rendah, "Kamu tidak apa-apa?"<br />
<br />
Tidak ada sahutan. Pria itu tampaknya tak menyadari bahwa ada manusia lain di depannya.<br />
<br />
Vin mengulurkan sebelah tangan dengan hati-hati, menyentuh lengan pria itu. Reaksi yang didapat membuat Vin tersentak dan menarik kembali tangannya.<br />
<br />
Begitu merasakan ada seseorang yang menyentuhnya, pria itu spontan menepis tangan yang mencoba untuk kontak dengan tubuhnya, dia berdiri dengan cepat meski agak goyah dan kepalannya terangkat, langsung bersiaga dalam posisi kuda-kuda. Dia menaikkan sedikit wajahnya, cukup bagi matanya untuk mengamati suasana di sekitarnya dan siapa yang ada di jangkauan pandang dan tinjunya. Sikapnya demikian otomatis, layaknya seorang prajurit yang posisi siap tempur begitu merasakan ada ancamannya sudah menjadi sifat alami.<br />
<br />
Vin menyadari dia takkan mendapatkan hasil apapun bila dirinya ikut-ikutan ambil langkah ofensif. Pria itu seperti binatang terluka dan Vin tahu dia mesti melakukan pendekatan perlahan-lahan.<br />
<br />
"Whoa! Tenanglah. Aku tidak bermaksud jahat," ucapnya kalem, logat Texas samar di suaranya.<br />
<br />
Pria itu hanya mendengus dan Vin melihat bagaimana lututnya gemetar seakan memprotes tindakan berdiri mendadaknya barusan.<br />
<br />
"Aku hanya ingin tahu apa kamu perlu bantuan," lanjut Vin.<br />
<br />
"Tidak," pria itu buka suara, terdengar seperti geraman.<br />
<br />
"Benar kamu baik-baik saja?" Vin mencoba lagi.<br />
<br />
"Yeah. Sekarang enyahlah!" sentak pria itu yang kegarangannya berkurang efeknya lantaran setelah mengucapkan itu dia mendesis seperti menahan sakit.<br />
<br />
Vin tidak semudah itu digertak. "Apamu yang terluka?" tanyanya.<br />
<br />
"Jangan ikut campur urusanku!" gerutu pria itu, tubuhnya terhuyung, kedua kakinya sepertinya tak kuat menahan beban tubuhnya dan dia harus bersandar ke tembok agar tidak terjerembab ke tanah. Namun, sikap menantangnya masih saja dipamerkan seolah hanya itu yang dapat melindunginya.<br />
<br />
Vin mendesah. Satu hal yang membedakan manusia dan binatang terluka adalah manusia kadang bisa jadi amat keras kepala mengenainya. Dia baru saja hendak buka mulut untuk membujuk tatkala salah satu pemilik bangunan yang mengapit lorong menyalakan lampu, termasuk sebuah bohlam yang terletak di sisi lorong. Di bawah cahaya tambahan itu, Vin kini dapat dengan jelas menilik keadaan lawan bicaranya.<br />
<br />
Pria yang ada di depannya itu masih muda, paling tidak empat-lima tahun di bawah Vin usianya. Wajah tampannya pucat pasi dengan peluh mengucuri pelipisnya dan kerut-kerut kesakitan terpeta jelas. Dia memakai jaket kulit coklat yang agak longgar di badannya. Yang membuat alarm peringatan berdering di kepala Vin adalah noda merah pekat yang menempel di bagian pinggang pakaian pemuda itu dan di sela-sela jemarinya.<br />
<br />
Tanpa peduli pada sambutan macam apa yang akan dilayangkan pemuda itu, Vin meraih bahunya dan menekankan tangannya.<br />
<br />
"Duduklah," perintah Vin.<br />
<br />
Antara terkejut atau terpengaruh ketegasan dalam ucapan Vin, pemuda itu menurut.<br />
<br />
Vin merogoh-rogoh ke dalam ranselnya lalu mengeluarkan sebotol Gatorade. Dibukanya botol itu dan disorongkannya ke arah si pemuda.<br />
<br />
"Minum," katanya, masih sama otoritatifnya.<br />
<br />
Pemuda itu menatap Vin.<br />
<br />
"Tidak diracuni, kok. Lihat, ini segelnya tadi masih utuh."<br />
<br />
Setelah mendengar itu, dia mengambil botol minuman dengan tangannya yang berlumuran darah dan menyeruput isinya.<br />
<br />
"Bagaimana kau bisa terluka, hm?" selidik Vin dengan nada santai seraya kembali berlutut di samping si pemuda.<br />
<br />
Pemuda itu tak menjawab, dia melanjutkan minum untuk menghindari keharusan menyahut.<br />
<br />
"Kamu bukan orang sini," gumam Vin. "Apa kamu dirampok?"<br />
<br />
Yang ditanya menggeleng.<br />
<br />
"Siapa namamu?"<br />
<br />
Mendengar pertanyaan itu, si pemuda menoleh ke arah Vin dan untuk beberapa saat mereka beradu pandang dengan menilai. Vin memperhatikan mata hijau-hazel pemuda itu, berpikir bahwa mata itu tampak lebih tua dari usia sebenarnya, mata yang telah melihat terlampau banyak dan diam-diam mengakui bahwa sorot yang ada di sana hampir identik dengan mata birunya sendiri, yang dilihatnya setiap kali Vin becermin.<br />
<br />
Vin mengalah seperti pecatur mengorbankan pionnya untuk memperoleh kesempatan skakmat. "Namaku Vin. Vin Tanner," dia berujar.<br />
<br />
Si pemuda balik mencermati sosok Vin, menemukan tampang pria muda berambut gondrong yang agak lusuh tapi menunjukkan keteguhan, sepasang mata tajam dan ramah sekaligus yang dapat dipercaya. Keraguan berangsur pudar dari mimik si pemuda, meskipun pandangannya masih tetap berjaga-jaga. Vin membaca selintas kapitulasi terbatas sebelum pemuda itu menggumamkan namanya.<br />
<br />
"Dean."<br />
<br />
Vin menelengkan kepala. "Dean...?" Apa, tanpa nama keluarga?<br />
<br />
"Hanya Dean," tandas yang bersangkutan.<br />
<br />
"Baiklah, hanya Dean," Vin tersenyum kecil. "Sekarang, maukah kautunjukkan padaku di mana letak lukamu?" Dean mengerutkan kening dan Vin buru-buru meneruskan, "Aku punya sertifikat pelatihan P3K, aku dapat membantumu. Atau kamu lebih suka mati kehabisan darah di sini?"<br />
<br />
Dean menggumam tak jelas yang diartikan Vin sebagai persetujuan dan izin untuk menolongnya.<br />
<br />
"Buka jaketmu," Vin berkata.<br />
<br />
Dean perlahan-lahan menanggalkan jaketnya, menampakkan kaus oblong kelabu yang dipakai di bawahnya dan bercak besar darah yang kontras di bagian pinggang kirinya, beberapa inci di atas tepi pinggang celananya. Sempat mengomel tak jelas dia, sesuatu tentang sayang sekali jaketnya jadi rusak atau semacam itu dan Vin teringat pada Ezra, teman satu timnya yang lebih cemas soal pakaian mahalnya yang hancur kena peluru dan darah ketimbang cederanya sendiri. Namun, kali ini Vin sedikit-banyak mengerti. Dia sendiri punya jaket kulit yang amat disayanginya dan dia bakal sedih sekali jika sesuatu terjadi pada si jaket.<br />
<br />
Vin melihat bahwa darah yang melumuri pakaian pemuda itu belum mengering dan berkesimpulan bahwa penembakan itu pasti belum lama terjadi. Vin hendak menarik ke atas kaus Dean, tetapi pemuda itu sudah mendahuluinya, desis nyeri terdengar ketika dia melakukan itu. Tak lama, terpampang sudah sebentuk luka bundar menganga di pinggang Dean dengan darah yang masih merembes dari sana. Disebabkan oleh timah panas, itu sudah gamblang.<br />
<br />
Vin menarik sehelai saputangannya yang bersih, menyerap darah di sekitar luka agar dia dapat mencermati kondisi luka itu dengan lebih baik. Perdarahannya sudah melambat, bila ditekan beberapa lama kemungkinan besar akan berhenti. Vin menggenggamkan saputangannya kepada Dean dan berujar, "Tekan dan tahan."<br />
<br />
Pria yang lebih muda itu menurut dan Vin dengan agak heran mendapati bahwa tampaknya dia sudah terbiasa dengan luka semacam itu. Dean memberikan tekanan yang cukup meski itu akan membuatnya lebih kesakitan.<br />
<br />
"Ada satu lagi," Dean memberi tahu, "di belakang."<br />
<br />
Jadi pelurunya tembus, Vin membatin. Dia berpindah ke dekat punggung Dean dan benar saja, terdapat satu lagi luka di sana, kali ini rekahannya lebih lebar dan cairan merah mengucur dengan kecepatan lebih tinggi dibanding luka satunya.<br />
<br />
Vin membuka tas ranselnya, mengeluarkan segulung perban penahan sendi yang masih baru. Benda itu rencananya akan dipakainya dalam pertandingan basket dengan timnya Minggu besok. Dia merobek sebagian perban dan memakainya untuk membersihkan darah di sekitar luka tembak keluar Dean, dia sendiri yang menekan luka itu agar perdarahannya berhenti. Erangan pelan lolos dari mulut Dean lantaran Vin melakukan itu dengan tiba-tiba.<br />
<br />
"Kamu perlu dibawa ke rumah sakit," ucap Vin.<br />
<br />
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja," tolak Dean.<br />
<br />
Vin memutar bola mata. Dia serasa berhadapan dengan rekan satu timnya saja, yang jika sedang cedera sangat enggan mengakui kondisi mereka yang sebenarnya dan tak jarang perlu pingsan atau dibius dulu sebelum orang lain dapat merawat mereka. <br />
<br />
"Kau perlu meredefinisi konsep 'baik-baik saja', Bung," Vin mengerang dalam hati, dasar Ezra dan kata-kata canggihnya. "Kau punya dua lubang tambahan di tubuhmu sekarang. Kamu butuh perawatan medis yang patut, siapa tahu nanti terjadi apa-apa pada lukamu, infeksi atau apalah. Kita juga tak tahu, kan apa organ dalammu tidak kenapa-napa," Vin berargumen, dalam hati merasa dirinya sudah persis Nathan, temannya di tim yang merangkap paramedis, yang kerap terjebak dalam posisi yang mirip.<br />
<br />
"Jangan ke rumah sakit," Dean mengulang dengan lebih lemah, benci akan nada memohon yang sulit ditutupi.<br />
<br />
Vin sendiri alergi setengah mati pada rumah sakit dan dia merasa dirinya hipokrit bila memaksa orang lain ke sana. Namun, di sisi lain pemuda ini perlu mendapat perawatan.<br />
<br />
"Baiklah. Kalau begitu, adakah seseorang yang dapat kuhubungi? Keluargamu?"<br />
<br />
Dean menelan ludah sebelum menyahut lirih, "Tidak ada keluarga lagi."<br />
<br />
Ada sesuatu dalam caranya mengutarakan itu yang membikin Vin iba dan bersimpati. <br />
<br />
"Kalau teman?"<br />
<br />
Dean mendengus. "Bukan tipe yang bisa dihubungi," balasnya getir.<br />
<br />
Kamu itu serigala penyendiri, huh? Vin berpikir, memang perlu jadi sesuatu untuk mengenal sesamanya.<br />
<br />
Keheningan melingkupi kedua pemuda itu, seiring dengan kegelapan malam yang merayap turun di langit kota Denver. Lampu-lampu dinyalakan satu demi satu, cukup untuk memberikan penerangan bagi orang-orang di jalanan, cukup untuk masih menyembunyikan kemuraman dan kekumuhan wilayah Purgatorio.<br />
<br />
Tanpa kata, Vin mengecek luka tembak keluar yang sejak tadi ditekannya. Di bawah temaram lampu dia melihat bahwa darah sudah hampir berhenti mengalir dari situ. Dia menengok pula luka tembak masuk yang terletak di bagian depan tubuh Dean dan dengan puas didapatinya perdarahan yang telah berhenti sama sekali. Vin kemudian mengambil sisa gulungan perbannya dan melingkarkan pembalut itu di pinggang Dean, saputangan dan potongan perban tetap di tempat semula.<br />
<br />
Vin mengunci pembalut daruratnya dan menyampirkan jaket ke bahu Dean agar pemuda itu tidak terekspos dan kedinginan. Selanjutnya, dia bertanya ringan, "Omong-omong, bagaimana kamu bisa sampai tertembak, huh?"<br />
<br />
Dean tidak dapat menolak menjelaskan. Bagaimanapun, orang itu telah menolongnya dan dia meringis ketika menyahuti, "Aku sendiri tidak tahu dengan pasti. Aku baru pulang dari apartemen seorang cewek di dekat sini, Carlotta atau semacamnya, waktu ada beberapa orang menyudutkanku ke lorong, mengancamku dengan pistol dan menembakku begitu saja."<br />
<br />
Ganti Vin yang meringis, baik secara mental maupun fisik.<br />
<br />
"Carlotta? Jangan bilang itu Carlotta Mendez."<br />
<br />
Dean mengkonfirmasi dengan, "Ya, kalau tidak salah, itulah namanya."<br />
<br />
Pantas saja, batin Vin. Dia menepuk dahi dengan punggung tangannya yang agak bersih. "Wah, Bung. Kau ini entah terlalu berani, goblok atau sudah edan. Cewek itu punya tato mentereng bertuliskan 'masalah besar' di jidatnya."<br />
<br />
Dean meratakan bibir. "Aku sudah tahu. Aku ditembak karena dia, kaulihat."<br />
<br />
"Yeah. Pacar putus-sambungnya, Rico Laguerta, pemimpin Los Leones Rojos. Dia itu amat cemburuan. Dia punya koleksi pistol cukup untuk mempersenjatai pasukan kecil dan dia tak segan-segan menggunakannya," papar Vin.<br />
<br />
"Aku tahu itu sekarang. Jangan tidur dengan pacar kepala geng di Purgatorio. Paham," ujar Dean merengut.<br />
<br />
"Itu aturan pertama untuk dapat mempertahankan kepalamu di Purgatorio," balas Vin.<br />
<br />
Dean terlihat berpikir sejenak, sejurus kemudian dia melontarkan, "Dia pasti penembak yang payah."<br />
<br />
Vin menggeleng setengah geli. "Tidak. Justru dia paling jago tembak di antara orang-orang satu geng. Pikirmu, bagaimana dia bisa jadi kepala? Kau beruntung dia hanya berniat melukaimu."<br />
<br />
Mulut Dean membentuk kata "beruntung?" tanpa suara, rada mencemooh.<br />
<br />
"Kalau memang benar Rico yang menembakmu, aku akan menotifikasi OPH lokal dan mungkin mereka akan membutuhkanmu untuk mengidentifikasi dia," lanjut Vin.<br />
<br />
Dean berjengit agak kaget mendengar istilah OPH (Opsir Penegak Hukum) keluar dari mulut Vin dengan mudah, sebab istilah itu lazim digunakan oleh... yah, penegak hukum. Jenis manusia yang sebaiknya dihindari jika kau punya profesi yang sama dengan Dean. Dihindari dengan segala cara seolah mereka adalah wabah.<br />
<br />
"Kamu polisi?" selidik Dean, menilik penampilan Vin. Bukan tak mungkin pemuda itu adalah anggota kepolisian yang menyamar. Kau tahu, satuan tugas yang menangani geng atau yang seperti itu.<br />
<br />
Jawaban enteng Vin rada di luar perkiraan. "Nuh-uh. ATF."<br />
<br />
ATF? ATF yang singkatan dari Bureau of Alcohol, Tobacco and Firearms? Dean mengingat-ingat lagi, kalau tak salah mereka menambahkan "and Explosives" di belakangnya. Orang di depannya ini agen federal? Dean mengerutkan kening. Dia sama sekali tak ada tampang agen, kelewat selebor kelihatannya. Dia dan ayahnya saja kalau sedang menyaru menjadi agen federal bisa pasang muka serius-cerdas dan berpakaian jas rapi. Atau, jangan-jangan justru itu efek psikologi kebalikan yang diharapkan. Mempekerjakan orang yang tak akan disangka agen. Hm, Dean mengangguk-angguk, kemudian menyadari pemikirannya sudah berkeliaran ke mana-mana dan kembali memusatkan perhatian pada masalah yang sedang dialami.<br />
<br />
"Tidak perlu panggil penegak hukum," sambut Dean buru-buru. "Maksudku, jika benar dia begajul seperti yang kamu bilang tadi, polisi pasti nanti juga akan menangkapnya karena satu dan lain hal."<br />
<br />
Vin tidak bodoh. Dia mengerti betul mengapa Dean tidak mau berurusan dengan pihak berwajib. Dia tahu seharusnya dia membujuk atau mengharuskan Dean melaporkan penembakan yang dialaminya, tetapi dia punya perasaan bahwa itu bukan opsi terbaik. Vin mampu membaca seseorang dengan cukup akurat dan dari apa yang dilihatnya, dia yakin Dean bukanlah kriminal atau orang jahat. Pemuda itu cuma enggan berhubungan dengan polisi karena alasan tertentu yang Vin duga tidak jauh dengan alasan Vin menghindari polisi ketika dia masih remaja dulu. Dia memutuskan untuk menghargai keinginan Dean dan tidak memperpanjang persoalan.<br />
<br />
Vin lantas berusul, "Kalau begitu ke klinik saja. Aku tahu klinik gratis kepunyaan yayasan gereja tidak jauh dari sini. Mereka tidak banyak tanya dan tidak akan melaporkan lukamu pada polisi." Yang disebut terakhir itu sebenarnya melanggar aturan. Akan tetapi, senantiasa ada perkecualian buat semua aturan, kan?<br />
<br />
Dean termenung sebentar, mempertimbangkan tawaran Vin itu. Kalau memang lukanya tidak dilaporkan dan klinik itu gratis, berarti jejaknya akan sukar diendus, sesuatu yang dia tahu bakal disetujui ayahnya. Tambahan pula, Dean paham lukanya bisa jadi kian parah sampai fatal bila tidak ditangani secara tepat. Itu berarti mengurangi waktunya berburu dan mengundang gerutuan ayahnya.<br />
<br />
"Baiklah," dia menerima akhirnya.<br />
<br />
Vin mengambil sikap setengah berdiri, diulurkannya tangan pada Dean. Semula pria yang lebih muda itu mengabaikan tawaran bantuan dari Vin, tetapi ketika jelas baginya bahwa dia akan menghabiskan terlalu banyak tenaga hanya untuk mencoba berdiri, dengan agak segan Dean membiarkan Vin menghelanya naik. Vin berupaya melakukan itu dengan amat hati-hati, tapi tetap saja pergerakan yang mestinya sederhana itu memperdalam kernyit kesakitan di muka Dean dan sesekali dia mengerang lantaran lukanya yang masih segar teregang oleh gerakan tubuhnya.<br />
<br />
"Oke, sekarang kita ke mobilku," Vin berujar setelah memberi Dean kesempatan untuk mengatur nafas dan membiasakan diri dengan posisi vertikal.<br />
<br />
Dean hanya menggumamkan afirmasinya dan setengah dipapah dia menapakkan langkah demi langkah mengikuti kehendak pria yang merangkul bahunya dan menahannya agar tak terhempas kembali ke bumi. Dean lebih tinggi dua inci dan beberapa belas pon lebih berat daripada Vin, tetapi Vin telah terbiasa dengan kegiatan papah-memapah rekan satu timnya yang lebih bongsor dari dirinya. Dia menyangga Dean dengan kokoh, bahkan sewaktu Dean makin menimpakan berat tubuhnya pada Vin.<br />
<br />
Perjalanan pendek yang serasa selamanya bagi Dean itu berakhir di tepi jalan tempat sebuah jip beratap terbuka yang berlumur debu dengan cat mengelupas dan bodi penyok di sana-sini diparkir. Vin membawa Dean ke sisi penumpang dan menyandarkan pemuda itu pada mobilnya sementara dia mencolokkan kunci pintu.<br />
<br />
Dean mengusap keringat yang membasahi keningnya, dahinya berkerut melihat benda apa yang jadi tempatnya menaruh punggung dan bertanya, "Benda apa itu?"<br />
<br />
"Jipku," sahut Vin enteng seraya membuka pintu sisi penumpang.<br />
<br />
Dean mengejapkan mata. "Maksudmu, ini mobil?" tanyanya, nadanya antara mengejek dan tercengang. Nyata sekali implikasi "bukannya rongsokan?" di sana.<br />
<br />
Orang yang dalam kondisi kehilangan darah akibat luka tembak saja bisa berkomentar negatif tentang mobilku, batin Vin setengah geli setengah dongkol.<br />
<br />
"Hei, asal kau tahu, aku membangunnya dari nol. Onderdil demi onderdil," Vin membela diri dan jipnya.<br />
<br />
"Huh..." Dean menaikkan sebelah alis dengan seringai yang hampir seperti jika dia sedang fit, "kelihatan, kok"<br />
<br />
"Terserah. Naiklah," putus Vin.<br />
<br />
Dean menyipitkan mata menilik kondisi jip yang bisa dikatakan cukup mengenaskan itu. Sepertinya konsep "mobil yang masih bagus dan bisa dipakai jalan" yang dianut Vin kira-kira satu mahzab dengan Bobby, pemburu sekaligus pemilik tempat penjualan mobil rongsokan, teman Dean. Kalau dipikir lagi, rasanya Dean pernah melihat bangkai mobil yang tampangnya masih mendingan dibanding jip Vin di tempat Bobby. <br />
<br />
"Kamu yakin gerobak ini masih layak jalan, kan? Maksudku, aku sudah tertembak, aku tidak butuh mengalami kecelakaan mobil juga," balas Dean.<br />
<br />
"Sumpah pramuka. Dan berhenti mengulur waktu. Perban darurat itu takkan bertahan selamanya," tukas Vin.<br />
<br />
"Eh, apa benda ini memenuhi kelengkapan standar otomotif? Aku juga tidak mau nanti ditilang dan..."<br />
<br />
Vin memotong, "Jangan cari alasan, bawel. Cepatlah naik."<br />
<br />
"Siapa yang kausebut bawel, huh? Aku hanya menyatakan kekhawatiran yang logis," Dean menyanggah.<br />
<br />
Vin paham betul mengapa Dean malah membiarkan mulutnya lari ke mana-mana. Benar-benar mirip teman-temannya di tim tujuh yang justru cerewet seperti tante-tante saat mereka mengalami cedera atau dirundung penyakit. Ada dua alasan mengapa mereka berlaku demikian. Yang pertama adalah untuk mengalihkan pikiran dari luka yang rasa sakitnya meruyak tubuh mereka. Alasan kedua adalah agar orang lain tertipu dan menganggap luka mereka tidaklah parah lantaran masih sanggup berceloteh, dengan demikian mereka tak perlu dikhawatirkan. Namun, bergaul erat dengan tim yang punya kelakuan khas ketika sakit atau terluka membuat Vin mafhum dan tak gampang terkecoh dengan itu.<br />
<br />
"Fokuskan energimu untuk sembuh, alih-alih mengoceh dan itu bukan saran," Vin berkata, kali ini tak ingin didebat. <br />
<br />
Dean sebenarnya masih ingin melontarkan satu-dua patah bantahan, sifat ingin memenangkan setiap argumen memang telah berurat-akar dalam dirinya, barangkali lantaran sejak kecil adu mulut melulu dengan Sam, adiknya. Namun, dia tahu bahwa Vin benar dan dengan enggan dia mematuhi kehendak pemuda itu. Dia naik ke atas jip Vin dengan bantuan yang punya mobil, terhenyak di jok butut yang keras sesudahnya. Vin memastikan Dean sudah memasang sabuk pengaman, suatu tindakan yang di mata Dean konyol sebenarnya, mengingat potensi jip itu untuk mogok lebih besar ketimbang mengalami tabrakan berkecepatan tinggi, kemudian menyusul Dean naik ke mobil dan menghidupkan mesin.<br />
<br />
Butuh lima kali menstater sebelum derum mesin jip yang menurut Dean seperti kakek batuk-batuk itu terdengar nyaring dan mesin bergetar mengguncang bodi mobil seperti pijatan Magic Fingers. Dean mengeluh dalam hati, menumpang mobil bangkotan macam ini tampaknya akan memperparah penderitaan. Setelah memasukkan gigi dan meluncur ke jalan, Vin menekan-nekan tombol pemutar CD, satu-satunya properti yang terlihat modern di mobil itu dan Dean seketika meringis lantaran lantunan lagu <i>country</i> serta merta membahana dari pengeras suara.<br />
<br />
"Oh Tuhan, bunuh saja aku," gumam Dean pelan. Dia merosot lebih rendah ke tempat duduk, berharap moga-moga tidak ada orang yang dikenalnya melihat dia naik jip itu. Bisa terjun bebas gengsinya.<br />
<br />
"Apa?" Vin berseru mengatasi kencangnya volume musik.<br />
<br />
Dean memaksakan senyum yang memperlihatkan barisan giginya. "Tidak apa-apa."<br />
<br />
Vin diam-diam menahan geli. Hampir setiap orang yang terpaksa menumpang mobilnya dan sebagai konsekuensinya ikut terpapar musik pilihannya bereaksi serupa. Vin berpikir, apa dia menyukai keduanya karena memang sungguh itulah seleranya, ataukah hanya lantaran dia senang dan terhibur melihat reaksi orang pada keduanya, yang lazimnya amat jenaka. <br />
<br />
Tepat di tengah-tengah refrain tentang alam pedesaan yang melangutkan jiwa, mereka tiba di klinik. Bangunan berlantai dua bercat putih kusam itu tidak berbeda jauh dari gedung-gedung di sekitarnya. Hanya absennya grafiti dan papan nama yang dipasang di halaman depan bangunan itu yang menjadi penanda. Lampu penerangan di halaman yang menjadi tempat parkir itu menyala enggan dan Dean melihat cuma ada dua mobil lain yang ditaruh di sana.<br />
<br />
Vin mematikan mesin, diiringi hembusan nafas lega Dean sebab kupingnya terbebas juga dari lengkingan menyayat si biduan <i>country</i>. Tanpa banyak cakap Vin membantu Dean turun, kemudian memapah pemuda itu memasuki bangunan klinik lewat pintu depan. Dia mendudukkan Dean di deretan kursi dekat bagian pendaftaran pasien dan menghampiri petugas yang berjaga di balik meja tinggi.<br />
<br />
"Selamat malam," sapa Vin.<br />
<br />
Si petugas, seorang wanita paruh baya, berdiri dan menyambut, "Malam. Ada yang bisa kubantu, Tuan?"<br />
<br />
"Yeah. Uh, temanku terluka. Dia ditembak seseorang di Purgatorio," Vin berkata.<br />
<br />
Petugas itu mengambil pulpen dan papan dengan sebundel formulir terjepit di sana. "Namanya?"<br />
<br />
Vin tergoda untuk menyebut "hanya Dean", tetapi si empunya nama berujar lirih, "Dean... Smith." <br />
<br />
Itulah yang dituliskan petugas administrasi klinik ke dalam formulir catatan medis.<br />
<br />
Vin melirik ke arah Dean yang balik menatap dengan seringai di sudut bibirnya dan Vin tak tahan untuk tidak memutar bola mata. Smith? Tidak bisakah dia mencari nama samaran yang lebih populer, batin Vin sarkastis. John Doe, misalnya.<br />
<br />
"Umur?" tanya si petugas.<br />
<br />
"Dua puluh..." Vin menduga-duga.<br />
<br />
Dean menyeletuk, "Tiga."<br />
<br />
"Alamat?"<br />
<br />
Vin menyebutkan alamat di mana dia tinggal.<br />
<br />
"Golongan darah?"<br />
<br />
"O," Dean menyambar, agak jengkel dia berkata, "apa kita akan main 'dua puluh pertanyaan' atau mengobati aku, huh?"<br />
<br />
Petugas itu melongok ke arah si calon pasien, kemudian memandang Vin yang tersenyum maklum.<br />
<br />
"Dia amat kesakitan," ucap Vin. "Aku ingin dia ditangani secara privat. Aku Vin Tanner, agen ATF. Aku yang menjamin kalau nanti ada apa-apa." Vin menunjukkan lencananya.<br />
<br />
Si petugas mengangguk, paham dengan permintaan Vin. Tidak ada pertanyaan dan tidak akan dilaporkan ke polisi, catatan medis boleh dibawa pasien, tidak ada rekam jejak permanen bahwa dia pernah dirawat di sana.<br />
<br />
"Dokter Hadley ada?" tanya Vin.<br />
<br />
"Dokter Leighton Hadley?" si petugas mengkonfirmasi. Mendapat anggukan Vin, dia meneruskan, "Temanmu akan dibawa ke kamar tindakan nomor dua, dokter Hadley kupanggil ke sana. Bagaimana kondisi dia?"<br />
<br />
"Tertembak di pinggang, pelurunya tembus, kehilangan darah cukup banyak, tapi masih sadar," tutur Vin.<br />
<br />
Petugas itu menulis sesuatu pada formulirnya lalu meminta perawat pria bertubuh gempal-kekar macam atlet gulat yang sedang berada di situ guna membawa Dean ke kamar tindakan. Si perawat mengambil kursi roda dan mendorongnya ke dekat tempat Dean duduk.<br />
<br />
"Apa-apaan, ini?" Dean memicingkan mata melihat kursi roda di depannya.<br />
<br />
"Prosedur standar, Tuan," balas perawat itu tenang. Tanpa ambil peduli pada rentetan protes yang berhamburan dari mulut Dean seperti peluru senapan mesin, dia menjunjung Dean dengan gampang seakan pemuda itu bocah cilik saja dan mendudukkannya di atas kursi roda. Dean terlalu terhina dan tercengang dengan perlakuan itu sampai lupa untuk mengomel waktu dia didorong ke kamar tindakan. Vin melambaikan tangan padanya, ekspresi terhibur kentara di mukanya.<br />
<br />
Vin memastikan Dean telah didorong ke dalam kamar tindakan baru dia kembali ke ruang tunggu. Dia tidak ingin lebih menginvasi privasi pemuda itu dengan ikut masuk selama pemeriksaan dilaksanakan. Vin tahu bahwa membiarkan orang asing menolongnya saja sudah merupakan sebentuk pelanggaran pagar kokoh tak kasat mata yang melingkari seorang prajurit solo seperti Dean.<br />
<br />
Setelah menghabiskan beberapa lama membolak-balik majalah lawas yang disediakan di ruang tunggu, Vin mengeluarkan sebuah notes dan pulpen. Duduk diam menanti seperti ini membuat imajinasinya mengembara ke mana-mana. Kata-kata melayang memasuki benaknya dan dia merasa sayang jika itu tidak segera dituangkan dalam tulisan. Vin pun mulai menulis di halaman kosong notesnya, sesekali memeriksa ejaannya. Dia mengidap disleksia ringan yang dulu sempat menyulitkannya membaca dan menulis, tetapi setelah menjalani terapi intensif, Vin mampu melakukan dua kegiatan itu dengan lancar, nyaris seperti orang normal. Bait-bait puisi yang dikarangnya juga dapat diwujudkan dalam bentuk karya tertulis, tak sekedar disimpan dalam memori.<br />
<br />
Baru saja Vin merampungkan sebuah puisi dan tengah mereka-reka judulnya, ponsel miliknya berbunyi. Alis Vin terangkat ketika dia melihat nama penelepon di layar ponselnya: bos sekaligus sobat eratnya, Chris. Vin menjawab telepon itu, agak heran mendengar nada suara Chris yang memancarkan kecemasan dari seberang sana. Chris menanyakan kabar Vin dan kenapa pemuda itu bisa berada di klinik. Chris menyebutkan pula bahwa ada seorang perawat yang kenal dengan tim tujuh, dia secara kebetulan melihat Vin di sana dan memutuskan untuk memberi tahu Chris. Vin baru paham duduk persoalannya. Dia lalu menjelaskan apa yang terjadi pada Chris, menegaskan bahwa dia tidak apa-apa, sungguh baik-baik saja kali ini, demi Tuhan, dan Chris disilakan untuk berhenti khawatir. Pembicaraan kemudian berlanjut dengan isu-isu seputar pekerjaan dan kuda.<br />
<br />
Belum sempat Vin mengantungi kembali ponselnya setelah mengakhiri obrolan dengan Chris, nada dering ponselnya kembali bernyanyi. Vin geleng kepala sewaktu mengetahui penelepon kedua adalah Ezra, garuk-garuk kepala kala menyadari bahwa si perawat yang bermaksud baik itu rupanya menghubungi semua rekannya di tim tujuh! Ezra menanyakan hal yang intinya sama dengan Chris, cuma bahasanya saja yang lebih berbunga. Lagi-lagi Vin mesti memaparkan apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa dia bisa berada di klinik.<br />
<br />
Vin menyudahi percakapan dengan Ezra, berpikir bahwa jangan-jangan dia perlu merekam jawabannya, kalau-kalau ada temannya yang menelepon lagi ketika itu benar-benar terjadi. Kali ini si Nathan yang menghubungi dan Vin agak kewalahan mencoba menjelaskan duduk perkara di tengah serbuan pertanyaan dari temannya itu. Nathan lebih susah diyakinkan dan Vin tahu dia punya alasan untuk cenderung curiga. Vin memiliki reputasi sebagai orang yang tetap menjawab "aku baik-baik saja" walaupun sudah ada lubang-lubang dan rekahan di tubuhnya, plus tulang-tulang dengan posisi yang tidak sepatutnya. Lima menit dihabiskan untuk membuat Nathan percaya bahwa Vin kali ini benar-benar sehat walafiat, tak kurang suatu apa, barulah hubungan telepon bisa diakhiri.<br />
<br />
Vin memutuskan untuk tidak memulangkan ponsel ke saku celana dan benar saja, berturut-turut sisa tiga rekannya di tim meneleponnya pula: Buck, JD dan terakhir Josiah. Mulut Vin sampai berbusa menyahuti pertanyaan dan memberi keterangan yang sama. Telinganya pun ikutan panas. Rada serba salah juga dia. Kalau semua telepon itu ditanggapi, dia yang capek. Jika dia matikan ponselnya... itu sama saja mengundang satu tim datang menyerbu ke klinik mencarinya. Mereka seprotektif itu. <br />
<br />
Setelah Vin mengucapkan selamat malam pada Josiah dan memutuskan telepon, barulah dia menyimpan ponselnya. Vin melirik arloji, sudah beberapa puluh menit berlalu sejak Dean menghilang di balik pintu kamar tindakan dan dia bertanya-tanya apakah semua sudah selesai. Tidak ada salahnya mencari tahu, pikir Vin, dan dia bangkit lalu berjalan menuju ke kamar tindakan nomor dua.<br />
<br />
Vin meraih gagang pintu, mendorongnya ke dalam dan melangkah masuk. Sebuah suara feminin menyambutnya.<br />
<br />
"Oh hai, Vin," itu sapaan ramah dari seorang wanita berjas dokter.<br />
<br />
Vin tersenyum dan memberi salut dua jari padanya. "Hai, Leigh."<br />
<br />
Dokter Leighton Hadley, sosok jelita berambut merah gelap itu melepaskan sarung tangan karetnya dan berkata, "Sudah lama tidak melihatmu."<br />
<br />
"Yeah. Kau juga," sahut Vin, dia berjalan mendekat.<br />
<br />
"Kapan terakhir kali kita ketemu ya? Aku tidak bisa datang pada acara donor darah bulan lalu," Leigh berkata.<br />
<br />
"Tempat boling. Buck dan ide bodohnya tentang kencan ganda," Vin mengingat.<br />
<br />
"Oh, iya."<br />
<br />
Vin berdehem. "Hm, bagaimana kondisi temanku?"<br />
<br />
Leigh menjawab, nadanya terdengar profesional kini, "Lukanya tidak fatal. Tidak ada kerusakan organ dalam, untunglah. Pelurunya hanya merobek daging dan otot, dengan perawatan dan istirahat cukup akan bisa segera pulih. Aku sudah menjahit kedua lukanya. Dia juga tidak perlu sampai ditransfusi. Nanti aku tuliskan resep untuk vitamin dan pereda rasa sakit yang bisa diminum bila perlu."<br />
<br />
"Baguslah."<br />
<br />
"Dia tak perlu menginap di klinik malam ini. Hanya saja, sebisa mungkin ada yang menemani untuk mengganti perban dan mengecek temperaturnya, siapa tahu nanti demam. Aku sudah membersihkan lukanya, tetapi jarak antara terjadinya luka dengan dia dibawa ke sini kan agak lama. Jadi, kemungkinan lukanya terinfeksi masih ada," papar Leigh.<br />
<br />
Vin mengangguk.<br />
<br />
Dean yang duduk di atas ranjang klinik mengawasi interaksi kedua orang itu. Tidak luput dari matanya yang awas bagaimana dokter molek yang menangani lukanya itu tersenyum lebar ketika Vin masuk, rona merah selintas menyemburat di pipinya yang tidak tersamar oleh make up, bagaimana mata hijau si dokter melebar oleh keterkejutan yang menyenangkan sewaktu melihat Vin, bagaimana sorotnya berubah lembut sekaligus yakin. Tak lepas dari observasi Dean pula bahwa Vin tampak agak berbeda kala menghadapi dokter Hadley yang dipanggilnya Leigh dengan akrab. Perubahan sikapnya tak begitu kentara, tapi ada. Cara Vin berdiri yang lebih tegap, senyum yang lebih manis, suara yang lebih dalam. Oh, dan jangan lupa disebutkan saling melirik saat yang lain tak melihat, pikir Dean geli. Dia dengan tahu diri menahan lidahnya yang sudah gatal ingin berkomentar.<br />
<br />
Leigh mengalihkan perhatian pada Dean yang menyampirkan jaket sekenanya di bahu dan bertanya, "Sudah lama kenal dengan Vin?"<br />
<br />
Dean memamerkan senyum mautnya. "Belum lama, kok."<br />
<br />
"Bagaimana kalian bisa saling kenal?" Leigh bertanya lagi seraya membantu Dean memasukkan tangan ke lengan jaket.<br />
<br />
"Ah," Dean mengerutkan bibir, "itu bagusnya tak usah dibahas. Situasinya tidak baik untuk diungkit-ungkit soalnya."<br />
<br />
"Begitukah?"<br />
<br />
Vin yang menggumamkan, "Yeah."<br />
<br />
Pertanyaan Leigh selanjutnya terarah pada Dean, "Kamu akan menginap di apartemen Vin?"<br />
<br />
Dean melempar lirikan pada Vin. Dia tidak yakin apa pemuda itu bersedia menampungnya malam itu, rasanya dia sudah kelewat merepotkan, tapi Vin memberi anggukan samar.<br />
<br />
"Yeah, kukira begitu."<br />
<br />
Leigh tersenyum nakal. "Oh, kalau demikian, biar kuperingatkan padamu. Apapun yang terjadi, jangan minum kopi bikinan Vin. Bahkan jika itu minuman terakhir yang ada di bumi."<br />
<br />
"Hei!" protes Vin. "Tak ada yang salah dengan kopiku."<br />
<br />
Leigh cuek saja dan meneruskan, "Kau tahu, di ruangannya di kantor, mereka punya dua teko kopi. Satu untuk kopi normal yang diminum teman-teman satu timnya, satu lagi khusus menampung kopi racikan Vin yang seperti ter dan konon sendok bisa berdiri jika diletakkan di tengahnya."<br />
<br />
Dean terkekeh.<br />
<br />
"Leigh, kusarankan kamu jangan sering-sering dengarkan Buck," ujar Vin.<br />
<br />
"Itu susah," Leigh menelengkan kepala. "Soalnya dia yang paling banyak omong di antara kalian, yah, sesudah JD, tapi bocah itu lidahnya seperti digondol kucing kalau sedang di depanku."<br />
<br />
"Setiap ketemu wanita cantik memang begitu adatnya, sih." Vin langsung mengeluh dalam hati begitu kata-kata itu terlontar dari mulutnya.<br />
<br />
Mata Leigh melebar untuk kemudian menyipit dengan kalkulatif. "Hm, Vin Tanner. Apa barusan itu kamu memujiku?"<br />
<br />
"Uh..." Vin memandang ke seputar ruangan, ke mana saja asal menghindari tatapan Leigh.<br />
<br />
Menyaksikan adegan itu, seketika kenangan tentang Sam berkelebat memasuki ruang pikiran Dean. Sam yang waktu SMU suka salah tingkah bila berhadapan dengan gadis yang bikin dia kepincut dan Dean yang getol menggodanya kalau adiknya sudah mati gaya.<br />
<br />
Ketika tidak ada tanda-tanda Vin bakal mengatakan sesuatu, keluar celetukan iseng Dean, "Yah, kalau aku nanti khilaf meminum kopinya Vin dan itu membuatku keracunan, aku tahu harus menghubungi siapa. Hanya... sayang sekali aku belum punya nomor teleponnya." Dia menatap Leigh penuh arti.<br />
<br />
Leigh mendengus mendengarnya. Percobaan yang boleh juga, tapi sayang kamu bukan tipeku. "Kamu tidak tahu nomor 911?" balasnya telak.<br />
<br />
Dean mengedikkan bahu, agak menyesal melakukan itu lantaran jahitan di pinggangnya tertarik.<br />
<br />
"Hati-hati dengan gerakanmu," Leigh memperingatkan. Dia melepaskan Vin dari kecanggungan dengan berkata, "Aku masih ada pasien lain. Sebentar kutuliskan resep untuknya." Leigh mengambil nota resep dan menuliskan beberapa nama obat di lembar teratas. Dirobeknya kertas resep dan diserahkannya pada Vin yang lantas mencoba membaca apa yang ditulis di sana tapi dalam beberapa detik sudah menyerah. Orang yang bukan disleksik saja bakal sukar menerjemahkan tulisan tangan Leigh yang macam coretan ngawur itu. Yah, kecuali apoteker tentunya. Itu spesies tersendiri.<br />
<br />
"Trim's, dokter," Dean berujar tulus.<br />
<br />
"Sama-sama. Senang bertemu denganmu. Jaga dirimu baik-baik ya, aku tidak mau melihatmu lagi di sini dalam waktu dekat," balas Leigh, kemudian dia beranjak ke arah pintu. Selangkah dari pintu, Leigh berpaling pada Vin dan berkata, "Aku baru ingat. Minggu depan ada acara di bangsal anak-anak Rumah Sakit St. Joseph. Kalian bersedia datang? Kalau tidak ada kegiatan lain, tentunya."<br />
<br />
"Oke. Akan kutanyakan pada yang lain dulu. Nanti kalau mereka bisa, aku telepon kau," sahut Vin.<br />
<br />
Leigh mengangguk. Dia melempar senyum yang membikin jantung Vin berpacu sedikit lebih cepat lalu keluar dari ruangan itu.<br />
<br />
Sepeninggal Leigh, Vin mengalihkan perhatiannya pada Dean yang masih duduk di tepi ranjang klinik dan baru saat itulah Vin menyadari sesuatu. Jaket yang dipakai Dean belum dikancingkan sehingga menampakkan sebagian torsonya dan bekas-bekas luka yang tersebar di sana. Vin yang juga memiliki koleksi bekas luka di tubuhnya dengan cepat dapat menentukan kira-kira apa yang menyebabkan bekas yang mana. Beberapa bekas luka memanjang yang dulu disebabkan oleh sayatan benda tajam. Satu bekas luka kena tembakan. Ada lagi yang seperti ditorehkan oleh cakar hewan. Vin bertanya-tanya dalam hati, apa sejarah yang dimiliki pemuda ini, yang sampai meninggalkan jejak permanen di tubuhnya yang muda.<br />
<br />
Dean yang melihat ke mana tatapan Vin tertuju spontan merapatkan jaketnya. Dia berkata ringan, "Bung, dokter itu benar-benar naksir padamu."<br />
<br />
"Yeah. Aku tahu," Vin membalas, berusaha terdengar cuek dan cukup berhasil.<br />
<br />
"Jadi?" Alis Dean menari sugestif.<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
Dean menyeringai. "Apa kau tak akan menanggapinya atau apalah?"<br />
<br />
"Ini bukan waktu yang tepat untuk itu," itu saja tanggapan Vin dan dia tidak berminat mengelaborasi lebih lanjut.<br />
<br />
Dean mengerutkan bibir lalu berkata dengan keseriusan yang jarang, "Dengarkan aku, memang tidak akan pernah ada waktu yang tepat, kecuali kita yang membuatnya tepat."<br />
<br />
Mengikuti saran masalah percintaan dari Buck saja sudah cukup buruk dan kini dia mesti mendengar kata-kata mutiara bertema roman dari pemuda yang baru dikenalnya? Vin menggelengkan kepala.<br />
<br />
"Itukah profesimu? Penasehat cinta?" dia berkelit.<br />
<br />
Mata Dean melebar dapat tuduhan demikian. "Bung, yang barusan diinjeksi obat itu kau atau aku?"<br />
<br />
"Ah, omong-omong soal obat, ayolah kita ambil obatmu."<br />
<br />
"Percuma. Nanti juga hanya akan berakhir di tong sampah," Dean berkomentar seraya berdiri perlahan-lahan.<br />
<br />
Vin sudah siap di sampingnya jika Dean memerlukan bantuan, tetapi pemuda itu sudah tampak lebih baik kondisinya dibanding sebelumnya. Setidaknya caranya berdiri lebih mantap dan warna sudah kembali ke mukanya. Dia cuma kelihatan letih. Tentu saja, dia baru mengalami ditembak oleh orang tak dikenal dan tersuruk kesakitan di lorong sepi dengan darah mengalir meninggalkan tubuh.<br />
<br />
"Ada tanggung jawab moral bagiku untuk menebus resepnya," balas Vin. "Ayo."<br />
<br />
Dean melangkahkan satu kaki, mendapati bahwa lantai tidak seolah mau amblas di bawah kakinya dan dunia tak berputar, lalu berjalan pelan mengikuti Vin. Pria yang lebih tua itu meminta Dean duduk menunggu sebentar sementara dia membereskan urusan administrasi dan mengambilkan obat Dean. Dean menghempaskan tubuh di kursi dengan lega. Dia tak akan mengakuinya, tetapi perjalanan singkat itu sudah menguras cukup banyak tenaganya. <br />
<br />
Klinik sedang sepi saat itu sehingga tak berapa lama Vin kembali, sebuah kantung kertas menyembul dari saku jaketnya. <br />
<br />
"Hei," panggil Vin. "Kita pergi dari sini."<br />
<br />
Dean mendongak. "Kamu benar-benar mengizinkan aku menginap di tempatmu?"<br />
<br />
"Yeah. Tentu saja kalau kamu mau," lontar Vin.<br />
<br />
Dean rada terbelah jadinya. Di satu sisi dia merasa agak malu telah merepotkan seorang asing dan dia tak suka berhutang budi lebih banyak. Independensi dan keawasan seorang pemburu dalam dirinya menolak untuk lebih jauh tergantung pada orang lain yang baru saja ditemuinya. Namun, Dean juga tidak dapat sepenuhnya menekan suara kecil yang mengatakan alangkah senangnya bila untuk satu malam saja ada yang menemaninya. Satu malam saja yang tak dihabiskan di kamar motel dengan ranjang single, terputus dari semua orang yang pernah berhubungan dengannya.<br />
<br />
Suara kecil itu makin persisten dan Dean mengalah, tak sungguh-sungguh hendak melawan sejak awal. "Baiklah. Terima kasih sebelumnya."<br />
<br />
Vin mengangkat bahu seakan itu bukan masalah besar baginya. Dia berjalan keluar dari klinik menuju tempat parkir diiringi Dean. Tak lama kemudian mereka berdua sudah berada di atas jip butut Vin, berkendara menuju apartemen pemuda itu yang berlokasi di sisi lain Purgatorio. Jip Vin yang sedang tidak dipasang atap terpalnya menjadikan angin malam leluasa mengacak rambut dan menerpa wajah mereka. Kelap-kelip lampu kota terlihat laksana berlian di atas alas beludru hitam, beberapa lebih cerlang daripada yang lain. Kendaraan dan manusia berlalu-lalang, sibuk dengan tujuan masing-masing. Kehidupan malam di sudut Denver itu baru saja dimulai.<br />
<br />
Ketika Vin mengulurkan sebelah tangan untuk mengganti keping CD yang mau diputar, diam-diam Dean sempat berdoa semoga kali ini musik yang diperdengarkan lebih dapat diterima oleh telinganya. Apa daya, harapan tinggal harapan. Yang menguasai ruang pendengaran sepanjang perjalanan itu adalah lolongan diva opera yang meraung-raung seperti <i></i> dalam bahasa yang tak dipahami Dean. Kantuk yang sempat melanda Dean jadi raib karenanya, yang ada malah bulu kuduknya berdiri saban kali si penyanyi menjeritkan nada-nada tinggi. Dean menabahkan diri. Dia yang dalam posisi butuh, soalnya. Tidak etis memprotes musiknya orang yang menolongnya. Lagipula, Dean-lah yang menciptakan aturan: pengemudi yang pilih musik, penumpang silakan tutup mulut (dan telinga).<br />
<br />
Dean melirik ke arah Vin yang tampak tenang-tenang saja menyetir meski telinganya dihajar serangkaian opera. Menilik penampilannya, takkan ada yang menyangka pemuda itu gemar opera. Tadi <i>country</i> dan kini opera, Vin punya selera musik yang eklektik, begitu pikir Dean. Dia tak tahu betapa salahnya itu. CD opera yang disetel Vin sebenarnya boleh pinjam dari Ezra (atau dipaksa pinjam, tergantung siapa yang ditanya) dan dia merasa sayang kalau dikembalikan tanpa sempat didengarkan. <br />
<br />
Polusi suara yang bikin kepala Dean rada cenut-cenut itu baru usai sewaktu Vin menepikan jipnya di ke depan sebuah gedung berlantai lima dan mematikan mesin. Dari luar tampak bangunan itu terbuat dari bata merah tanpa dicat yang mungkin agen <i>real estate</i> akan menyebutnya sebagai "nuansa kasar alami yang memikat", tapi di mata Dean tampak suram dan seadanya. Plakat nama gedung yang melekat di lantai satu telah pudar, pagarnya kehilangan beberapa jeruji besi dan halaman depannya yang secuil itu cuma ditumbuhi ilalang. Pendek kata, bangunan itu tak jauh dari jenis hunian yang galib ditinggali keluarga Winchester secara temporer.<br />
<br />
Vin membuka pintu depan gedung dan masuk ke dalam diikuti oleh Dean. Dia melangkah ke depan elevator dan menekan-nekan tombolnya, kemudian menangkupkan tangan seperti berdoa.<br />
<br />
"Ayolah," gumam Vin, "berhentilah merajuk padaku," bujuknya entah pada siapa. Menyadari Dean yang memandangnya agak heran, Vin menjelaskan, "Elevator di sini tabiatnya antik. Lebih sering tidak berfungsi atau kalaupun bisa jalan, kadang suka berhenti mendadak, macet di antara dua lantai. Bayangkan kalau itu terjadi padamu padahal kamu sudah telat ke kantor." Seperti yang dialami Vin kemarin pagi.<br />
<br />
"Apartemenmu di lantai berapa?" tanya Dean.<br />
<br />
"Empat." <br />
<br />
Yeah, bagus.<br />
<br />
Dalam keadaan normal, mendaki tangga sampai lantai sepuluh pun tak jadi soal bagi Dean. Itu seperti latihan aerobik saja. Namun, kali ini dia benar-benar tidak ada minat dan energi jika harus naik ke lantai empat secara manual. Tidak, terima kasih. Dean bertopang pada dinding dekat pintu elevator dan ikut-ikutan memanjatkan harapan.<br />
<br />
Denting pelan disertai membukanya pintu elevator disambut gembira oleh kedua pemuda itu. Mereka masuk ke dalam elevator dan beberapa detik kemudian tiba di lantai empat tanpa insiden.<br />
<br />
"Kamu membawa keberuntungan," Vin mengomentari betapa patuhnya si elevator kali ini.<br />
<br />
Dean nyengir. "Tentu saja."<br />
<br />
Vin berjalan menuju ke sayap kanan gedung dan Dean mengikuti jejaknya. Mereka menyusuri selasar panjang mirip balkon yang di satu sisi terdapat deretan pintu-pintu unit apartemen dan di sisi lain ada pagar besi yang memungkinkan orang melongok bebas ke area publik terbuka di bawah. Di lapangan di bawah sana Dean melihat sejumlah penghuni duduk-duduk mengobrol. Suara mereka bersahut-sahutan, bahasa Inggris yang digunakan beraksen Spanyol dan tak jarang dicampuradukkan dengan bahasa Spanyol. Separuh tanah lapang itu dimanfaatkan anak-anak dan remaja bermain basket dan sepak bola di bawah cahaya lampu, yang menonton dan bermain sama-sama heboh.<br />
<br />
Salah seorang penghuni di bawah rupanya melihat Vin dan melambaikan tangan, meneriakkan sesuatu dalam bahasa Spanyol yang dijawab Vin dengan lancar menggunakan bahasa yang sama. Dean sekonyong-konyong jadi teringat pada adiknya. Terakhir kali dia menelepon Sam, bocah kuliahan itu sedang belajar untuk ujian mata kuliah bahasa Spanyol. Sudah mahirkah dia sekarang? Dapatkah dia mengartikan percakapan ini? Dean bertanya-tanya, selintas rindu yang pedih menyusupi hatinya. <br />
<br />
Vin berhenti di depan pintu apartemen bernomor 417 dan berkata, "Ini dia." Dia mendorong pintu yang rupanya tak dikunci. <br />
<br />
"Di daerah rawan begini kau tidak mengunci pintu?" tanya Dean. Ayahnya bisa marah besar bila dia alpa melakukan itu, juga kalau dia luput menggarami pintu dan jendela.<br />
<br />
"Nuh-uh. Anak-anak tetanggaku suka pada main ke sini," sahut Vin enteng. Dia mempersilakan Dean masuk.<br />
<br />
Semerbak aroma <i>taco</i> langsung menyergah penciuman mereka berdua. Bau makanan bikinan seorang ibu yang menjadikan suasana sebuah rumah menjadi benar-benar rumahan.<br />
<br />
Vin mengendus ke arah datangnya wangi yang bikin perut keroncongan itu dan menyeringai, "Nyonya Alvarez benar-benar memenuhi ancamannya rupanya. Jiranku beberapa pintu dari sini." Vin mengomel dalam hati setelah mengucap itu. Sialan si Ezra, kosakata ajaibnya dan pengaruhnya. Dia menyambung, "Ibu-ibu yang selalu berpikir bahwa aku terlampau ceking dan kurang gizi. Berani taruhan, <i>taco</i> yang dikirimnya cukup buat memberi makan satu kompi agen ATF kelaparan," tutur Vin.<br />
<br />
Sepertinya perempuan model Nyonya Alvarez itu selalu ada di seluruh penjuru dunia, di setiap sudut kota. Dean bukannya hanya sekali-dua kali berjumpa dengan wanita-wanita macam itu, yang dengan murah hati menimbuni kedua Winchester bersaudara dengan panganan lezat, bahkan ketika mereka telah beranjak remaja. Dean kerap berpikir bahwa itu disebabkan oleh kombinasi Sam yang menggemaskan dan pesona dirinya yang sukar ditampik wanita, berapapun usianya. Namun, kini dia bertanya-tanya, apakah tidak ada alasan yang lebih dari itu.<br />
<br />
"Baunya, sih enak," celetuk Dean.<br />
<br />
"Rasanya lebih sedap lagi, percayalah," Vin tersenyum antisipatif. "Eh, kamu mau mandi? Aku bisa pinjamkan kaus dan celana olahraga kalau mau ganti," tawarnya. Pasti tak nyaman rasanya lengket oleh keringat dan noda darah.<br />
<br />
"Bolehlah." Dean sudah terbiasa beli pakaian di pasar loak dan toko barang bekas sehingga mengenakan baju pinjaman tak menjadi problem berarti. Yang dipikirkannya adalah bagaimana harus mandi dengan jahitan di tubuhnya yang pasti haram kena air. Kalau Vin punya bak mandi rendam, acara membasuh tubuh bisa lebih gampang. Namun, menilik model apartemen dan pemiliknya, paling-paling yang ada sarana mandi pancur. Itu rada repot.<br />
<br />
Vin menunjukkan letak kamar mandi pada Dean yang membuka pintunya dan memastikan bahwa yang ada cuma pancuran di dalam. Si empunya apartemen itu menghilang sebentar ke kamar tidurnya (yang pintunya adalah satu-satunya yang dikunci) dan kembali dengan helaian pakaian yang dijanjikan, handuk plus selotip bening dan plastik.<br />
<br />
"Buka jaketmu," kata Vin.<br />
<br />
"Wah, belum kencan pertama sudah minta buka-bukaan," kelakar Dean, tapi dia melucuti juga jaketnya.<br />
<br />
Vin memutar bola mata. Dia membentangkan lembaran plastik di atas luka Dean yang segera menangkap maksudnya dan membantu menahan agar plastik itu tak bergeser. Vin selanjutnya merekatkan tepi-tepi plastik ke kulit Dean dengan selotip, perban yang menutup jahitan Dean aman di tengah-tengah. Dengan cara demikian, Dean dapat mandi di bawah pancuran dengan aman sentosa, dijamin lukanya takkan basah. Vin melakukan hal yang sama untuk luka Dean yang satu lagi, kemudian setengah bercanda mendorong pemuda itu masuk ke kamar mandi.<br />
<br />
"Aku baru minat melakukan apa-apa denganmu kalau kau sudah wangi, jadi cepatlah mandi," dia balas mengolok.<br />
<br />
"Aku jadi tak sabar." Dean dengan demonstratif melempar cium jauh sebelum mengatupkan pintu kamar mandi, sempat didengarnya Vin tertawa pelan di sisi seberang.<br />
<br />
Dean keluar dari kamar mandi beberapa belas menit kemudian dengan tampang bersih dan jauh lebih segar, baju yang dipinjamkan Vin cukup longgar sehingga muat dipakainya. Agak menggigil Dean lantaran tadi waktu mandi cuma air dingin yang bisa mengucur dan dia bersyukur bahwa pemanas ruangan itu paling tidak berfungsi baik. Dia melangkah pelan-pelan ke ruang tengah, masih menggosok rambut dengan handuk sewaktu Vin muncul dari dapur, sebatang sendok kayu panjang di tangannya.<br />
<br />
"Bagus, kau tepat waktu untuk saus salsaku yang kesohor," dia berkata.<br />
<br />
Dari arah dapur tercium bau saus yang tengah dimasak di atas kompor, aromanya memenuhi seluruh apartemen berpadu dengan wangi <i>taco</i> yang tadi dan sesuatu yang menurut penangkapan hidung Dean seperti kentang panggang. Kombinasi yang tampaknya lezat dan memiliki daya tarik begitu kuat sehingga Dean menyampirkan handuk untuk kemudian mengikuti kehendak perutnya menuju ke dapur.<br />
<br />
Di meja makan kecil yang terletak di pojok dapur telah tersedia satu keranjang bertutup serbet, Dean menebak isinya <i>taco</i>. Terdapat pula satu piring kentang panggang terbalut kertas alumunium yang masih mengepul, satu piring lebih kecil berisi salad di sampingnya. Vin sedang berada di depan panci saus yang menggelegak, mematikan kompor, menuangkan saus ke mangkuk dan membawanya ke meja makan.<br />
<br />
"Apa kata orang-orang? Anggap rumah sendiri? Nah, jadi tolong ambilkan piring di situ." Vin menuding rak yang ada tepat di belakang Dean.<br />
<br />
"Kau baru menolongku dan sekarang memperlakukanku seperti babu?" Dean menggerutu, tapi tidak benar-benar ada kejengkelan dalam suaranya. Dia tata juga meja makan untuk dua orang.<br />
<br />
"Kamu tidak suka berutang budi, kan? Ini aku beri kau kesempatan membayar," tandas Vin santai, membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol bir untuk dirinya, Dean dapat jatah limun saja.<br />
<br />
"Bung, umurku dua puluh tiga," Dean memprotes.<br />
<br />
"Leigh akan menghajar bokongku kalau aku biarkan kau mencampur alkohol dan penahan rasa sakit," Vin beralasan, agak merasa munafik karena hal itulah yang kadang dilakoninya bila sedang cedera... tentu saja kalau tak ketahuan oleh Nathan dan kawan-kawan.<br />
<br />
"Belum jadi pacar saja sudah takut," balas Dean.<br />
<br />
Vin mengoreksi, "Bukan takut, cuma pakai akal sehat. Sekarang, kita mau makan atau terus berdebat soal kenapa minum bir bukan ide bagus buatmu?" Dia membuka serbet yang menutupi keranjang dan mencomot sebuah <i>taco</i> berukuran maksi. Di sela mengunyah gigitan pertamanya, Vin menggumam, "Terberkatilah Nyonya Alvarez."<br />
<br />
Dean mengikuti teladannya dan acara santap malam berlangsung dengan tenang. Kedua pemuda itu makan dengan nikmat, lidah mereka dimanja oleh sajian sederhana tapi enak itu. Hidangan hangat dan teman bersantap yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus membiarkan kesunyian menjadi nyaman, apalagi yang mau diminta? Dean melahap setiap panganan yang ada di piringnya, dalam hati sungguh kangen dengan suasana seperti ini. Masa-masa ketika ada orang lain yang duduk semeja makan dengannya, menikmati masakan yang bukan dibeli dari kedai, tersenyum karena lelucon bodoh yang sama. Saat yang telah terasa begitu jauh di masa silam.<br />
<br />
Seusai meludeskan hidangan yang ada, Dean membantu membuang sisa-sisa makanan di piring sementara Vin mencucinya dengan tangan.<br />
<br />
"Salsanya enak," ucap Dean, ada ungkapan terima kasih di sana.<br />
<br />
"Kubilang juga apa," sambut Vin, mengeringkan tangan. "Kamu suka <i>chili</i>?" tanyanya sambil beranjak ke ruang tengah.<br />
<br />
"Yeah. Makin pedas makin bagus," jawab Dean sok macho.<br />
<br />
"Temanku, Josiah, jago bikin <i>chili</i> yang membakar mulut. Aku masih punya di kulkas, bisa buat sarapan besok," Vin berkata sambil lalu.<br />
<br />
Alis Dean terangkat. Sarapan dengan menu <i>chili</i>? Baru kali ini Dean bersua orang yang perut dan lidahnya lebih tahan banting dibanding dirinya. Selanjutnya apa? Mengunyah lada hitam sebagai ganti permen karet?<br />
<br />
Vin menuju ke sofa panjang satu-satunya di ruang tengah dan menyulapnya menjadi tempat tidur sementara dengan cara membuka joknya. Dia lalu mengambilkan beberapa buah bantal dan sehelai selimut, semua ditumpuk di atas sofa dan mengisyaratkan pada Dean bahwa itulah ranjangnya untuk malam ini. Tidak terlalu jelek, pikir Dean. Dia sudah berpengalaman tidur di atas beragam permukaan dan ini masih masuk kategori empuk.<br />
<br />
"Buatlah dirimu nyaman, oke. Aku mandi dulu." Dengan itu Vin berbalik dan pergi ke kamar mandi.<br />
<br />
Sepeninggal Vin, Dean mencoba merebahkan diri dengan hati-hati di atas ranjang darurat itu. Bantalan jok terasa solid di bawah tubuhnya dan Dean mengatur bantal-bantal yang diberikan sedemikian rupa sehingga dia dapat berbaring dengan enak di sisi yang tak cedera. Itu tak makan waktu lama dan Dean mengangkat dirinya sampai setengah duduk, mengamati apartemen itu sejauh matanya memandang, yang tidak jauh-jauh amat ternyata.<br />
<br />
Vin memang tidak terlalu perlu mencemaskan rumahnya kemalingan, Dean membatin, soalnya boleh dikata hampir tak ada barang berharga atau yang berpotensi dicuri di situ. Semua perabotnya sudah tua meski belum mendekati reyot, beberapa adalah furnitur murahan yang lebih untung bila dijadikan kayu bakar kalau sudah rusak ketimbang diperbaiki. Dean mendapati ada seperangkat komputer, televisi dan konsol <i>video game</i> di ruangan itu, tetapi semuanya diberi pengaman sehingga muskil untuk dicolong tanpa sekalian mengangkut meja tempat alat-alat elektronik itu berada.<br />
<br />
Secara keseluruhan, apartemen itu mengesankan rumah seorang bujangan yang cuek dan minimalis. Semua barangnya ditata dengan simpel, tak terlampau memusingkan apa itu terlihat estetis. Apartemen kecil itu spartan. Hampir tidak ada aksesori atau pernak-pernik yang tujuannya untuk dekor semata, kecuali sebuah taji yang dimasukkan dalam kotak kaca di atas bufet, sejumlah kecil potret yang dibingkai dan topi koboi yang tergantung di dinding. Yang terakhir itu pun Dean curiga bukan merupakan hiasan, melainkan benar-benar dipakai. Namun, dengan segala kesederhanaannya, apartemen itu tetap menguarkan suasana hangat yang cuma bisa ditemui pada tempat yang ditinggali seseorang. <br />
<br />
Tidak banyak yang bisa dilihat dan Dean sudah terlalu nyaman di posisinya untuk bergerak meraih pengendali jarak jauh pesawat televisi, jadi dia melongok ke bawah meja kopi di dekatnya. Ada beberapa buah buku teronggok di sana dan Dean meraih satu yang teratas.<br />
<br />
Dean membaca nama Vincent M. Tanner pada sampul buku dan ketika dia membuka halaman pertama, pahamlah dia bahwa yang di tangannya adalah sebuah <i>scrapbook</i>. Sejenak Dean menimbang-nimbang, apakah akan terus mencermati isi buku. Bagaimanapun, Vin adalah orang yang baru ditemuinya dan dia tak yakin apakah pemuda itu suka bila barang pribadinya dilihat-lihat. Namun, keingintahuan Dean memberinya suatu elakan: kalau Vin tidak mau <i>scrapbook</i> itu ditilik orang, mestinya tak dia biarkan tergeletak di ruang tengah, bukan? Dengan pembenaran macam itu, Dean membaca apa yang tertulis di halaman kesatu.<br />
<br />
Sebuah sajak tergurat di sana, tentang pengelana yang menemukan rumahnya. Dean bukan penyuka puisi, tetapi dia tahu puisi yang baik jika dia menemukannya dan menurutnya ini cukup bagus. Kata-kata yang dipakai tak bermegah-megah, tapi demikian sarat makna. Dean melihat nama pujangga yang tertera di bawah puisi itu, tak lain adalah Vin. Hm, rupanya pemuda bertampang serampangan itu punya sisi puitis juga, kata Dean dalam hati.<br />
<br />
Halaman demi halaman terisi lembar-lembar potret yang diatur secara kronologis, disertai satu-dua patah keterangan. Halaman-halaman awal memuat foto Vin semasa kanak-kanak. Mulai dari foto bayi yang menguning tepinya, kemudian sejumlah potret Vin balita dengan ibunya. Setelah lima tahun pertama, ibu Vin tidak muncul lagi dan Dean tak melihat sosok ayah di mana pun. Lalu foto Vin usia sekolah yang dikelilingi keluarga yang berbeda-beda, kemungkinan besar keluarga angkat dan entah bagaimana dia selalu tampak tidak pas bergambar bersama mereka, seperti keping teka-teki gambar yang salah tempat. Satu hasil jepretan kamera polaroid menggambarkan Vin remaja, hidup di jalanan. <br />
<br />
Bagian selanjutnya memuat pelbagai gambar Vin dalam balutan seragam militer, diawali dengan foto kelulusan Vin dari akademi ketentaraan. Sehelai foto Vin dengan senapan, bersiap membidik sasaran menjadi testimoni bahwa dia seorang penembak jitu. Fase berikutnya saat dia menjadi pemburu buronan berhadiah ditandai dengan minimnya foto. Dalam satu-dua foto masa itu, Vin terlihat lebih tak terawat dibandingkan tampangnya sekarang, dengan mata yang bersinar terlalu tajam. Kalau Dean jadi polisi dan bertemu Vin dan buronan tangkapannya, yang disangka penjahat pertama kali bisa-bisa justru Vin. Potret yang menghiasi seksi berikutnya adalah Vin berseragam U.S. Marshal. Tak bisa jauh-jauh dari profesi penegak hukum dia rupanya dan Dean membalik halaman buku.<br />
<br />
Barangkali ekspresi bahagia itu yang seperti ini, batin Dean, menilik mimik muka Vin di seluruh fotonya bersama teman-teman satu timnya di ATF. Selain Vin, ada enam pria yang wajahnya konstan muncul dalam potret dan tidak perlu jadi jenius untuk tahu bahwa mereka lebih dari rekan kerja. Ada jejak persaudaraan yang amat jelas dalam setiap lembar foto mereka, sesuatu yang mudah dikenali oleh Dean. Mereka sudah seperti keluarga, sahabat seumur hidup. Foto-foto beragam aktivitas mereka menyuratkan itu dengan amat kentara. Sebelum menjalankan misi, berkemah, dalam acara amal, pertandingan <i>football</i> antardivisi, malam boling, berkuda, semua yang dilakukan bersama teman dekat.<br />
<br />
Di samping sejawat Vin di ATF, ada beberapa foto Vin bersama seorang pria tua. Vin dan AD. Travis, begitu judulnya. Vin dan dua pria Indian di depan sebuah wigwam. Kemudian, di sana-sini terlihat Vin bergambar bersama sejumlah perempuan, tapi bukan dalam kapasitas sebagai kekasih. Ada pula seorang perempuan gaek mungil yang menatap Vin dengan menyayang dalam foto bertitel "Vin dan Nettie Wells". Di halaman terakhir, si pembuat <i>scrapbook</i> dengan iseng menyelipkan potret yang diambil waktu Vin dan Leigh ikut kencan ganda setengah buta dengan satu pasangan lain. Menarik.<br />
<br />
"JD lupa memasukkan foto Peso di situ," tiba-tiba saja suara pelan Vin terdengar dekat di telinga Dean.<br />
<br />
Itu mengejutkan Dean, tapi dia tidak memperlihatkannya. Jarang ada orang yang bisa menyelinap menghampirinya tanpa terdeteksi. "Huh?"<br />
<br />
"Yang bikin album itu JD, temanku." Tentu saja, Vin bukan tipe orang yang punya pikiran untuk membuat <i>scrapbook</i> macam itu. "Fotonya Peso, kudaku, lupa ditambahkan ke situ," Vin menjelaskan. Dia mengambil posisi di sofa tunggal di samping ranjang darurat Dean, tangannya membawa dua buah cangkir dan setelah duduk, kakinya naik ke atas meja kopi.<br />
<br />
"Siapa tahu kelak di jilid dua," komentar Dean, dikembalikannya <i>scrapbook</i> itu ke tempat semula. Dia mengamati reaksi Vin. Pemuda itu tidak tampak gusar oleh fakta bahwa Dean membuka-buka bukunya, melihat sejarah hidupnya yang terangkum dalam satu <i>scrapbook</i>. Namun, dia juga tak membicarakan buku itu lebih lanjut.<br />
<br />
Vin menyodorkan satu cangkir kepada Dean yang ketika melihat bahwa isinya berupa kopi panas, terngiang peringatan Leigh di telinganya. Dean sempat ragu sejenak, tapi kopi hitam memang kegemarannya dan aroma kopi yang meruap sampai ke hidungnya itu menggelitik naluri pecinta kafeinnya. Dengan berpikir bahwa ini tidak mungkin lebih parah dari kopinya Sam, Dean menyesap cairan hitam itu perlahan-lahan.<br />
<br />
Sensasi yang dicerap oleh lidahnya kontan membuat Dean membelalakkan mata.<br />
<br />
"Bung, ini kopi terenak yang pernah kuminum," puji Dean. Dia menyeruput lagi kopinya, berlama-lama membiarkan minuman itu di mulutnya.<br />
<br />
"Tentu saja. Orang-orang yang bilang sebaliknya itu yang tidak tahu menikmati kopi yang sebenar-benarnya," Vin menyetujui.<br />
<br />
Dean mengangguk. "Mereka yang menyebut <i>latte</i> atau segala minuman banci itu sebagai kopi."<br />
<br />
Vin tersenyum konspiratif. "Yep."<br />
<br />
Pembicaraan kemudian berkembang jadi mendiskusikan kopi apa saja yang pernah mereka cicip, bagaimana teknik menyeduh kopi yang baik dan benar, pokoknya membahas serba-serbi minuman wajib pagi hari kedua pemuda itu, termasuk ya itu tadi, sepakat bahwa yang namanya kopi sejati itu adalah seperti yang mereka sedang minum ini. Dalam hal itu mereka berdua klop, layaknya panci ketemu tutupnya.<br />
<br />
"Bagaimana rasanya? Masih sakitkah?" tanya Vin kemudian, mengganti topik.<br />
<br />
Jemari Dean menelusuri bibir cangkir. "Baikan, sepertinya."<br />
<br />
"Obatmu tidak kauminum?"<br />
<br />
"Nanti saja." Memang lukanya sedang tidak terasa sakit-sakit amat. Selain itu, Dean rada kurang doyan obat penghilang rasa sakit, soalnya ada-ada saja efek sampingnya pada badannya.<br />
<br />
Vin mengedikkan bahu. Pesannya jelas: terserah kamu, yang jelas aku sudah mengingatkan. Aku bukan perawat yang cerewet, kan.<br />
<br />
Untuk beberapa lama keduanya terdiam dengan cangkir kopi di tangan sampai Dean tahu-tahu mengajukan sepotong pertanyaan.<br />
<br />
"Jadi kamu benar-benar anggota ATF?"<br />
<br />
Vin memandangnya. "Yeah."<br />
<br />
"Bukankah mereka ada aturan tentang panjang rambut maksimal atau semacam itu?" Dean merujuk pada rambut Vin yang mencapai bahu.<br />
<br />
Yang ditanya memunculkan seringai nakal. "Itu, dan segepok aturan konyol lainnya tidak berlaku untuk tim tujuh," dia menyahut apa adanya.<br />
<br />
"Jadi, kalian itu semacam pemberontak berlencana, begitu?"<br />
<br />
"Bung," Vin tertawa pelan, "kau bercanda ya? Istilah itu seolah khusus diciptakan untuk kami."<br />
<br />
Dean dan ayahnya pernah punya urusan dengan agen federal, mereka orangnya perlente, kaku dan lurus seperti ijuk. Model agen nyeleneh macam Vin cs. itu baru kali ini didengarnya eksis di luar serial teve. "Hm, kalian tipe agen yang hobi bikin para bos dan birokrat jadi pusing tujuh keliling," simpulnya. <br />
<br />
"Tapi kamilah yang punya tingkat keberhasilan pemecahan kasus tertinggi di seantero Denver." Di samping tim dengan anggaran operasional paling boros dan angka kecelakaan kerja yang selangit pula. Vin tidak menyebutkan itu secara terang-terangan, tetapi Dean entah bagaimana mampu menangkapnya. Sudah hukum alam mungkin, tidak ada hasil yang cemerlang tanpa pengorbanan setara.<br />
<br />
"Tetap saja. Apa itu istilahnya?" Dean menggali memorinya tentang sesuatu yang pernah disebut-sebut Sam. "Ekonomi biaya tinggi?"<br />
<br />
"Apa yang kaulihat, itulah yang kaudapat. Selalu begitu dengan tim tujuh," pungkas Vin, meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong di atas meja, melongok kondisi cangkir Dean yang serupa. "Tambah?" dia menawari.<br />
<br />
"Tidak, terima kasih." Satu cangkir lagi dan Dean akan terjaga semalaman, padahal dia tahu tubuhnya perlu istirahat cukup.<br />
<br />
Vin ke dapur untuk mengisi ulang cangkirnya dan sewaktu dia kembali, Dean menyambutnya dengan pertanyaan lain.<br />
<br />
Nada bercanda Dean melunakkan kalimatnya. "Hm. Apartemenmu butut, mobilmu bobrok. Apa tidak ada milikmu yang agak bagusan?" Gajinya agen federal, kan lumayan.<br />
<br />
"Senapanku," senyum Vin, "dan timku," dia menambahkan dengan lebih lirih, raut mukanya melembut saat mengatakan itu.<br />
<br />
Dean telah menyaksikan dari sumber sekunder bagaimana tim itu penting artinya bagi Vin dan dia berpikir, Vin beruntung menemukan teman seperti itu. Di dunianya dan dunia Vin yang sama-sama keras, punya kawan seperjuangan yang saling menjaga, dapat diandalkan di sisinya adalah berkah tak ternilai. Namun, yang terlontar dari mulut Dean adalah, "Apa saja senapan yang kaupunya?"<br />
<br />
Itu menjadi awal perbincangan panjang-lebar tentang dunia persenapanan pada khususnya dan seluk-beluk senjata api pada umumnya. Mereka membahas jenis senapan yang pernah mereka gunakan, plus-minusnya dan senjata api apa yang saat ini mereka miliki. Obrolan secara alami kemudian mengarah pada saling membandingkan teknik menembak dan rekor sasaran yang berhasil mereka jatuhkan dengan telak. Dean sejak kecil dilatih ayahnya menjadi penembak jitu dan Vin memperoleh kesempatan mengembangkan bakat alamnya setelah dia masuk ketentaraan. Keduanya berdebat seru apakah penembak yang baik itu perlu bakat atau hasil didikan dan hasilnya mereka sepakat bahwa dua hal itu sama-sama penting. <br />
<br />
Di sela-sela menceritakan tentang senapan dengan teropong inframerah yang baru dibeli untuk tim ATF-nya, Vin bertanya, "Apa pekerjaanmu?" Teknik interogasi: banjiri tersangka dengan informasi sehingga pertanyaan yang terselip tak menonjol.<br />
<br />
Dean terdiam dan Vin mendaratkan pandangan kepadanya dengan keingintahuan yang tak ditutupi. Pria yang lebih muda itu sudah mengetahui riwayat hidup Vin. Adil, kan jika dia sedikit mengorek keterangan tentang diri Dean.<br />
<br />
Dengan hati-hati Dean menyahut, "Aku ikut dalam bisnis keluarga. Ayahku dan aku memburu monster yang menebarkan kejahatan dan mengembalikan mereka ke tempat yang seharusnya." Dia memilih mengatakan versi aman dan steril dari pekerjaannya. Tidak benar-benar mengungkap sampai jelas, tetapi juga tak sepenuhnya berbohong. Biarkan orang yang menginterpretasi sesuka mereka, Dean tinggal mengikuti.<br />
<br />
Vin mengerutkan kening, mencoba mencerna apa yang disampaikan lawan bicaranya. "Maksudmu, kau pemburu buron berhadiah?"<br />
<br />
"Semacam itulah." Dean mengangkat sedikit bahunya. Minus hadiahnya, tentu saja.<br />
<br />
"Siapa yang sedang kauuber sampai ke Purgatorio?" selidik Vin. Siapa tahu Vin pernah mendengar tentang dia dan dapat meminta anak-anak Los Lobos menjadi telik sandi.<br />
<br />
Bukan siapa, melainkan apa. "Tidak ada. Ternyata salah informasi," Dean berkata. Sederet kematian aneh yang sekali ini ternyata murni kebetulan belaka, tanpa ada dasar supranaturalnya.<br />
<br />
"Kamu bilang tadi sudah tidak ada keluarga. Ayahmu?" Vin agak menyesal segera setelah menanyakan itu sebab dia sudah dapat menduga apa jawabannya.<br />
<br />
"Pergi." Satu kata yang diucapkan dengan berat dan enggan, seakan bila tidak dikatakan maka itu tak menjadi nyata.<br />
<br />
Vin tahu apa artinya itu. Pergi: meninggalkan aku. Pergi: perpisahan tanpa kerelaan. Dia melirik ke arah Dean, ada kepedihan yang tergurat di wajah pria yang lebih muda itu dan sorot mata sedihnya mengesankan ada luka mental yang masih cukup segar. Masih menyakitkan dan menusuk jauh ke dalam. Jenis luka yang gemanya senantiasa membuat dada nyeri bagai diiris, bahkan ketika seseorang sudah berusaha keras mengabaikannya.<br />
<br />
Dean tidak berkata-kata lagi sesudah itu, dia termenung dengan pandang nanar ke depan dan Vin tak berniat mengusiknya. Dia lantas mengambil pengendali jarak jauh televisi dan menghidupkan benda itu, menjelajahi beberapa saluran sebelum akhirnya berhenti pada siaran tunda sebuah pertandingan <i>football</i>.<br />
<br />
Keriuhan permainan, sorak-sorai penonton dan celoteh komentator menguasai ruangan itu sehingga ketika Dean mengatakan sesuatu dengan suara pelan, Vin tidak langsung menangkapnya pada kali pertama.<br />
<br />
"Apa kamu bilang?" dia mengecilkan volume suara televisi.<br />
<br />
Dean agak ragu untuk mengulangi kalimatnya, tapi sudah kepalang basah. Vin memandanginya, menunggu apa yang akan dikatakan.<br />
<br />
"Uh... ini mungkin akan terdengar aneh," Dean memulai.<br />
<br />
"Coba saja."<br />
<br />
"Bisakah... uh, kamu membuat garis garam di bawah pintu dan jendela?" Dean membatin, yeah, di telinganya sendiri pun itu terdengar aneh. Ritual itu sudah mendarah-daging, biasa dijalankan secara otomatis. Kalau diucapkan keras-keras malah ganjil jadinya. Di depan orang awam pula.<br />
<br />
Vin mengangkat alis heran. "Untuk apa?"<br />
<br />
"Proteksi," Dean meringis. Sekalian saja gali lubang dan loncat ke dalamnya. "Ayahku... yah, dia percaya pada takhyul bahwa menaburkan garam akan melindungi kita dari setan," Dean menawarkan penjelasan. "Kebiasaan itu melekat sampai sekarang." Dan terbukti beberapa kali menyelamatkan nyawa keluarga Winchester.<br />
<br />
Kredit untuk Vin, dia tidak mencemooh dan menganggap sepi omongan Dean. Dia berpikir sebentar lalu menyahut, "Di rumah ini setiap sudutnya sudah ada kantung guna-guna yang tujuannya sama. Kalau diberi garam juga apa nanti tidak bentrok?"<br />
<br />
Dean tercengang dibuatnya. "Kantung guna-guna?" Apa tidak salah?<br />
<br />
"Yeah. Sebentar kutunjukkan." Vin mendekati sebuah lemari di pojokan, berjinjit untuk menggapai sesuatu yang ada di atasnya dan kembali dengan sebuah buntalan kain di tangannya. Dia mengurai tali kulit yang mengikat buntalan itu dan menghamparkannya di atas meja kopi.<br />
<br />
Mata pemburu terlatih Dean segera saja mengenali aneka tumbuhan berkhasiat magis yang menjadi isi kantung guna-guna itu, meski semuanya sudah mengering, layu dan berubah warna. Ada tanaman <i>angelica</i>, basil, <i>blackberry</i>, kayu manis, <i>echinacea</i>, <i>agrimony</i>, <i>mistletoe</i>, <i>thyme</i> dan <i>horehound</i>. Masing-masing memiliki daya gaib yang dapat menghalau atau menolak kekuatan jahat, tapi bila dikombinasikan secara tepat, hasilnya akan impresif. Letakkan di titik-titik vital sebuah rumah dan niscaya penghuninya akan terlindungi dengan baik.<br />
<br />
"Whoa. Dari mana kamu dapatkan ini?" Soalnya Vin tidak terlihat seperti orang yang percaya pada hal-hal seperti itu.<br />
<br />
"Ayah angkatku orang Indian. Dukun suku, malah. Waktu aku pindah ke Denver, dia memberiku ini," jelas Vin.<br />
<br />
"Dan kamu percaya? Maksudku, pada hal-hal supranatural."<br />
<br />
"Kenapa tidak?" enteng tanggapan Vin.<br />
<br />
Ya, ketika manusia menghadapi peristiwa yang tidak mungkin dijelaskan secara memuaskan dengan akal sehat dan teori-teori ilmiah, ke mana lagi orang bisa lari untuk mencari alasan?<br />
<br />
"Oke, kamu punya kantung guna-guna, tapi... apa kamu keberatan kalau menaburkan garam juga?" pinta Dean. Dia merasa telanjang tanpa senjata yang biasa disandang dan tebaran garam dapat membuatnya tidur lebih nyenyak.<br />
<br />
"Tak masalah," kata Vin. Dia mengira bahwa tradisi itu adalah cara Dean tetap menghormati ayahnya yang telah pergi dan dia menghargai keinginan itu, mampu memahami sebuah loyalitas. "Nantilah sebelum tidur aku garami pintu dan jendela," Vin berjanji.<br />
<br />
"Trim's." Dean sungguh-sungguh memaksudkannya.<br />
<br />
Dean dan Vin lantas larut dalam kediam-diaman, mata mereka terpancang pada apa yang disiarkan di televisi, benda yang menjadi penyelamat dari kecanggungan ketika percakapan mencapai jalan buntu atau kehabisan isu. Benda yang kerap menjadi sarana untuk menghindar dari saling memandang, apapun alasannya.<br />
<br />
"Kenapa?" Tiada angin, tiada hujan, tahu-tahu kata itu tercetus begitu saja dari mulut Dean.<br />
<br />
Vin menegakkan punggung, condong ke arah Dean. "Kenapa apanya?"<br />
<br />
"Mengapa kamu menolongku?" tanya Dean penasaran, tanpa basa-basi. "Aku bisa saja pembegal yang memerangkapmu atau semacam itu." Atau lebih buruk lagi, monster yang memancingmu untuk terlibat dalam permainan keji mereka.<br />
<br />
Vin merenungkan pertanyaan itu agak lama sebelum menjawab, "Entahlah." Dia angkat bahu. "Waktu aku melihatmu, aku hanya tahu aku perlu membantumu. Itu saja."<br />
<br />
Namanya bisa insting, firasat, perasaan, atau apa saja. Yang jelas, itu adalah dorongan yang menggelegak di perutmu, menggesa di benakmu untuk melakukan sesuatu sebelum kau tahu alasannya. Kadang baru diketahui sebabnya belakangan, sering tanpa penjelasan rasional sama sekali.<br />
<br />
"Kamu terlalu baik, jangan sampai kebaikanmu yang main tolong itu disalahgunakan orang," gumam Dean. Karena dunia masih memerlukan orang sepertimu, sangat butuh.<br />
<br />
Sorot mata Vin sedikit menggelap, membuat Dean melihat jejak perjalanan hidupnya yang keras, yang menempanya menjadi dia yang sekarang. "Aku tahu," kata Vin, pelan tapi tegas. "Kamu tidak usah mengajari aku soal kewaspadaan."<br />
<br />
"Nah, lantas?"<br />
<br />
Helaan nafas panjang Vin terdengar berat, seakan dia ingin mengeluarkan sebagian bebannya bersama udara. "Aku hanya..." Vin berhenti sebentar untuk menelan ludah, "telah melakukan banyak hal di masa lalu yang aku stidak bangga karenanya dan sekarang jika ada kesempatan untuk menolong sesama, aku akan melakukannya."<br />
<br />
Penebusan, itu sesuatu yang Dean pahami. Harapan bahwa dengan melakukan sesuatu yang benar, kesalahan yang telah diperbuat entah bagaimana akan terampuni atau tertanggungkan, kalau tidak bisa terhapuskan seluruhnya. Pertobatan yang selalu mengundang pertanyaan, apakah sudah mencapai impas. Apakah akan bisa cukup?<br />
<br />
Sebuah <i>touchdown</i> yang dirayakan dengan meriah di layar televisi membetot perhatian mereka berdua dan Vin mengeraskan volume televisi. Keduanya kembali memirsa layar perak itu dengan setengah hati. Pertukaran kata terhenti, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Pengeras suara televisi boleh saja membahana di ruangan itu, tetapi baik Dean maupun Vin sejatinya terlingkupi sunyi.<br />
<br />
Beberapa menit menjelang akhir pertandingan, Vin menangkap suara dering ponselnya dari kamar tidur dan dia bergegas ke sana untuk menjawab telepon. Ternyata hanya sekretaris AD Travis yang mengingatkannya agar esok pagi sebelum ke kantor Vin diminta mampir ke rumah atasannya itu. Vin menerka, paling-paling terkait "proyek spesial" yang diwajibkan buat tim tujuh sebagai pembayar kehebohan publik yang mereka timbulkan sewaktu penyergapan di pabrik alkohol ilegal tempo hari. Percakapan itu tidak panjang dan sewaktu Vin balik ke ruang tengah, di antara lagu tema iklan Coca Cola didengarnya dengkur halus Dean.<br />
<br />
Vin mematikan pesawat televisi dan Dean tak menyadarinya, pulas benar dia tampaknya. Vin berlutut di samping pria yang lebih muda itu, mengamatinya untuk beberapa jenak. Dean berbaring sedemikian rupa sehingga tidak membebani sisi tubuhnya yang cedera, nafasnya naik-turun dengan teratur, lelap. Dia terlihat lebih muda ketika sedang tidur, pikir Vin. Demikian tenang, garis-garis di wajahnya lebih lunak. Usia Dean hanya terpaut setahun lebih tua dari JD, anggota paling bontot di tim. Namun, kepolosan layaknya bocah seperti yang dimiliki JD sudah terenggut dari Dean, sama dengan Vin waktu seumurnya. Sayang sekali.<br />
<br />
Teringat pesan Leigh, Vin mengulurkan tangannya menyentuh dahi Dean, sesuatu yang tak mungkin dilakukan kalau pemuda itu masih sadar. Dia lega mendapati suhu tubuh Dean terasa hangat normal. Dia berniat besok pagi akan membantu Dean mengganti perban, sekalian mengecek kondisi lukanya. Mungkin Vin juga bakal meminta Dean meminum obatnya. Vin lantas berpikir bahwa dia tidak keberatan menampung pemuda itu selama beberapa hari sampai Dean cukup pulih untuk pergi. Vin tahu meski orang-orang seperti dia dan Dean kerap mencari gua untuk bersembunyi sambil menjilati luka sampai sembuh, ada sepotong sisi dalam diri yang tidak menolak jika ditemani, dirawat. Hanya saja, mereka lebih baik patah kedua kaki daripada mengakuinya.<br />
<br />
Dean tak bergerak ketika Vin membenahi letak selimutnya dan senyum kecil tersungging di bibir Vin. Dia melempar pandang terakhir ke arah Dean sebelum berdiri, mematikan lampu dan beranjak pergi. Menepati janjinya pada Dean, Vin mengambil sekaleng garam meja dan membuat garis garam tipis di depan pintu dan jendelanya. Dia menguap lebar sesudahnya, membatin bahwa rebahan di kasur empuknya terasa sebagai prospek yang kian menarik saja dan itulah yang dia lakukan.<br />
<br />
Jam biologis Vin sudah mengatur agar pemuda itu terbangun tepat sebelum fajar meyingsing setiap hari, hari ini tak terkecuali. Langit di luar jendela masih kelam saat dia terjaga, tapi Vin tidak punya kebiasaan lama-lama di tempat tidur. Jadi, dia bangun dan berjalan telanjang kaki ke ruang tengah, ingin melihat bagaimana keadaan tamunya. Apa yang ditemuinya di ruang tengah, atau lebih tepatnya, apa yang tidak ditemukannya di sana membuatnya tertegun.<br />
<br />
Dean telah tiada.<br />
<br />
Vin mengedarkan pandang ke sekeliling ruang tengah dan seputar apartemen untuk memastikan bahwa Dean benar-benar sudah pergi. Ranjang temporer yang ditidurinya semalam kini kembali menjadi sofa yang sebagaimana mestinya, selimut dan bantal disusun rapi di atasnya. Handuk dan pakaian ganti yang dipinjamkan Vin ditaruh dalam keranjang pakaian kotor. Jins dan jaket Dean tidak terlihat di mana pun. Pemuda itu menghilang tanpa meninggalkan jejak, pikir Vin. Dia membereskan semuanya, menghapus segala pertanda bahwa dia pernah ada di sini, lenyap tak berbekas, berlalu bagai angin, seakan minta dilupakan.<br />
<br />
Samar-samar hidung Vin menghidu aroma kopi dan dia memeriksa ke dapur. Di sana didapatinya mesin kopinya telah dinyalakan oleh seseorang, secerek kopi hitam panas yang hampir penuh telah tersedia dan ada satu cangkir yang sudah dicuci di bak peniris piring. Terdapat sehelai kertas diletakkan di sisi mesin pembuat kopi dan kala Vin meraihnya, selembar uang lima puluh dollar yang ditaruh di bawah kertas itu pun tampaklah.<br />
<br />
Pada kertas itu tertulis dengan huruf-huruf balok yang rapi pesan berikut.<br />
<br />
<i>Terima kasih, atas semuanya. Kau telah berbuat lebih dari yang seharusnya kaulakukan Dan tentang uangnya, itu bukan karena aku mengecilkan arti pertolonganmu, tapi karena aku sangat menghargainya. Jadi, terimalah. Pakai untuk cuci jipmu, belikan dokter manismu burger atau apalah.</i><br />
<br />
~*~<br />
<br />
Denver, Colorado. 2007.<br />
<br />
Chris Larabee menyipitkan mata menilik satu poci kopi yang mendidih di ruang istirahat tim tujuh. Mata tajamnya lantas terarah pada dua rekannya yang bersandar di ambang pintu, mimik terhibur setengah menggoda jelas terpapar di muka mereka.<br />
<br />
"Siapa di antara kalian yang datang lebih dulu?" tanya Chris.<br />
<br />
Josiah Sanchez dan Vin bertukar pandang identik.<br />
<br />
"Coba tebak, koboi," sahut Vin ringan.<br />
<br />
Chris mengeluh dalam hati. Jawaban atas pertanyaannya barusan itu amat krusial, soalnya itu menentukan apakah dia akan dihantui oleh pahit dan sepatnya kopi bikinan Vin sepanjang hari atau dapat memenuhi kebutuhan dosis kafein paginya secara normal.<br />
<br />
"Sudah bertahun-tahun merasakan kopinya Junior di sini," komentar Josiah, "masa kamu tidak bisa membedakan aromanya?"<br />
<br />
Chris melambaikan tangan, menggebah kedua anak buahnya pergi. Percuma saja, dua orang itu dapat jadi sangat kompak bila berniat mengerjai dirinya. Chris menarik nafas panjang beberapa kali, meneguhkan diri dan dengan gagah berani menuang secangkir kopi untuk direguk perlahan-lahan.<br />
<br />
"Brengsek!"<br />
<br />
Teriakan Chris diikuti suara meludah-ludah yang terdengar dari dalam ruang istirahat kontan membikin Vin dan Josiah tergelak.<br />
<br />
"Kerja bagus, Saudaraku," Josiah berkata, menepuk telapak tangan yang diajukan Vin.<br />
<br />
"Oh, yeah," akur Vin.<br />
<br />
"Kalian berdua," suara Chris datang dari belakang mereka, pelan saja tapi menyeramkan, "mulai bekerja!"<br />
<br />
"Siap, bos!" salut Vin dan Josiah sebelum kembali ke meja masing-masing.<br />
<br />
Vin masih terpingkal kala dia menghidupkan komputer dan membuka pesan-pesan yang masuk dalam kotak surat elektroniknya. Dia menghapus surat-surat yang tak penting dan mengklik satu judul surat dari FBI.<br />
<br />
Isi surat yang terpampang di layar monitornya melenyapkan sisa-sisa keriangan yang ada pada diri Vin.<br />
<br />
Di sana, sebuah foto terpajang dengan sebaris tulisan yang menyatakan bahwa pria dalam potret itu adalah buronan yang sedang dicari oleh FBI. Di bawahnya dicantumkan berbagai kejahatan yang dituduhkan atasnya beserta tautan untuk membuka lampiran berisi laporan selengkapnya.<br />
<br />
Seraut wajah itu, Vin terhenyak ketika mengenalinya, adalah milik Dean "Smith" yang pernah ditolongnya beberapa tahun silam. <br />
<br />
Namun, nama yang menurut FBI menyertai wajah itu adalah Dean Winchester.<br />
<br />
~*~<br />
<br />
SELESAIOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-55344461890590930852010-01-05T14:44:00.000+07:002010-01-05T14:44:17.277+07:00Fic: Real HeroAuthor: Phuttackles<br />
Rating: T<br />
Disclaimer : Semua pemain bukan milik saya, tapi punya WB, kripke, Marvel, dan kawan - kawan.<br />
Genre : humor<br />
A/N : Karena sebentar lagi pergantian tahun, ini spesial buat pecinta Supernatural dan Superhero. Happy New Year !!<br />
<br />
“Rise and shine, Sammy!”<br />
<br />
Sam mencoba mengumpulkan sebagian nyawanya yang masih terbawa mimpi, sedangkan Dean lagi aysik menggeliat meregangkan otot - ototnya.<br />
<br />
“Hantu gila kemarin benar-benar menguras seluruh tenagaku, untung saja korbannya seorang sexy dancer,” Dean tertawa girang membayangkan kejadian semalam. Sam hanya menepuk dahi dan bergegas ke kamar mandi.<br />
<br />
Tiba-tiba pintu motel di daerah Vancouver itu diketuk beberapa kali. Dengan malas, Dean segera membuka pintu yang ternyata terkunci. Dean melihat sekeliling dengan teliti mencari kunci terkutuk itu. Dan dia mendapati kunci tersebut tengah bersantai di atas nakas tempat tidur Sam.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Oh, bitch!” Dean berjalan sambil komat-kamit dan mengeluarkan sejumlah kata-kata yang sebaiknya tak diucapkan anak underage. Tapi sayangnya Dean memang sudah dewasa walaupun sikapnya sedikit kekanakan, jadi dia tetap melanjutkan komat-kamitnya sambil meraih kunci tersebut.<br />
<br />
Setelah memutar kenop, Dean mengernyit menatap seseorang lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang.<br />
<br />
“Benarkah Winchester Brothers tinggal di sini?”<br />
<br />
“Ya, benar.”<br />
<br />
“Apakah kamu Dean?”<br />
<br />
Dengan kesal Dean menjawab dengan jawaban yang sama.<br />
<br />
“Wah, ternyata lebih tampan aslinya.” Dean jadi senyum-senyum sekarang.<br />
<br />
Lelaki itu melanjutkan, “Syukurlah akhirnya ketemu juga. Huh, mencari tempat tinggal kalian itu yang paling susah. Aku sampai berkeliling ke berbagai kota. Ya aku tahu kalian kan tinggalnya berpindah-pindah, jadi aku....”<br />
<br />
“Ya aku mengerti. Sekarang apa tujuanmu ke sini?” Dean segera memotong pembicaraan sebelum dia mematung di sana.<br />
<br />
“Oh iya, aku mau mengantarkan undangan.” Lelaki itu mengambil sebuah kertas di tasnya kemudian menyodorkannya pada Dean. “Ini dia.”<br />
<br />
“Undangan?”<br />
<br />
***<br />
<br />
Sam keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan sehelai handuk yang melilit pinggang sampai lututnya. Badannya yang atletis terlihat menawan dipadu dengan segarnya wangi sabun khas pria.<br />
<br />
Sam hanya tergeleng melihat kakaknya sedang tertidur kembali sambil memegang sebuah kertas.<br />
<br />
“Apa ini?” Sam mencoba mengambil kertas itu, Dean pun terbangun.<br />
<br />
“Undangan.”<br />
<br />
“Undangan apa?”<br />
<br />
“Entah aku belum membukanya.”<br />
<br />
Sam segera membuka undangan itu. Setelah beberapa lama serius membaca, tiba-tiba Sam tertawa.<br />
<br />
“Konyol sekali.”<br />
<br />
Dean menoleh penasaran, “Apanya yang konyol?”<br />
<br />
“Reuni Superhero.”<br />
<br />
“Ha?” Dean langsung menegakkan duduknya.<br />
<br />
“Kita diundang ke acara Reuni Superhero.”<br />
<br />
Dean hanya terdiam dan membelalakkan matanya.<br />
<br />
“Konyol, kan?” sahut Sam sambil melemparkan undangan itu ke nakas.<br />
<br />
“Wow! That’s cool, Sammy.”<br />
<br />
Sekarang balik Sam yang membelalakkan mata. Dean mengambil undangan itu dan membacanya.<br />
<br />
“Besok menyambut tahun baru, di Living Shangri-La. Wow, it’s the tallest building in Vancouver.”<br />
<br />
“So?”<br />
<br />
“So, mari kita bersiap untuk pesta besok.”<br />
<br />
“Dean, are you serious?”<br />
<br />
“Absolutely.”<br />
<br />
“Dean, tell me once again. Are you crazy?”<br />
<br />
“Absolut… What? Crazy?” Dean melemparkan bantal ke arah Sam yang sedang tertawa keras.<br />
<br />
Dean terdiam, “Bayangkan Sam, betapa cute-nya para superhero itu. Dan kita akan bersanding dengan mereka. Wow.. wow.. amazing.”<br />
<br />
“Dean, kau seperti anak kecil.”<br />
<br />
Sam balik melempar Dean dengan bantal dan terjadi perang bantal di antara dua bersaudara itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Rise and shine, Sammy.”<br />
<br />
Sam mencoba mengumpulkan sebagian nyawanya yang masih terbawa mimpi dan terkejut melihat Dean. Tidak seperti kemarin, dia melihat Dean masih aysik menggeliat. Tapi sekarang Dean sedang berdiri di depan cermin, menggunakan jas rapi seperti yang tertera pada undangan.<br />
<br />
“Perfect.” Dean menghela nafas kemudian cemberut ke arah Sam. “Cepat mandi.”<br />
<br />
“Jam berapa ini?”<br />
<br />
“8 am.”<br />
<br />
“Masih jam 8 am? Acara kan masih jam 8 pm?”<br />
<br />
Dean hanya menunjukkan sederetan giginya.“Just mix and match.”<br />
<br />
Sam menguap lebar mendengar pernyataan itu.<br />
<br />
Seharian penuh Dean sibuk menyiapkan segala sesuatu. Mulai dari mencoba beberapa jas, mencuci impala, menyikat sepatu, dan hal – hal yang menurut Sam sangat konyol. Berbanding terbalik Sam hanya berkutat dengan laptopnya, mencari info tentang demon terbaru. Segala penampilannya dia serahkan pada Dean.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Come on, Sammy,” Dean berteriak di depan pintu sambil membenarkan jam tangannya dan terkejut melihat Sam masih terduduk manis sambil membaca undangan itu.<br />
<br />
“Harap membawa kostum superhero dan pasangan masing-masing.”<br />
<br />
“Kostum Superhero?” Dean berhenti melakukan segala aktivitasnya.<br />
<br />
“Great ! Kita tidak punya kostum, dan bahkan kita tidak punya pasangan.”<br />
<br />
“Kostum? Ada kok.” Dean berlari ke lemari kemudian mengambil dua potong kaos, blue jeans, dan jaket kulit. “Taa daaa.. Ini kostum kita. Kita selalu memakai kostum ini jika berburu hantu. Emm yaa kecuali ketika jadi FBI.”<br />
<br />
Sam angguk-angguk, “Lalu pasangannya?”<br />
<br />
“Kita adalah pasangan.”<br />
<br />
***<br />
<br />
Sebuah Impala berhenti di depan Living Shangri-La, di mana banyak sekali orang berkerumun hendak menyambut acara ‘Superhero Reunion in New Year Party’. Semua orang berteriak histeris ketika melihat Dean Winchester keluar dari bangku kemudi. Disusul dengan Sam Winchester di bangku kanan. Dean agak ragu menyerahkan baby-nya ke seorang valet. Tapi melihat penonton yang begitu antusias, Dean malah dengan penuh aksi melemparkan kucinya ke valet itu. Setelah menarik nafas panjang, Dean mulai berjalan di red carpet. Dean tertawa jahil sambil mengedipkan mata ke arah wanita-wanita seksi yang sedang meneriakkan namanya. Kemudian dia melakukan kiss bye ke semua orang. Sam hanya tersenyum malu-malu dengan sedikit menunduk dan mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Dean. Kali ini Dean melemparkan senyum kecut ke arah Sam, menunjukkan hatinya yang kesal karena dia akan terlihat pendek jika sejajar dengan Sam.<br />
<br />
***<br />
<br />
Penonton hanya bisa menyaksikan acara tersebut dari televisi. Acara reuni selanjutnya dilakukan private dan hanya dihadiri para superhero, kerabatnya, serta panitia acara. Kabarnya superhero yang diundang adalah enam superhero yang memiliki rating tertinggi, melalui voting di suatu situs.<br />
<br />
“Berarti kita termasuk superhero? Penyelamat manusia dari demon. Dan kita masuk 6 tertinggi. Woo hooo !” Dean berteriak-teriak dan Sam hanya bisa memaklumi kakaknya.<br />
<br />
Semua hadirin hening, seorang lelaki naik ke atas panggung sebagai presenternya.<br />
<br />
“Hi Ladies and Gentlemen! I’m Ryan Seacrest, will make tonight … “<br />
<br />
“Serasa nonton American Idol,” Dean nyeletuk.<br />
<br />
***<br />
<br />
“Kita sambut, Superman !”<br />
<br />
Lelaki tampan, bertubuh atletis, dan memakai kaca mata naik ke atas panggung. Kemudian ia merobek hem putihnya, memperlihatkan baju di dalamnya berwarna biru. Tiba-tiba lampu digelapkan dan ia muncul dengan kaos dan celana ketat biru, bersayap merah, dengan tulisan S perpaduan merah dan kuning, sepatu merah, dan tak terlupakan sejenis underwear berwarna merah. Tentunya tanpa kaca mata.<br />
<br />
Seluruh hadirin bertepuk tangan, kecuali Dean. Dean malah tertawa terbahak-bahak. Semua mata pun tertuju pada Dean. Tentu saja Sam langsung membekap mulut Dean dan tersenyum manis ke semua hadirin.<br />
<br />
“Dean..”<br />
<br />
“Lihatlah, Sam. Betapa seksinya Superman. Kaosnya ketat, dan underwearnya merah memikat.” ucap Dean sambil terkekeh.<br />
<br />
“Tapi itulah ciri khasnya.”<br />
<br />
Dean menoleh ke sumber suara, tepat duduk di sebelah kirinya. Seketika Dean mematung menatap wanita seksi, yang bahkan jauh lebih seksi dari Superman.<br />
<br />
“Oow... uh... yeaah.. .maksudku begitu.”<br />
<br />
“Lois Lane.”<br />
<br />
“Dean, Dean Winchester.”<br />
<br />
“Siapa yang di sebelahmu?”<br />
<br />
Dean melirik ke arah Sam, dan lagi-lagi cemberut dan tersenyum kecut. “Dia adikku.”<br />
<br />
“Sam.”<br />
<br />
“Lois.”<br />
<br />
“Bukankah kau adalah pacar Superman?”<br />
<br />
“Ya, mungkin begitu.” Lois tertawa kecil sedangkan Dean terkejut setengah mati. Dean berulang kali menghujat dirinya dalam hati karena telah mengejek Superman di depan wanita seksi itu, yang ternyata adalah pacarnya.<br />
<br />
Hingga Sam membisikkan sesuatu di telinga Dean, “How stupid you are, Jerk.”<br />
<br />
Mereka kembali terfokus pada panggung. Kemudian muncul Batman. Dan lagi-lagi Dean keceplosan.<br />
<br />
“Lihatlah, Sam. Dia seperti anak kecil saja, pakai telinga tikus palsu.”<br />
<br />
“Itu telinga kelelawar, Dean.” Sam berusaha sabar. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dan ia segera menoleh ketika mendengar Dean berteriak tertahan.<br />
<br />
“Kau yang seperti anak kecil, bodoh.” Dean menoleh ke bangku belakang dan bersiap marah, tetapi ia segera melunak melihat yang memukulnya adalah wanita cantik pula.<br />
<br />
“Maaf, Rachel. Kakakku memang suka bercanda.” Ternyata Sam mengenali wanita itu. Dan Dean cemberut untuk yang kesekian kalinya.<br />
<br />
“Oh, kau rupanya, Sam. Lama tak berjumpa. Dia kakakmu?”<br />
<br />
Dean segera menyodorkan tangan, “Dean Winchester.”<br />
<br />
“Rachel Dawes. Aku teman Bruce Wayne dari kecil, jadi agak sensitive kalau ada yang bilang seperti itu.” Mereka bertiga pun tertawa.<br />
<br />
Dean dan Sam kembali duduk menghadap panggung dan kali ini Dean yang berbisik ke telinga Sam. “How lucky you’re, Bitch!”<br />
<br />
Acara perkenalan Superhero diselingi oleh penampilan dari Aqua.<br />
<br />
“Yeaaahh my favourite song! Cartoon Heroes.” Dean kembali bersemangat dan berteriak girang. Tapi tatapan aneh segera diluncurkan oleh Sam.<br />
<br />
“Sejak kapan kamu suka Aqua? Where’s AC DC? Led Zeppellin?”<br />
<br />
Dean mengulum bibirnya, “Yaa... kan sama seperti zodiakku.” Ucapnya kemudian tersenyum seperti anak kecil meminta tambahan permen .<br />
<br />
Dengan menggebu-gebu, Dean ikut menyanyikan lagu Cartoon Heroes. Menirukan suara unik Lene Nystrøm. “Here come Spiderman, arachnophobian. Welcome to the toon town party. Here come Superman from never never land, Welcome to the toon town party.”<br />
<br />
Tiba – tiba Dean berteriak, “Here come Winchesters from Lawrence In Kansas, welcome to the demon party!”<br />
<br />
Semua orang tertawa, dan Aqua berhenti bernyanyi.<br />
<br />
“Hey, that is amazing. 1 2 3.. Here come Winchesters from Lawrence In Kansas, welcome to the demon party!”<br />
<br />
***<br />
<br />
“Oh hell, big cheese burger. Yummy..” Dean mendekat ke arah stand cheese burger. Saking terburu-buru, Dean sampai menubruk seorang wanita yang sedang celingukan. Dean membantu wanita itu berdiri dan untuk kesekian kalinya melihat wanita cantik di depannya. Namun wanita itu tampak terkejut melihat Dean.<br />
<br />
“Jason?” tanya wanita itu dan sekarang ganti Dean yang celingukan.<br />
<br />
Wanita itu memegang lengan Dean, “Jadi kau tidak mati? Jason?”<br />
<br />
Dean jadi gelagapan dipegang erat oleh wanita cantik. Tapi momen itu tak jadi romantis ketika seorang lelaki bertubuh besar datang.<br />
<br />
“Lana?” Lelaki itu melepaskan tangan Lana dari lengan Dean.<br />
<br />
“Clark, Jason belum mati.” Clark menatap wajah Dean.<br />
<br />
“Kau Jason? Jason Teague?”<br />
<br />
“Oh maaf, aku bukan Jason. Aku Dean, Dean Winchester. Dan ini adikku, Sam.” Kali ini Dean tidak kesal mengenalkan Sam, karena dia merasa Sam dapat melindunginya dari lelaki bernama Clark ini. Badan mereka hampir sama, pikir Dean.<br />
<br />
“Tapi wajahmu mirip sekali dengan Jason.”<br />
<br />
“Ya wajah tampan sepertiku ini memang banyak yang ingin mengembari.” Dean dan Clark terbahak.<br />
<br />
“Iya, tak mungkin dia Jason. Jason tak pernah se-confidence ini.” Sekarang ganti Lana yang terbahak.<br />
<br />
“Senang bertemu denganmu, ehm..”<br />
<br />
“Dean.”<br />
<br />
“Sam.”<br />
<br />
“Oh iya Dean dan juga kau Sam.”<br />
<br />
Dean melambaikan tangan dan teringat lagi akan cheese burger-nya. Dean melahap dua potong bacon cheese burger, dan melanjutkan wisata kuliner ke stand pie.<br />
<br />
“Siapa mereka tadi?”<br />
<br />
Sam memutar bola matanya, “Kukira kau paham banyak tentang superhero. Dia itu Clark Kent semasa muda, sebelum jadi Superman berseragam. Dan wanita itu Lana Lang, pacarnya.”<br />
<br />
“Oh... Kau tahu banyak ya”<br />
<br />
***<br />
<br />
Acara dilanjutkan dengan pemilihan best couple. Ada beberapa nominasi untuk superhero yang dipilih oleh pemirsa di televisi, yaitu Superman dengan Lois Lane, Batman dengan Rachel Dawes, Spiderman dengan Mary Jane, Iron Man dengan Pepper Potts, Clark Kent dengan Lana Lang, dan Dean Winchester dengan Sam Winchester.<br />
<br />
Ryan Seacrest ditemani Jessica Alba, bersiap membaca pemenangnya.<br />
<br />
“Dan pemenang best couple adalah… Dean and Sam Wichester.”<br />
<br />
Dean dan Sam seketika terbelalak mendengarnya. “Ayo maju ke depan.” Jessica Alba melontarkan senyum manis yang menghipnotis Dean segera naik ke panggung.<br />
<br />
“Ehm... Sangat senang bisa menjadi pemenang. Walaupun kami ragu apa arti ‘couple’ di sini. Kami hanya ingin berkata…” Sam berhenti sejenak dan melirik Dean. Kemudian mereka berkata berbarengan, “We-are-not-gay.” Seluruh hadirin pun tertawa dan memberikan standing applause.<br />
<br />
***<br />
<br />
Menjelang jam 11 pm, acara dilanjutkan dengan penyambutan Winchester Brothers sebagai anggota baru di Superhero Reunion. Diputarkan beberapa video dan slide show tentang mereka.<br />
<br />
“Berapa hantu yang sudah kalian buru?” tanya Ryan Seacrest<br />
<br />
“Aku tidak pernah menghitungnya.” Dean terkekeh.<br />
<br />
“Oh, kukira Sam membantumu menghitungnya.” ujar Jessica Alba sambil melirik Sam.<br />
<br />
“Sam? Dia tidak bisa diandalkan.” Semua penonton tertawa untuk kesekian kalinya.<br />
<br />
“Sama saja. Dean kerjaannya hanya menunggui hantu yang menyamar sebagai sexy dancer atau semacam Lilith.” Kali ini mereka saling menyindir di atas panggung dan penonton tertawa lagi.<br />
<br />
“Rupanya Winchester Brothers ini sangat humoris ya. Oh iya, ketika berburu kalian memakai baju apa? Biasanya, kan ada seragam seperti milik superhero yang lain.”<br />
<br />
“Inilah baju kami, khas Kansas. Kaos, jeans, dan jaket kulit.”<br />
<br />
“Awesome!” Jessica Alba memandang Dean kagum, dan Dean jadi semakin percaya diri.<br />
<br />
“Kalau kalung yang kau pakai itu apa Dean?”<br />
<br />
“Ini Metal Amulet. Sam yang memberikannya padaku sebagai kado Natal.”<br />
<br />
“Sepertinya kau sangat menyayangi kakakmu Sam?”<br />
<br />
“Hanya acting.” Hall itu pun semakin ramai dengan tawa penonton.<br />
<br />
“Lalu apa senajata kalian?”<br />
<br />
“Colt, iron, holy water, dan garam.”<br />
<br />
“Hanya itu?”<br />
<br />
“Yeaa that’s all.” Penonton memberikan standing applause untuk kedua kalinya.<br />
<br />
“Baiklah karena kalian adalah pendatang baru, kalian boleh mencoba gadget dari Superhero yang lain. Mau pilih apa?”<br />
Dean dengan lantang menjawab, “Tumbler!” dan Sam menjawab, “Baju besi milik Iron Man.”<br />
<br />
***<br />
<br />
Sudah 30 menit Dean berlatih menggunakan tumbler, tapi tetap tak berhasil. Sedangkan Sam sudah terbang gembira dan sangat fasih menggunakan baju Iron Man. Untung saja Bruce Wayne dengan sabar terus melatih Dean. Dan ketika Dean berulang kali akan terjatuh, Spiderman dengan sigap membuatkan jarrng agar dia terjatuh ke jaring laba-laba itu.<br />
Hingga pada akhirnya saat jam 12 berdentang tanda pergantian tahun, Dean berhasil mengendarai tumbler. Semua penonton bersorak sorak menyambut tahun baru.<br />
<br />
Bruce Wayne bertanya pada Dean, “Bagaimana Dean? Ingin alih profesi menjadi Batman?”<br />
<br />
Dean tersenyum, “Tidak, hunting demon sudah mendarah daging di tubuhku. Lagipula aku masih menyayangi Impalaku. Kecuali kalau Batman 2010 mau naik Impala.” Bruce Wayne tertawa geli. “Two thumbs up for you.”<br />
<br />
“Dan bersamaan dengan pergantian tahun, kami umumkan bahwa Winchester Brothers mendapatkan rating tertinggi sebagai Superhero terfavorit.”<br />
<br />
Dean dan Sam terkejut lagi. Semua orang memberikan selamat pada mereka.<br />
<br />
Kemudian Sam memeluk Dean, “Happy New Year, Brother!”<br />
<br />
Dean menepuk punggung Sam, “Happy New Year to you too.”<br />
<br />
-END-Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-71753255602513665812009-12-29T16:22:00.000+07:002009-12-29T16:22:03.429+07:00Fic: Supernatural ChristmasAuthor: Steph<br />
Rating: T<br />
Genre : Drama<br />
Disclaimer: tentu saja bukan punyaku. Supernatural seratus persen milik unca Kripke.<br />
A/N: berhubung besok perayaan Natal,jadi pengen buat ginian. Bagi kalian yang nggak ngerayain Natal, ya aku harap kalian suka aja sama cerita ini. ^^v Bagi yang merayakan Natal, just wanna say "MERY X'MAS"<br />
PS: karena baru dibuat siang ini,jadi ceritanya agak pendek...<br />
<br />
<br />
24 Desember 07:30 AM<br />
<br />
Sam duduk di pinggir jalan, di sebuah bangku kayu yang terletak di pusat kota. Sam sedang memandang butiran bola-bola kecil berwarna putih yang turun dari langit. Entah mengapa, dia sangat benci pada bola-bola salju. Dia benci bulan Desember.<br />
<br />
Aku benci Desember, pikirnya dalam hati. Entah mengapa dia benci Desember, hal itu terlalu berhubungan dengan Natal, dan aku benci Natal, pekiknya dalam hati.<br />
<br />
Sam memang sudah membenci Natal sejak ayahnya, John lebih sering di luar rumah daripada merayakan Natal bersama. Dia masih ingat saat dia membungkuskan amulet itu pada John. Dan nihil, bahkan daddy-nya tidak datang meski itu sudah hari Natal.<br />
<a name='more'></a><br />
Bahkan, Sam memberikan amuletnya kepada Dean. Sam benci Natal yang ada. Bahkan Sam pun benci Natal dua tahun lalu. Saat dia harus merayakan Natal saat kakaknya menunggu waktu untuk menghadapi kematiannya.<br />
<br />
Semua hal berbau Natal memang sucks.<br />
<br />
***<br />
<br />
23 Desember 10:45 PM<br />
<br />
"Sam, omong-omong, kita sudah tidak lama merayakan Natal lagi, bagaimana kalau hari ini kita pasang pohon Natalnya?" tanya Dean serius di depan TV. Maklum, akhir akhir ini siaran TV hanya berisi acara kartun Natal. Dan, untuk ukuran seorang Dean, Natal adalah perayaan yang menyenangkan.<br />
<br />
"Sudahlah, jangan aneh-aneh."<br />
<br />
"Ayolah... Ayolah Sam. Heran, dari dulu, kau memang tidak pernah suka dengan Natal. Memangnya ada yang salah dengan Natal?" tanya Dean. Dari dulu, dia memang heran, kenapa Sammy kecilnya ini membenci Natal.<br />
<br />
Sam hanya diam. Dia tidak ingin kakaknya tahu, bahwa dad-lah yang membuatnya membenci Natal. Setiap Natal, ia tak pernah menerima hadiah dari Santa Claus, maupun dari John sendiri.<br />
<br />
"Bukankah dua tahun lalu saja, kita merayakan Natal? Come on, Sam..."<br />
<br />
"Jangan paksa aku lagi Dean! Kau ingat, aku melakukan itu hanya... hanya... hanya... hanya karena kau bilang itu adalah Christmas terakhirmu kan? Sudahlah!"<br />
<br />
"Kalau begitu, aku ingin bilang... Mungkin ini adalah Christmas terakhir kita.. Kau ingat, apocalypse akan segera datang. Dan kau tahu, saat kita mengatakan 'iya' pada Lucifer atau Michael, maka kita tidak akan bisa merayakan Natal lagi. Aku tidak ingin, perayaan Natal kita dua tahun lalu menjadi yang pertama dan yang terakhir dalam hidup kita, semasa dewasa. Ayolah, Sam..."<br />
<br />
"Nooo... Big No! Tidak ada pohon Natal dan sebagainya!" Sam berjalan keluar motel. Meninggalkan Dean dalam kamarnya sendirian.<br />
<br />
***<br />
<br />
24 Desember 07:00 AM<br />
<br />
Dean membuka matanya dengan kaget. Astaga... Dia baru saja memimpikan dirinya menjadi vessel Michael dan Sam menjadi vessel Lucifer, sehingga, dia sebagai Michael menghunuskan pedang suci panjangnya, tepat di jantung Sam. Dan, kemudian, mata Dean membelalak. Dan mendapati dirinya berada di motel yang sama dengan semalam.<br />
<br />
"Sam?" tanya Dean memastikan. Terlalu sepi untuk jam segini. Biasanya Sam sudah pasti membangunkannya dan menyuruhnya cepat mandi.<br />
<br />
"Sam?" Dean bertanya lagi. Dia melongok ke tempat tidur Sam. Rapi. Sebuah tempat tidur yang tampaknya atau memang belum tersentuh manusia sejak semalam.<br />
<br />
Dean pun bangun, menggosok giginya, mandi, kemudian bergegas mencari Sam. Dia ingin meminta maaf, dia sadar dia terlalu memaksakan Sam untuk merayakan Natal.<br />
<br />
***<br />
<br />
24 Desember 11:00 AM<br />
<br />
Sam Winchester duduk di sebuah cafe. Dia baru saja memesan lemonade ice. Pikirannya sedang bingung. Dia memang benci Natal. Tapi, bagaimana, bila suatu hari, dia memang mengatakan "iya" untuk Lucifer, dan tidak akan ada lagi Natal baginya dan Dean, bagaimana? Bila tidak akan ada kesempatan lagi bagi Sam untuk bersama dengan Dean?<br />
<br />
"Mama... Mama... aku mau sepatu roda itu..." kata anak kecil kira-kira berumur 8 tahun, menggenakan kaos hijau, dan celana jeans-nya.<br />
<br />
Seorang ibu berumur tiga puluhan, mengelus kepala anaknya, kemudian berlutut dan berkata, "Mengapa tidak kau minta saja pada Santa Claus. Dia pasti akan memberimu." Ibu itu berdiri kembali, lalu menggandeng putranya itu kemudian keluar dari cafe.<br />
<br />
Dasar orang tua, pikir Sam. Sam sendiri sudah tahu kenyataanya. Tidak ada Santa Claus yang asli dan hidup. Semua itu hanya orang berkostum Santa. Dan, tidak akan ada Santa yang memberikan hadiah di malam Natal. Semua itu hanya orang tua mereka, atau bahkan saudara mereka. Dasar orang tua pembohong, pekik Sam lagi dalam hati. Mereka hanya memberikan fantasi dan imajinasi bodoh kepada anaknya. Menyuruh mereka tidur pagi, supaya mereka dapat kesempatan meletakkan hadiah di bawah pohon Natal. Memberi kesempatan bagi sang ayah untuk berubah kostum mennjadi Santa.<br />
<br />
Tidak ada! A Christmas just nothing except God's birth. Natal bukan soal pohon Natal, hadiah, dan Santa! Dan, aku benci Natal.<br />
<br />
Sam berlari keluar dari cafe tanpa meminum lemonade ice-nya.<br />
<br />
Di luar, dia bisa melihat dengan jelas, belasan anak-anak mengeremuni, the fake Santa. Meminta hadiah pada Santa, dan huh, pohon Natal.<br />
<br />
Akhirnya, Sam memutuskan untuk kembali ke motel mereka. Mungkin sebaiknya dia merayakan saja Natal, kalaupun itu memang berkesan di hati Dean. Dan, tentu saja, dia harus membelikan Dean hadiah. Ya! Itu benar. Dan, Sam pun berlari kencang, memburu toko pohon Natal dan juga hadiah buat Dean.<br />
<br />
***<br />
<br />
24 Desember 05:00 PM<br />
<br />
Sam sudah meletakkan pohon Natalnya yang sudah dihias itu di motel mereka. Sam agak takjub, bahwa Dean sudah tidak ada di motel. Sedikit kecewa memang, padahal dia ingin memberikan kejutan bagi Dean.<br />
<br />
Sam sekarang sedang berjalan kecil, berdendang santai, sambil mengayun-ayunkan kantong belanjaannya, dia sedang berjalan di sebuah gang belokan kecil, di mana itu adalah jalan tercepat untuk kembali ke motel, sebelum Dean kembali lebih dahulu. Dia baru saja membelikan Dean, sekantung peanut M&M's, dan beberapa kaset Zeppelin, yang Sam tahu, kaset-kaset itu belum menjadi koleksi Dean, dan tentu saja Sam membelikan oli mobil. Hadiah yang hampir sama dengan hadiah yang dia berikan kepada Dean dua tahun lalu, kecuali kaset-kaset Zeps.<br />
<br />
"Sam Winchester," sahut seorang laki - laki dari belakang Sam.<br />
<br />
Sam menoleh.<br />
<br />
"Kaget, Sam? Tentu saja aku memang berada di neraka. Tapi kau tahu, rusaknya sixty-six seals, membuat semua demon bisa dengan gampang keluar dari neraka," kata Alistair sambil memutari Sam. <br />
<br />
Bodoh, umpat Sam. Dia tidak membawa peralatan apapun.<br />
<br />
"Alistair?"<br />
<br />
Alistair menggerakkan tangannya seolah menyapu angin. Dan, gerakan itu membuat Sam membentur dinding jalan sepi itu. Tangan Sam, punggungnya, tidak bisa lepas dari dinding bata itu.<br />
<br />
"Mau apa kau?"<br />
<br />
"Kau tahu, sekarang aku menjadi kesayangan Lucifer. Setelah Lilith, terutama Ruby, orang yang kau percaya itu hancur, sekarang Lucifer mengutusku, untuk membuat mu mengatakan 'iya' padanya."<br />
<br />
"Tidak akan pernah!"<br />
<br />
"Sam... Sam... Kau memang bodoh... Tentu saja kau harus berkata 'iya'..." tangan Alistair mengepal.<br />
<br />
Sam merasakan sakit luar biasa dari jantungnya.<br />
<br />
"Kau bodoh. Kau tidak tahu, mungkin saja sekarang Dean sudah mengatakan 'iya' pada Michael. Buktinya, dia tidak ada di motel itu bukan? Kupikir, kau benci Natal Sam? Kado? Untuk Dean? Bukankah sejak dulu kau membenci Dean? Bodoh." Alistair membuat gerakan, di mana timbul goresan dan sayatan di pipi Sam, membuat pipi Sam tercakar, dan berdarah.<br />
<br />
"Kenapa kau hanya diam, Sam? Harusnya kau menerima tawaran Lucifer... Atau, aku akan lebih keras menyiksamu!" <br />
Tiba - tiba jantung Sam terasa sakit lagi. Dia sesak. Tidak bisa bernapas.<br />
<br />
"Terima saja, tawaran Lucifer, kau tidak akan melihat saudaramu lagi, tidak akan ada yang memaksamu menikmati Natal. Tidak ada perintah dari omong kosong saudaramu, Dean."<br />
<br />
"Ne-ver." kata Sam terbata. Sakit dari jantungnya terasa menyakitkan.<br />
<br />
"Sam!" Dean dari jauh berteriak.<br />
<br />
Alistair menoleh. Konsentrasinya pada Sam terpecah. Sam jatuh dari dinding. Sebaliknya, sekarang Dean yang menempel pada dinding itu.<br />
<br />
"Dean Winchester, huh? Seharusnya aku membunuhmu, seka-ra- aaaaaaaaagggggghhhhh" sebuah asap abu - abu gelap keluar dari mulut Alistair. Dan, Alistar juga Dean terjatuh bersamaan. Bedanya, tiba - tiba Alistair menghilang. <br />
Sementara Dean, jatuh terjerembab dalam gumpalan salju.<br />
<br />
***<br />
<br />
24 Desember 10:55 PM<br />
<br />
"So? Kau berubah pikiran, dude?" tanya Dean melihat motel mereka telah berisi pohon Natal setinggi enam kaki.<br />
<br />
"Yeah, maafkan aku... Memang seharusnya kita di sini."<br />
<br />
"Sudahlah, hum, tadi aku melihatmu, membawa bungkusan, apa itu?"<br />
<br />
"Owh, ya, tentu, beberapa kejadian di jalan tadi membuatku berpikir. Kau adalah Santa Claus-ku. Memberiku hadiah Natal, menemani malam Natalku, dan kau juga yang selalu menghabiskan kue-kue untuk Santa dan untuk Dad sewaktu aku masih kecil. So, aku memberimu ini."<br />
<br />
Dean dan anak kecil tidak jauh berbeda.<br />
<br />
Dean segera membuka bungkusan koran itu.<br />
<br />
"Permen kesukaanmu, kaset kesukaanmu, dan oli untuk Impala. Aku harap aku memberikan yang kauingini, karena aku ingin jadi Santa-mu, yang memberikan apa yang kauingini."<br />
<br />
"Ow, sweet dude. So, kau ingin aku memelukmu?" tanya Dean sambil menatap Sam. Dan Sam merentangkan kedua tangannya. Kemudian, Dean memberikan pelukan saudaranya.<br />
<br />
"Sudah, cukup! Aku juga ada sesuatu untukmu," kata Dean menyudahi adegan berpelukan "teletubies" itu.<br />
<br />
Dean memberikan bungkusan yang cukup besar.<br />
<br />
Sam membukanya tentu dengan perasaan malas. Dean memang Santanya, tapi Dean bukan Santa yang memberikan apa<br />
yang dia inginkan, seperti Natal terdahulunya, Shappire Barbie, skin mags, dan shaving cream.<br />
<br />
"A Teddy Bear?"<br />
<br />
"Yeah, tekan perutnya."<br />
<br />
Sam pun menekan perut boneka teddy berwarna coklat itu.<br />
"Merry Christmas Everyone... hohohohoho..." kata boneka Teddy itu.<br />
<br />
"Teddy?"<br />
<br />
"Tentu... kalau saja ini Natal terakhir kita... Aku ingin kau menyimpan teddy ini seperti anak kecil menyimpan Christmas-nya."<br />
<br />
"Ya...Ya...Thanks, Dean. By the way, dari mana kau mendapatkan teddy ini?"<br />
<br />
"Aku memaksa Santa Claus bohongan yang ada di ujung jalan sana, untuk memberikan aku kado berisi boneka teddy, dan aku akan menelanjanginya di tempat bila ia tidak segera menyerahkannya padaku. Awalnya dia menolak karena itu buat anak kecil, tapi, akhirnya aku mengatakan, itu untuk adik kecilku yang tidak pernah mendapat hadiah saat merayakan Natal, dan dia terbaring lemah di rumah sakit menunggu waktunya yang sebentar lagi. Dan dia memberikannya," kata Dean.<br />
<br />
"Dasar penipu," sahut Sam sambil tertawa.<br />
<br />
Dan mereka pun tertawa, sambil menikmati eggnog malam itu.<br />
<br />
***END***Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-51042865914427854462009-12-29T16:20:00.002+07:002009-12-29T16:20:46.835+07:00Fic: Sweetest EvilAuthor: Steph<br />
Genre : Humor<br />
Rating: T<br />
Disclaimer: Tentu saja Supernatural bukan punyaku. Dean, Sam, trickster dan Bobby milik unca Kripke tentu saja.<br />
<br />
Malam ini adalah malam paling dibenci oleh Sam. Pertama, karena malam ini memaksanya mengingat beberapa hari setelah malam perayaan ini yang telah menewaskan Jessica, seorang yang amat dicintainya hampir lima tahun lalu. Sebelumnya, Sam dan Jessica hidup dengan bahagia, bahkan hampir menikah. Kedua, memang sejak kecil, Sam begitu membenci perayaan ini. Ini bukan perayaan Oktoberfest. Tetapi ini adalah malam Halloween. Sebuah malam paling dibenci Sam dalam hidupnya. Bahkan bayang-bayang Jessica, dalam kostum nurse-nya masih terngiang-ngiang dalam kepala seorang Sam Winchester.<br />
<br />
Jelas, Sam Winchester bukan takut akan hantu atau kostum-kostum seram di malam Halloween. Tentu saja, dia dan sang kakak Dean Winchester, merupakan dua orang dari minoritas hunter di Amerika. Mereka cukup terkenal di kawasannya dengan keahlian memburu mereka. Bukan binatang buruan, tetapi mereka memburu semacam hantu, demon, spirit, atau bahkan monster urban legend.<br />
<a name='more'></a><br />
Lain Sam, lain pula Dean Winchester, saudara laki-laki tertua satu-satunya dari Sam. Dean, rasanya begitu menyukai Halloween. Halloween adalah malam paling disukai Dean. Pertama, karena tak jarang gadis-gadis malah berkostum sexy daripada berkostum menyeramkan, dan itu adalah suatu tontonan gratis bagi Dean yang cukup menggairahkan. Kedua, karena di malam Halloween tentu saja banyak permen dan coklat. Memang terdengar seperti anak kecil, namun bagi Dean tidak. Makanan sebangsa permen, coklat, pie, atau apapun yang manis adalah makanan yang menyenangkan sekaligus mengenyangkan perut, tentu saja makanan favorit Dean nomer sekian setelah bacon cheeseburger kesukaannya.<br />
<br />
Dean adalah anggota Winchester paling akrab bergaul dengan dunia makanan, termasuk makanan manis, bahkan berlemak. Ya, hidup Dean lebih tepatnya pasti berkutat dengan makanan.<br />
<br />
Dean dan Sam baru saja melemparkan pantat mereka di atas sebuah sofa tua berwarna hijau yang beberapa warnanya kusam karena debu di sisi-sisinya. Dua saudara itu baru saja mengeluarkan beer dari kulkas dan meletakkanya di atas meja dengan penerangan lampu kamar motel yang temaram itu saat sebuah ketukan pintu berbunyi.<br />
<br />
Sam memandang Dean penuh arti dengan maksud menyuruh kakaknya itu membukakan pintu.<br />
<br />
"Yeah?" sahut Dean ketika pintu kayu itu terbuka. Di depannya, Dean mendapati 3 orang anak-anak kecil dengan kostum vampire, zombie, dan witch dan sebuah keranjang berbentuk labu di tangan mereka yang rupanya sudah setengah penuh berisi permen, coklat, marshmallow, dan berbagai macam gula-gula lainnya.<br />
<br />
"Trick or treat?" kata mereka serempak sambil menyodorkan keranjang labu mereka.<br />
<br />
"Oh, God, tunggu di sini," kata Dean segera masuk tanpa menutup pintu. Sam melihat Dean dengan sedikit menaikan alisnya ke sudut 60 derajat dan membuat kerutan kecil di dahinya. Lalu Dean keluar dan berkata, "Ini buat kalian. Sekarang pergilah." Dean menyerahkan 3 buah permen di masing-masing keranjang mereka.<br />
<br />
"Hey, dude!" kata si vampire.<br />
<br />
"Apa?" sahut Dean ketus.<br />
<br />
"Hey, dude! Kau cuma memberi kami 3 permen?"<br />
<br />
"So?" jawab Dean acuh.<br />
<br />
"Hey, tidakkah kau mau memberinya lagi?" tanya si zombie.<br />
<br />
"Listen me, boys, kalian masih kecil, jadi jangan terlalu banyak makan coklat dan permen, gigi kalian sakit baru tahu rasa!"<br />
<br />
"Lalu, kau sendiri? Kau juga sedang makan coklat kan dude?" elak si vampire.<br />
<br />
Dean baru menyadarinya, sepotong kecil coklat bar yang baru saja digigitnya, dan Dean pun segera mengelak, "Tentu saja aku boleh. Aku kan sudah dewasa! Lagipula, lihat, keranjang kalian sudah penuh dengan permen! Itu sudah cukup bagi kalian yang masih anak-anak!" Dean mulai berbicara dengan nada yang meninggi. <br />
<br />
Saat itu juga Sam keluar untuk melihat "peperangan" kecil di depan.<br />
<br />
"Dean? What's wrong? Kau berteriak-teriak seolah mereka baru saja menyerempet Impalamu?" tanya Sam tidak tahu apa-apa.<br />
<br />
"Look at, rupanya orang semotelmu ini hanya memberi kami masing-masing tiga buah permen. Tentu saja itu kurang!" sahut si witch akhirnya berbicara.<br />
<br />
"Kalian saja yang serakah, anak kecil juga harus makan dengan porsi kecil. Dan hati-hati gigi kalian berlubang, baru tahu rasa."<br />
<br />
"Astaga, Dean, seperti anak kecil saja kau. Kalian tunggu di sini," Sam masuk ke dalam meninggalkan Dean dan tiga anak itu, lalu keluar lagi sambil membawa kantung plastik berisi permen coklat. "Ini buat kalian," kata Sam sambil menjulurkan segenggam coklat pada masing-masing keranjang labu mereka. "Sekarang pergilah," kata Sam, kemudian tiga anak itu sudah tidak menampakkan hidungnya lagi di hadapan motel nomer 8 yang mereka tempati ini.<br />
<br />
"Hey, dude!" sekarang ganti Dean yang menatap Sam dengan penuh kebencian.<br />
<br />
"Apa? Aku hanya tidak ingin kalian bertengkar di depan motel ini. Lagipula, itu hanya permen, dude. Lagi pula, kau kan tadi sore baru saja membeli tiga kantung permen M&M's besar, empat buah coklat bar, dan 5 buah pie ayam kan?"<br />
<br />
"Kau tahu Sam, big boy needs big foods. Dan, kau juga tahulah, aku pasti tidak akan kenyang hanya dengan makan lima buah pie ayam itu..."<br />
<br />
"Wow, yeah, maaf aku lupa Dean. Aku lupa bahwa kau memiliki daya tampung seperti kau memiliki tujuh buah perut dalam perutmu itu. Dan heran, mengapa kamu tidak menggembung- gembung juga."<br />
<br />
"Aaah, whatever. Tapi, sekarang, lebih baik kau temani aku makan. Aku dengar di cafe daerah sini ada bacon cheeseburger special mayo yang enak."<br />
<br />
"Aaaaaahhh, Dean..." kata Sam. Padahal dia ingat dengan jelas, lima jam yang lalu mereka baru saja makan sweet-hot macaroni and pepperoni lasagna.<br />
<br />
***<br />
<br />
Seorang waitress yang mengenakan seragam hitam dan putih yang lebih mirip dengan tokoh kartun Tokyo Mew-Mew itu mendekat ke arah meja nomor sembilan, di mana duduk dua orang laki-laki yang sedang berhadapan.<br />
<br />
"Well, maaf menggangu kalian. Call me Eliza. And here is the menu."kata Eliza sambil berkedip pada Dean.<br />
"Wew, aku pesan bacon cheeseburger special mayo dengan chocolate pie and milkshake." kata Dean seolah tahu menu di cafe ini yang enak.<br />
<br />
"Uhm, big food for big boys," kata Eliza.<br />
<br />
"Kenapa sepertinya aku pernah mendengar kata-kata seperti itu ya?" tanya Sam lirih dan mencoba memutar otaknya.<br />
<br />
"So, what is your order?" tanya Eliza pada Sam.<br />
<br />
"Tofu veegie burger and black coffee."<br />
<br />
"Okay, wait for a while."<br />
<br />
Sam menatap Dean tajam sepeninggal Eliza yang membawa order mereka.<br />
<br />
"What's up, dude?"tanya Dean heran melihat dirinya ditatap oleh Sam seperti itu.<br />
<br />
"Nothing. Hanya saja kau terlihat berbeda dari biasanya.. Kau... Kau bukan seperti Dean yang pernah kukenal saja."<br />
<br />
"Hey, yang benar saja. Kau tentu sudah mengenalku bahkan sebelum Mom and Dad me... me... meninggal maksudku," tiba-tiba saja raut wajah Dean berubah.<br />
<br />
"Ow, well... maksudku milkshake? Sejak kapan Dean Winchester minum milkshake. Kau saja sering bilang itu minuman banci? Lagipula, pesanan kita tampaknya sudah datang," kata Sam menghilangkan kecanggungan. Dia tahu, malam ini akan beda dengan malam biasanya. Dan Dean tidak akan seceria biasanya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sam menguap lebar dengan mata lima watt-nya, dia masih bisa merasakan bau bantal di kepalanya yang membuat ia tetap mengantuk. Sementara itu, menunggu kakaknya dalam kamar mandi juga membuatnya bosan. Dia sudah menunggu Dean hampir setengah jam dalam kamar mandi. Dan pintu kamar mandi itu pun akhirnya terbuka.<br />
<br />
"Dean? Bisakah kau lebih cepat sedikit? Kau sudah mirip nenek-nenek."<br />
<br />
"Shut up your mouth Sam. Toh, aku kan sudah keluar. Sudah cepat mandi sana, You're stink," kata Dean dalam keadaan topless dan sebuah handuk kuning yang melilit di pinggangnya.<br />
<br />
"Dean?"<br />
<br />
"Ada apa lagi? Lama-lama kau yang mirip nenek-nenek dengan kecerewetanmu itu."<br />
<br />
"Banana soap?"<br />
<br />
"Kenapa? Baunya manis. Harum. Dan menyenangkan. Coba saja."<br />
<br />
"Ugh..." sahut Sam malas. Apa yang salah dengan Dean? Apa karena pengaruh hunting mereka yang terakhir, di mana seorang shapeshifter menabrakkan kepala Dean ke tembok dan membuat Dean mengalami gangguan otak? Dan Sam pun membuang segala prasangkanya ketika dirinya mulai jijik sendiri dengan sabun berbau pisang itu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Dean mengambil potato baked-nya yang kesepuluh dan mencocolkannya ke dalam saus sambal. Dean mengambil calamari kecil dan juga memasukkannya ke dalam mulutnya bersamaan dengan potato baked tadi. Dean mengunyah dan memakannya dengan lahap seperti seekor hiu yang baru saja memasukkan ikan dory ke mulutnya. Sekali telan tanpa sisa.<br />
<br />
"Hey, Dean, jangan hanya makan!" perintah Sam. <br />
<br />
Rupanya Dean malah bersembunyi di balik koran yang di berikan oleh Sam dan malah menikmati sepiring calamari with potato baked and barberque sauce-nya.<br />
<br />
"Tenang saja, dude aku masih mendengarkanmu," kata Dean sambil menawari Sam calamari. Namun, saat Sam menggelengkan kepalanya, calamari itu sudah berpindah ke mulut Dean.<br />
<br />
"So, what do you think?"<br />
<br />
"Mungkin itu ulah werewolf. Lihat, jantung nya tidak ada kan?"<br />
<br />
"Tapi, anehnya, korban kehilangan banyak darah. Lebih tepatnya kehabisan darah. Pembuluh darahnya kering dan darah tidak ada yang tersisa. Seperti vampire."<br />
<br />
"Huuumb."<br />
<br />
"Dean?"<br />
<br />
"Huumb?"<br />
<br />
"Are you okay?"<br />
<br />
"Huu-uuhm."<br />
<br />
"Dean?"<br />
<br />
"Humb?"<br />
<br />
"Oh God. Dean, stop okay! Kau benar - benar makan dalam jumlah banyak. Kau memiliki perut karet, huh?" Sam benar-benar kaget kala melihat bungkus apa saja yang tercecer selain sepiring calamari tadi. Sam takjub sekali melihat dua bungkus coklat M&M's kosong, satu bungkus keripik kentang rasa sapi panggang, sisa- isa calamari tentu saja, dan segelas kosong yang semula berisi cinnamon soy latte.<br />
<br />
"Well, sebenarnya, aku sudah bisa merasakan kenyang dan sesak di perutku. Dan perutku sudah mulai membuncit.. Hahahahahaha..." Dean tertawa lebar sambil menatap perutnya yang melebar beberapa senti.<br />
<br />
"Kau tahu, melihat porsi makanmu, para penjual makanan bakal kaya mendadak. Lagipula, sejak seminggu lalu, aku ingin bertanya padamu satu hal?"<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Apa kau adalah Dean Winchester?"<br />
<br />
"Sam! Tentu saja aku Dean. Memangnya kau pikir aku siapa? Robert Pattinson? Jensen Ackles? Atau Jared Padalecki?" tanya Dean sambil menaikkan alis. Sedang Sam, malah mengernyitkan dahinya kala mendengar nama-nama terakhir yang terucap.<br />
<br />
"Bukan! Tentu saja bukan. Tapi wajahmu memang mirip dengan Jensen Ackles, kau tahu, hampir sama malah. Entahlah. Hey, tapi bukan itu yang ingin aku tanyakan," akhirnya Sam sadar kembali kemana arah perbicaraan mereka seharusnya, "aku cuma ingin bertanya, apa kau benar Dean? Porsi makanmu yang semakin banyak dan semakin manis membuatku curiga?"<br />
<br />
"Jangan - jangan kau ingin bilang aku trickster ya? Dude, kau kan sudah menjadi saudaraku sejak kecil, masa kau tak tahu kalau aku memang doyan makan terutama daging dan anything sweet, like me... Hahahahahaha..." <br />
<br />
Tiba - tiba saja, Sam membuat gerakan yang mengejutkan. Sam menyerang Dean sehingga ia terjatuh dari kursinya. Dean dihimpit lengan Sam, tangan Sam merogoh punggungnya, d imana sebuah kayu runcing yang ia sematkan di balik<br />
punggungnya.<br />
<br />
"Dean. Ya, tentu aku tahu kau suka makan, dan bertambah gembul selalu setiap habis makan, tapi akhir-akhir ini kesukaanmu pada permen, marshmallow tertutama coklat semakin bertambah. Kau tahu, semua pemanis itu membuat kau hanya sebelas dua belas dengan trickster."<br />
<br />
"Tapi... itu memang menyenangkan Sam, dan mengenyangkan juga."<br />
<br />
"Tetap saja aku mengira kau adalah trickster sekarang. Atau, paling tidak kita sedang berada dalam bayang-bayang ilusi trickster di mana kau akan berubah menjadi monster permen, atau ilusi kau akan menjadi sebesar Agustus di 'Charlie and The Chocolate Factory'." Sam mulai menggerak-gerakkan kayu runcing tersebut.<br />
<br />
"Hey, aku tahu bagian itu. Willy Wonka membuat pabriknya seindah taman, bahkan rumputnya saja dapat dimakan karena terbuat dari coklat."<br />
<br />
"Dean, just make it sure, kalau kamu adalah Dean, Dean Winchester."<br />
<br />
"Sam, aku masih Dean! Led Zeppellin, Metallica, ACDC, Bon Jovi, hot sexy woman. You know, I'm just Dean Winchester. I'm still an aquarius. I'm still enjoy sunsets, long walks on the beach, and frisky women. Okay, sekarang kau percaya?"<br />
<br />
"Kau belum membuatku yakin. Semua orang tahu kau suka Zeps, dude. Semua orang tahu kau suka anything porn. Sekarang buat aku yakin, atau aku akan benar-benar menusukmu?" kata Sam benar-benar mengangkat sebuah kayu yang telah terasah tajam hendak menikam Dean.<br />
<br />
"Let me think, dude. Okay, aku tahu. Aku tetap Dean, seseorang yang membantumu menyembunyikan hasil ulangan IPS mu yang mendapat nilai tiga belas saat kau duduk di bangku SD. Kau ingat?"<br />
<br />
Sam hanya diam.<br />
<br />
"Kau ingat, kau menggunakan peralatan Dad, lebih tepatnya, kau gunakan rock salt lalu kau bakar ulanganmu bersama holly water, karena saat itu kau berkata bahwa kau takut suatu saat 'arwah' kertas ulanganmu akan muncul kembali saat kau hanya membakarnya?"<br />
<br />
"Well, okay, you still my dude. Tak kusangka kau masih ingat asumsi bodohku itu. Hey, tapi itu kan aku masih duduk di bangku SD kelas tiga?"<br />
<br />
"Trust me now?"<br />
<br />
"Yes, I am. Untung saja, kau menceritakan hal itu, karena kau tahu, aku tidak pernah memberitahu siapapun soal itu. Bahkan kepada Dad, maupun Jess." Sam terdiam mengingat kenangan pahitnya bersama Jess.<br />
<br />
"Baiklah, nenek tua, sekarang kau harus mentraktirku makan kalau begitu," kata Dean buru-buru mengganti topik sebelum Sam melewatkan malam dengan diam.<br />
<br />
"Tapi, aku hanya ingin menasehatimu satu hal, makanan yang kau konsumsi itu terlalu sangat berkalori, berlemak, serta kandungan gula yang sangat tinggi, bisa-bisa, kamu cepat kena sakit gigi."<br />
<br />
"Hey, Sam, sejak kapan kamu jadi penasehat kesehatanku? Lagipula gaya bicaramu sudah bukan seperti hunter, seperti dokter gigi saja," kata Dean sambil membersihkan luka bekas goresan kayu pembunuh trickster itu.<br />
<br />
"Dean! Dengarkan aku. Aku serius. Makanan yang masuk ke mulutmu dan tubuhmu itu, dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit mematikan, kolestrol, darah tinggi, kencing manis, dan sakit gigi tentu saja."<br />
<br />
"Ah... benar, kau lebih cocok jadi dokter daripada lawyer."<br />
<br />
"Jerk," sahut Sam memulai.<br />
<br />
"And you're bitch," kata Dean mengakhiri malam.<br />
<br />
***<br />
<br />
"Dean,come on! Kita harus segera melakukan tanya jawab dengan keluarga korban baru. Semalam, aku menerima pesan dari Bobby, bahwa sudah ada dua korban lagi semalam. Ayo bangun, dude."<br />
<br />
"Please, Sam, jangan ganggu aku... Aku benar-benar sakit. Kepalaku pusing, dan aku hanya tidur sejam saja."<br />
<br />
"Sakit? Ada apa, dude? By the way, mengapa kau cuma tidur sejam?"<br />
<br />
"Gigiku benar-benar sakit Sam, dan karena itu aku tidak bisa tidur. Jadi, diamlah, aaaaaahhhggg... Sakit sekali kau tahu!"<br />
<br />
"Apa aku bilang, rasakan. Siapa suruh kau makan makanan manis-manis terus?"<br />
<br />
"Kau tidak membantu. Ugh!" Dean membalikkan badannya dan menelungkup. Membenamkan wajahnya dalam bantalnya.<br />
<br />
"Baiklah, mungkin sebaiknya kau menyikat gigimu sekarang. Lagipula, semua ini juga salahmu, sudah tahu makan yang manis, kau masih juga jarang gosok gigi malam. Sekarang sikat gigimu, lalu kau kumur pakai larutan garam."<br />
<br />
"Sikat gigi it's okay. Tapi sakit gigi bukan demon, Sam, yang bakal hilang dengan garam! Aaaaagggh..Astaga, seperti ada yang menggerogoti gigiku."<br />
<br />
"Itu kuman bodoh! Sudahlah, setelah sikat gigi, berkumurlah. Akan kusiapkan larutan garamnya."<br />
<br />
"Aaaaaggh... Sam... help me... Kau tahu, ini lebih menyakitkan daripada digigit hellhound."<br />
<br />
"Buang omong kosongmu dan segera gosok gigi!"<br />
<br />
"Aaaagg... Tapi ini benar-benar sakit..."<br />
<br />
Sam melotot pada Dean yang sedang menoleh padanya.<br />
<br />
"Baik... Baik... Aaaaaggghhh... I'm gonna go crazy now."<br />
<br />
***<br />
<br />
Sam menunggu manis di ranjang Dean. Sudah lima belas menit Dean belum keluar, terlalu lama untuk hanya bersikat gigi, pikir Sam. Sam sebenarnya sudah siap sepuluh menit lalu dengan larutan garamnya. Dia sampai menggerus rock salt, karena butiran garam sedang habis. Dia menggerusnya kecil-kecil selembut tepung, kemudian menggunakan menyeduh air panas, dan mengaduk garam itu dalam air. Benar- =benar mampu membuat dapur motel mereka seperti habis terkena badai salju.<br />
<br />
"Dean?" Sam mencoba mengetuk pintu untuk keseratus delapan puluh sembilan kalinya.<br />
<br />
Tidak ada jawaban kecuali bunyi air yang sudah pasti datang dari wastafel.<br />
<br />
Pintu kamar mandi terbuka. Sam yang sudah duduk di ranjang itu segera mengdongak. Melihat pintu yang terbuka dengan perasaan was-was, khawatir, curiga, deg-degan, seperti seorang suami menunggu keputusan dokter soal proses kelahiran anak pertamanya.<br />
<br />
Dean keluar perlahan dari kamar mandi. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan.<br />
<br />
Beberapa sisi kaus hijaunya tampak bercak-bercak merah yang masih basah. Dean memegang sebuah handuk mandi kecil yang berubah menjadi merah dari warna putih semulanya<br />
.<br />
"Dean? Kau berdarah..." kata Sam melihat ada tetesan darah juga di kamar mandi, dan juga di mulut Dean, yang menetes ke samping.<br />
<br />
Tidak ada jawaban pasti dari Dean. Tiba-tiba Dean tergeletak lemas, jatuh di depan kamar mandi, di lantai kamar yang sudah berlinang darah.<br />
<br />
"Deaaaaaaaaaannnnnnnnn!" <br />
<br />
Dan hanya suara Sam yang terdengar kemudian.<br />
<br />
***<br />
<br />
Dean membuka matanya. Sebuah cahaya dari lampu yang berbentuk lonjong dan panjang itu memaksanya untuk membuka mata.<br />
<br />
"Anda sudah sadar, eh, Mr. Winchester?" tanya seorang perawat sambil meletakkan makanan di meja pasien.<br />
<br />
"Well, kurasa. Memangnya aku ada dimana?" tanya Dean masih bingung.<br />
<br />
"Anda berada di rumah sakit, Mr. Winchester. Anda dirawat di sini dengan keluhan, mencabut gigi geraham anda dengan paksa, sehingga beberapa urat saraf di gigi anda tersayat."<br />
<br />
"Wow. Aaaaaaagggghhhh... Astaga, aku kira aku sudah mencabut gigi itu! Ternyata salah. Dan, aaaaagghhh.. bertambah sakit."<br />
<br />
"Er, maukah kupanggilkan dokter gigi?"<br />
<br />
"Jangan! Eh, jangan dulu. By the way, ke mana adikku?"<br />
<br />
"Mr. Sam Winchester mungkin sebentar lagi akan datang... Dia sedang melunasi administrasi." sahut perawat itu kemudian membukakan gorden jendela.<br />
<br />
"Baiklah. Terima kasih."<br />
<br />
"Saya permisi dulu. Oh ya, tadi saya mendapat pesan dari adik anda, anda dilarang meninggalkan kamar ini sebelum dia datang."<br />
<br />
"Baiklah, aku akan tetap di sini."<br />
<br />
Dean menunggu Sam cukup lama, dan cukup jijik dengan menu makanan rumah sakit yang ternyata hanya bubur, sup dan segelas air putih.<br />
<br />
"Dean? Kau sudah sadar rupanya." kata Sam sambil membawa segelas coffee.<br />
<br />
"Yeah. Gigiku masih saja sakit."<br />
<br />
"Tentu. Dasar bodoh! Kau mencabut gigi yang salah. Aku sudah membuat janji dengan drg. Warren untuk mencabut gigimu yang sakit itu, sekaligus mengobati urat saraf gigimu."<br />
<br />
"Tidak. Aku tidak mau dokter gigi."<br />
<br />
"Dean, kau harus. Atau kau mau menderita seperti ini terus?"<br />
<br />
"Sam! Kau tahu kan, aku paling takut dokter gigi. Aku tidak ingin di cabut oleh dokter gigi, lebih baik aku begini!"<br />
<br />
"Tidak bisa! Kau harus. Tidakkah kau ingin makan makanan seperti lasagna dan pizza lagi? Mana bisa kau makan kalau kau masih sakit? Yang ada, kau hanya boleh makan bubur!" bujuk Sam.<br />
<br />
"Tapi itu pasti sakit. Dan aku benci jarum, Sam."<br />
<br />
"Tidak akan sakit. Percayalah padaku."<br />
<br />
"Bagaimana kau tahu! Kau saja tak pernah sakit gigi."<br />
<br />
"Itu karena aku selalu menjaga makananku dan menggosok gigi dua kali sehari. Sudahlah, kau tetap harus ke dokter gigi."<br />
<br />
"Tidak!"<br />
<br />
"Terserah, itu pilihanmu antara bacon cheeseburger atau malah makan bubur selamanya."<br />
<br />
"Baiklah. Kau janji tidak akan sakit..." kata Dean memelas.<br />
<br />
***<br />
"Drg. Warren," sahut seorang perempuan berbaju putih panjang. Seorang perempuan yang cukup cantik di usia kepala tiganya.<br />
<br />
"Sam Winchester. Dan ini kakakku, Dean." kata Sam sambil menyalami drg. Warren.<br />
<br />
"Baiklah, silahkan duduk. Aku sudah mendengar masalahmu dari rumah sakit pusat, Dean. Dan, wow, aksimu sungguh berani. Kalau kau kehilangan banyak darah, kau tidak akan secepat ini sembuh."<br />
<br />
"Benarkah?" tanya Dean tak percaya. Dia ingat saat itu, dia juga takut saat memutuskan mencabut giginya dengan paksa. Tapi bagaimana lagi. Giginya benar-benar membuat dia frustasi.<br />
<br />
"Tentu. Sekarang, aku akan mencabut gigimu yang seharusnya."<br />
<br />
"Er... bolehkah kita berbicara berdua saja dokter?"<br />
<br />
"Ada apa?"<br />
<br />
"Please..."<br />
<br />
"Baiklah, er... Maaf, Mr. Sam, bisakah anda keluar dahulu?" tanya drg.Warren.<br />
<br />
"Baiklah, aku juga ingin mencari udara segar dulu."<br />
<br />
"Go away, Sam!" sahut Dean.<br />
<br />
"So, ada apa Mr. Dean?"<br />
<br />
"Dok, kau tahu,aku sangat takut jarum, dan sebenarnya takut dengan dokter gigi. Bisakah kau membiusku saat kau cabut gigiku?"<br />
<br />
"Tentu saja, kau memang akan dibius agar kau tidak merasakan sakitnya. Kau tetap akan melihat pencabutan gigimu."<br />
<br />
"Tidak... tidak... Maksudku, bius aku seluruhnya. Aku tidak ingin merasakan apa-apa. Aku terlalu takut."<br />
<br />
"Kau yakin?"<br />
<br />
"Tentu saja. Please..." baru kali ini Dean memelas dengan puppy face-nya.<br />
<br />
"Baiklah, kalau itu mau Anda."<br />
<br />
"Tapi jangan bilang adikku, okay?"<br />
<br />
"Tentu saja."<br />
<br />
***<br />
<br />
Pintu praktik dokter Warren pun terbuka.<br />
<br />
"Well, saudara Sam, kau sudah bisa menemui kakakmu sekarang. Dia sudah selesai menjalani operasi kecilnya," kata drg. Warren sambil mempersilahkan Dean keluar dari pintu.<br />
<br />
"Hey, dude. How was it?" tanya Sam.<br />
<br />
"Er... Er... Hum... benar-benar tidak terasa. Kau benar. Bahkan aku tidak ingat bagaimana di dalam." Kemudian Dean mengerling pada drg. Warren.<br />
<br />
"Well, itu bagus," kata Sam.<br />
<br />
"Tentu saja. Dan, Mr. Dean, aku harap anda tidak mengkonsumsi yang manis-manis dan yang mengandung kafein terlebih dahulu selama dua bulan. Untuk memulihkan kondisi gigi anda saja," terang drg. Warren.<br />
<br />
"Itu masalah gampang. Terima kasih, dokter," kata Dean dan Sam sambil meninggalkan drg. Warren.<br />
<br />
***<br />
<br />
"Hey, guys, it's you two!"<br />
<br />
"Hey, Eliza. Kau tahu, my bro, ingin makan di sini lagi," sahut Sam.<br />
<br />
"Well, here is the menu."<br />
<br />
"Tidak usah. Aku minta tripple whopper with ham, cheese and mayo, dan segelas jumbo frappucino."<br />
<br />
"Baik. Dan kau?"<br />
<br />
"Veggie sandwich and french fries dan mineral water."<br />
<br />
"Okay... Tunggu sebentar."<br />
<br />
"Bagaimana? Masih sakit, Dean?"<br />
<br />
"Tidak juga. Setelah seminggu vakum, aku sudah siap menyantap porsiku lagi."<br />
<br />
"Guys, it's your order," kata Eliza sambil membawakan pesanan mereka.<br />
<br />
"Thanks," sahut Dean dan Sam bersamaan.<br />
<br />
Dean buru-buru mengambil makanannya. Tapi dengan cepat juga, Sam mendahului Dean mengambil makanannya. Sam mengambil sepiring pesanan Dean, dan berkata, "Ingat kata dokter Warren? Dua bulan tanpa gula dan kafein. So, it's mine."<br />
<br />
"Tapi... kau kan sudah memesan veggie sandwich? Dan, kau kan jarang makan yang seperti ini?"<br />
<br />
"Sekali-sekali kan tidak apa. Ini makanan sehat untukmu dan juga gigimu," kata Sam menukar pesanan mereka, dan kemudian menggigit triple whopper-nya sambil mengerling nakal pada Dean yang hanya bengong dan menatap tripple whopper-nya dengan miris.<br />
<br />
***END***Orynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-47459201675564261022009-12-19T22:23:00.002+07:002009-12-19T22:23:47.399+07:00Fic: KTMAuthor: Lady_Mannequin<br />
Genre : Thriller, Horor<br />
Rating: T<br />
Warning: Self Insert<br />
Setting : Metropolis, Kansas<br />
Timeline : After “The Ghost Overground” and “No Rest For Wicked”<br />
A/N: fan fic ini masih berkaitan dengan petualangan Dean yang masih berstatus sebagai The Ghost Overground alias Demon.<br />
<br />
<br />
<br />
LABORATORIUM ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN MET-U<br />
<br />
Para mahasiswa dan mahasiswi fakultas Kedokteran Met-U berhamburan keluar dari laboratorium Anatomi. Praktikum Anatomi memang sudah selesai, namun Ucha masih berkutat dengan pisau-pisau bedahnya. Lexie lalu menghampiri Ucha yang masih mengamati sesosok mayat penuh dengan bekas sayatan pisau bedah.<br />
<br />
"Cha, ngapain sih loe ngeliatin terus tuh mayat? Ntar kalo dia tiba-tiba hidup lagi gimana? Mendingan sekarang loe temenin gue ke toilet," cerocos Lexie. Ucha nggak menggubris ajakan sahabatnya itu dan membalasnya dengan tatapan yang dingin tanpa ekspresi.<br />
<br />
"Cha, nggak usah ngeliatin kayak gitu, nggak serem soalnya, hahaha," Lexie mencoba bercanda walaupun sebenarnya ia agak merinding melihat tatapan Ucha barusan. <br />
<a name='more'></a><br />
"Lexie, ke toilet yuk," ajak Nenok dengan nada memelas sambil memegangi perutnya. Lexie pun menoleh dan jatuh iba melihat Nenok yang meringis menahan sakit.<br />
<br />
"Lex, kayaknya gue tadi kebanyakan makan somay deh. Duh, sekarang mules banget perut gue," ujar Nenok lagi.<br />
<br />
"Ya udah, loe ke toilet bareng gue aja. Cha, gue sama Nenok ke toilet dulu ya. Ntar kita ketemuan di kafe aja, ok," kata Lexie yang lagi-lagi nggak ditanggapi sama Ucha. Lexie dan Nenok lalu melangkahkan kakinya keluar dari Lab Anatomi.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian Lexie baru tersadar bahwa PDA-nya ketinggalan di Lab. "Nenok, gue balik ke lab dulu ya. PDA gue ketinggalan di sana. Ntar samperin gue di sana ya," teriak Lexie pada Nenok yang masih betah duduk di toilet.<br />
<br />
Lexie lalu berlari secepat mungkin lantaran PDA barunya itu penuh dengan foto-foto narsisnya. Lexie akhirnya sampai di lab dengan napas terengah-engah. Betapa kagetnya dia begitu melihat Ucha duduk di meja bedah sedang menyayat dadanya sendiri menggunakan pisau bedah. Lexie menghampiri sahabatnya dan anehnya Ucha tak terlihat kesakitan sama sekali. Mata Lexie terbelalak tak percaya melihat Ucha memasukkan tangan kirinya sendiri k edalam dadanya yang tersayat dan menarik jantungnya keluar. Dalam sekejap mata, tangan kanan Ucha yang memegang scalpel memotong arteri pulmonalis yang melekat di jantungnya sendiri. Seketika itu juga jantung Ucha lepas dari dadanya. Tubuh Ucha yang berlumuran darah jatuh tergeletak tak bernyawa di meja bedah.<br />
<br />
"AAAAAAAAARGH!" Lexie menjerit kencang dan teriakannya bergema di koridor fakultas Kedokteran. Nenok yang sedang berjalan di koridor langsung berlari ke lab mendengar teriakan Lexie. Nenok langsung menghampiri Lexie yang duduk di lantai membelakangi mayat Ucha. Wajahnya pucat dan seluruh tubuhnya gemetaran hebat.<br />
<br />
"Nenok, lihat di belakangmu," gumam Lexie pelan. Nenok pun spontan menoleh ke belakang dan sekonyong-konyong menjerit histeris begitu melihat mayat Ucha.<br />
<br />
<br />
******<br />
<br />
KEESOKAN HARINYA DI KEDIAMAN KELUARGA LUTHOR<br />
<br />
Tok... tok... tok....<br />
<br />
"Masuk," kata Lexie setelah mendengar seseorang mengetok pintu kamarnya.<br />
<br />
"Nona Lexie, pesanan Anda dari shopaholic.com sudah datang," kata sang pelayan sambil menaruh berbagai macam kotak besar dengan kemasan mewah ke dalam kamar Lexie.<br />
<br />
"Terima kasih," sahut Lexie.<br />
<br />
"Sama-sama, Nona Lexie," balas sang pelayan yang masih terengah-engah karena baru saja mengerahkan tenaganya untuk membawa pesanan ke kamar Lexie di lantai 3. Ia pun berlalu dari kamar Lexie.<br />
<br />
Lexie menutup pintu kamarnya dan segera membuka kotak terbesar bertuliskan Bvlgari yang ternyata didalamnya berisi Bvlgari Rose Essentielle Feminino Eau de Parfum. Ia mengeluarkan satu persatu dan meletakkannya di meja riasnya sampai meja tersebut penuh dengan ratusan botol-botol parfum tersebut. Tanpa disangka-sangka, Lexie membuka seluruh botol parfum Bvlgari tersebut tepat dib agian lehernya dan menenggaknya seperti sedang mengikuti lomba minum juice.<br />
<br />
"Lexie, ada pie lemon nih," kata Alexxa sambil mengetuk pintu kamar Lexie sementara tangan kirinya membawa piring berisikan pie lemon. Alexxa memutuskan untuk masuk karena ketukannya tidak ditanggapi Lexie. Alexxa menghampiri Jackie yang masih asyik meminum Parfum Bvlgari.<br />
<br />
"Lexie, kamu lagi minum apa?" tanya Alexxa sambil meraih salah satu botol yang berderet di meja rias Lexie. Alexxa benar-benar terkejut begitu mengetahui bahwa putri semata wayangnya itu sedang asyik meminum parfum Bvlgari sehingga piring berisi pie lemon yang dibawanya jatuh ke lantai. Namun Lexie jatuh pingsan sebelum sempat menjawab pertanyaan mamanya.<br />
<br />
"Lexie!" jerit Alexxa putus asa. "Lexie! bangun!" Alexxa memanggil nama anaknya dengan panik, namun tubuh Lexie masih tak sadarkan diri. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Alexxa. Alexxa lalu memeluk tubuh Lexie dan mengelus pipi anaknya yang pucat. Beberapa detik kemudian kedua mata Lexie perlahan membuka.<br />
<br />
"K... T... M," Lexie bergumam pelan. Seketika Lexie menutup mata dan tubuhnya terkulai di pangkuan Alexxa.<br />
<br />
“Lexie... Lexie... Bangun... Lexie...” jerit Alexxa histeris namun tubuh Lexie tidak bergerak sedikitpun. Air mata Alexxa bercucuran tak tertahankan lagi.<br />
<br />
******<br />
<br />
KAMAR KEANE<br />
DUA HARI KEMUDIAN<br />
<br />
"Keane! Keane! Gaswit! Sekarang di Met-U lagi musim bunuh diri!" teriak Juichi tiba-tiba begitu memasuki kamar Keane. Keane yang lagi asyik browsing gambar-gambar Dr. George O’Malley di di website www.greysanatomyinsider.com terkaget-kaget mendengar suara Juichi yang tiba-tiba masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu.<br />
<br />
"Loe ngagetin gue aja sih, Juichi," omel Keane yang sebel karena keasyikannya terganggu.<br />
<br />
"Huahahahahaha," Juichi tertawa keras menggelegar. Dahi Keane sampai berkerut melihat tingkah aneh Juichi yang tiba-tiba tertawa sendiri.<br />
<br />
"Kenapa sih loe?" tanya Keane heran.<br />
<br />
"Ya ampun Keane, loe tuh browsing gambar-gambar O’Malley aja pake acara ngeces segala. Lihat tuh iler loe netes di keyboard laptop loe. Huahahahaha," jawab Juichi sambil terus ketawa ngakak sampai sakit perut.<br />
<br />
"WHOA! Laptop gue!" jerit Keane panik begitu mengetahui kebenaran cerita Juichi. Ia langsung meraih kotak tisu di meja sebelah ranjangnya, namun sayangnya ia tak menemukan selembar pun tisu. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada tisu, baju pun jadi. Jadilah Keane mengelap tetesan iler di keyboard laptopnya yang berwarna pink dengan T-shirt pink yang dipakainya.<br />
<br />
"Idih, loe jorok banget sih, Keane," cerca Juichi yang melihat tindakan Keane tersebut.<br />
<br />
"Ini emergency, Juichi. Jangan sampe deh laptop pink gue yang baru berumur dua minggu ini rusak," sahut Keane sambil terus membersihkan keyboardnya.<br />
<br />
"Lagian loe sih kebanyakan ngelamunin Dr George O’Malley, sampe ngeces gitu !"<br />
<br />
"Nah, laptop gue udah bersih sekarang. By the way, loe tadi ngomong apa pas masuk kamar gue?" tanya Keane.<br />
<br />
"Dua kasus bunuh diri aneh dalam dua hari berturut-turut yang dilakukan oleh mahasiswi Fakultas Kedokteran Met-U bernama Ucha Sweetz dan Lexie Luthor. Lihat deh beritanya," cerocos Juichi seraya menunjukkan headline Daily Planet kepada Keane.<br />
<br />
"Hah! Lexie Luthor sang idola kampus Met-U itu bunuh diri! Nggak salah nih berita!" jerit Keane ketika melihat headline Daily Planet.<br />
<br />
"Iya, gue juga tadinya nggak percaya, tapi emang beneran,"<br />
<br />
"Padahal Lexie itu kelihatannya perfect banget, Juichi. Jackie kan cantik, pintar, populer, modis, dan kaya raya secara dia itu anaknya Lex Luthor yang merupakan orang terkaya di Kansas. Emang si Lexie itu bunuh diri kayak gimana?"<br />
<br />
"Lexie minum dua puluh botol parfum Bvlgari. Tapi itu belum apa-apa dibanding Ucha yang membedah dadanya dan memotong jantungnya sendiri. Anehnya, mereka berdua itu sahabatan dan Lexie adalah satu-satunya orang yang menyaksikan langsung peristiwa bunuh diri Ucha yang mengenaskan itu,"<br />
<br />
"Apa mungkin kasus Ucha dan Lexie ini pembunuhan?"<br />
<br />
"Loe ngaco deh, Keane. Kan ada saksi mata yang menyaksikan peristiwa bunuh diri mereka berdua itu,"<br />
<br />
"Trus?"<br />
<br />
Sebelum sempat Juichi menjawab pertanyaan Keane, Cellular Phone Juichi berbunyi tanda ada SMS. Juichi membaca SMS itu sambil senyum-senyum.<br />
<br />
"Keane, loe jadi kan jalan ke Soco Park. gue sekalian nebeng ya sampe asrama mahasiswa Met-U," ujar Juichi yang masih senyum-senyum. SMS tersebut sukses membuat Juichi melupakan obrolan mengenai kasus bunuh diri Ucha dan Lexie. <br />
<br />
"Ehem... Ehemmm... sms dari siapa tuh? Langsung bikin loe jadi seneng gitu?" tanya Keane.<br />
<br />
"Dari pacar baru gue, namanya Sam Winchester. Ayo Keane, cepetan berangkat biar gue bisa nebeng loe," jawab Juichi antusias saking senangnya.<br />
<br />
"Wuih, selamat ya! Gue seneng deh dengernya. Anyway, loe tuh bukan nebeng namanya, tapi minta anterin," kilah Keane lagi.<br />
<br />
"Whatever deh, ayo cepetan ganti baju loe yang bekas iler itu, Keane," balas Juichi.<br />
<br />
"Sabar... sabar...." kata Keane yang bergegas ke toilet untuk ganti baju. Dua menit kemudian Keane mengambil kunci mobilnya dan berangkat bersama Juichi.<br />
<br />
Baru beberapa meter Toyota Camry milik Keane melaju dari halaman rumahnya, sekonyong-konyong Keane merasakan sakit kepala yang amat sangat sehingga mobil yang ia kemudikan oleng dan hampir menabrak pohon.<br />
<br />
"Keane! Keane! Kenapa loe?" jerit Juichi panik. Namun Keane tak menjawab pertanyaan Juichi. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan dan memegangi kepalanya. Raut wajah Keane menampakkan kesakitan yang amat sangat. Juichi jadi kuatir melihat Keane seperti itu.<br />
<br />
"Keane, loe balik ke rumah aja ya. Biar gue aja yang gantiin loe nyetir. Gue bisa kok bawanya secara rumah loe kan belum jauh dari sini," <br />
<br />
Juichi bangkit dari jok mobil dan bertukar tempat dengan Keane. Keane sendiri masih mengaduh-aduh kesakitan seraya memegangi kepalanya. Toyota Camry tersebut kembali menyusuri jalan kembali menuju rumah Keane.<br />
<br />
******<br />
<br />
KAMAR SAM DI ASRAMA MAHASISWA MET-U<br />
<br />
Tok... tok... tok....<br />
<br />
Terdengar suara ketukan di pintu kamar Sam di Asrama Mahasiswa Met-U. Sam berjalan membuka pintu dan tampaklah seraut wajah seorang gadis masuk ke dalam kamar Sam. "Sam sayang," sapa Juichi mesra pada Sam. Baru selangkah Juichi masuk, tiba-tiba stilettonya tersangkut karpet yang menutupi lantai kamar Sam dan brukkk...<br />
Juichi terjatuh dengan sukses. <br />
<br />
Dean yang sedang berada di kamar Sam hampir tertawa melihat Juichi yang jatuh. Buru-buru ia menutup mulutnya dengan tangan. Sebenarnya Sam juga ingin tertawa namun ia berhasil menahannya setelah menarik nafas sejenak.<br />
<br />
"Juichi, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Sam simpatik sambil mengulurkan tangan pada Juichi yang berusaha bangkit dari karpet. Dengan wajah merah menahan malu, Juichi meraih uluran tangan Sam. Mata Juichi langsung tertuju pada Dean yang berdiri di sebelah Sam dan ternganga seketika begitu melihat Dean.<br />
<br />
"Oliver Queen!" seru Juichi. "Wow! Aku benar-benar nggak menyangka bisa ketemu seorang Oliver Queen di sini. Sam, kok kamu nggak pernah cerita sih kalau kamu punya kenal sama Oliver?" Juichi langsung memberondong Dean dan Sam dengan berbagai pertanyaan.<br />
<br />
Sam langsung memandang Dean dengan tatapan bingung. Dean menangkap keterkejutan Sam. Buru-buru Dean tersenyum pada Juichi lalu menghampirinya. "Juichi, senang bertemu denganmu," kata Dean ramah sambil menjabat tangan Juichi.<br />
<br />
"Juichi, maaf ya kalau aku baru mengenalkan kamu pada Oliver. Aku dan Oliver baru saja bertemu hari ini setelah sekian lama aku tak mendengar kabar darinya," sambung Sam lekas-lekas.<br />
<br />
Juichi tersenyum seraya menatap Sam. Ketika sedang mengalihkan pandangannya pada Dean, tanpa sengaja mata Juichi melihat televisi yang berada tepat dibelakang Dean sedang menayangkan berita mengenai kasus bunuh diri Ucha dan Lexie. Spontan saja, Juichi menunjuk ke arah televisi. Refleks Dean dan Sam mengikuti arah telunjuk Juichi. Mereka bertiga terpaku memperhatikan berita menarik yang sedang berlangsung tersebut.<br />
<br />
”Benar-benar nggak masuk akal. Masa tuh cewek bunuh dirinya motong jantung sendiri, trus cewek yang satunya lagi minum parfum lagi!”komentar Dean sambil geleng-geleng kepala.<br />
<br />
”Jangan-jangan mereka bukan bunuh diri, tapi...” Sam tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya menatap Dean dengan tatapan aneh. Suasana hening sejenak.<br />
<br />
”Menurut Daily Planet, ada saksi yang melihat langsung peristiwa bunuh diri mereka itu. Lexie yang menyaksikan bunuh diri Ucha memang sudah meninggal, tapi temannya Lexie yang bernama Nenok itu sepertinya masih hidup,” komentar Juichi memecah keheningan.<br />
<br />
”Hmm... kasus menarik nih. Sepertinya kita perlu selidiki,” Dean menanggapi komentar Juichi.<br />
<br />
”Apa kamu tau alamat Nenok, Juichi?” tanya Sam.<br />
<br />
”Hmmm...” Juichi coba mengingat-ingat. ”Oh ya, aku pernah datang ke rumahnya beberapa bulan yang lalu ketika Nenok mengadakan pesta kebun,” lanjut Juichi lagi.<br />
<br />
”OK. Let’s check this out,” kata Sam dan Dean berbarengan.<br />
<br />
******<br />
<br />
Sam, Dean dan Juichi menuju Impala yang diparkir Sam di halaman asrama mahasiswa Met-U. Dean mengambil posisi di depan stir lalu menstater Impala dan langsung tancap gas segera setelah Sam dan Juichi duduk di jok mobilnya. Dean menyetir mobilnya menyusuri Quin Street. Tak lama kemudian mereka bertiga telah tiba di Poughkeepsie Estate dan berbelok di sebuah rumah kebun bernomor 450. Dari kejauhan terlihat sebuah danau yang menampakkan pemandangan menakjubkan. Dean memarkir Impalanya di depan rumah tersebut lalu bangkit dari jok diikuti oleh Sam dan Juichi. Mereka bertiga melangkah menuju rumah itu.<br />
<br />
Sam memencet bel. Pintu dibuka oleh seorang gadis kecil. Wajahnya menyunggingkan seulas senyum.<br />
<br />
"Apakah kami bisa bertemu dengan Nenok?" tanya Sam sambil membalas senyuman sang gadis.<br />
<br />
"Tunggu sebentar ya, aku akan memanggilnya. Oh ya, Perkenalkan namaku Myb, adik Nenok," sahut Myb sambil mengulurkan tangan dan menyalami Dean, Sam dan Juichi.<br />
<br />
"Myb, namaku Sam dan ini Juichi," Sam memperkenalkan dirinya dan Juichi pada Myb.<br />
<br />
"Lalu yang ini bernama Oliver," kata Sam sambil menunjuk Dean yang masih meminjam tubuh Oliver.<br />
<br />
Dean, Sam dan Juichi melangkah masuk. Mereka dipersilahkan duduk di sebuah sofa di ruang tamu oleh Myb yang segera berlalu untuk mencari kakaknya. Mereka bertiga menunggu sambil membicarakan detail-detail kasus bunuh diri Ucha dan Lexie. Tiba-tiba Myb berlari masuk. Wajahnya menampakkan kecemasan yang amat sangat.<br />
<br />
"Tolong! Kak Nenok tenggelam! Aku melihat perahu yang ditumpanginya terbalik dan ia terjatuh di danau Cavanaugh di belakang rumah!" seru Myb panik.<br />
<br />
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dean, Sam dan Juichi mengikuti Myb yang langsung berlari keluar menuju Danau Cavanaugh. Dean, Sam, Myb dan Juichi mengedarkan pandangan ke seluruh permukaan danau mencari Nenok, namun permukaan danau itu tampak tenang dan hanya perahu kosong yang terbalik itu mengapung perlahan-lahan di permukaannya. Tubuh Nenok tak tampak di permukaan danau. <br />
<br />
Sam melepaskan jaket dan membuka kaus kaki serta sepatunya. Ia mulai mengambil ancang-ancang untuk berenang di danau. Dean juga ikut membuka jas putihnya dan langsung menyelam ke dasar danau.<br />
<br />
"Aku dan Oliver akan mencari Nenok ke dalam danau!" seru Sam pada Myb dan Juichi.<br />
<br />
Dua puluh menit yang sangat menegangkan berlalu. Sam akhirnya menemukan Nenok dan membawa tubuh Nenok yang sepertinya tidak bernyawa lagi ke tepi danau. Sam menggoyang-goyangkan tubuh Nenok. Tidak ada reaksi. Dean keluar dari dalam danau dan menghampiri Sam lalu segera membantu adiknya yang sedang berusaha keluar dari danau.<br />
<br />
"Ia pingsan," gumam Sam.<br />
<br />
"Ya," sahut Dean. Dean segera meraih tubuh Nenok dari tangan Sam, meraba nadi di leher Nenok dan menggendongnya. Juichi berlari menuju Sam yang basah kuyup dan memberikan handuk kering padanya. Kemudian Myb, Sam dan Juichi menghampiri Dean yang sedang meletakkan Nenok di hamparan rumput di tepi danau. <br />
<br />
"Kurasa kau harus memberinya nafas buatan, Oliver," perintah Sam.<br />
<br />
Dean mulai memberikan pernafasan buatan lewat mulutnya kepada Nenok. Selama lebih dari sepuluh menit, Dean berusaha menyadarkan Nenok, namun tampaknya tetap tak ada tanda-tanda kehidupan.<br />
<br />
"Kok Kak Nenok belum sadar-sadar juga," kata Myb cemas. Sam menepuk bahu Myb untuk menenangkannya.<br />
<br />
"Sorry... hmm... sepertinya tadi aku kebanyakan makan beef burger plus extra onion deh," kata Dean sambil nyengir.<br />
<br />
"Pantas saja Nenok nggak bangun-bangun dari tadi. Mulut kamu bau bawang gitu!" sembur Sam yang segera mengambil alih posisi Dean. Sam berlutut di samping tubuh Nenok dan langsung memberinya pernafasan buatan. Juichi melihat Sam dan Nenok dengan tatapan cemburu. Spontan ia mengalihkan pandangannya pada Dean yang masih berwujud Oliver.<br />
<br />
Tampaknya pertolongan Sam membuahkan hasil. Beberapa saat kemudian Nenok terbatuk dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Dalam waktu yang sangat singkat Nenok membuka matanya perlahan. Kedua mata Nenok langsung tertuju pada wajah Sam yang tampan. Sam tersenyum pada Nenok. Warna merah muda samar perlahan mewarnai wajah Nenok yang pucat dan seulas senyum tampak dari bibir Nenok yang membiru kedinginan. Nenok lalu melayangkan pandangan pada orang-orang disekitarnya. Wajahnya menampakkan kebingungan.<br />
<br />
"Ada apa dengan diriku?" tanya Nenok dengan suara berbisik dan serak.<br />
<br />
"Kamu hampir tenggelam, Nenok," jawab Sam lembut.<br />
<br />
Wajah Nenok makin merona merah. Suasana hening sejenak. Tiba-tiba Myb angkat bicara untuk memecah kesunyian. <br />
<br />
"Kak Nenok, perkenalkan ini Oliver dan Juichi. Pria yang menolong kakak tadi bernama Sam. Ia rela menyelam dan memberikan pernafasan buatan untuk menyelamatkan kakak," ujar Myb cepat.<br />
<br />
Perlahan Nenok mulai bangkit namun tubuhnya yang masih lemah membuat ia terjatuh lagi di hamparan rumput. Sam dan Dean membantu Nenok berdiri. Tubuh Nenok yang lemah ditopang oleh Sam di sisi kanan dan Dean di sisi kirinya. Mereka bertiga mulai melangkah ke arah Impala yang diparkir di depan rumah Nenok.<br />
<br />
"Sepertinya kita harus membawa Kak Nenok ke rumah sakit," usul Myb.<br />
<br />
Sekonyong-konyong Nenok mengangkat wajahnya, seperti baru teringat sesuatu. Nenok mengerutkan kening.<br />
<br />
"Aku tidak mengerti. Aku merasa sehat tadi pagi. Aku ingat sesuatu..." kerutan di kening Nenok makin dalam ketika ia berusaha keras mengingat-ingat. "Ada sesuatu... tapi apa ya?" Nenok bertanya pada dirinya sendiri.<br />
<br />
"Apa hal terakhir yang kauingat, Nenok?" tanya Sam.<br />
<br />
"Hal terakhir yang kuingat adalah..." Nenok terdiam sejenak.<br />
<br />
"Sepertinya aku sedang mengecek SMS yang baru masuk di inbox Cellular Phone-ku, lalu setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi," lanjut Nenok.<br />
<br />
Sam dan Dean serempak menatap Nenok dengan ekspresi bingung. Tiba-tiba Sam mendengar Myb menghembuskan nafas lega. Mereka berlima telah sampai di samping Impala. Sam melepaskan rangkulannya dari Nenok dan membukakan pintu belakang Impala. Sementara itu, Dean membantu Nenok yang masih lemas duduk di jok belakang Impala. <br />
<br />
"Mungkin isi SMS itu ada hubungannya dengan peristiwa ini, Nenok. Aku akan masuk ke dalam mengambil Cellular Phone-mu. Apa kamu ingat di mana kamu meletakkannya terakhir kali?" tanya Sam.<br />
<br />
Nenok menggeleng.<br />
<br />
"Juichi, tolong jaga Nenok. Aku dan Ollie akan mencari Cellular Phone Nenok!" seru Sam sambil menggamit lengan Dean. Mereka berdua langsung berlari ke dalam rumah Nenok.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian Sam dan Dean muncul dari dalam rumah. Sam memberikan Cellular Phone kepada Nenok yang langsung mengecek inbox SMS-nya. Nenok terkesiap membaca isi sms yang terakhir diterimanya.<br />
<br />
Aku akan segera menjemputmu. Sebaiknya kau bersiap-siap, Nenok.<br />
<br />
1-866-907-12317<br />
<br />
Sam memperhatikan ekspresi keterkejutan di wajah Nenok.<br />
<br />
"Ada apa, Nenok?" tanya Sam bingung.<br />
<br />
"Coba lihat SMS ini, Sam. Aku ingat pikiranku seperti dikuasai oleh sesuatu yang tidak kuketahui setelah membaca SMSini. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa dan aku tak mengerti kenapa aku hampir mati tenggelam di danau," kata Nenok sambil menyodorkan Cell Phone-nya ke Sam. Sam membacanya sesaat. Keningnya tampak berkerut lalu matanya menatap Nenok, Dean, Myb dan Juichi bergantian.<br />
<br />
"Kita harus mencari tau siapa pengirim sms ini," tegas Sam.<br />
<br />
Suasana hening. Semua sedang memikirkan cara untuk menguak SMS aneh itu.<br />
<br />
"Aku tahu seseorang yang bisa membantu kita," kata Juichi tiba-tiba memecah kesunyian.<br />
<br />
“Aku ingat Ambu, temanku yang bekerja sebagai wartawan di Daily Planet. Dia pernah membantuku melacak nomor Cellular Phone seorang psikopat yang pernah mengangguku lewat SMS-nya beberapa waktu lalu,” Juichi melanjutkan kalimatnya. Alis Sam terangkat dan keningnya berkerut mendengar pernyataan Juichi tersebut.<br />
<br />
“Apa kamu yakin Ambu bisa membantu kita memecahkan kasus ini?” tanya Sam seraya menatap mata Juichi dalam-dalam. Terdengar nada keraguan dalam suaranya.<br />
<br />
”Percaya deh sama aku,” jawab Juichi yakin.<br />
<br />
******<br />
<br />
Setelah mengantar Nenok dan Myb ke rumah sakit Grace, Dean bersama Sam dan Juichi pergi ke kantor Daily Planet untuk menemui Ambu.<br />
<br />
"Hai, Ambu," sapa Juichi riang saat tiba di depan meja Ambu. Ambu spontan menoleh pada Juichi.<br />
<br />
"Hai, Juichi. Apa kabar?" sahut Ambu.<br />
<br />
"Baik. Oh ya Ambu, kenalkan ini Sam dan Oliver,”<br />
<br />
”Senang berkenalan denganmu,” kata Ambu sambil bersalaman dengan Sam. Ia tersenyum sesaat lalu mengalihkan pandangannya pada Dean. Wajah Ambu tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat melihat Dean.<br />
<br />
”Wow, aku tidak menyangka bisa bertemu dengan pemilik Queen Corporation disini,” gumam Ambu kagum. Dean sendiri hanya tersenyum menanggapi sikap Ambu tersebut.<br />
<br />
”Bolehkan kami ingin minta tolong sesuatu padamu?” tanya Sam menginterupsi perkenalan Ambu dengan Dean. Spontan Ambu menatap Sam.<br />
<br />
”Ya, ada apa?” sahut Ambu.<br />
<br />
"Bisakah kamu melacak nomor Cellular Phone ini. Nenok seperti terhipnotis setelah mendapat SMS dari nomor ini. Ia hampir saja mati tenggelam di danau,” Juichi menjelaskan seraya memberikan nomorCellular Phone itu pada Ambu. <br />
<br />
”Nenok? Dia itu saksi mata peristiwa bunuh diri Ucha!” seru Ambu. ”Kalian ingat kan kalau Lexie yang juga menyaksikan Ucha bunuh diri telah meninggal. Lalu Nenok ini juga hampir mati. Jangan-jangan nomor ini ada hubungannya dengan kematian Uchadan Lexie!”<br />
<br />
Dean, Sam dan Juichi terhenyak mendengar komentar Ambu.<br />
<br />
”Bukankah sebelum Lexie meninggal, ia sempat mengatakan sesuatu pada ibunya. Kalau tidak salah, ia mengatakan KTM. Tapi arti KTM itu sendiri belum jelas dan masih dalam penyelidikan polisi,” lanjut Ambu lagi.<br />
<br />
”Mungkin KTM singkatan dari Kraftfahrzeuge Trunkenpolz Mattighofen, produsen sepeda motor asal Austria,” tebak Sam.<br />
<br />
”Lalu apa hubungannya sepeda motor KTM dan kematian Lexie? Bukannya Lexie bunuh diri dengan minum parfum?” tanya Ambu heran.<br />
<br />
“KTM itu singkatan dari Kill The Messenger!” seru Dean tiba-tiba.<br />
<br />
“APAAA?” pekik Ambu, Juichi dan Sam berbarengan. <br />
<br />
”Aku pernah dengar lagu yang dibawakan oleh Andrew McMahon dari Jack’s Mannequin. Kalau tidak salah kalimat di bagian chorusnya adalah kill the messenger, I swear it's not me, it's just someone I used to know,” sahut Dean yakin. Dean masih ingat lagu itu karena pernah membaca liriknya di buku agenda milik Andrew sewaktu merasukinya.<br />
<br />
“Bagaimana kamu bisa yakin, Oliver?” tanya Ambu. Dean tersenyum sebab tidak mungkin kalau ia bilang pernah berada dalam tubuh Andrew McMahon.<br />
<br />
“Lagu Kill The Messenger yang ditulis Andrew memang penuh dengan kalimat-kalimat metafora, namun KTM yang dimaksud Lexie adalah Kill The Messenger dalam arti kata yang sebenarnya. Lalu kalimat selanjutnya bermakna bahwa Lexie bukanlah dirinya yang sebenarnya saat melakukan bunuh diri itu,” tutur Dean panjang lebar.<br />
<br />
“SMS aneh yang diterima oleh Nenok juga memperkuat penjelasanmu, Ollie,” sambung Sam.<br />
<br />
”Iya, tadi Nenok mengatakan kalau dia tidak ingat apapun setelah menerima SMS itu. Tahu-tahu dia sudah hampir mati tenggelam,” lanjut Juichi.<br />
<br />
”Yap, kemungkinan besar The Messenger itu adalah si pengirim SMS aneh itu,” Dean ikut menimpali.<br />
<br />
”Hanya ada satu cara untuk memastikannya!” Ambu segera melacak pemilik nomor Cellular Phone yang mengirim SMS aneh itu di komputernya. Tak lama kemudian muncullah hasil pencarian tersebut di monitor LCDnya.<br />
<br />
”Lihat ini!” seru Ambu sambil menunjuk monitornya.<br />
<br />
Serentak Dean, Sam dan Juichi buru-buru melihat hasil pencarian yang tertera di monitor Ambu.<br />
<br />
”Pemilik nomor ini adalah Keane Maroon yang beralamat di Maple Street 1850, Kansas 7560,” Ambu membacakan hasil pencarian yang didapatnya. Juichi tercengang melihat nama dan alamat yang didapatkan Ambu tersebut. Juichi membacanya lagi kata per kata dengan seksama.<br />
<br />
”Oh my God! Itu kan rumah Keane!” pekik Juichi kaget. ”Aku nggak menyangka Keane bisa berbuat seperti itu pada Nenok!”<br />
<br />
”Tenang, Juichi. Mungkin ada seseorang yang menggunakan nomor Keane untuk mengirim SMS itu,” kata Sam sambil merangkul bahu Juichi untuk menenangkannya.<br />
<br />
”Satu nomor saja belum bisa dijadikan indikator,” komentar Ambu. ”Juichi, apa kamu punya nomor Cellular Phone Ucha dan Lexie? Aku akan coba melacak SMS yang pernah mereka terima.” Juichi memberikan nomor Ucha dan Lexie pada Ambu yang segera mencari dalam programnya.<br />
<br />
”Ternyata benar kalau Ucha dan Lexie juga pernah menerima SMS dari nomor yang sama tak lama sebelum mereka bunuh diri,” Ambu kembali membaca tulisan yang terpampang di layar monitor LCD-nya.<br />
<br />
”Kita harus segera ke tempat Keane sebelum ia melakukan hal-hal buruk lainnya,” usul Dean. Ketika Dean, Sam, Juichi dan Ambu sedang bersiap-siap berangkat, tiba-tiba saja seorang pria berjalan menghampiri mereka.<br />
<br />
”Ambu, mana artikelmu? Apa kamu lupa kalau hari ini deadline?” kalimat pria tersebut lebih tepat disebut vonis daripada pertanyaan. Ambu langsung tersentak mendengarnya dan serta merta mengetik sesuatu di komputernya.<br />
<br />
”Artikel saya sudah hampir selesai, Pak Dewa,” jawab Ambu tegang. Wajahnya terlihat memucat.<br />
<br />
”Saya tunggu di meja saya paling lambat 30 menit lagi!” hardik sang pria yang ternyata bernama Dewa itu. Alis Dewa mendadak terangkat begitu melihat Dean. Rupanya ia sangat terkejut begitu mengetahui Dean yang masih berada dalam Oliver Queen sedang berada di kantornya.<br />
<br />
”Wah, kedatangan Anda sangat mendadak sekali, Pak Queen. Mengapa Anda tidak memberitahu saya dulu kalau Anda akan datang kemari?” tanya Pak Dewa. Rupanya Oliver Queen ini relasi Pak Dewa.<br />
<br />
”Ya, saya sebenarnya tidak ada rencana untuk datang kemari tadi,” sahut Dean asal.<br />
<br />
”Kemarin pembicaraan kita mengenai kerja sama bisnis kita belum selesai. Sekarang waktu yang tepat untuk melanjutkannya.” Dean sebenarnya ingin menolak ajakan Dewa namun tidak sempat karena Dewa langsung menarik lengannya dan membawanya menuju sebuah ruangan. Untungnya Dean masih sempat melirik Sam untuk mengisyaratkan agar ia cepat pergi ke tempat Keane. <br />
<br />
******<br />
<br />
Sesampainya di rumah Keane, Sam dan Juichi mengendap-endap masuk ke dalam melalui jendela yang setengah terbuka.<br />
<br />
”Juichi, ada di mana dapurnya?” tanya Sam dengan berbisik begitu memasuki rumah Keane. Alis mata Juichi langsung naik mendengar pertanyaan tersebut. ”Aku rasa Keane itu kerasukan Demon, Juichi. Jadi cara yang paling tepat untuk melumpuhkannya adalah dengan menyiramnya dengan air suci atau garam,”Sam menjawab keraguan Juichi. Juichi langsung membawa Sam ke dapur dan mencari garam. Sayangnya, meskipun mereka telah mencari di seluruh penjuru dapur, namun benda sakti bernama garam itu tak juga diketemukan.<br />
<br />
”Aku nggak yakin deh kalau Keane punya garam. Dia itu kan nggak bisa masak,” gumam Juichi pelan.<br />
<br />
”Kalau gitu ambil aja makanan atau minuman apapun yang mengandung garam,” perintah Sam.<br />
<br />
Namun pencarian Sam dan Juichi lagi-lagi buntu karena tidak ada makanan asin dalam lemari es Keane, yang ada makanan manis seperti es krim, black forrest, pudding dan pai apel. Tiba-tiba Juichi mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya. <br />
<br />
”Apa ini ?” tanya Sam. Ia melongo melihat tube berisi butiran berwarna biru kehijauan yang disodorkan Juichi.<br />
<br />
”Sam, ini garam laut khusus untuk spa. Bisa kan pakai ini?” usul Juichi. Sam berpikir sejenak lalu mengangguk kemudian mengambil tube garam tersebut dari genggaman Juichi.<br />
<br />
Sam dan Juichi mulai menaiki tangga dengan perlahan-lahan dan melangkah satu persatu tanpa menimbulkan suara. Ketika mencapai puncak tangga, mereka mengamati bahwa matahari mulai tenggelam di luar,dan bayangan hitam mereka membayang di koridor rumah Keane yang suram. Sam mengikuti langkah Juichi menuju kamar Keane. Pintu kamar tidur itu tertutup. Saat tiba di depan pintu tersebut, Juichi menarik nafas sejenak. Tanpa mengetuk, Juichi meraih handel pintu dan memutarnya sambil menahan nafas ketika membuka pintu itu. Pintu berderit pelan dan Juichi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Keane yang gelap. Tiba-tiba lampu kamar Keane mendadak menyala dan membuat Juichi mengerjap-ngerjapkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya tersebut. Jantung Juichi langsung berdegup kencang ketika sekonyong-konyong daun pintu dan jendela yang tadinya tertutup mendadak terbuka dan beberapa detik kemudian menutup lagi secara bersamaan. Sesaat kemudian terdengarlah suara yang sangat dikenal Juichi.<br />
<br />
”Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Keane terdengar sarkastik.<br />
<br />
Juichi terlompat. ”Keane!” pekik Juichi kaget. Ternyata Keane sedang berdiri di balkon. Lalu ia berjalan menghampiri Juichi melalui sebuah pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon. Matanya memandang Juichi dengan curiga.<br />
<br />
”Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Keane sinis.<br />
<br />
Sebelum menjawab pertanyaan Keane, Sam telah muncul di belakang Juichi. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera melemparkan butiran garam spa ke wajah Keane<br />
<br />
”Cuih... cuih... Hei, apa-apaan kamu melempariku dengan garam,” protes Keane sambil meludahkan garam dari mulutnya. Rupanya beberapa butir garam tertelan olehnya. <br />
<br />
”Dan perlu kalian ketahui bahwa namaku bukan Keane. Ingat itu!” seruan Keane ini spontan membuat Juichi ternganga. Juichi lalu memicingkan matanya untuk melihat wajah Keane dengan seksama. Wajah itu kelihatan seperti Keane namun ekspresinya sangat menakutkan, pikir Juichi. Sam sendiri juga tak kalah kagetnya dengan Juichi. Ia terkesiap begitu mengetahui Keane tidak dirasuki Demon. <br />
<br />
Keane mengalihkan pandangan pada Sam karena tindakannya barusan. Ia mendekati Sam dan matanya memandang tajam ke arah Sam lalu perlahan menengadahkan kepalanya. Seketika itu juga Sam merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat dari lantai. Dalam sekejap tubuhnya telah mengambang di tengah-tengah kamar Keane. Kedua kakinya bergantung-gantung tanpa pijakan menendang-nendang panik.<br />
<br />
”Sam!” Juichi langsung histeris melihat tubuh Sam dikendalikan oleh Keane. Teriakan Juichi itu membuat Keane menoleh ke arah Juichi. Ia menyeringai lalu menatap Juichi dengan tatapan sedingin es.<br />
<br />
”Ssst! Sekarang jadilah gadis baik dan berjalanlah menuju balkon itu. Ayo cepat!” perintah Keane pada Juichi seraya menunjuk ke arah balkon.<br />
<br />
Ekspresi ketakutan yang terpancar dari raut wajah Juichi berubah seketika. Tatapan Juichi mendadak kosong dengan wajah tanpa ekspresi. Juichi berjalan menuju balkon tanpa mengatakan apapun. Rupanya Keane telah berhasil menguasai pikiran Juichi.<br />
<br />
Sam yang masih melayang di tengah kamar hanya bisa terpana melihat Juichi. Ia tak kuasa melawan kekuatan telekinesis Keane. Sam terkesiap ketika Juichi tiba-tiba menjulurkan kaki kanannya melompati terali balkon. <br />
<br />
”Juichi!” pekik Sam. Wajah Sam pucat seketika.<br />
<br />
”Keane! Tolong hentikan!” pinta Sam putus asa. Sayangnya, Keane tidak menghiraukan permohonan Sam. Ia malah tertawa nyaring tak terkendali. Ada kesan bengis dalam suara tawanya yang menggelegar, dan juga dalam keseluruhan sosoknya. Keane menengadah dan memandang Sam dengan seksama selama beberapa menit.<br />
<br />
”Wah, kamu ini tampan sekali!” gumam Keane sambil menyeringai. ”Sebenarnya sayang sekali harus membunuh pria tampan. Tapi apa boleh buat, aku harus mengenyahkan orang-orang yang telah mencampuri urusanku,” lanjut Keane datar tanpa ekspresi. <br />
<br />
Tatapan tajam Keane sekonyong-konyong membuat Sam merasakan panas tubuhnya naik seketika, darahnya bergolak dan keringat mengucur deras membasahi pakaiannya. Ia merasakan jutaan sel dalam tubuhnya seperti melebur. Tubuhnya seperti akan meledak. Rasa sakit yang amat sangat tersebut membuat Sam berteriak sekencang-kencangnya. Di tengah-tengah rasa sakitnya, ia sempat menoleh ke arah Juichi yang masih berdiri diam di ujung balkon. Hanya dengan sekali lagi perintah dari Keane, Juichi akan jatuh.<br />
<br />
BRAK!<br />
<br />
Keane dikejutkan oleh suara pintu yang tiba-tiba terbuka. Spontan Keane membalikkan tubuhnya ke arah suara tersebut. Ia terpana melihat Dean yang telah berdiri di ambang pintu. Dean juga sama terkejutnya dengan Keane. Ia tercengang melihat tubuh Sam mengambang di udara. Sam menarik nafas lega begitu mengetahui kakaknya telah datang membantunya.<br />
<br />
Tanpa membuang waktu lagi, Dean mengangkat tangan kanannya setinggi leher untuk mengeluarkan kekuatan Demon-nya dan mengarahkannya pada Keane. Tak disangka-sangka, kekuatan Dean telah menghempaskan Keane ke dinding seketika. Setelah kepalanya membentur tembok dengan keras, tubuh mungilnya jatuh ke lantai. Tampaknya benturan itu cukup keras sehingga mengakibatkan darah mengucur keluar dari kepalanya dan membasahi rambutnya yang kecoklatan. Darah tersebut juga membekas di dinding tempat kepala Keane terbentur. Keane sempat menatap Dean sesaat sebelum pingsan. Dean terkesiap. Ia tidak menyangka kekuatan Demonn-ya sekali lagi telah mencelakakan orang. Padahal ia hanya bermaksud untuk menyudutkan Keane, bukan untuk melukainya. Tampaknya Dean masih harus banyak belajar untuk mengendalikan kekuatan barunya itu. <br />
<br />
Seketika itu juga tubuh Sam yang melayang di udara jatuh ke lantai karena pengaruh telekinesis Keane telah hilang. “Oww!” pekik Sam ketika terbanting di lantai. Dia memejamkan matanya dan terdiam sesaat untuk mengatur nafasnya sebelum bangkit dengan sempoyongan. Dean langsung tersadar dari keterkejutannya begitu mendengar erangan Sam lalu menghampiri adiknya.<br />
<br />
”Sammy, kamu tidak apa-apa kan?” tanya Dean cemas.<br />
<br />
”Yeah,” sahut Sam sambil mengusap-usap pinggulnya yang ngilu karena benturan tadi.<br />
<br />
Sementara itu Juichi yang baru tersadar dari pengaruh hipnotis Keane, tersentak begitu mengetahui bahwa dirinya sedang berdiri di luar terali balkon. Dalam seketika tubuhnya gemetar dan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Ketika Juichi berusaha menggerakkan kakinya yang gemetar, seketika ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari balkon. Tangan kanannya refleks memegang salah satu terali balkon guna menahan tubuhnya yang hampir terjatuh. Juichi dapat merasakan tubuhnya kejang ketakutan dan kedua kakinya berayun-ayun liar. Tak ada pijakan sama sekali. Jari-jari tangan kanannya yang memegang terali terasa perih dan sakit. Juichi dapat merasakan pegangannya mulai melemah.<br />
<br />
”TOLONG!” jerit Juichi ketakutan. Mendengar teriakan itu, Sam langsung berlari menuju balkon tempat Juichi berada. Sam dapat melihat ketakutan terpancar jelas di wajah Juichi. Sam lalu membungkuk di atas terali balkon dan berusaha meraih Juichi yang masih tergantung di salah satu kisinya. Namun tangan kanan Juichi tampaknya tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Seketika itu juga tangannya tergelincir dan dalam sekejap tubuhnya melayang jatuh ke bawah.<br />
<br />
”AAAAA!” Juichi menjerit kencang. Dengan sigap tangan kanan Sam berhasil meraih pergelangan tangan Juichi dan menariknya ke atas. Juichi akhirnya berhasil naik di balkon dengan selamat dan ia langsung mengambil nafas panjang dan dalam untuk menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. Dean berlari menuju balkon dan membantu Sam memapah Juichi yang masih gemetaran dan membawanya ke ranjang milik Keane.<br />
<br />
Sementara Sam menghubungi 911 untuk meminta dikirimkan ambulans, Juichi meraih Cellular Phone milik Keane yang tergeletak di atas ranjangnya. Ternyata benar, Keane yang telah mengirimkan SMS berisi kalimat-kalimat intimidasi kepada Ucha, Lexie dan Nenok.<br />
<br />
******<br />
<br />
BUKIT NICODEMUS<br />
7 HARI KEMUDIAN<br />
<br />
Dean dan Sam mendaki jalan setapak yang curam untuk menuju sebuah rumah yang terletak di dekat puncak bukit Nicodemus. Mereka menghentikan langkah pada sebuah rumah bercat putih. Sam mengetuk pintu perlahan. Tak lama kemudian datang seorang gadis membukakan pintu untuk mereka. Penampilannya yang mengenakan seragam perawat membuat Sam dan Dean menerka bahwa gadis itu adalah suster yang bekerja di rumah itu.<br />
<br />
"Apakah kami dapat bertemu dengan Keane?” tanya Sam cepat. Mendengar pertanyaan Sam barusan, tiba-tiba mata gadis perawat itu menyipit dan mulutnya tertutup rapat menjadi sebuah garis tipis. Ia kelihatan terkejut.<br />
<br />
”Ada keperluan apa ya?” gadis perawat itu balik bertanya. <br />
<br />
“Kami berdua adalah teman Keane dari Met-U. Kami ingin menjenguknya,” jawab Sam sambil tersenyum.<br />
<br />
“Tunggu sebentar ya,” Sang perawat meninggalkan Sam dan Dean di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, seorang wanita cantik yang mengenakan jas dokter dipadukan dengan setelan berwarna merah berjalan menghampiri mereka. Wanita itu tersenyum sambil menatap Dean dan Sam bergantian lalu duduk menghadap mereka di sebuah sofa bercorak bunga mawar.<br />
<br />
"Perkenalkan saya Sam dan ini teman saya, Oliver. Kami berdua teman Keane dari Met-U. Kami ingin sekali mengetahui perkembangan kondisinya saat ini," tutur Sam.<br />
<br />
"Saya Red, psikiater yang menangani Keane. Maaf, saat ini keadaan Keane belum benar-benar stabil, jadi sebaiknya sebaiknya Anda tidak bertemu dengannya dulu. Saya khawatir ia dapat membahayakan diri Anda. Saya akan menjelaskan mengenai keadaannya,” kata sang wanita memperkenalkan dirinya. Ia menghela nafas sejenak lalu melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Sam dan Dean.<br />
<br />
"Kasus Keane ini benar-benar luar biasa. Beberapa waktu lalu Keane mengalami guncangan mental yang hebat lalu muncullah fenomena Dissociative Identity Disorder atau yang dalam istilah awam disebut kepribadian ganda dalam diri Keane," Dr Red mulai menjelaskan pada Sam dan Dean.<br />
<br />
"Berikut ini adalah fakta-fakta yang telah terbukti kebenarannya dalam sesi pemeriksaan yang telah saya lakukan. Kepribadian pertama Keane sama seperti dirinya selama 18 tahun belakangan ini. Keane adalah gadis yang ceria, sangat suka mendengar musik, jalan-jalan, nonton, menggosip, membahas topik-topik entertainment serta senang membaca buku. Sebaliknya, kepribadian Keane lainnya, yang bernama Tania, memiliki karakter moral yang sangat berlawanan. Tania ini sering berperilaku destruktif, sering merendahkan orang lain dan pribadinya dipenuhi dengan perasaan iri serta dengki. Selain itu dia juga sangat pendendam. Masing-masing kepribadian itu sama menonjolnya, saling terpisah dan tidak saling mengenal. Keane jelas merupakan kepribadian yang paling dominan karena selalu muncul setiap hari. Kemudian kepribadiannya yang bernama Tania akan muncul selama beberapa jam, namun jarang bertahan selama lebih dari sehari. Setiap perubahan kepribadian selalu disertai dengan sakit kepala hebat dan amnesia terhadap peristiwa yang telah dilakukan oleh kepribadian lainnya sebelumnya. Kepribadian yang sedang muncul, baik itu Keane ataupun Tania selalu meneruskan episode dari kemunculan sebelumnya. Masing-masing kepribadian itu tidak menyadari waktu yang berlalu dan peristiwa apa-apa saja yang telah dilakukan oleh kepribadian lainnya." lanjut Dr Red panjang lebar.<br />
<br />
"Bukti-bukti telah mengarah pada keterlibatan Keane atau Tania, atau siapa pun itu dalam dua kasus kematian dan satu kasus percobaan bunuh diri pada tiga orang mahasisiwi Met-U. Apakah Anda dapat menjelaskan tentang penyebab yang membuat Keane melakukan perbuatan tersebut pada mereka bertiga?" tanya Dean sambil mengunyah kue yang tersedia di meja tamu. Dr Red serta merta mengalihkan pandangannya pada Dean.<br />
<br />
"Saya telah menginvestigasi penyebab kepribadian ganda dalam diri Keane. Keane pernah menjadi mahasiswi jurusan kedokteran umum semester lalu, namun karena ia terus menerus diintimidasi oleh Ucha dan gengnya maka ia tidak bertahan lama di jurusannya dan pindah ke manajemen. Stress yang teramat berat dan tekanan batin yang dialami Keane saat ia gagal bertahan di fakultas kedokteran, tanpa disadarinya telah mengakibatkan kepribadiannya terpecah sehingga muncullah kepribadian lain bernama Tania yang lebih kuat dan superior. Tania merupakan ekspresi dari kepribadian Keane yang muncul karena dia tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya, yang dalam hal ini adalah keinginan untuk membalaskan dendam kepada Ucha, Lexie dan Nenok yang dulu pernah menyakitinya. Keane saat itu telah berubah menjadi Tania mempengaruhi pikiran Ucha, Lexie dan Nenok sehingga mereka melakukan usaha bunuh diri," tutur Dr Red lagi.<br />
<br />
"Keane telah menewaskan dua orang hanya melalui kekuatannya. Saya masih belum mengerti dari mana datangnya kekuatan itu dalam diri Keane.” Sam terus mengorek keterangan dari Dr Red.<br />
<br />
”Keane sewaktu menjadi Tania dalam sesi terapi pernah menyatakan bahwa kekuatannya itu timbul setelah bertemu dengan seorang gadis aneh. Coba Anda bayangkan, ia mengatakan bahwa gadis yang menemuinya dalam mimpi itu memiliki mata yang putih bersih, nyaris tanpa pupil! Dialah yang menyuruh Tania untuk membunuh Ucha, Lexie dan Nenok. Saya sendiri masih belum yakin apakah gadis tersebut benar-benar ada ataukah hanya delusi belaka,” sang dokter kembali menjelaskan.<br />
<br />
Sam dan Dean terkesiap mendengar kalimat Dr Red tersebut. Gadis bermata putih serupa dengan gambaran Lilith. Apa mungkin Lilith berniat meneruskan jejak Yellow Eyed Demon, tanya Sam dalam hati.<br />
<br />
”Apakah anda yakin peristiwa mengerikan seperti itu tidak akan terulang lagi?" tanya Sam cemas.<br />
<br />
"Saat itu memang pikirannya sedang tidak terkendali. Saat ini saya melakukan terapi untuk mencegah agar Tania tidak muncul lagi dalam diri Keane. Itulah mengapa Keane ditempatkan di rumah yang jauh dari masyarakat...." kalimat Dr Red terinterupsi ketika tiba-tiba gadis perawat yang membukakan pintu tadi menghampiri mereka. Dean, Sam dan Dr Red serentak menoleh ke arah gadis itu.<br />
<br />
”Ada apa, Suster Charm?” tanya Dr Red pada sang gadis perawat.<br />
<br />
”Keane... ” Suster Charm tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat Dr Red menganggukkan kepalanya yang menandakan bahwa ia mengetahui apa yang akan disampaikannya.<br />
<br />
"Saya mohon diri dulu. Keane tampaknya sudah bangun dan saya harus memberikan Vicodin padanya," kata Dr Red seraya bangkit dari sofa.<br />
<br />
"Terima kasih atas penjelasan anda, Dr Red," ujar Sam seraya menjabat tangan sang dokter.<br />
<br />
"Saya sangat menghargai waktu yang telah Anda berikan, Dr Red. Apabila Anda tidak keberatan, bolehkah saya menghubungi Anda untuk mengetahui perkembangan kondisi Keane?" tanya Dean yang kemudian memberikan senyum memikatnya pada Dr Red.<br />
<br />
"Tentu saja," Dr Red membalas senyuman Dean. Ia mengambil kartu namanya yang kemudian diberikannya pada Dean. Dr Red mengantar Sam dan Dean menuju pintu keluar. Mereka segera menyusuri jalan setapak dari punggung bukit yang dilalui tadi.<br />
<br />
“Rupanya Lilith sedang meneruskan tindakan Yellow Eyed Demon, Sam,” gumam Dean pelan.<br />
<br />
“Yeah, we got work to do,” sahut Sam cepat. <br />
<br />
*******<br />
<br />
ASRAMA MAHASISWA MET-U<br />
KAMAR SAM<br />
10 HARI KEMUDIAN<br />
<br />
Sinar matahari pagi yang menembus masuk melalui jendela membangunkan Dean dari tidurnya yang lelap. Ia beranjak ke wastafel untuk mencuci mukanya lalu mengeringkannya dengan handuk. Setelah itu ia merapikan rambut cepaknya dan membentuk jambul di ubun-ubunnya dengan kedua tangannya. Dean mengamati pantulannya di cermin sambil melamun. Suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuyarkan lamunan Dean. Sebelum membuka pintu, Dean meraih kalung brass amulet dan cincin peraknya yang diletakkannya di atas meja lalu mengenakannya. Tak lama kemudian Dean membuka pintu kamarnya dan tampaklah wajah Juichi. Belum sempat Dean menyapa Juichi, ia sudah dikejutkan oleh histeria Juichi.<br />
<br />
“SAM! Wah, penampilan kamu beda banget hari ini! Aku hampir aja nggak ngenalin kamu!” seru Juichi terkejut. Mata Juichi terus menatap Dean dengan seksama.<br />
<br />
”Lalu sejak kapan kamu potong rambut jadi model cepak begini? Pakai jambul lagi! Terus kamu kok tiba-tiba jadi pakai kalung dan cincin perak gini sih?” Juichi terus menghujani Dean dengan berbagai pertanyaan.<br />
<br />
”Oh, aku hanya ingin sedikit merubah penampilan,” jawab Dean kalem. Tidak mungkin Dean memberitahukan pada Juichi bahwa saat ini Sam bukanlah Sam yang sebenarnya. Juichi hanya melongo mendengar penjelasan Dean. Setelah lepas dari keterkejutannya, Juichi membuka tasnya dan mengambil segulung koran. <br />
<br />
”Oh ya, aku mau memperlihatkan berita terbaru ini,” ujar Juichi sambil menyodorkan Daily Planet kepada Dean. Dean langsung terhenyak ketika membaca artikel yang ditunjuk oleh Juichi.<br />
<br />
Rumah di atas bukit yang menjadi tempat perawatan Keane telah hancur oleh ganasnya amukan angin chinook. Bencana tersebut telah melukai seorang perawat yang menjaga rumah itu, namun Keane menghilang seakan lenyap ditelan bumi. Dr. Red yang merupakan psikiater Keane selamat karena ia sedang tidak berada di rumah tersebut saat datangnya angin chinook. Tim SAR telah mencari dalam puing-puing reruntuhan dan menyusuri tempat disekelilingnya, namun tubuh Keane tetap tak ditemukan.<br />
<br />
TAMATOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7079367462413025680.post-5608160713043238812009-12-19T22:13:00.000+07:002009-12-19T22:13:34.317+07:00Fic: The Ghost OvergroundAuthor: Lady_Mannequin<br />
Genre : Horror, Drama<br />
Rating: T<br />
Warning: Self insert<br />
Setting : Wyoming, Arizona, South Dakota and Kansas<br />
Timeline : After “No Rest For Wicked” (finale episode season 3)<br />
Title reference: This fan fiction title refers to an album by Jack’s Mannequin<br />
<br />
<br />
"Lady, bisa nggak, sih kamu jalan lebih cepat lagi?" tanya Jack pada Lady.<br />
<br />
"Sabar dong, Jack. Aku kan pakai stiletto. Mana bisa jalan cepet-cepet di tengah hutan belantara begini," jawab Lady menenangkan Jack yang mulai kelihatan tidak sabar menunggu Lady yang kecepatannya jalannya bisa disamakan dengan kura-kura.<br />
<br />
"Ya udah, kamu lepas sepatu aja deh biar cepat," kali ini gerutuan Jack diutarakan dengan suara yang agak kencang karena Lady udah berada di belakang Jack dengan jarak yang lumayan jauh.<br />
<a name='more'></a><br />
Lady tidak menggubris keluhan sang pacar. Lagi pula Lady lagi malas berdebat karena energinya sudah hampir abis untuk memaksakan berjalan kaki sekian puluh kilometer dengan stiletto Rotelli kesayangannya. Walaupun sebenarnya Lady sudah capek sama Jack karena nggak ngasih tau sebelumnya bahwa mereka bakal ke tempat kayak gini, namun ia berusaha untuk nggak memperlihatkannya dengan memberikan Jack senyuman yang paling manis. Jack pun luluh melihat senyum Lady yang mengingatkannya pada sebuah iklan lipstik asal New York yang dibintangi oleh Josie Maran. Kekesalan Jack yang tadinya udah sampe ubun-ubun mencair seketika. Jack menghentikan ayunan kakinya dan bersandar di pohon oak seraya menunggu Lady yang dengan susah payah berjalan mendekat. <br />
<br />
"Jack, sebenarnya kita ini mau ke mana sih? Kayaknya kita udah jalan berpuluh-puluh kilometer tapi kok belum nyampe juga?" tanya Lady saat menghampiri Jack.<br />
<br />
"Tadi kan udah aku kasih tau bahwa tempat yang akan kita tuju bakal bikin kamu bahagia banget," jawab Jack sambil tersenyum.<br />
<br />
Yah, kenapa sih mau bikin aku bahagia aja mesti ke tempat kayak gini. Ini sih bukan bikin seneng tapi malah nyusahin, sungut Lady dalam hati.<br />
<br />
"Kasih petunjuk dong tempatnya nanti kayak gimana, Jack?" tanya Lady setengah memelas.<br />
<br />
"Kalau dikasih tau sekarang kan jadi nggak surprise, Dy," jawab Jack.<br />
<br />
"Dikiiit aja deh, Jack, please," pinta Lady.<br />
<br />
Jack akhirnya nggak tega juga melihat muka memelasnya Lady.<br />
<br />
"Aku lagi mencari sebuah bangunan makam kuno yang di pintunya terdapat bulatan dengan tanda bintang dan ada lubang di tengahnya," tutur Jack.<br />
<br />
Lady hanya memandang Jack dengan tatapan tak mengerti.<br />
<br />
"Kata tanteku, di sana kita bisa mewujudkan segala keinginan kita, Dy."<br />
<br />
"Jadi kamu dapat info ini dari tante kamu? Aneh deh, kenapa dia nggak ambil sendiri aja ya?"<br />
<br />
"Kehidupan tanteku kan udah sempurna, jadi mungkin dia nggak butuh lagi benda macam gini?"<br />
<br />
"Tetap aja aneh dan nggak masuk akal!"<br />
<br />
"Kamu bisa ngebuktiin deh nanti kalau udah nemuin benda ini. Lebih baik kamu buat daftar permintaan aja deh. Kalau aku sih udah bisa ngebayangin bakal minta uang yang banyak banget supaya kita bisa menggelar pesta pernikahan mewah dan hidup berbahagia selama-lamanya. Kamu pasti mau kayak gitu dong, Dy?"<br />
<br />
”Hmmm....”<br />
<br />
Kalimat Lady terpotong ketika menyadari bahwa ia dan Jack telah sampai di area pemakaman kuno. Kegelapan makin menyelimuti karena sang surya hampir terbenam di ufuk barat dan ditambah dengan minimnya penerangan di area pemakaman itu. Ratusan nisan tua berdiri kokoh di atas tanah lembab yang ditutupi oleh daun-daun kamboja yang berguguran, dahan-dahan pepohonan kamboja melambai-lambai ditiup angin bagaikan tangan monster yang siap menerkam, puluhan burung gagak mengeluarkan bunyi koak-koak yang mengerikan, berbagai macam patung penjaga makam seolah-olah sedang menatap tajam ke arah Lady membuatnya merinding ketakutan.<br />
<br />
"Jack, aku takut," gumam Lady dengan suara gemetar.<br />
<br />
"Tenang aja, say. Tanteku bilang kalau kita berhasil sampai ke area pemakaman kuno ini berarti bangunan yang kita cari sudah dekat," sahut Jack untuk meyakinkan Lady. Ia meraih tangan pujaan hatinya. Jack mengumpulkan keberaniannya untuk membuka pagar yang membatasri area pemakaman dengan hutan disekelilingnya.<br />
<br />
Jack dan Lady bergegas berjalan bersama dan akhirnya menemukan sebuah bangunan makam kuno yang di pintunya terdapat bulatan berbentuk bintang dan ada lubang di tengahnya. Ketika mereka berdua telah tiba tepat di depan bangunan makam tersebut, Jack mengambil sesuatu dari dalam saku celana jinsnya.<br />
<br />
"Jack, ngapain kamu bawa-bawa pistol?" tanya Lady heran ketika melihat pistol dengan laras pendek dan berujung bulat yang tengah dibawa oleh Jack.<br />
<br />
"Ini bukan sembarang pistol, Dy. Pistol ini adalah kunci untuk membuka benda ini," kata Jack sambil memasukkan ujung pistol ke dalam lubang yang terdapat di tengah bulatan dengan tanda bintang di pintu bangunan tersebut. Jack dan Lady benar-benar tidak mengetahui bahwa pintu tersebut adalah Devil’s Gate dan sesuatu yang sangat mengerikan berada di baliknya.<br />
<br />
Jack dan Lady terkejut ketika tiba-tiba bulatan dengan tanda bintang itu berputar dengan sangat cepat. Dalam sekejap pintu terbuka lebar dan terlihatlah neraka yang berkobar-kobar. Jack dan Lady pingsan seketika saking terkejutnya melihat kobaran api dibalik pintu yang terbuka itu.<br />
<br />
Neraka berguncang ketika sebuah lubang terlihat menganga di tengah lautan api. Tanpa dikomando, seluruh penghuni neraka berebut untuk meloloskan diri dari tempat paling mengerikandan terkutuk tersebut. Gumpalan-gumpalan asap hitam yang tak terhitung banyaknya keluar melalui Devil's Gate.<br />
<br />
WUUUUZZZZZZZ...WUUUUZZZZZZZ...WUUUUZZZZZZZ...<br />
<br />
Dean tak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk bisa keluar dari neraka jahanam. Ia terkejut ketika menyadari dirinya telah berubah menjadi segumpal asap hitam yang telah melesat jauh ke langit malam yang bertaburan bintang. Dean berhenti sejenak dan mengamati pemandangan bumi yang telah lama sekali tak dilihatnya. Seketika itu juga, pandangan Dean terpaku pada Devil's Gate yang masih terbuka lebar di mana ribuan demon sedang berdesak-desakan untuk meloloskan diri dari neraka.<br />
<br />
Dean berbalik kembali ke arah Devil's Gate dalam hitungan detik. Dean berusaha sekuat tenaga untuk menutup Devil's Gate, namun ia tak mampu melakukannya karena ia sekarang adalah roh tak bertubuh. Ia memandang tubuh Jack yang masih pingsan dan tanpa pikir panjang langsung merasuki tubuh pria tampan tersebut. Dean kembali mengerahkan segenap tenaganya untuk menutup Devil's Gate. Usahanya tak sia-sia karena akhirnya Devil's Gate telah menutupdan tanda bintang di pintu bangunan tersebut berputar dengan arah berlawanan jarum jam. Lalu Dean mengeluarkan Colt yang ujungnya tertanam dalam benda tersebut dan memasukkannya dalam kantong celana jeansnya.<br />
<br />
”I’m free!” seru Dean setelah berhasil menutup Devil’s Gate. <br />
<br />
”But I’m the ghost overground now,” gumam Dean lirih pada dirinya sendiri sambil memandangi tubuh yang dirasukinya.<br />
<br />
Dean bergegas keluar dari area pemakaman dan mencoba untuk mengingat kembali semua memori masa lalunya saat masih menjadi manusia. Berbagai macam gambaran menari-nari dalam benaknya, lalu muncullah satu sosokyang paling dicintainya selama ini. Sam, jerit Dean dalam hati. Ia pun mempercepat langkahnya hanya untuk satu tujuan yaitu bertemu dengan Sam. Tak terasa Dean telah melewati hutan belantara dan sampai di sebuah jalan raya. Ia melihat seberkas cahaya di luar hutan dan langsung menyeberang jalan tanpa tengok kanan kiri.<br />
<br />
Tanpa Dean sadari, sebuah Mercy melaju melewati jalan tersebut dan menabrak Dean yang mengakibatkan tubuh yang ditumpanginya terhempas melewati pagar pembatas jalan dan jatuh kedalam semak belukar di tepi hutan.<br />
<br />
Dean bangkit dari semak-semak dan melihat bahwa tubuh yang ditumpanginya luka parah. Darah mengucur di beberapa bagian tubuh Jack. Dean meraba wajah dan ia dapat merasakan darah mengalir tanpa henti dari patahan tulang-tulang tengkorak Jack yang mencuat keluar menembus daging dan kulit.<br />
<br />
"Tak ada gunanya lagi aku bertahan dalam tubuh yang telah hancur ini," gumam Dean pelan. Ia hampir saja keluar dari semak-semak namun diurungkannya begitu melihat sang pengendara Mercy keluar dari mobilnya. Ternyata, sang pengendara adalah seorang wanita berambut coklat yang sangat cantik. Mata Dean langsung terbelalak. Maklumlah, Dean sudah lama tak melihat wanita cantik di neraka.<br />
<br />
Seorang pria tampan berambut hitam membuka pintu Mercy dan keluar menghampiri wanita yang sedang melihat ke sana ke mari dengan tatapan bingung.<br />
<br />
"Ada apa, Dahlia?" tanya sang pria.<br />
<br />
"Aku merasa telah menabrak sesuatu, Andrew," jawab sang wanita yang dipanggil Dahlia.<br />
<br />
"Tapi aku tak melihat seorang atau sesuatu pun di jalan ini selain kita berdua," sahut Andrew sambil memperhatikan jalan yang telah mereka lewati.<br />
<br />
"Kamu juga merasa kan tadi mobil kita seperti bersentuhan dengan sesuatu? Ah, seharusnya aku tadi tidak usah memaksakan untuk belajar menyetir mobil malam-malam begini," ujar Dahlia panik.<br />
<br />
Andrew mencoba menenangkan Dahlia dari kepanikannya dengan tersenyum dan merangkul sang istri. Lagi pula ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan di jalan sehingga ia yakin bahwa istrinya tak membuat kesalahan. Ia juga memaklumi cara Dahlia menyetir yang notabene belum seahli dirinya.<br />
<br />
"Ayo, Dahlia, kita kembali ke mobil. Aku yang akan menyetir sekarang," ajak Andrew seraya membukakan pintu untuk Dahlia. Dahlia pun menerima ajakan sang suami dan masuk ke dalam Mercy.<br />
<br />
Dean kembali tertegun ketika menyaksikan percakapan tersebut dari balik semak-semak. Sebuah ide cemerlang langsung terbersit dalam pikirannya. Segumpal asap hitam keluar dari mulut Jack yang berlumuran darah dan dalam hitungan sepersekian detik masuk kedalam tubuh Andrew yang sedang membuka pintu Mercy. Lalu ia duduk dan mulai menstater mobil.<br />
<br />
"Wow!" seru Dean ketika melihat pantulannya di kaca spion. Dean tak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap wajah tampan yang dimiliki oleh tubuh yang baru saja dirasukinya itu.<br />
<br />
"Andrew?" tanya Dahlia keheranan.<br />
<br />
Dean tersenyum dan memandang dengan seksama wanita yang memanggilnya dengan nama Andrew. Hmmm... wanita ini sungguh menawan. Kulit wajahnya putih dan halus bagai porselen, mata berwarna madu dengan bulu mata yang sangat lentik, hidung lurus mancung, bibirnya yang seksi, lesung pipinya yang memikat, rambut panjang berwarna kecoklatan yang tergerai indah dan tentu saja lekuk tubuhnya yang sempurna benar-benar membuat Dean terpesona. Dean menebak bahwa ia berusia sekitar dua puluhan.<br />
<br />
Dahlia merasa aneh dengan tatapan suaminya yang sangat tidak biasa. Tentu saja dia tidak mengetahui bahwa saat ini Dean yang telah menguasai tubuh suaminya. "Ada apa, Andrew?" Dahlia bertanya lagi sambil mengerutkan kening. Namun Dean tidak menghiraukan keanehan yang dirasakan Dahlia dengan tetap menatapnya lekat-lekat.<br />
<br />
"Aku lapar," jawab Dean cuek. Dean memasang safety belt-nya dan segera tancap gas. <br />
<br />
"Bukannya kita baru makan malam sekitar satu jam yang lalu?" tanya Dahlia lagi. Hihihi, Dahlia nggak tau kalau Dean beneran kangen banget sama Beef Burger secara dia nggak pernah bisa makan makanan favoritnya itu sejak ia tiba di neraka yang cuma ada api.<br />
<br />
"Kejadian tadi membuatku lapar lagi, sayang," katanya sambil tersenyum. Diam-diam Dean memperhatikan senyumnya sendiri lewat pantulan kaca spion. Senyum yang menawan, katanya dalam hati.<br />
<br />
Oow, I'm in trouble! Dean menjerit dalam hati sambil tangan kirinya menjitak-jitak dahinya. Ternyata Dean baru menyadari bahwa dia tidak punya petunjuk sama sekali harus mengemudikan Mercy ini kemana. Ia punya beberapa pilihan yang harus secepatnya ia putuskan. Pilihan pertama, bertanya pada Dahlia tentang tujuan mereka yang sebenarnya yang kemungkinan besar akan dijawab dengan pertanyaan juga. Pilihan kedua, jalan terus sampai ketemu belokan baru tanya. Pilihan ketiga, diam saja dan berharap ditegur bila salah jalan. Di tengah-tengah usaha Dean untuk memeras otak dan memutuskan mana yang terbaik dari tiga pilihan tersebut, tiba-tiba jreng... jreng... jeng.. .resto Mcdonald's berdiri dengan gagahnya di tepi jalan. Air liur Dean hampir menetes begitu melihat gambar Big Mac yang terpampang di billboard depan outlet McD tersebut. Seketika itu juga Dean langsung berbelok dan memarkir mobilnya di halaman parkir.<br />
<br />
Dean langsung berlari masuk menuju McD yang diikuti Dahlia. Dean benar-benar norak. Bayangin aja, Dean memesan makan malam tujuh rupa. Waitress dan waiter McD aja sampai wara wiri menyiapkan pesanannya Dean. Semua stock Big Mac, Fillet o'fish, cheese burger dan McChicken diborong sama Dean. Itu belum termasuk sama french fries segentong, coca cola segalon dan es krim seember. Ia langsung menuju sebuah meja setelah sebelumnya memberikan kartu kreditnya pada kasir sambil ngomong "Visa, all it takes". Udah mirip iklan kartu kredit deh.<br />
<br />
Dean pun makan dengan rakusnya dan dia nggak menyadari sama sekali tentang status public figure yang disandang oleh Andrew, sang pemilik tubuh yang dirasukinya itu. Pokoknya Dean balas dendam habis-habisan karena udah lama banget nggak menikmati makanan favoritnya tersebut. Untung aja saat itu udah malam, jadi pengunjung McD cuma sedikit. Dan dari jumlah yang sedikit itu, semuanya sampe nggak berkedip melihat Dean yang cara makannya mirip orang lagi lomba makan.<br />
<br />
Sementara Dahlia sendiri yang sedari tadi melongo dengan muka merah menahan malu akhirnya beranjak dari tempat duduknya yang berada di sebelah Dean. Ia misuh-misuh sambil melangkahkan kakinya keluar dari resto fastfood itu. Sebuah rekor baru dipecahkan Dean yang menghabiskan seluruh makan malam tujuh rupanya dalam waktu 20 menit saja. Sayangnya kru Guiness Book of Record lagi nggak ada disitu.<br />
<br />
Dean yang kekenyangan duduk santai selagi para waitress membersihkan kertas-kertas pembungkus burger yang memenuhi mejanya. Dean masih sempat-sempatnya menggoda seorang waitress seksi yang mengembalikan kartu kreditnya namun dibalas dengan delikan nggak suka dari sang waitress.<br />
<br />
Dean memasukkan kartu kredit ke dalam dompet lalu mengecek kartu identitas sang pemilik tubuh. Ternyata nama lengkapnya adalah Andrew Ross McMahon, lahir di Massachussets pada tanggal 3 September 1982, status married, beralamat di 1034 Willow Avenue, Arizona 17030 dan pekerjaannya adalah... Dean sempat nggak percaya melihatnya. Ia mengucek-ucek matanya lalu membaca huruf demi huruf. MUSICIAN. Oow! desah Dean pelan. Dean memang sudah sering berpura-pura seumur hidupnya, namun ia belum pernah menyamar jadi musisi.<br />
<br />
Dean memasukkan dompetnya kembali ke saku celana jeansnya dan segera beranjak menuju toilet. Dean tertegun sejenak mengamati pantulannya ketika melewati cermin besar yang terpatri di dinding toilet. Wajah tampan dengan rambut yang trendy, alis melengkung indah yang dikombinasikan dengan mata berwarna hijau terang, hidung yang mancung, bentuk bibir yang tipis dan melengkung ke atas, tentunya yang paling menarik adalah lesung pipinya yang membuat senyumnya sangat menawan. Semua itu belum termasuk piercing di alis kirinya dan tato yang menghiasi kedua lengannya serta keseluruhan badannya yang atletis. Tidak berbeda jauh dengan tubuh yang dimiliki Dean semasa hidupnya. Dean mengakui bahwa tubuh Andrew ini memang sangat keren dan pasti akan dibutuhkannya dalam rangka menarik sebanyak mungkin wanita-wanita cantik dan seksi. <br />
<br />
Setelah itu, Dean kembali ke mobilnya dan mendapati Dahlia yang lagi ngambek berat sampe nggak mau ngomong. Dean menstater mobilnya dan langsung tancap gas. Dean melihat perubahan Dahlia namun ia tidak menyadari penyebabnya ialah karena kelakuannya barusan. Dean mengeluarkan jurus lelucon mautnya untuk mencairkan suasana. Sayangnya Dahlia nggak menggubris karena tiba-tiba dia udah berada di alam mimpi alias tertidur. Dean melajukan kendaraannya dengan kencang di Wyoming Highway 220 untuk menuju Colorado yang merupakan jalur tersingkat untuk sampai di "rumahnya" di Arizona.<br />
<br />
Dahlia terbangun beberapa jam kemudian ketika Dean lagi celingukan mencari "rumahnya". Mata Dahlia yang tertuju pada sebuah rumah besar didepannya membuatnya yakin. Kemudian Dean tiba di gerbang rumah tersebut di mana seorang penjaga keamanan sedang membukakan gerbang untuknya.<br />
<br />
Dahlia langsung menuju kamarnya di atas. Sementara itu, Dean sibuk mengitari "rumahnya" yang super megah dan indah. Wah, ini keberuntungan yang sangat jarang, katanya dalam hati. Setelah menjelajahi dan mengagumi kemewahan setiap sudut rumah, kemudian Dean menaiki tangga melingkar menuju kamar tidur yang ditempatinya bersama Dahlia.<br />
<br />
******<br />
<br />
Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui sela-sela jendela kamar berpadu dengan sinar lampu biru membuat Dean membuka matanya perlahan-lahan. Sesaat ia merasa asing dengan suasana yang dialaminya dan mencoba untuk mengingat peristiwa yang terjadi pada hari sebelumnya. Dean kembali mengedarkan pandangannya melihat sekeliling kamar. Ia bersyukur keberuntungannya ini bukan mimpi.<br />
<br />
Perlahan-lahan Dean menggerakkan tubuhnya untuk bangun dari ranjang. Ia bermaksud untuk tidak membangunkan Dahlia yang tidur disebelahnya. Dean meraih boxer-nya dan langsung memakainya. Dean berjalan perlahan tanpa suara lalu membuka pintu lemari dengan sangat hati-hati. Dean mengambil salah satu T-shirt, jaket dan celana jeans. Ia juga meraih PDA dan kunci mobilnya yang langsung dimasukkan ke celana jeansnya. Masih dengan tubuh yang hanya memakai boxer, Dean membuka pintu kamar dan berjalan menuruni tangga menuju kamar mandi di lantai dasar.<br />
<br />
Setelah selesai mandi dan berpakaian, Dean berjalan di koridor dan melihat berbagai penghargaan platinum dan gold terpajang di dinding. Penghargan tersebut membuat Dean menyimpulkan bahwa Andrew adalah musisi yang cukup sukses. Sejenak matanya tertegun pada ribuan compact disc yang tertata rapi di rak. Akhirnya Dean memutuskan untuk membawa CD Metallica, Bon Jovi dan tentu saja semua album yang telah dirilis Andrew bersama kedua bandnya, Something Corporate dan Jack's Mannequin. Rupanya Dean benar-benar berniat menjadi Andrew. <br />
<br />
Dean pergi ke garasi dan menuju mobilnya. Sambil menstater mobil, Dean mencoba mengingat nomor Cellullar Phone milik Sam. Lalu mulai menghubungi nomor tersebut dari PDA-nya namun ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif lagi.<br />
<br />
Tiba-tiba Dean teringat pada Bobby yang sudah seperti ayahnya sendiri. Oleh karena Dean sulit sekali untuk mengingat nomor Cellullar Phone Bobby, maka ia memutuskan untuk pergi ke Auto Salvage Yard di South Dakota dimana Bobby bermukim. Dean membuka peta USA di PDA-nya. Saat ini Dean sedang berada di Arizona yang berarti bahwa ia harus melewati negara bagian Utah lalu ke Wyoming, tempat dimana ia meninggalkan Colt yang masih berada di kantong celana jeans Jack. Dean berharap agar belum ada yang menemukan Colt itu sebelum dirinya tiba disana. Benar-benar perjalanan yang panjang menuju South Dakota. Kali ini Dean sedang tidak ingin memutar lagu-lagu rock jadul. Ia lebih memilih untuk memutar CD Jack's Mannequin untuk menemani perjalanannya.<br />
<br />
******<br />
<br />
Sesampainya di Wyoming, Dean langsung menuju semak-semak di tepi hutan Grand Teton di mana mayat Jack berada. Untungnya Colt masih berada di dalam kantung celana jeans Jack. Dean menguburkan mayat Jack di bawah pohon Oak setelah mengambil Colt. Lalu Dean kembali ngebut dengan Mercy-nya sambil mendengarkan lagu-lagu Andrew McMahon.<br />
<br />
******<br />
<br />
Sesampainya di rumah Bobby...<br />
<br />
Tok... tok...t ok... Dean mengetuk pintu rumah Bobby.<br />
<br />
Bobby membukakan pintu dan sosok Dean yang asing membuatnya mengerutkan kening. Sebelum sempat Bobby membuka mulut, Dean sudah angkat bicara.<br />
<br />
"Bobby, aku Dean," pernyataan Dean tersebut membuat Bobby terlonjak kaget. Lalu Bobby mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandang Dean dari atas ke bawah dengan seksama. Tiba-tiba Bobby melangkah mundur dan langsung berlari ke dalam rumahnya.<br />
<br />
"Bobby, aku memang sudah mati, tapi ada seseorang yang membuka Devil's Gate di Wyoming. Aku berhasil membebaskan diri dari neraka lewat Devil's Gate. Aku telah merasuki tubuh ini yang kaulihat ini," kata Dean mencoba meyakinkan Bobby.<br />
<br />
Bobby tidak dapat menyembunyikan keterkejutan yang jelas-jelas terlihat dari raut wajahnya. Dean melangkah masuk menghampiri Bobby, namun sayangnya Dean lupa bahwa ada Devil's Trap didalam rumah Bobby. Dean baru menyadari ia masuk Devil's Trap ketika tiba-tiba tubuhnya tak mampu bergerak maju.<br />
<br />
"Bobby, please bebaskan aku dari Devil's Trap ini. Aku ini benar-benar Dean," kata Dean dengan nada memelas.<br />
<br />
Namun Bobby tidak bergeming. Ia menghampiri Dean dan menyiramkan air suci ke tubuh yang dirasuki Dean.<br />
<br />
"AAAAARGH," Dean menjerit kesakitan.<br />
<br />
Dean mendongakkan lehernya dan menatap lingkaran The Fifth Pentacle of Mars yang tepat berada diatas kepalanya. Sementara itu, Bobby terus memandang Dean yang terperangkap di tengah lingkaran The Grand Pentacle dengan tatapan curiga. Ia berjalan mengelilingi Dean sambil terus menyiramkan air suci. Dean berteriak kencang, namun Bobby tetap tidak menghiraukan jeritan Dean.<br />
<br />
Dalam keadaan terjepit seperti itu, tanpa sadar Dean mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya dari air suci yang terus disiramkan oleh Bobby. Tak disangka-sangka, tiba-tiba lingkaran The Fifth Pentacle yang terdapat di langit-langit rumah Bobby pecah dan retak. Salah satu retakan menimpa kepala Bobby. Bobby jatuh tak sadarkan diri. Darah segar mengucur dari pelipisnya.<br />
<br />
Dean terpana menyaksikan peristiwa tersebut. Dean sama sekali tidak menyadari kekuatan yang ternyata dimilikinya sejak ia keluar dari neraka. Sayangnya, kekuatan tersebut tanpa sengaja telah mencelakakan Bobby.<br />
<br />
Dean menekan tombol 911 di PDA-nya.<br />
<br />
"Tolong kirimkan ambulans secepatnya di alamat Auto Salvage Yard 4410, South Dakota. Terima kasih."<br />
<br />
"Maafkan aku, Bobby. Tapi aku harus segera bertemu dengan Sam," kata Dean dengan penuh penyesalan.<br />
<br />
Bayangan Sam berkelebat dalam benak Dean. Snap! Dean menjentikkan jari dan seketika itu juga ...<br />
<br />
POOF!<br />
<br />
Dean menghilang. <br />
<br />
******<br />
<br />
TAMAN SOCO<br />
BEBERAPA DETIK SETELAH DEAN BERANJAK DARI RUMAH BOBBY<br />
<br />
Angin kencang sekonyong-konyong menerpa Taman Soco. Hembusannya cukup kencang sehingga daun-daun pohon oak berguguran dan terbang ke segala penjuru. Batang pohon-pohon oak yang tertanam di taman itu sampai bergoyang-goyang karena kuatnya terpaan angin tersebut.<br />
<br />
BLUK! Jatuhlah Dean tepat diatas sebuah dahan pohon oak. Sejenak ia tampak linglung. Belum sempat Dean sepenuhnya menyadari posisinya di ujung dahan, tiba-tiba ia merasa pijakannya melemah dan brukkk... tubuh Dean langsung terbanting ke hamparan rumput dibawah pohon oak. Rupanya dahan pohon oak yang dipijaknya tak mampu menahan berat tubuhnya.<br />
<br />
Dean bangkit dari tempatnya terjatuh. Matanya menatap ke sekeliling dan tersentak saat seorang wanita cantik bergaun merah berdiri dihadapannya dan melihatnya dengan tatapan kagum. Ia memandangi Dean yang baru saja terjatuh dari pohon oak. Kemudian wanita itu menghampiri Dean sambil mengeluarkan selembar kertas dari tasnya<br />
<br />
"Andrew, boleh aku minta tanda tanganmu?" tanya wanita itu seraya menyodorkan selembar kertas yang ternyata merupakan poster Andrew bersama Jack's Mannequin.<br />
<br />
Dean memperhatikan wanita yang menyapanya tersebut. Hmm, wanita ini cukup menarik. Sepasang mata hitamnya berpadu dengan rambut ikalnya yang juga berwarna hitam. Warna kulitnya terlihat sangat eksotik. Sesaat Dean terhenyak mendengar permintaan wanita itu. Untungnya ia segera menyadari status barunya sebagai selebriti. Lalu Dean mengambil spidol yang disodorkan padanya dan menandatangani poster tersebut.<br />
<br />
"ANDREW! ANDREW!"<br />
<br />
Tiba-tiba Dean dikejutkan oleh jeritan-jeritan histeris dari para gadis. Spontan Dean menoleh ke arah sumber jeritan tersebut. Betapa kagetnya Dean melihat puluhan gadis remaja berlari ke arahnya dan meneriakkan nama orang yang dirasukinya.<br />
<br />
"ANDREW! ANDREW! ANDREW!" histeria itu membuat Dean merinding. Segera saja ia menyerahkan poster yang telah selesai ditandatanganinya pada wanita di depannya. Baru saja Dean akan mengambil langkah seribu, namun Dean kalah cepat karena para penggemar yang meneriakkan namanya itu sudah mengerubutinya. Semuanya berebut minta foto bareng, tandatangan dan ciuman darinya.<br />
<br />
"Whoa! Whoa! Easy, Ladies!" Dean akhirnya meladeni satu persatu permintaan para fansnya sambil memutar otak untuk keluar dari situasi ini. Ternyata punya banyak fans memang sangat menyenangkan, tapi juga melelahkan, kata Dean dalam hati. Dean memang sudah biasa menghadapi para wanita. Namun kejadian dikerubungi para gadis ini membuat Dean berpikir 100 kali lagi untuk tetap bertahan dalam tubuh Andrew.<br />
<br />
Dean diam sejenak karena teringat sesuatu yang sangat penting. Ya, aku berhasil berpindah tempat dalam waktu singkat. Sesaat yang lalu aku masih berada di rumah Bobby lalu sekarang aku telah berada di taman ini. Seingatku tadi aku sedang memikirkan Sam, tapi mengapa bisa tersasar ke taman ini? Apa mungkin Sam sedang berada di sini? Benak Dean dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Dean mengedarkan pandangan ke sekeliling taman, namun Sam tak terlihat di mana pun. Piuff, sepertinya aku perlu mengasah kemampuan demon-ku ini. Lagi pula aku tak mungkin menghilang dalam situasi di tengah-tengah para penggemar seperti ini, pikir Dean lagi.<br />
<br />
Dean pun melanjutkan meladeni permintaan salah seorang fansnya untuk berfoto bersama. Saat itulah, pandangan Dean tertuju pada penjual burger keliling yang sedang berjualan di pinggir taman. Air liur Dean hampir menetes melihatnya. Kebetulan seorang pria tampan dengan rambut pirang berjambul yang sedang berjalan melewatinya. Tanpa pikir panjang, Dean tak membuang waktu lagi untuk berpindah ke tubuh pria tersebut.<br />
<br />
Dean yang telah berpindah di tubuh barunya langsung membeli beef burger dengan extra onions. Sambil makan, Dean menoleh sejenak ke arah Andrew yang masih kebingungan di tengah kerumunan penggemarnya. Selesai menghabiskan burgernya, Dean menghilang dibalik batang pohon oak terbesar di taman itu. Dean dapat merasakan atom-atom jiwanya melebur dan terbang ke udara menuju ke tempat Sam berada. <br />
<br />
******<br />
<br />
Dalam sekejap Dean telah berada dalam sebuah kamar mandi. Ia melangkahkan kakinya dan ...<br />
<br />
GUBRAK! Kakinya terpeleset genangan air yang masih tersisa di lantai kamar mandi. Bunyi yang keras itu membuat seorang pria yang kebetulan sedang berada di luar kamar mandi spontan berjalan mendekati kamar mandi yang sedang ditempati Dean dan membuka pintunya.<br />
<br />
"SAM!" pekik Dean yang segera memeluk tubuh Sam erat-erat. Rupanya Dean lupa bahwa ia berada dalam tubuh yang tidak dikenal Sam.<br />
<br />
Sam buru-buru melepaskan pelukan Dean. Wajah Sam memperlihatkan ekspresi keterkejutan yang amat sangat.<br />
<br />
"Siapa kamu?" tanya Sam heran.<br />
<br />
"Aku ini Dean, Sammy," jawab Dean antusias.<br />
<br />
"APAAA?" pekik Sam tidak mengerti. Rupanya Sam benar-benar terperanjat mendengarnya. Spontan ia mundur menjauhi Dean. Sam menatap Dean tajam.<br />
<br />
"Sammy, aku berhasil membebaskan diri dari neraka," papar Dean mencoba meyakinkan Sam.<br />
<br />
"Oho, jadi kau ini demon sekarang, Dean? Sulit dipercaya!" hardik Sam sambil memandangi Dean dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kening Sam berkerut menandakan ia tak mempercayai pernyataan Dean barusan. <br />
<br />
"Sammy, dulu kamu benci sekali nama panggilan itu karena mengingatkanmu pada tubuhmu yang chubby saat masih berumur 12 tahun," tutur Dean yakin.<br />
<br />
Sam terhenyak mendengar pernyataan itu sebab hanya Dean seorang yang mengetahui hal tersebut. Hampir saja Sam mempercayai Dean namun diurungkannya. Sam belum bisa mempercayai Dean begitu saja sebab mungkin saja hanya akal-akalan Demon licik yang menyamar jadi Dean.<br />
<br />
"Kalau kau ini benar-benar Dean, coba jawab pertanyaanku!" tantang Sam.<br />
<br />
"Go a head, Sammy," Dean menimpali.<br />
<br />
"Apa yang mendiang ibu katakan padamu saat ia menidurkanmu dulu?" tanya Sam.<br />
<br />
"Angels were watching over us," jawab Dean cepat.<br />
<br />
"Darimana kamu mendapatkan kalung yang selalu kamu pakai itu?"<br />
<br />
"Kalung brass amulet itu hadiah natal darimu 16 tahun yang lalu. Kamu memberikannya padaku karena ayah tak pulang kerumah saat natal."<br />
<br />
"Alright...j**k! Tampaknya kamu memang benar-benar Dean."<br />
<br />
"B***h!"<br />
<br />
Dua bersaudara itu langsung berpelukan dengan erat. Mata Sam berkaca-kaca melukiskan kebahagiaan karena bisa bertemu lagi dengan sang kakak tercinta.<br />
<br />
TAMATOrynhttp://www.blogger.com/profile/18000517090509498167noreply@blogger.com0